31. buka puasa pertama
Suara jangkrik yang berderik malam ini, membuat Alif begitu nyaman diposisinya saat ini. Sudah 2 jam ia belum beranjak dari tempatnya ia duduk. Sepulang dari melaksanakan sholat tarawih, lanjut tadarusan. Alif memang langsung duduk di bangku taman, halaman rumah Bowo.
Alif merenungkan apa yang beberapa hari ini ia jalani. Ia kembali memutar ingatannya. Sudahkah ia melakukan hal yang benar? Bagaimanakah penilaian mbah Kasto terhadap dirinya? Sudah pantaskah ia mendampingi Zahra? Bagaimana kalau ternyata pak polisi itu lah yang berhasil memenangkan hati mbah Kasto?
Dengan segala macam pertanyaan yang ada diotak Alif tersebut, membuatnya hanya bisa menghela nafas. Dari sekian pertanyaan ia tak mengetahui jawabannya. Dan itu juga membuatnya semakin merasa pesimis. Saat ada pertandingan, sudah pasti ada yang kalah ada yang menang. Dan dipertandingan kali ini, pemenangnya adalah seseorang yang memang pantas untuk mendampingi hidup Zahra.
"kok galau aja sih, bro?" Bowo menghampiri Alif, lalu duduk disebelahnya.
Alif semakin memperkeras suara helaan nafasnya. Ia ingin melepaskan bebannya.
"emangnya kapan pengumumannya?"
"setelah kak Riki nikah." jawab Alif sambil memandangi bintang yang seolah berkedip padanya.
"nikahnya besok kan?"
Alif hanya mengangguk.
"ayolah, Lif, jangan pesimis. Harus yakin. Kamu tahu? Bahkan ujian aku jauh lebih berat. Kamu, hanya dinilai kakeknya. Aku? Semua anggota keluarganya menilaiku." ujar bowo memberi semangat pada adik sepupunya. Mendengar perkataan Bowo tentang ujian yang lebih berat membuat Alif terkejut. Ia langsung menoleh ke kakak sepupunya yang kini mendongakkan kepalanya.
"Mereka awalnya tak percaya padaku, hanya karena aku pernah gagal menikah." lanjut Bowo diakhiri dengan helaan nafas.
"tapi sekarang, alkhamdulillah sudah berjalan lancar." lanjutnya lagi. Sementara Alif, hanya melongo. Ia begitu terkejut dengan pengakuan kakak sepupunya.
"maksudnya?"
"aku sudah melamar Carla." ucap Bowo mantab, lalu ia tersenyum.
Alif mengedipkan matanya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Bowo. Kapan mereka mulai dekat? Kenapa kakak sepupunya itu tidak cerita padanya? Kapan melamarnya? Dan masih banyak lagi. Tapi sebelum ia melontarkan pertanyaan, Bowo lebih sigap.
"awal kita deket itu, pas kamu nggak bisa jemput Nayla. Terus kita sering chattingan. Terus pernah nggak sengaja ketemu dan berakhir aku nganterin dia pulang. Terus pas kamu ngasih saran ke aku soal Sinta itu, aku udah dapet nasehat dari dia." Bowo tersenyum kala mengingat cerita dirinya dengan Carla.
"pas kita udah makin deket, ternyata Sinta nggak setuju, bahkan yang buat aku semakin terpuruk, keluarganya nggak setuju. Aku bisa ngerti sih, mana ada orang tua yang rela anak perawannya nikah sama duda. Tapi setelah kami yakinkan. Mereka sekarang udah setuju. Dan maaf nggak cerita soal ini ke kamu, soalnya aku tau masalah kamu juga sangat banyak. Dari kasus perjodohan, masalah Anin kembali, lalu masalah kantor yang si Yudha makai duit perusahaan itu. Dan juga masalah hati kamu dengan Zahra. Aku nggak mau nambahin beban kamu." Bowo menyelesaikan penjelasannya sembari menepuk pundak Alif.
"Sebenernya aku pengen marah sih mas sama kamu, kita udah kenal berapa lama sih? Saat kita masih pakai popok pun kita udah jadi sodara loh mas. Ah tidak. Bahkan di darah kita, mengalir darah yang sama. Kita keturunannya mbah Gino. Tapi, alkhamdulillah, kalau cinta mas Bowo bisa berakhir happy ending. Aku ikut bahagia. Semoga saja kisahku juga ya mas."
"Aaamiiiiin..."
"sudah. Sudah malam, kamu cepet tidur, besok sahurnya biar nggak telat." Bowo bangkit dari duduknya. Ia menepuk pelan pundak Alif sebelum beranjak pergi meninggalkan Alif yang kini kembali sendiri, kembali menatap kelangit. Dan berdoa dari dalam hati. "jika memang Zahra jodoh hamba, mohon dilancarkan ya Allah. Aaamiiiiin."
Setelah mengamini sendiri doanya. Alif masih belum juga beranjak dari tempat duduknya. Ia merogoh ponsel yang sedari tadi ia non aktifkan. Ia menekan tombol power pada pobselnya. Ponselnya pun nyala. Tak lama setelah itu, ponselnya berbunyi beberapa kali. Bahkan sampai seperti menggoreng jagung.
Notifikasi dari aplikasi whatsapp. Pesan dari grup panitia reuni. Ada 123 pesan yang belum ia baca. Dan nama Zahra yang berada di paling atas. Artinya zahra yang memulai percakapan.
Assalamu'alaikum teman2. Maaf nih ganggu kalian yang mungkin masih tadarusan. Aku disini hanya mau ngasih undangan yang belum sempat aku bagikan. Mhon maaf banget kalau ngundangnya cuma lewat pesan. Tapi semga kalian berkenan hadir di acara pernikahan. Besok sore, sekalian buka puasa bareng.
Dibawahnya ada banyak sekali balasan. Ada yang meminta maaf karena tidak bisa datang. Ada juga yang menanyakan alamat rumah zahra. Bahkan ada yang menanyakan siapa yang menikah. Alif memukul pelan kepalanya. "kenapa Zahra lupa nggak kasih tau siapa yang nikah sih?" gumam Alif.
Akhirnya ia berniat untuk menjawab pertanyaan temannya itu. Karena Zahra hanya muncul satu kali. Hanya untuk menyampaikan undangan, selebihnya hanya diisi nama Amri, Irfan dan lainnya.
Tapi belum sampai dikirim. Ia teringat akan pesan dari mbah Kasto. "jangan pernah hubungi Zahra dulu. Apalagi kalau sampai bertemu Zahra. Kamu akan saya diskualifikasi." ucap mbah Kasto kala itu.
"tapi kan ini aku chattingan sama Amri. Aku kan jawab pertanyaannya Amri. Iya. Aku cuma jawab pertanyaannya Amri." gumam Alif meyakinkan diri jika yang dilakukannya tidaklah salah. Ia tak melanggar aturan yang dibuat mbah kasto.
Yang nikah kakaknya Zahra.
Kak Riki.
Kirim.
Akhirnya pesan itu pun ia kirim. Dengan sangat cepat Amri kembali membalas pesan Alif. Seberti biasanya, Amri kembali menggoda Alif, karena Alif tahu tentang pernikahannya kakak Zahra. Tak mau kembali meladeni Amri, Alif pun kembali mematikan ponselnya.
Alif kini beranjak dari tempatnya. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Langkahnya menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ia hendak istirahat karena tak mau kesiangan hingga harus melewatkan waktu sahurnya.
****
Hari telah berganti hari. Kini sudah tiba saatnya yang riki nanti-nanti. Dimana dalam hitungan jam, ia akan menjadi seorang suami, ia akan memiliki istri. Istri, bukan hanya pilihan orang tua tetapi juga pilihan hati.
Dengan menggunakan pakaian serba putih. Riki akan melangsungkan akad nikah dirumahnya. Dikarenakan Zalfa yang kini sudah berdomosili di jogja, jadi keluarga memutuskan untuk acara ijab qobulnya dilaksanakan di rumah Riki. Sedangkan dijogja akan mengadakan resepsi sendiri setelah hari raya idhul fitri.
Riki menyegarkan badannya dengan mandi, kini ia mulai mengenakan pakaiannya yang sudah disiapkan oleh Zahra. Pakaian serba putih itu sudah tertata rapi di tempat tidurnya.
Ia harus segera siap untuk menyambut para tamu undangan yang akan datang menjelang adzan maghrib.
Riki sudah memakai bajunya. Kini ia tinggal merapikan rambutnya, lalu menggunakan peci putih yang sudah disiapkan Zahra bersama dengan bajunya.
Riki melihat jam tangan yang melingkar ditangan kirinya. Sudah pukul 16.30. Sebentar lagi bapak penghulu dan juga calon istrinya akan segera datang.
"kak Riki udah siap belum, kalau udah langsung kebawah ya?" teriak adik tercintanya dari luar kamar. Ia pasti tahu kalau kakaknya tengah siap-siap.
"iya..." balasnya juga dengan berteriak.
Setelah memastikan kembali tampilannya. Kini Riki sudah siap. Ia keluar kamar, suasana rumahnya kini semakin ramai. Sanak saudaranya berkumpul untuk menyaksikan pernikahannya. Bahkan om Rahmat, adik dari ayahnya yang kini tinggal di Aceh, menyempatkan untuk hadir.
"hey mas rik. Nanti jangan gugup ya. Ucapin dalam satu tarikan nafas." ujar seprang pria yang menggunakan batik kembaran dengan anggota keluarga lainnya. Ia adalah Rokhim, anak dari om Rahmat.
Riki hanya mengangguk. Baru membayangkannya saja sudah membuatnya gugup apalagi nanti saat menghadapinya. Tapi ia mencoba untuk tersenyum saat menyalami para tamu undangan.
Tepat lima menit sebelum adzan dikumandangkan, Zalfa beserta rombongan telah tiba. Dengan mengenakan gamis berwarna putih, Zalfa terlihat begitu cantik dan anggun. Zalfa digiring lebih dulu ke kamar Zahra. Supaya tidak bertemu dahulu dengan sang pengantin pria.
Ijab Qobul akan dilangsungkan setelah sholat maghrib dan berbuka. Alif, dimintai tolong untuk mengumandangkan adzan.
Para tamu undangan langsung menyantap hidangan pembuka, berupa air putih untuk membatalkan puasa. Ada juga snack untuk mengganjal perut.
"Ra, anterin air putih buat yang adzan tadi ya." perintah mbah kakung saat Zahra melintas dihadapannya.
Zahra hanya mengangguk. Ia segera bergegas menuju ke mushola, ia tak ingin seseorang yang bertugas untuk adzan tadi telat berbuka.
Dilihatnya seseorang dengan batik warna biru serta peci hitam itu kini sudah menyelesaikan adzannya. Walau dari jauh, Zahra tau kalau itu Alif. Zahra sempat terkejut, karena ia tak berfikir kalau Aliflah yang adzan. Karena ia terlalu sibuk, jadi ia tidak begitu memperhatikan nada adzannya.
"buka dulu, Lif." ucap Zahra sembari menyodorkan nampan berisi air putih dan juga tiga buah kurma.
Tak segera menerima nampannya, Alif malah terpesona akan penampilan Zahra petang itu.
Di bibir Alif tercetak sebuah bulan sabit. Dipandangnya gadis di depannya. Sembari mengucapkan doa. "semoga kau lah orang yang akan selalu menyiapkan segala kebutuhanku. Semoga air putih ini menjadi yang pertama." Alif kembali tersenyum, sementara Zahra terus menunduk, ia tak tahu jika Alif saat ini tengah tersenyum kepadanya.
"kamu udah buka?" tanya Alif lalu mengambil nampan yang sedari tadi ada ditangan Zahra.
"aku lagi nggak puasa." jawab Zahra singkat, ia terlalu gugup berada di dekat Alif. Jantungnya berdetak lebih cepat, sama sekali tidak berubah. Dari jaman masih memakai seragam putih abu-abu. Sampai sekarang.
"oh. Kalau gitu bantuin abisin kurmanya ya. Ini yang satu buat kamu." Alif menyodorkan piring kecil berisi satu kurma. Karena Alif sudah memakannya yang satu, dan satunya lagi sudah ia ambil.
Awalnya zahra hendak menolak. Tapi Alif memintanya untuk memakannya. "kamu udah kasih aku air putih, jadi gantian aku kasih kamu kurma."
"itu sudah jadi kewajiban aku kok." jawab Zahra, yang membuatnya langsung salah tingkah karena mendengar tawa kecil dari Alif.
"ma. Maksudnya. Kan. A. Aku. Disini tuan rumah."
"iya nyonya... Alif." jawab Alif yang melanjutkan didalam hati saat menyebutkan namanya.
"udah ambil gih. Kasian tuh, kurmanya nggak ada yang makan."
Tak mau berdebat lebih panjang lagi, Zahra pun segera mengambil sisa kurmanya. "makasih." ucapnya setelah memakan kurmanya. Ia masih terus menunduk. Ia terlalu malu untuk menatap Alif.
"seharusnya aku yang makasih. Makasih ya, udah mau nganterin ini."
Zahra mengangguk. Lalu ia pun pamit undur diri. Ia hendak kembali kedalam rumah.
Alif tersenyum. Ia begitu bersyukur abahnya menjodohkan dirinya dengan Zahra. Seorang gadis yang ternyata dari dulu sudah menarik perhatiannya.
"ini adalah awal kita berbagi." senyum Alif belum juga luntur. Ia terlalu bahagia. Ia mengusap dadanya yang berdetak tak karuan. "kenapa kamu gemesin banget sih. Kalau lagi bersemu gitu." gumamnya.
Alif kembali tersenyum. Ini adalah buka puasa pertamanya bersama zahra. Dan ia berharap akan ada buka puasa selanjutnya yang akan ia lalui bersama zahra.
****
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top