SEBELAS - SAYING GOODBYE
Setelah kedatangan Banyu dan Chris, aku seperti menemukan sedikit kekuatan sebelum benar-benar melepas Adam. Chris hampir setiap malam datang ke rumah. We have dinners, we talk, terkadang menonton film yang pernah kami tonton dulu, tapi kami belum melangkah lebih jauh. Aku menghargainya. Chris bahkan masih meminta izin sebelum memegang tangan atau mengecup pipiku. Hanya sejauh itu kontak fisik yang kami lakukan.
Sedangkan Banyu, kami hanya bertemu di Jasmine dan hubungan kami seperti kembali sebelum semuanya dimulai. Atasan dan bawahan. Aku kagum dengan Banyu, yang bisa mengesampingkan apa pun yang dirasakannya terhadapku tanpa membawanya ke Jasmine. Aku masih sering memerhatikannya dari ruangan, berharap Bnayu akan baik-baik saja.
Ketika aku terbangun tadi pagi, perasaan berat yang selama beberapa hari ini menguntit, membuatku berlama-lama di tempat tidur dan memandang nanar langit-langit kamarku. Kara tidak mengizinkan Adam untuk tidur denganku di malam terakhrinya di Bali. Hampir saja aku kehilangan kendali atas emosiku begitu mengetahuinya, tetapi aku tidak ingin membuat Kara mempunyai alasan untuk semakin menjauhkanku dari Adam. Hari ini akhirnya tiba. The day when I have to say goodbye to Adam.
Jika bukan Chris yang menelepon dan menanyakan apakah aku sudah makan pagi, aku pasti melewatkan sarapan. Berada di dapur membuatku ingat akan Adam dan pagi-pagi yang aku lewati bersamanya. Bagaimana dia duduk dengan dua tangan terlipat di atas meja sembari menunggu Mbak Eni menyiapkan sarapan. Bagimana dia memilih baju yang dipakainya—yang selalu membuatku keheranan karena Adam selalu memilih pakaian yang serasi. Sekuat mungkin, aku berusaha tidak membiarkan emosi menguasaiku. This is going to be a hard day.
Aku sengaja mampir ke Jasmine untuk memberi tahu Indri dan Banyu kalau akan ke bandara. Pesawat Adam akan berangkat pukul 1 siang, dan kemacetan di By Pass Ngurah Rai bisa menguji kesabaran jika aku tidak berangkat lebih awal. Chris menawarkan diri untuk menemani, tapi aku menolak. Aku sengaja tidak membawa mobil karena setelah berpisah dengan Adam, aku tidak yakin bisa menyetir tanpa dikuasai kesedihan. Aku sudah memberi tahu Kara agar menemuiku di salah satu restoran di dekat terminal keberangkatan dan memberiku waktu berdua dengan Adam. Kara tidak mengiyakan atau pun menolak. Dia hanya membalas bahwa mereka akan ada di sana.
Jantungku berdegup kencang begitu taksi yang aku tumpangi mulai memasuki area bandara. Setelah menurunkanku di drop in area, aku berjalan dengan cukup tergesa menuju satu restoran yang ada di dekat terminal keberangkatan. Begitu sampai di sana, aku tidak melihat sosok Kara, Adam, maupun Riley. Aku memutuskan untuk duduk dan ketika seorang pramusaji memberiku menu, aku mengedarkan pandangan ke area keberangkatan internasional.
Aku mungkin akan membenci bandara setelah ini. Tidak mungkin bayangan akan kepergian Adam bisa terlupakan begitu saja.
Senyumku mengembang saat melihat sosok Kara dan Riley. Ketika melihat Adam berjalan di depan mereka dengan kemeja kotak-kotak merah dan biru sambil menggendong tas birunya, aku melambaikan tangan. Aku menelan ludah melihat wajah Adam, yang sepertinya terlihat tidak ingin berada di sini. Namun senyum di bibirnya tersungging begitu jarak kami mendekat dan aku harap, senyum itu ditujukannya untukku.
"Papa!"
Seruan itu diikuti Adam dengan mempercepat langkahnya sebelum aku menangkap tubuh kecilnya dan mendekapnya. Dengan gemas, aku menciumi pipi dan rambutnya sebelum mendudukkannya di pangkuanku. Tidak pernah aku merasa sebahagia dan sesedih ini melihat Adam.
"Aku sama Riley mau check-in dulu, setelah itu kami mau makan. Nanti aku jemput Adam."
Aku hanya mengangguk. "Thanks, Kara."
Tidak ada basa-basi di antara kami. Bahkan aku seperti lupa kalau Riley bersama mereka. Sikapku mungkin terlihat kasar, tetapi saat ini, fokusku hanya Adam dan ingin menghabiskan sedikit waktu yang masih tersisa. Hal lainnya tidak terasa penting bagiku.
Aku melepas pelukan Adam begitu Kara dan Riley berlalu dari hadapanku.
"Adam mau makan kue?"
Adam menggeleng. "Adam nggak lapar."
"Tapi harus makan ya? Mi goreng atau nasi goreng?"
"Pasgheti, Pa."
Aku membaca menu yang tertera, dan tentu saja, mereka tidak punya spaghetti. "Mereka nggak punya, Adam. Atau mau sandwich aja?" Adam mengangguk. "Tuna?" Adam lagi-lagi mengangguk.
Setelah memesan dua Club House Sandwich, aku mendudukkan Adam di sebelahku. Membantu melepas tasnya, aku memandang Adam yang menundukkan wajahnya.
"Adam kenapa nggak mau lihat Papa?" Adam menggeleng. "Kenapa?"
Namun aku kemudian menyesali pertanyaan itu. Begitu Adam mengangkat wajah, tangisnya langsung pecah. Lenganku terulur untuk memeluknya, berusaha menahan tangis yang sudah hampir lepas dariku.
Aku menarik napas dalam sambil membelai rambutnya.
"Adam nggak mau pergi," ucapnya disela tangis yang sepertinya bukan semakin mereda, tetapi semakin menjadi-jadi. Adam bukan bocah 5 tahun yang gampang menangis, tetapi saat ini, sepertinya dia benar-benar takut. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku melepaskan pelukan untuk memandangnya. Dengan lembut, aku mengusap pipinya yang basah dan meminta Adam menatapku.
"Adam mau dengerin Papa?" Meski isakannya masih cukup keras, dia mengangguk. "Adam janji nggak akan nangis kan? Kok sekarang malah nangis? Katanya mau jadi pria hebat kayak Papa? Tuh lihat, Papa aja nggak nangis."
Menggunakan jari kecilnya untuk mengucek kedua matanya, Adam kali ini benar-benar menatapku. Aku tersenyum lebar, berharap itu mampu membuat Adam sedikit lebih baik meski akus endiri harus menahan pedih.
"Adam sedih," ucapnya tergagap. "Adam nggak mau ke Landon."
"Adam inget nggak Papa janji apa?"
Adam terdiam, berusaha menjawab pertanyaanku disela tangisnya. "Kalau Papa pasti nengokin Adam di Landon."
"Dan Papa pasti ke London. Kan udah sumpah pake kelingking," ucapku sambil mengangkat lagi jari kelingkingku. "Adam mau Papa janji kelingking lagi?"
Adam mengangguk sebelum menautkan jari kelingkingnya dengan milikku.
"Kalau Papa ingkar janji?"
Ada cekikik yang kemudian keluar dari mulut Adam sekalipun air matanya belum kering benar. Paling tidak, dia akan berhenti menangis jika sudah begini.
"Papa akan bentol-bentol seluruh badan."
"Papa sih nggak mau ya bentol-bentol di muka. Nanti cakepnya Papa ilang."
Kali ini, Adam tertawa. Aku kembali menyeka sisa air matanya tepat ketika pesanan kami datang.
"Adam makan yuk. Papa laper nih."
Dan seperti Adam yang aku kenal, dia langsung duduk manis dengan kedua tangan di atas meja.
Melihat Adam mulai memakan sandwich-nya, aku tersenyum. Aku akan merindukan ini. Duduk bersamanya, melihatnya makan, membersihkan sisa makanan di mulutnya, dan celotehnya. Bagaimana bisa aku hidup sehari tanpa mendengar celotehnya?
"Enak?" Adam mengangguk.
Aku menarik napas dalam dan berusaha menikmati Club House Sandwich-ku, meski saat ini, aku lebih ingin duduk meringkuk bersama Adam di sofa sambil menunggunya tertidur.
Ponselku berdering. Chris.
"Hi."
Are you with Adam? Atau dia sudah check-in?
"He's with me now. Kara and Riley do the check-in and they gave me some time with Adam."
That bitch has manners after all.
"Chris...."
I'm sorry. Are you sure you okay alone?
Aku menelan ludah. Aku sendiri tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu. "I will be. Don't worry."
Text me once they left, okay?
"I will."
See you later, Adrian.
"See you, Chris."
"Siapa Pa?"
"Om Chris."
Adam melanjutkan makannya tanpa sekalipun bertanya lebih lanjut tentang Chris. Melihat Adam sepertinya sudah beranjak dari sedih, aku tidak bisa menahan senyum. You just gotta get through this, Adrian.
"Adam mau ngasih sesuatu buat Papa," ucapnya begitu kami selesai makan.
"Anak Papa mau ngasih apa sih?"
Adam kemudian meraih tas yang tergeletak di sampingnya dan membukanya. Sesaat kemudian, dia mendekap sesuatu berbentuk kotak tipis yang membuatku mengerutkan dahi.
"Ini, Pa," ucapnya sambil menyerahkan satu bungkusan yang terbungkus kertas kado. Ketika menerimanya, aku mendekatkannya ke telinga, berusaha menebak isinya.
"Apa ini, Adam?"
"Papa buka nanti ya?"
"Papa penasaran." Ucapanku itu dibalas Adam dengan sebuah tawa kecil yang membuatku semakin gemas. Aku meraih tubuhnya dan mendaratkan kecupan di kedua pipinya.
"Makasih ya Adam?" Adam hanya mengangguk.
Di saat yang bersamaan, aku melihat sosok Kara dan Riley mendekat. Jantungku berdegup kencang, seperti dibangunkan dengan paksa dari mimpi indah. This is it, Adrian, This is it.
"Adam udah siap? Tuh Mama sama Papa Riley udah jalan ke sini." Adam menggeleng. "Inget janji kita kan?"
Sebelum Adam sempat menjawab, Kara dan Riley sudah berada di hadapan kami.
"Yuk, Adam, kita harus pergi. Nanti ketinggalan pesawat ke London."
Aku sengaja bangkit dari kursi untuk menjabat tangan Riley. Sejak kedatangannya, dia bersikap cukup baik dengan tidak berusaha merebut waktu yang aku miliki bersama Adam. Sedangkan aku malah mengabaikannya tadi
"Thank you, Riley."
Dia menggeleng. "It's okay, Adrian. I believe you will do the same thing if you were in my position."
"Take care of ... him."
"I will. Don't worry. Have you planned when to visit London?"
"Not yet. I can't leave Jasmine for the time being. But I'll inform you and Kara once I got the date."
"O.K."
Kami berempat berjalan menuju ke terminal keberangkatan dengan Adam menggandeng tanganku dan tidak mau melepasnya. Begitu kami berada tidak jauh dari pintu masuk, aku merendahkan tubuh agar sejajar dengan Adam. Meski tenggorokanku tercekat, aku tersenyum.
Adam sepertinya akan menangis lagi, jadi aku menangkupkan kedua tanganku di wajahnya dan menggeleng.
"Adam belum lupa kan?"
Adam menggeleng. "Tapi, Pa...."
"Papa nggak mau ada tapi."
Sebelum emosiku lepas kendali, aku merengkuh tubuh Adam dalam pelukanku. Aku membelai rambut dan punggungnya. Menarik napas dalam, aku berusaha menyimpan setiap aroma yang bisa aku tangkap dari Adam karena aku sendiri tidak tahu pasti kapan akan bisa merasakan tubuh kecil ini lagi dalam dekapanku. Papa akan kangen sekali sama kamu, Adam.
"Adam jangan nakal ya?" Adam mengangguk. "Jangan curang kalau main ular tangga sama Papa Riley atau Mama." Kembali, sebuah anggukan.
Aku melepaskan pelukan untuk mencium pipi dan keningnya. Aku tidak akan bisa melihat Adam lebih lama lagi karena semakin lama aku melepasnya, emosi yang aku rasakan akan semakin menumpuk.
"Papa sayang sama Adam."
"Adam juga."
Aku menegakkan tubuh dan melepaskan genggaman tangan Adam yang langsung disambut uluran tangan Kara.
"Kara, kabari aku kalau kalian sudah sampai. Bisa kan kirim e-mail singkat kalau kalian transit nanti?"
"I will."
Aku memeluk Kara, sebagai formalitas. "Jaga dia baik-baik, Kara."
"He's my son, too, Adrian," ucapnya sebelum melepaskan pelukan kami.
Dengan Riley, aku hanya berjabat tangan. "Have a good flight."
"Take care, Adrian. We will let you know once we landed in London."
Aku mengangguk.
"Yuk, Adam!"
Dengan langkah pelan, mereka mulai berjalan menjauh. Adam tidak melepaskan pandangannya dariku sementara dia melambaikan tangan. Aku tersenyum lebar untuk menutupi sedih yang tidak bisa aku tunjukkan. Setelah mereka melewati security, aku menarik napas dalam. Dadaku terasa begitu sakit hingga mengambil napas sepertinya jadi sesuatu yang berat.
Sekarang, Adam benar-benar pergi. Dan aku masih menahan tangis.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top