35. lamaran

Seperti yang sudah dijanjikan kemarin. Kini keluarga Alif tengah menuju ke kediaman Akbar, guna untuk melamar putrinya untuk Alif.

Jalanan yang mulai macet membuat Alif harus lebih menyetok kesabaran. Ia tak ingin terlambat. Tapi ia juga tak bisa apa-apa kecuali bersabar. Ia harus rela bersabar menunggu antrian berjalan.

Lampu warna hijau hanya menyala beberapa detik. Dan membutuhkan waktu sekitar 5 menit disetiap persimpangan jalan.

Dalam waktu normal, Alif hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk bisa sampai dirumah Zahra, tapi kini sudah 45 menit dari ia berangkat dan belum juga sampai durumah Zahra.

Alif menghembuskan nafasnya berat. Ia sudah tak sabar untuk segera sampai dirumah sang pujaan hatinya. Kalau saja ia tak ingat tatatertib itu dibuat untuk ditaati, maka sudah dari tadi ia meminta sepupunya untuk menerobos lampu merah. Selain itu ia juga ingin selamat. Jadi ia harus lebih bersabar lagi.

Setelah berjuang dengan kemacetan, kini Bowo sudah bisa melaju dengan lancar. Karena kini ia sudah memasuki kompleks perumahan tempat tinggal Zahra.

"mas Bowo ni, sengaja ya jalannya dipelan-pelanin?" gerutu Alif saat melihat laju mobil yang disopiri sepupunya berjalan lambat.

"ya ampun lif, sabar. Zahra juga nggak bakal lari kok."

"lha kalau Alif keduluan pak polisi itu gimana? Kalau dia nggak terima terus ngelamar Zahra duluan gimana?"

Bowo hanya menggelengkan kepala. Melihat Alif yang begitu khawatir jika Zahra akan diambil orang lain.

"om Alif. Berarti bu Zahra mau jadi tantenya Nay ya?" ujar Nayla menyela perdebatan papanya dengan omnya.

"iya sayang. Kamu suka?"

"iya Nay suka. Asssiiikkk bu Zahra mau jadi tantenya Nay. Terus bu Carla bakal jadi mamanya Nay. Assiiikkk.. Nay punya dua guru cantik nanti dirumah." Nayla bersorak kegirangan.

Alif mengusap puncak kepala Nayla. Setidaknya melihat polah tingkah keponakannya itu membuat Alif sedikit merasa tenang.

Tak butuh waktu lama, kini Alif sudah tiba di depan rumah Zahra. Ia turun dari mobil dengan menggendong keponakannya. Dari luar, rumah Zahra sudah ramai. Mungkin ada beberapa famili yang ingin menyaksikan saudara mereka dilamar. Fikir Alif. Dan itu membuat Alif semakin gugup. Semua kata yang ia rangkai seolah hilang. Tangannya terasa dingin. Badannya lemas. Ia berjalan dengan sedikit terseok. Dadanya semakin terasa nyeri. Tapi itu bukan berarti Alif mengidap penyakit jantung, hanya saja ia merasa jantungnya semakin berdetak kencang. Hingga muncul rasa nyeri.

"tadi pengen buru-buru sampai. Pas sampai malah diem aja." goda Bowo yang kini mengambil alih Nayla. Ia tak mau jika nanti keluarga Zahra yang lain mengira Alif sudah punya anak.

Alif merasa kesal dengan godaan sepupunya. Karena ini baru pertama kalinya ia melamar seseorang. Dulu saat masa remaja, menembak cewek aja ia tak pernah.

"assalamu'alaikum." abah Munif beruluk salam lebih dahulu.

"wa'alaikumussalam..." sahut seseoeang dari dalam.

"mari masuk. Udah ditungguin dari tadi."ucap Akbar lalu menggiring Munif serombongan untuk langsumg menuju ke ruang tengah, tempat diadakannya pertemuan dua keluarga.

Alif mengedarkan pandangannya. Tapi ia tak juga menemukan wanitanya.

"dia masih dikamar. Mungkin baru mandi soalnya tadi dia baru selesai masak." jelas Akbar saat melihat calon menantunya celingukan. Ia tahu jika Alif tengah mencari anaknya.

Alif menunduk untuk menyebunyikan rasa malunya. Ia malu sudah ketahuan sang ayah kalau ia tengah mencari anaknya.

Akbar mempersilahkan tamunya untuk duduk. Munif sekeluarga pun duduk ditempat yang ditunjuk oleh akbar sang calon besan.

"papa. Aku mau pipis." ujar Nayla tiba-tiba membuat seisi ruangan tertawa.

"biar aku aja mas yang anterin." ucap Alif langsung menarik Nayla ke kamar mandi yang sudah ditunjuk Akbar.

Kamar mandinya ternyata harus melewati dapur lebih dulu. Disana terlihat para ibu-ibu yang tengah menyiapkan makanan. Alif kembali celingukan mencari sosok Zahra. Tapi hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda Zahra ada disana. Yang ia lihat hanya Zalfa dan juga Carla.

"bu Carla.." teriak Nayla lalu berlari menghampiri Carla yang tengah sibuk memotong buah semangka.

"lhoh Nayla. Kamu ikut juga?"

"iya bu. Oh iya aku mau pipis. Cepetan udah kebelet." Nayla meringis menahan hastratnya untuk buang air kecil.

"lif. Tolong potongin. Yang anter Nayla aku aja." Carla menyerahkan pisau dapur yang tadi dipegangnya pada Alif.

Alif pun menghampiri buah semangka yang kini baru terbelah menjadi dua bagian.
Ia harus membelahnya menjadi beberapa bagian lagi. Lalu menyerahkannya pada Zalfa yang sudah menunggu untuk menyusunnya.

Setelah selesai, Alif kembali keruang tengah. Betapa terkejutnya ia saat melihat seseorang yang dari tadi dicarinya ternyata sudah duduk manis disofa berseberangan dengan tempat ia tadi duduk.

Zahra terlihat begitu cantik dengan gamis warna hijaunya. Lagi-lagi itu gamis yang Alif belikan. Alif tersenyum melihatnya. Ia juga melihat bajunya. Ia memakai batik warna hijau juga. Jadi mereka terlihat seperti menggunakan couple.

Acara pun dimulai. Dari abah Munif yang melamarkan anaknya. Lalu Alif yang kini tengah menanyai langsung Zahra. "maukah kamu menjadi penyempurna hidupku?"

Lama zahra berfikir, ia belum juga mau mengatakan iya. Walupun sebagian hatinya ingin langsung berkata iya, tapi sebagian lagi ia ingin tahu seberapa inginkah Alif mau menjadikannya istri.

"tapi aku tak sempurna." katanya. Yang langsung dipatahkan oleh alif. "aku memang tak mencari yang sempurna. Tapi aku mencari yang bisa menyempurnakan aku. Yang bisa menutupi kekuranganku dengan kelebihanmu. Dan aku pun ingin menyemournakan hidupmu dengan kelebihanku."

Zahra secara otomatis langsung merona. Ia seolah lupa kalau ia saat ini tengah kecewa dengan seseorang dihadapnnya ini.

"bissmillahhirohmanirrokhim.. Iya aku mau." jawab Zahra akhirnya.

Semua mengucapkan hamdalah secara bersamaan. Dan Alif merasa benar-benar bersyukur. Dipandanginya wanita yang telah menerima lamarannya tersebut. Tapi wanita itu menunduk, Alif tersenyum dibuatnya.

Setelah berbuka puasa kini tinggal menghitung hari pernikahan. Alif mengusulkan untuk segera. Tapi zahra ingin menikah setelah lebaran. Entah apa yang membuat zahra masih ragu pada Alif.

"nggak bisa. Kemarin kalian baru saja menikahkan Riki. Jadi harus ganti tahun dulu kalau mau menikahkan Zahra." usul kakek Zahra yang dari solo.

"niat baik itu harus disegerakan. Nggak boleh ditunda-tunda. Dan kita sebagai orang tua jagan menakut nakuti yang punya niat. Kita cukup mendoakan mereka."tutur mbah kasto menerangkan. Akhirnya kakek zahra yang dari solo pun manut.

"Aku dengar dari Riki kalau Zahra hanya ingin menikah secara sederhana. Hanya teman dekat saja yang diundang. Benar begitu? Zahra."

Zahra mengangguk.

"kamu setuju kalau nikahnya segera?" Zahra mendongakkan kepalanya saat mendapat pertanyaan dari sang kakek. Ia menatap kekuarganya satu-satu. Dan mereka semua mengangguk.
Zahra pun akhirnya ikut mengangguk. Karena rasanya tak mungkin mendebat keluarganya.

"nah kamu, Alif. Kamu siap kalau nikah dalam waktu dekat?" tanya mbah Kasto kini beralih pada Alif. Alif mengangguk mantab. Bukan karena ia terburu-buru hanya saja ia tak ingin berzina. Zina mata karena terus memandang yang tak halal. Zina pikiran karena terus memikirkan membayangkan yang belum halal.

"kalau gitu akad akan dilangsungkan lusa. Besok segera urus segala keperluannya." ucap mbah kakung final. Sudah tak ada lagi yang bisa menyangkalnya.

"sebaiknya aku cari tau alasan Alif mau nikah sama aku pas kita udah nikah aja." batin zahra.

***
Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top