36. tersadar

Kata "sah" menggema di ruangan 3x4 meter tersebut. Zahra dan juga Alif kini telah sah menjadi suami istri. Setelah petugas dari kua membacakan doa, kini Alif dipersilahkan membacakan surah Ar-Rahman yang menjadi mahar juga.

Dengan berurai air mata Zahra mendengarkan suara merdu milik Alif. Suara Alif yang begitu merdu menyentuh hati Zahra. Zahra merasakan perasaan campur aduk saat ini. Ia bahagia dan kecewa secara bersamaan. Ia bahagia karena Allah menjawab doanya kala SMA. Ia berdoa supaya berjodoh dengan Alif, dan kini ia sudah menjadi istri Alif. Lelaki yang selalu ada di dalam doanya.

Ia merasa kecewa karena ia menikah dengan orang yang ingin menggagalkan acara pernikahan kakaknya.

Saat Alif meraIh tangannya untuk memakaikan cincin, Zahra semakin terisak. Ini adalah kali pertama mereka bersentuhan. Tangan Alif terasa dingin ditangan Zahra. Begitu juga sebaliknya. Karena mereka sama-sama merasakan gugup yang begitu hebat.

Ditariknya tangan Alif untuk dicium punggung tangannya. Setelah Zahra mencium punggung tangannya, Alif meraih kepala Zahra untuk dibacakan doa. Lalu mencium keningnya lama. Ia begitu meresapi ciuman pertamanya pada wanita yang dicintainya. Bulir air matanya jatuh mengenai pipi Zahra.

"kenapa Alif menangis? Bahagiakah ia? Atau menyesal karena sudah menerima perjodohan ini? Sehingga ia tak bisa bersama kak Zalfa?" batin Zahra berkecamuk.

Dilepasnya ciuman dikening. Lalu Alif menatap wanita dihadapannya yang kini sudah halal baginya. Ia begitu bersyukur bisa mendapatkan wanita yang kini duduk dihadapannya. Air mata pun kembali  membasahi pipinya. Ia terlalu bahagia. Sehingga ia tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, ia hanya menatap wanitanya begitu lama.

"tatap-tatapannya lanjut nanti saja ya. Sekarang tanda tangan ini dulu." ucap seorang petugas KUA. Lalu menyodorkan buku kecil yang ada foto Alif dan juga Zahra di dalamnya.

Riki yang kini menjadi juru kamera pun selalu mengabadikan setiap moment. Tak ada yang luput dari bidikan kameranya. Bahkan ada salah satu sanak saudaranya yang mengikuti acara akad nikah Zahra sambil menganggu-anggukkan kepala, karena tertidur.

Setelah selesai segala urusan di KUA, kini pengantin baru itu digiring pulang kerumah Akbar yang akan menjadi tempat tinggal sementara untuk Alif dan Zahra.

Sesampainya dirumah, Zahra segera bergegas ke kamarnya. Ia ingin segera mengganti bajunya. Tanpa meminta ijin pada Alif. Ia berjalan lebih dulu. Mungkin karena ia belum terbiasa dengan statusnya.

Sesampainya dikamar, Zahra sudah menyiapkan baju gamisnya, lagi, itu adalah pemberian Alif. Kali ini Zahra memakai gamis bunga-bunga dengan warna dasar abu-abu, dan dipadukan dengan jilbab langsungan warna abu-abu juga.

Saat sibuk membenarkan rambutnya yang tadi agak longgar, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Tanpa melihatnya Zahra langsung menyuruhnya masuk. "masuk. Tidak dikunci."

Alif pun masuh setelah mendapatkan izin dari istrinya.
Betapa terkejutnya ia, saat masuk langsung disuguhkan pemandangan indah. Zahra yang tengah menyisir rambut panjangnya. Alif berjalan pelan menuju ke zahra.

Dipeluknya istrinya itu dari belakang. Itu memang hal pertama yang ingin Alif lakukan saat telah sah menjadi suami Zahra.

Tubuh Zahra menegang. Ia berhenti bernafas. Diliriknya tangan yang kini melingkar di perutnya. Jantung Zahra berdetak cepat saat tau kalau tangan itu bukan milik kakaknya.

"eh..." Zahra segera berbalik, ingin melepas pelukannya.

"oh mas Alif.. Bikin kaget aja." Zahra mengusap dadanya. Ia memang belum terbiasa dengan statusnya.

Alif tersenyum mendengar panggilan Zahra setelah ia resmi menjadi istrinya.

"kamu tadi bilang apa?"

Zahra menyelesaikan kegiatannya lalu dengan cepat memakai kerudung instannya.
Ia segera berbalik menghadap suaminya.

"eh? Apa?" tanya Zahra bingung.

"kamu tadi manggil aku apa?"

"mas. Mas alif."

Mendengar panggilan Zahra membuat Alif tak tahan lagi. Ditariknya wanita di depannya. Memeluknya dengan erat. Ia terlalu bahagia. Sangat bahagia. Ada getaran aneh saat mendengar Zahra memanggilnya dengan sebutan mas.

"makasih..." ucap Alif masih memeluk Zahra.

Zahra bingung dibuatnya. Bukankah itu sudah menjadi kewajibanya, menghormati suami. Masak iya sudah jadi suami tapi masih manggil nama? Ya nggak sopan lah.

"mas udah. Nanti puasanya batal loh." ucap Zahra berusaha melepas pelukan Alif yang terlalu erat menurutnya.

"cium sama peluk istri itu tidak membatalkan puasa sayang."

Mendengar panggilan sayang dari suaminya membuat Zahra melemas, ia tak lagi mencoba untuk melepas pelukannya.

Merasakan kini istrinya terdiam, Alif melepas pelukannya. Ia menatap wajah istrinya. Ia tahu kalau kini istrinya tengah merona. Dan ternyata benar. Ada semburat merah dipipi istrinya.

Alif menjadi gemas dibuatnya. Ingin rasanya ia mencium pipi istrinya yang memerah. Tapi baru saja ia mendekatkan wajahnya. Suata pintu terbuka menghentikannya.

"ups. Sorry. Lain kali pintunya dikunci ya. Tapi sebaiknya jangan sekarang, inget puasa loh." ucap Riki kembali menutup pintu kamar Zahra.

"Ra, buruan keluar. Ada temen-temen kamu tuh." teriak Riki.

Zahra semakin malu, ia menundukkan kepalanya. Ia tak kuasa melihat Alif. Yang kini tengah menatapnya juga sambil menahan senyum.

"Udah ah. Mas mandi dulu aja. Bajunya biar aku yang siapin." Zahra mendorong Alif menuju ke kamar mandinya.

Setelah Alif masuk kekamar mandinya. Zahra membuka tas ransel yang tadi dibawa Alif. Isinya hanya beberapa kaos dan kemeja saja.

"mas aku turun duluan ya." teriak Zahra setelah selesai memilihkan baju untuk Alif.

"jangan, tunggu aku, kita turun bareng." sahut Alif dari kamar mandi.

Karena bosan menunggu suaminya yang tak kunjung keluar, Zahra membuka buku diarynya. Dilihatnya kembali cerita saat-saat mereka masih SMA. Dan itu membuat Zahra tersenyum malu.

Ada rasa bahagia karena do'anya dikabulkan. Tapi ada juga rasa sedih karena ternyata suaminya mencintai kakak iparnya. Dan juga rasa sesal, Zahra menyesal telah mengungkapkan perasaannya. Hal yang tak seharusnya dilakukan seorang perempuan.
Zahra menggelengkan kepalanya saat membayangkan jawaban Alif ternyata ia menikahinya hanya karena ingin dekat dengan Zalfa. Karena ia masih belum bisa merelakan Zalfa.

Setelah 5 menit berada dikamar mandi, akhirnya Alif keluar dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Dilihatnya istrinya yang tengah membelakanginya, sambil geleng-geleng kepala membuat Alif penasaran. Setelah memakai bajunya ia menghampiri Zahra. Ia melihat Zahra tengah membaca buku dengan tulisan tangan. Sambil tertawa kecil. "mungkinkah itu diarynya?" pikir Alif.

"kamu baca apaan sih? Kok sampai geleng-geleng gitu?" ujar Alif sambil menaruh kepalanya dibahu Zahra.

Zahra terkejut, ia langsung menutup bukunya. Lalu ia masukkan kedalam laci nakasnya. "jangan sampai Alif baca buku diaryku." batin Zahra.

"oh. Udah siap? Turun yuk." ucap Zahra mengalihkan pembicaraan. Ia segera menarik tangan suaminya untuk keluar kamar. Alif hanya manut saja. Ia tersenyum di belakang Zahra. Dilihatnya tangan Zahra yang menggenggam erat tangannya.

Panitia reunian sudah memenuhi ruang tamu rumah zahra. Mereka girang saat menyambut kedatangan pengantin baru yang baru saja keluar menemui mereka.

"hey! Pengantin baru, lama banget sih dikamarnya? Nggak takut batal apa puasanya?." celetuk Amri sembari menghampiri Alif. Alif hanya tersenyum.

Zahra melepas genggaman tangannya saat Amri tiba-tiba menubrukkan dirinya pada Alif. Zahra menghampiri teman perempuannya. Ia duduk tepat di sebelah Indah.

" akhirnya sah juga ya kalian. Lega deh rasanya. Tapi ada gemesnya saat jadi saksi mata kisah kalian. Ada rasa nggak nyangka juga sih. Kalau jodoh memang tak akan kemana ya." ujar Indah. Semua temannya mengangguk. Mereka memang masih tak menyangka Alif dan juga Zahra kini telah sah menjadi suami-istri.

Mereka pun membicarakan tentang acara reunian yang juga dijadikan acara resepsi untuk Alif dan juga Zahra. Sehingga masalah pembiayaan akan diambil alih oleh Alif. Dan uang yang masuk untuk anggaran acara, akan mereka sumbangkan kepada panti asuhan yang sudah ditentukan.

Setelah selesai satu persatu dari mereka berpamitan. Tersisa Indah dan juga Carla yang masih duduk santai di ruang tamu. Mereka masih enggan untuk beranjak. Padahal sang pengantin laki-laki juga sudah undur diri untuk istirahat dikamar. Mereka tengah asik mengobrol. Hingga keluarlah curhatan Zahra yang selama beberapa hari ini ia pendam sendiri.

"sepertinya mas Alif mencintai kakak iparku." bisik Zahra. Carla dan juga Indah terkejut bercampur bingung. Keduanya menuntut penjelasan. Zahra pun menceritakan kejadian saat ia bisa mengambil kesimpulan bahwa Alif, suaminya, mencintai kakak iparnya yang juga sahabat Alif dari kecil.

Carla dan juga Indah masih tak percaya. Mereka menasehati Zahra untuk tidak berprasangka buruk pada suaminya sendiri.

Zahra menunduk. Saat ingat kata-kata Alif pada Bian, membuat hatinya terasa nyeri.

***
Di kamar. Alif tengah melihat-lihat seisi kamar Zahra. Ia tersenyum, ia baru menyadari kalau ternyata istrinya itu sangat suka warna biru. Itu bisa ia lihat dari cat kamarnya yang berwarna biru, seprei, bedcover, dan masih banyak lagi yang ada di kamar itu berwarna biru.

Saat matanya menjelajahi isi ruangan. Matanya menangkap sebuah bingkai yang bukan berisikan foto. Melainkan sebuah tulisan. Alif menghampiri bingkai yang terpasang di sebelah kiri tempat tidurnya.

Alif membaca puisi tersebut. Ia tersenyum setelah mengingat puisi itu buatan dirinya, beberapa tahun yang lalu. Tepatnya saat ia masih SMA. Puisi itu ia berikan pada Zahra, agar Zahra tak kena hukuman.

"kamu masih nyimpen ini?" gumam Alif, masih terus memandangi bingkai dihadapannya.

"apa waktu itu, kata temen-temen itu benar? Kamu menyukaiku dari saat kita kelas satu?"

"maafkan aku sayang. Karena sudah terlambat menyadari kalau aku mencintai kamu dari dulu. Tapi mungkin memang ini takdir kita. Beginilah cara-Nya untuk mempertemukan kita. Setelah kita dipisahkan beberapa tahun. Sekarang aku janji pada diri aku sendiri. Kamu akan jadi wanita satu-satunya yang aku cintai setelah ibuku dan sodara perempuanku."

Tbc.

Mau tamatin kok sayang yah...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top