37. bukan happy ending
Suara pintu terbuka mengusik aktifitas Alif, memandangi puisi buatannya. Alif menoleh, melihat sang istri yang berjalan menuju ke tempat tidurnya. Lebih tepatnya menghampiri tas ransel milik Alif.
Dikeluarkannya pakaian Alif dari dalam ransel, ia hendak memindahkannya ke dalam lemari pakaian miliknya.
Ditatanya pakaian Alif di rak paling atas. Jas yang tadi dikenakan Alif ia gantung di lemari sisi yang lain.
"sayang..." panggil Alif berusaha mengalihkan perhatian Zahra yang sedari tadi sibuk membereskan baju-bajunya.
Zahra masih diam. Ia masih belum sadar jika yang dipanggil adalah dirinya. Ia belum terbiasa dengan panggilan tersebut.
"Zahra sayang!"
Deg. Jantung Zahra berdebar. Ia mematung, menghentikan aktifitasnya.
"kita nanti buka puasanya diluar ya."
Zahra hanya mengangguk.
"sayang. Liat aku dong." pinta Alif. Karena Zahra kembali sibuk dengan aktifitasnya.
Dengan gerakan kaku, Zahra menegakkan badannya untuk melihat sang suami yang berada diseberang tempat tidur.
Alif menghampirinya. Ia mengitari ranjang untuk mendekati Zahra. Mata zahra mengikuti gerakan Alif. Alif berhenti tepat di depan Zahra. Dipandangnya wajah cantik sang istri. Alif tersenyum mengingat kini dirinya bisa puas memandangi Zahra. Yang dulu ia hanya bisa mencuri pandang, sekarang ia sudah halal, bahkan memandang Zahra kini bernilai ibadah buatnya.
"ada apa sih mas?" tanya Zahra yang mulai risih karena terus dipandang Alif.
Alif tersenyum. "kamu cantik."
Zahra menundukkan wajahnya. Ia tak sanggup menatap suaminya yang kini semakin pintar membuat jantungnya berdebar kencang.
"kamu mau nggak pacaran sama aku?" pertanyaan dari Alif membuat kening Zahra berkerut.
Bukankah kita sekarang sudah sah menjadi suami istri? Batin Zahra. Ia bingung dengan pertanyaan sang suami.
"dulu kan kita nggak pacaran. Lagian lebih halal pacaran setelah sah kan?" ucap Alif lagi saat melihat istrinya bingung dengan pertanyaannya. Ia tersenyum menggoda. "kalo udah nikah kan bukan cuma boleh pegangan tangan. Mau pegang yang lain juga halal."
"mas Alif. Inget. Lagi puasa." Zahra kembali menundukkan kepalanya. Ia malu.
Alif tersenyum. Dirainya tangan kiri istrinya lalu mengenggamnya erat. Tangan kanannya berusaha mengangkat kepala Zahra yang sedari tadi terus menunduk.
"terima kasih ya udah cinta sama aku selama ini."
Zahra membelakkan matanya. "dari mana mas Alif tau?" batinnya.
Alif lalu menarik tubuh istrinya kedalam pelukkannya. Di dekap tubuh istrinya begitu erat. Seakan ia tak mau kehilangan. Ia begitu bersyukur bisa disatukan dengan Zahra. Wanita pujaan hatinya. Dalam pelukan Alif memanjatkan doa supaya rumah tangganya tahan akan godaan dan cobaan. Ia meminta dirinya dan juga Zahra bisa tegar dan kuat saat menghadapi badai yang kadang akan datang ke dalam kehidupan rumah tangga.
***
Acara buka puasa berdua yang direncanakan pengantin baru, harus gagal karena permintaan sang mbah kakung. Mbah kakung menginginkan keluarganya berbuka puasa bersama sebelum mbah kakung dan mbah uti kembali lagi ke Wonogiri.
"kita buka puasa berduanya besok aja ya." pinta Zahra. Ia sedikit merasa tidak enak karena membatalkan janjinya pada sang suami.
Alif mengelus kepala Zahra sayang. "iya gak apa-apa."
Zahra tersenyum. Ia senang suaminya bisa mengerti.
"ya udah aku turun dulu ya. Mau bantu bunda di dapur." Alif kembali mengangguk.
Zahra melangkah keluar meninggalkan sang suami yang kembali sibuk dengan laptop dihadapannya.
Walaupun ia sudah cuti tapi tanggung jawabnya tidak bisa ia tinggalkan. Mengingat hari raya segera tiba, Alif kini tengah mengurus masalah gaji dan juga THR untuk para karyawannya.
Ia sedang mencari barang yang biasa dijadikan bingkisan. Karena niatnya, ia bukan hanya akan memberikan THR berupa uang saja. Tapi ia ingin memberikan bingkisan untuk keluarga karyawannya.
Tak terasa sudah dua jam Alif berkutat dengan laptopnya. Setelah mematikan laptopnya, Alif melihat suasana diluar. Ternyata matahari sudah terbenam. Menyisakan cahaya orange di langit. Suara adzan magrib mulai terdengar. Alif pun turun ke bawah. Ia hendak melihat ibu mertua dan istrinya tengah memasak.
Bau harum tertangkap di indera penciumannya. Ia berjalan kearah dapur. Dilihatnya sang istri tengah berkutat sendiri di dapur. Entah kemana Zalfa dan juga sang ibu mertuanya.
Dipeluknya dari belakang sang istri yang tengah sibuk mengaduk sesuatu di wajan.
Zahra sempat terkejut. Namun ia kini sudah mulai hafal kalau itu perbuatan sang suami.
"butuh bantuan?" tanya Alif, melepas pelukannya lalu berjalan kesamping kanan Zahra.
"emmm. Tolong ambilin es aja mas. Di kulkas."
Tanpa menjawab, Alif langsung berjalan kearah lemari es. Diambilnya es buah yang sudah siap di dalam gelas.
"Zalfa sama bunda kemana?" tanya Alif lalu mengatur gelas yang ia bawa di meja makan.
"lagi manggil kak Riki. Kalo bunda lagi manggil Ayah sama embah."
Zahra kini sibuk menyiapkan makanannya. Di taruhnya dipiring tumis buncis, ayam kecap, serta sayur sop. Setelah itu ia memindahkannya ke meja makan.
"kita sholat mangrib dulu ya. Makannya nanti." usul Alif yang langsung mendapat anggukan dari Zahra.
Setelah semua anggota keluarganya berkumpul. Mereka membatalkan puasa mereka dengan segelas air putih hangat serta tiga buah kurma.
Zahra pamit lebih dulu karena dirinya memang belum membersihkan diri. Ia berniat untuk mandi cepat.
***
Usai sholat tarawih dan tadarusan kini Zahra bergulung dengan selimut di tempat tidurnya. Ia merasa kelelahan. Atau lebih tepatnya, ia hendak menghindari Alif. Ia masih marah. Atau lebih tepatnya ia belum yakin akan perasaan Alif padanya. Ia takut, panggilan sayang yang Alif berikan padanya itu hanya sebatas memenuhi kewajibannya sebagai suami, bukan karena ia benar-benar sayang padanya.
Ditambah lagi kejadian saat berbuka puasa tadi membuat Zahra semakin yakin kalau memang Alif masih menyukai Zalfa.
Lamunan Zahra membawanya kembali pada saat mereka berbuka puasa. Saat itu Alif tengah menyendokkan tumis yang Zahra buat namun tiba-tiba Zalfa mengambilkan ayam kecap. "itu makanan kesukaan Alif." ucap Zalfa kala itu. Zahra yang mendengar itu langsung menatap Alif yang tersenyum manis kearah Zalfa. Dadanya terasa sesak. Saat mengetahui fakta bahwa Zalfa lebih mengenal Alif. Padahal dulu Zahra termasuk penggemar Alif. Tapi ia tak tahu makanan kesukaan Alif. Zahra jadi berfikir kalau ayam kecap yang mereka makan itu adalah masakan Zalfa. Zahra memang tak tau siapa yang memasak. Karena tadi saat Zahra ke dapur, ayam kecap sudah matang.
Suara pintu yang berdecit saat dibuka membuat Zahra segera memejamkan matanya. Ia sengaja melakukan itu untuk menghindari Alif. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Tempat tidur yang zahra tiduri pun sedikit bergoyang saat ada yang naik keatasnya.
"sayang.. Kamu udah tidur?" tanya Alif lembut. Ia membelai rambut istrinya yang tergerai.
Zahra tak menjawab.
"selamat tidur bidadariku." ucap Alif lagi yang percaya istrinya sudah tidur. Ia mengecup kening Zahra lama.
Ada rasa sakit dan juga bahagia yang menyerang perasaan zahra secara bersamaan. Sakit ketika mengingat fakta suaminya menyukai kakak iparnya tapi ia juga merasa bahagia saat Alif menyebutnya sebagai bidadari.
Dadanya bergemuruh. Ada perasaan ingin membalas memeluk Alif. Tapi ia juga merasa ia tak mau melakukannya.
"Zahra kalau kamu hanya diam. Lalu kapan masalah kamu akan selesai? Tanyakan orangnya langsung." seolah ada yang membisikkan kalimat itu di telinga Zahra. Membuat zahra membalikkan badan, menatap sang suami yang sudah siap untuk tidur.
"kamu kebangun ya? Maaf ya kalau aku terlalu berisik jadi ganggu tidur kamu." ucap Alif saat melihat sang istri kini terbangun.
Zahra bangkit. Ia duduk menghadap Alif. Ia tak menanggapi permintaan maaf Alif.
"mas, sejak kapan deket sama kak Zalfa?" tanya Zahra to the point.
Alif terlihat bingung. "kok kak Zalfa bisa tau makanan kesukaan mas Alif? Mas Alif cinta ya sama kak Zalfa? Kalau iya, kenapa nggak diperjuangin? Kenapa nggak berusaha dapetin kak Zalfa saat kak Riki melamar kak Zalfa? Kenapa mas mau aja diminta nemenin mereka saat mereka lagi taarufan? Kenapa..." Zahra tak bisa melanjutkan pertanyaannya karena kini jari telunjuk Alif berada di bibir Zahra.
"kamu ngomong apa sih? Kamu cemburu?"
"en..enggak.." Zahra tergagap mendengar pertanyaan Alif.
Alif tersenyum. Ia tahu istrinya itu tengah cemburu.
"kamu kalau lagi cemburu gitu, ngegemesin deh. Jadi pengen cium."
"si..siapa bi..bilang aku ce..ce..cemburu?" Zahra semakin tergagap saat Alif kian mendekatkan wajahnya. Zahra memalingkan wajahnya. Ia tak mau dicium sang suami karena ia kini masih merasa kesal. Alih-alih menjawab semua pertanyaannya. Alif malah menggoda dirinya.
"dosa loh nolak suami." ucap Alif masih dengan senyum dibibirnya.
Zahra hanya diam. Ia juga tau akan hukum itu tapi hatinya masih kesal.
"oke. Kamu mau aku jawab pertanyaan kamu?"
"serah." Zahra menjawabnya cuek. Ia palingkan wajahnya. Enggan menatap Alif.
"yaudah. Aku jawab, tapi liat sini." Alif menuntun kepala Zahra untuk menghadap padanya kembali.
"jadi aku sama Zalfa udah deket dari kita kecil. Jadi dia tau makanan kesukaan aku. Terus dari mana kamu nyimpulin kalau aku suka dia? Kamu yakin aku boleh ngejar dia? Kamu yakin aku boleh perjuangin dia?"
"kok malah balik nanya?" Zahra kesal.
Sedangkan Alif tersenyum, sikap istrinya yang tengah menyembunyikan rasa cemburunya itu malah terlihat menggemaskan. Dikecupnya pipi Zahra dengan kilat.
Tapi itu justru membuat Zahra semakin bersungut. Perlakuan Alif belum bisa meluruhkan hati Zahra yang memang kini tengah kesal.
"kamu fikir kenapa aku mau nikah sama kamu?"
"kita kan dijodohin."
"kalau alasannya hanya itu. Aku sudah pasti menolaknya. Karena aku bakal perjuangin wanita yang aku cintai."
"terus kenapa nggak diperjuangin? Kenapa milih terima perjodohannya? Karena kak Zalfa udah nikah sama kak Riki ya? Kamu keduluan start ya?"
Alif menggelengkan kepala. Saat emosi seperti ini ternyata Zahra tak bisa berfikir jernih.
"kamu fikir aku nggak berjuang? Aku udah berjuang tauuukkk. Kamu fikir gampang dapetin kamu?"
Mendengar ucapan Alif, mata Zahra langsung terbelalak. Ia menatap suaminya menuntut penjelasan.
"selama berhari-hari mbah kakung mantau aku. Ngetes aku. Pantes nggak buat jadi pendamping kamu. Aku berusaha buat ngambil hati mbah kakung. Kamu fikir gampang? Saat aku tau kalau calon istri aku itu kamu. aku harus berjauhan sama kamu, nggak boleh telfon, sms, wa, pokoknya nggak boleh berhubungan sama kamu. Kamu kira itu gampang buat aku?"
Zahra terdiam. Ia berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut suaminya.
"apa panggilan sayang buat kamu dari aku itu belum bisa buktiin ya? Ajakan pacaran setelah nikah. Menurut kamu itu artinya apa?"
Zahra menggeleng pelan. Ia ragu untuk menjawab.
"itu karena yang ada dihati aku itu kamu."
Air mata tak terasa menetes dari mata zahra. Ia merasa terharu akan usaha suaminya. Ia merasa bersalah juga karena sudah berburuk sangka pada suaminya. Tak tahan lagi, Zahra segera bangkit lalu menubruk Alif. Memeluk Alif dengan erat. Di dada suaminya ia terisak sambil terus mengucapkan kata maaf. Dengan sayang Alif membalas pelukan Zahra. Diusapnya kepala Zahra.
"sekarang udah nggak salah faham lagi kan?" tanya Alif yang langsung mendapat anggukan kepala dari Zahra.
"kamu tau dari mana aku suka sama Zalfa?" tanya Alif lagi.
Zahra melepas pelukannya. "tepat setelah aku nyatain perasaan aku sama kamu. Waktu kamu ngobrol sama Bian."
Alif mencoba mengingat ingat. "oh yang itu. Pasti kamu nggak denger sampai selesai."
"mana bisa denger lanjutannya kalau awalnya udah nyakitin hati."
Alif tersenyum. "Lanjutannya, aku bilang sama bian, kalau yang sekarang mau aku perjuangin itu kamu."
"dulu Zalfa memang ada dihati aku. Bahkan saat kita SMA aku masih anggap cinta aku buat dia, ah... Tidak. Bahkan sampai saat Zalfa mau taarufan. Aku masih menganggap dia yang dihati aku hingga Irfan nyadarin aku. Kalau ternyata yang ada dihati aku itu kamu."
"kamu ingat puisi itu?" tanya Alif sambil menunjuk bingkai yang ada puisi di dalamnya. Zahra mengikuti arah telunjuk Alif.
"kamu kira itu dari siapa?" Zahra menggeleng.
"itu dari aku. Dan masih banyak lagi bukti kalau aku cintanya sama kamu. Irfan ngasih bukti itu sama aku. Awalnya aku mengelak tapi kemudian aku tersadar saat irfan ngingetin saat kita perpisahan SMA."
"saat itu aku memang merasa sakit. Tapi aku fikir itu karena aku akan pisah sama sahabat-sahabat aku."
Zahra mendengarkan penjelasan dari Alif yang seperti rumus mencari luas persegi panjang.
Satelah Alif selesai menjelaskan. Zahra kembali memeluknya.
"maaf udah buat kamu salah faham karena aku nggak segera ngomong sama kamu. Tapi sekarang, percayalah. Wanita yang aku cintai dan harus aku perjuangkan itu adalah Nayla Azzahra. Wanita yang ku sebut dalam doa."
Zahra semakin terisak. Jatungnya berdetak lebih cepat. Tubuhnya lemas mendengar kata-kata manis dan romantis, menurutnya, dari sang suami.
"aku bahkan mencintaimu dari dulu. Dan namamu selalu ku sebut dalam doa." ucap Zahra membalas pernyataan cinta dari suaminya.
Alif tersenyum. Walaupun ia sudah tahu kalau zahra mencintainya. Tapi kali ini rasanya lebih mendebarkan. Dipeluknya erat tubuh mungil sang istri.
"ngomong-ngomong dari kapan kamu suka sama aku? Terus alasannya apa?" tanya Alif penasaran.
Zahra mengingat-ingat. Lalu ia menemukan sebuah ingatan saat mereka masih kelas satu SMA.
"waktu itu lagi ada acara disekolahan yang mengharuskan setiap kelas mengirimkan perwakilan untuk bertanding basket. Waktu itu hari kamis, pas kamu lagi puasa, kamu ikut main sampai lemes. Temen-temen kamu nyaranin kamu buat batalin puasanya tapi kamu nolak. Waktu itu aku nggak nyangka aja ada cowok yang masih rutin puasa senin kamis. Terus tiap habis irtirahat kedua kamu selalu terlambat masuk kelas, awalnya aku fikir karena keasikan nongkrong di kantin, tapi ternyata kamu sama irfan sholat dzuhur dulu. Dan masih banyak lagi lah pokoknya."
Alif tersenyum mendengar cerita Zahra. "terus kenapa sukanya sama aku? Kenapa nggak sama irfan?"
Zahra tak menjawab, ia mengangkat kedua bahunya karena ia juga tak tahu jawabannya.
Alif kembali menarik tubuh istrinya. Sembari memberikan kecupan di puncak kepala Zahra.
"maafkan aku yang terlambat menyadari perasaanku. Dan terimakasih sudah selalu menyebut namaku di dalam setiap doamu." bisik Alif.
Dilepasnya pelukan sang istri. Lalu di tatapnya mata Zahra dengan intens. Alif tersenyum, kini ia bisa merasakan kebahagiaan yang benar-benar membahagiakan. Di dekatkan wajahnya pada wajah canti zahra. Zahra tau maksud dari Alif. Ia pun langsung memejamkan matanya.
Keduanya benar-benar merasa bahagia. Setelah lama memendam rasa yang belum halal kini mereka dihalalkan. Mereka yang menahan diri untuk tidak mengumbar rasa cintanya. Kini ia bisa menyatakannnya bahkan setiap detik. Dulu mereka menahan diri untuk tidak ada kata pacaran tapi kini mereka bisa menjadi pacar halal dengan seseorang yang selalu di sebut dalam doa.
"Sebuah nama dalam doaku itu adalah kamu. Alif Nur Huda." bisik Zahra disela ciumannya dengan sang suami.
Alif tersenyum, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya yang sepertinya harus di sensor.
***
Pernikahan bukanlah akhir dari sebuah perjalanan cinta. Tapi ini merupakan sebuah awal. Masih ada banyak lagi masalah yang harus dihadapi. Happy ending hanya terjadi dalam kisah negri dongeng. Dalam dunia nyata tak ada yang namanya happy ending. Tapi setiap pasangan akan mengusahakan selalu bahagia sampai ke jannah-Nya.
Selamat menempuh hidup baru buat Alif juga Zahra. Semoga keluarga kalian selalu dalam rahmat Allah SWT. Selalu berada dalam kebaikan. Dan bisa menghasilkan keturunan yang sholeh dan juga sholehah. Aaamiiiiin....
The end.
Huuuhhhh akhirnya. Cerita sebuah nama dalam doa. Tamat.
Sampai jumpa lagi di cerita aku yang baru.
Terimakasih sudah bersedia menunggu setiap updetan yang terkadang ngaret. Terimakasih untuk semangatnya. Terimakasih untuk semuanya.
Dan untuk seseorang yang sudah menginspirasi, terimakasih. Walau kita tak berakhir seperti kisah zahra dan juga Alif. Tapi semoga kau bisa bahagia bersama dia. Dan aku juga bisa bahagia bersamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top