32. pengungkapan rasa
"sah" kata sah menggema di mushola dan juga ruang tamu. Sesaat setelah Riki mengucapkan kalimat qobul. Kini Zalfa sudah resmi menjadi istrinya. Ucapan syukur tak henti-hentinya ia ucapkan. Akhirnya penantiannya selama beberapa hari ini sudah menjadi nyata. Zalfa, istrinya kini sudah berada di depan mata.
Berjalan dengan anggun bersama dengan sang adik dan juga bundanya. Senyum terus terukir diwajahnya. Ia benar-benar merasa bahagia. Akhirnya kini ia tak sendiri lagi. Tak perlu lagi ia menjawab serentetan pertanyaan kapan nikah dari sanak saudara saat lebaran tiba.
Disambutnya uluran tangan sang istri. Tangannya dibawa untuk kemudian dicium oleh sang istri. Darahnya berdesir hebat, jantungnya memompa kuat. Dicondongkannya tubuhnya, mendekati ubun2 sang istri. Mendoakannya lalu mengecupnya pelan dan sebentar, ia tak ingin mereka yang menyaksikan menjadi kebaperan. Karena para tamu undangan juga masih banyak yang belum mempunyai pasangan.
Kini saatnya para tamu undangan digiring untuk menyantap makan malam. Mereka kembali masuk kedalam rumah sesaat setelah melaksanakan sholat tarawih lanjut akad nikah Riki dan Zalfa.
Halaman rumah yang memang dipasang dekor pun penuh dengan tamu undangan. Ada yang datang sebelum maghrib, ada juga yang baru datang setelah sholat tarawih, tepatnya untuk menyaksikan akad nikah sang pengantin.
Zahra kini tengah sibuk membantu para sanak saudara yang tengah kerepotan menyiapkan makanan. Mengisi kembali makanan yang mungkin sudah mulai kosong.
Alif hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Ingin rasanya ia membantu Zahra saat ia melihat Zahra kesusahan dalam membawa sesuatu. Atau saat Zahra terlihat kualahan mengangkat sesuatu. Tapi mbah Kasto di sampingnya tidak mengijinkannya.
Seperti saat ini, Zahra tengah membawa tumpukan piring yang sangat banyak, karena mungkin sudah kelelahan, maka kakinya sedikit tersandung. Alif yang melihat itu langsung berdiri, tapi baru saja akan berjalan tangannya sudah ditahan. Dengan terpaksa ia harus kembali duduk. Melihat setiap pergerakan Zahra. Pandangannya tak pernah lepas dari pergerakan Zahra.
Karena merasa lelah, Zahra duduk disebuah kursi, dipijitnya pelan kaki yang terasa pegal.
Alif tak tega melihatnya. Ingin rasanya ia memijit kaki Zahra, kalau saja sudah sah. Hingga muncullah sebuah ide. Ia ingin menggoda Zahra. Karena melihat mbah Kasto kini tengah menyalami para tamu. Alif bergerak menghampiri Zahra.
"mau dipijitin nggak?"
Zahra terkejut. Ia langsung menoleh, melihat Alif berdiri tepat disampingnya, tengah melihat dirinya memijat kaki kakannya. "nggak usah, makasih."
"belum jadi makhrom sih. Jadi nggak boleh ya?"
Zahra menatap Alif. Ia berusaha mencerna kalimat yang baru saja Alif lontarkan padanya. Namun ia enyahkan. Ia tak ingin berharap.
"jangan capek-capek. Kan belum ada yang mijitin." Alif segera pergi, ia tak ingin ketahuan mbah Kasto kalau dirinya menghampiri Zahra. Ia tak ingin usahanya sia-sia karena ia harus didiskualifikasi. Ia akan tetap memperjuangkan Zahra.
"ish. Begitu perhatian di awal. Tapi nyakitin diakhir." gumam Zahra, setelah Alif pergi dari hadapannya.
"dia kan emang gitu. Dingin. Jadi setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan ngelukain."
Zahra kembali beranjak. Ia menghampiri sang kakak dan kakak iparnya, yang kini tengah menyambut kehadiran para tamu undangan yang masih berdatangan. Ada pula yang sudah berpamitan.
"aduh senengnya yang udah sah. Dempet teruuuus." celetuk Zahra begitu ia berada disamping pasangan pengantin baru.
"makanya buruan kasih jawaban iya, biar bisa kayak kita." Riki merengkuh bahu sang istri. Ia ingin menunjukkan pada Zahra kalau dirinya kini telah halal melakukan apa saja yang tadinya diharamkan.
"emang aku bisa jawab tidak?" jawab Zahra mengingat dirinya tak bisa berbuat apa apa. Kerena pernikahannya sudah diatur oleh mbah kakungnya.
Zahra melihat kearah Alif yang duduk sendiri sambil memainkan ponselnya. Alif terlihat begitu murung. Entah apa yang membuatnya seperti tak bahagia. Zahra terus menatapnya. Tatapannya begitu dalam. Hatinya pun kembali bimbang. Harus bagaimanakah ia? Mengejar cintanya? Atau merelakannya?
"kalau memang akan berakhir dengan perpisahan lagi, kenapa kami dipertemukan? Kalau akhirnya kita tak bisa bersama, kenapa rasa ini masih ada? Haruskah aku jujur padanya? Haruskah aku ungkapkan rasa? Haruskan aku bilag padanya kalau aku mencintai dia? Tapi apa itu bisa merubah semua? Keputusan tetap berada di tangan mbah kakung. Sepertinya yang terbaik, memang aku harus merelakannya." batin Zahra berkecamuk. Sebagian dirinya ingin mengungkapkan rasa. Tapi sebagian lagi, ingin merelakannya. Entah mana yang akan ia terima.
"ngliatinnya nggak usah sampai begitu banget kali Ra."
Zahra terkejut, ia tertangkap basah lagi saat memandangi Alif.
"ah. Carla." Zahra mengubah posisinya.
"ungkapin aja kenapa sih Ra?"
"itu nggak akan berpengaruh apa-apa." Zahra terlihat lesu.
"tapi setidaknya kamu bisa lega. Dan dia bisa tahu perasaan kamu selama ini. Kamu bakalan nyesel kalau kamu nggak ungkapin perasaan kamu sekarang. Udah cepetan. Pumpung orangnya juga lagi sendirian." Carla menarik tangan zahra. Memaksanya untuk berdiri. Setelah itu ia mendorongnya supaya bisa menghampiri Alif.
Dengan langkah yang lesu, Zahra menghampiri Alif. Perasaanya tak yakin. Tapi sudah terlajur, karena kini ia sudah berdiri di depan Alif.
Alif mendongak saat melihat bayangan didepannya. Ia segera memasukkan ponselnya sembari menyembunyikan senyumnya kala tahu Zahra lah yang menghampirinya.
"emm... Lif, kita bisa bicara sebentar?" ucapnya dengan sedikit gugup, ralat. Bukan hanya sedikit, tapi banyak. Tangannya terasa dingin. Kakinya lemas. Seolah tak mampu menopang berat tubuhnya.
"Silahkan." jawab Alif singkat. Karena ia pun gugup. Jantungnya berdetak tak karuan setiap berada di dekat Zahra. Dan sekarang Zahra ingin mengajaknya bicara? Tentang apa?
"em. Aku. Em. Itu. Em." lidahnya terasa kelu. Haruskah ia melanjutkan? Apakah pantas seorang wanita mengungkapkan perasaannya pada seorang lelaki?
Alif menunggu kata-kata yang akan keluar. Dengan seksama ia mendengarkan. Namun hanya kata aku. Dan em saja yang saat ini Zahra katakan.
"itu, Lif. Sebenernya. A. Aku. A. Ada. Ra. Rasa sa. Sama..." Zahra kembali berbicara. Tapi kali ini ia menirukan gaya bicara Aziz gagap. Karena ia terlalu gugup.
"... Kamu." lanjutnya. Lalu berlari. Ia tak sanggup melihat wajah Alif. Dan juga ia tak sanggup mendengar tanggapan Alif.
Zahra bersembunyi di balik tembok di belakang Alif. Sehingga ia tidak tahu ekspresi Alif yang kini tengah melongo karena mendapatkan pengakuan cinta dari gadis yang ia cinta.
Saat telah menyadarinya, senyum merekah pun tercipta di bibirnya. Wajahnya menyiratkan bahwa ia tengah bahagia. Ternyata gadisnya juga mencintainya. Maka ia harus memperjuangkannya. Ia tak rela gadisnya menjadi istri orang lain. Zahra harus menjadi istrinya. Tekadnya dalam hati.
Alif menekan dadanya yang kini terasa nyeri karena jantungnya yang bekerja terlalu kuat. Darahnya berdesir hebat. Kakinya seakan lemas. Berkali-kali pula ia menggelengkan kepalanya. Memastikan kalau yang terjadi barusan itu nyata.
"mas Alif gimana sih? Kenapa rencana kita nggak kita lanjutin? Rencana buat gagalin pernikahan mbak anin sama mas Riki? Emang mas Alif nggak ada rasa sama mbak Anin?" teriak seseorang sambil menggoncangkan bahu Alif.
Alif masih belum fokus. Ditelinganya masih terniang suara Zahra yang menyatakan perasaannya padanya. Kalimat terbata itu masih terus berbutar.
"mas Alif?" bian menepuk bahu Alif sedikit keras. Membuat Alif segera tersadar.
"iya ada apa?"
"mas Alif nih gimana sih? Kok nggak jadi gagalin nikahannya mbak Anin sih? Mas Alif cinta kan sama mbak Anin? Mas alif rela mbak Anin sama mas riki? Mas alif nggak mau gitu perjuangin mbak Anin? Mereka cuma dijodohkan loh mas. Mbak Anin nggak suka sama mas Riki." bian terus saja nyerocos. Alif menghela nafas. Ia bingung harus menjelaskan bagaimana sama Bian.
"Bi... Lihat deh, Anin kelihatannya gimana? Bahagiakan? Kamu salah kalau Anin nggak suka sama mas Riki. Lihat deh senyumnya dia. Dia bahagia Bi. Jadi aku juga akan bahagia kalau Anin bahagia. Tak perlu kita bersama untuk membahagiakan dia. Iya kan?" jawab Alif menjelaskan. Ia berharap penjelasannya bisa membuat Bian mengerti.
"lagi pula. Sebenernya ada seorang gadis yang mas Alif suka dari dulu. Tapi mas Alif baru sadar belum lama ini. Kamu kenal Zahra kan? Adiknya mas Riki? Mas dijodohkan sama dia. Dan mas juga mencintai dia. Jadi yang saat ini patut mas perjuangkan itu ya Zahra. Yang insyaAllah jodoh mas. Gadis yang mas cintai." Bian terdiam. Ia tak tau lagi harus berkata apa. Obsesinya ingin memiliki saudara seperti Alif membuatnya tak menyadari senyum bahagia dari sang kakak.
***
Bersambung..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top