30. terjawab
Suara burung yang berkicau indah seolah mereka tengah mengobrol. Lalu matahari yang mulai memunculkan sinarnya dilangit. Menjadikan langit timur berwarna orange. Membuat Zahra malas untuk beranjak dari duduknya. Obrolan dengan mbah kakungnya semalammasih terniang jelas ditelinganya.
Berkali-kali kata demi kata yang yang diucapkan mbah kakungnya kembali berputar diotak Zahra. Berkali-kali pula Zahra mengambil nafas dalam dalam. Pasrah. Atau lebih tepatnya mencoba menerima semua ide gila mbah kakungnya. Anggota keluarga yang lain tidak ada yang berani menentangnya.
Zahra merasa harus memulai mengubur rasa cintanya pada Alif. Cintanya dari semasa SMA. Mungkin ia memang tidak berjodoh dengan Alif.
Zahra mengambil buku diary yang dari dulu hanya berisikan kisahnya dengan satu orang, yang bernama Alif.
Dibukanya kembali lembaran yang menceritakan dirinya dengan Alif kala masih SMA.
Dibuku yang tebal itu semua berisi kisahnya dengan Alif. Hanya sisa dua lembar.
Ia pun segera mengambil bolpion. Menuliskan isi hatinya saat ini.
Untuk seseorang, yang namanya pernah ku sebut dalam do'a.
Kenapa sangat sulit untuk melupakanmu?
Kenapa bayangmu tak mau hilang dari ingatanku?
Bahkan wajahmu tak pernah absen,
Selalu muncul dalam mimpiku.
Jika kamu sudah bahagia,
Lalu kenapa harus aku yang terluka?
Jika kamu tak pernah punya rasa,
Kenapa dulu kau selalu memberiku tatapan mata?
Kini ku berharap kau pergi
Jika memang kita tak bisa bersama
Pergi membawa semua mimpi
Mimpi yang selalu ada kamu didalamnya.
Dengan berat hari Zahra menutup buku diarynya. Karena itu juga berarti ia akan menutup kisahnya bersama Alif. Mengakhiri cinta dalam diamnya bersama Alif.
Tak terasa air matanya menetes. Dadanya terasa sakit. Sesakit-sakitnya.
"Zahra..." teriak seseorang yang sangat ia kenal.
Ya. Carla. Sahabatnya. Ia datang disaat yang tepat. Disaat Zahra memang tengah membutuhkan sandaran.
Carla masuk ke kamar dengan wajah yang ditekuk. Langkahnya cepat. Ia segera menghampiri Zahra lalu ikut duduk di kursi panjang di depan jendela.
"ada apa?" tanya Zahra.
"aku lagi kesel. Liat nih. Aku tadi lagi nyari-nyari foto. Eh nemu foto ini. Kesel deh." Carla bersungut-sungut. Lalu menunjukkan foto yang ia maksud.
"lhoh bukannya ini fotonya pak Bowo? Papanya Nayla kan?" Zahra terkejut.
"iya. Ngeselin tau nggak sih. Kenapa coba dia nyimpen foto kayak gini? Dia bukan mantan istrinya loh. Terus mereka lagi di mana coba? Kok ada salju-saljunya gitu? Atau mereka lagi liburan bareng?" cerocos Carla membuat Zahra mengerutkan keningnya. Segitu ngefanskah Carla pada sepupu Alif itu?
"udah tahu sekarang udah punya calon istri. Ngapain foto ini masih disimpen aja?" lanjut Carla semakin membuat Zahra bingung.
"kenapa kamu marah-marah gini? Tunggu deh. Calon istri? Pak Bowo mau nikah? Sama siapa? Kok kamu tau?" sekarang giliran Carla yang dihujani pertanyaan oleh Zahra.
Carla malah menunjukkan deretan giginya yang rapi. Ia lupa kalau dirinya belum cerita tentang kedekatannya dengan Bowo. Bahkan Bowo sudah melamarnya. Carla memang tidak menceritakan kisahnya karena memang tidak ingin menambah fikiran sahabatnya. Karena kisahnya dengan Bowo tidaklah berjalan mulus. Banyak sekali tantangan yang harus ia hadapi. Mulai dari keluarga Carla yang tidak setuju karena Bowo seorang duda beranak satu. Dan masih banyak hal lain yang menjadi tantangan mereka.
Carla berfikir, mungkin ini saat nya ia bercerita. Kisahnya yang berawal dari saat ia menelfon Bowo. Lalu berlanjut lebih intens lagi. Dan juga rintangan dari keluarganya. Mantan istri Bowo. Anak Bowo. Dan orang-orang yang naksir Bowo. Sekarang Carla menceritakan semuanya.
"ya Allah... Jadi kamu ngalamin ini semua? Dan kamu nggak cerita sama aku?"
"maafin aku. Aku nggak mau nambahin beban kamu."
"kita sahabatan udah berapa lama sih? Aku kecewa sama kamu. Tapi aku juga ikut seneng. Akhirnya sahabat aku bisa nemuin jodohnya."
Zahra memeluk erat sahabatnya. Ia bersyukur. Walaupun tantangan yang harus dihadapi Carla dan Bowo berat. Tapi akhirnya mereka bisa bersama. Tidak seperti kisahnya dengan Alif. Yang harus berakhir sedih.
Mungkin kisahnya akan happy ending saat bersama pilihan orang tuanya.
***
Suara klakson mobil maupun motor yang bersahutan mewarnai pagi hari Alif kali ini. Sudah pukul sepuluh tapi jalanan belum juga sepi. Setelah meliburkan karyawannya kemarin, karena hari pertama puasa. Kini Alif sudah harus kembali melakukan aktifitasnya.
Rencana awal ia akan ke kantor setelah pulang dari rumah abahnya. Tapi rencana itu batal karena ternyata ada anak buahnya yang menelfon, ada seseorang yang tengah mencarinya.
Alif beristighfar berkali kali untuk menghilangkan semua beban di dalam fikirannya.
Semalam ia menginap dirumah abah, ia ingin puasa pertama ia bersama abah dan juga ibu nya.
Tapi ternyata ia mendapatkan kabar yang sedikit membuatnya senang di awal. Alif mempunyai pesaing, ternyata seseorang yang abahnya ingin menjadikannya mantu, ada juga yang menginginkannya. Awalnya ia ingin menyerah saja sehingga ia bisa memperjuangkan Zahra. Tapi ternyata kakek dari sang calon istri tersebut ingin mengenalnya. Dan abahnya tidak mau Alif menyerah. Ia ingin anaknya memperjuangkan calon istri rekomendasi darinya.
Setibanya di kantor. Alif melihat yudha tengah menunduk, dihadapannya ada seorang kakek-kakek dengan baju batik dan celana kain.
"Bos macam apa? Jam segini belum datang? Mentang-mentang usahanya sudah maju jadi dia bisa seenaknya aja masuk kantor? Cepet panggil bos kamu. Suruh segera ke kantor." terdengar jelas ditelinga Alif. Yudha dibentak-bentak.
"Assalamu'alaikum... Maaf ada apa ya."
"Wa'alaikumussalam.." kakek itu berbalik. Mendengar ada seseorang mengucapkan salam di belakangnya.
"Lho kamu..."
"Lho... Kakek..."
Ucap mereka berbarengan. Alif terkrjut mendapati kakek Zahra berada dikantornya. Terlebih lagi kini ia tengah memarahi karyawannya.
"Jangan ikut campur." bentak mbah Kasto pada Alif.
Mbah Kasto kembali melihat kearah Yudha. "cepat telfon bos kamu."
"Maaf kek. Itu bos saya." jawab Yudha sambil menunjuk Alif dengan tangannya.
"Siapa? Dia?"
"Oh, jadi kamu bosnya. Mentang mentang usahanya udah maju terus kamu bisa seenaknya gitu?" mbah Kasto tersenyum meremehkan Alif.
Alif mengambil nafas panjang. Jangan sampai ia menanggapi kakek dari gadis incarannya ini dengan emosi.
"maaf kek. Tadi saya ada kepentingan keluarga jadi saya masuk siang." ujar Alif membela diri.
"Kita ke dalam aja kek." ajak Alif. Ia berjalan lebih dulu ke sebuah ruangan yang tertutup. Ia mengajak ke ruang kerjanya.
Sesampainya di depan pintu Alif membukakan pintu lalu mempersilahkan mbah Kasto masuk lebih dahulu.
"Silahkan duduk, kek."
Mbah Kasto duduk di sofa yang ditunjuk Alif. Sedangkan Alif meletakkan tasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya ia duduk dihadapan mbah Kasto.
"Oh, jadi kamu yang akan jadi suami cucu saya?" tanya mbah Kasto dengan sinis.
Alif bingung mendapat pertanyaan itu. Karena ia merasa belum melamar Zahra. Tapi kenapa kakeknya Zahra sudah mengklaim bahwa dirinya calon suami Zahra.
"Maaf kek. Maksudnya?"
"Kamu anaknya Munif kan?"
"Iya kek. Kok kakek bisa tau?"
"Yang pertama panggil mbah saja. Kedua. Bapak kamu sama anak saya sudah berencana untuk menjodohkan kamu dengan cucu saya."
Alif terkejut. Ia belum bisa bahagia. Ia masih terlalu bingung dengan kenyataan yang baru saja ia dengar.
Benarkah Zahra? Gadis yang akan dijodohkan dengannya itu Zahra? Gadis yang selama ini membuatnya bimbang adalah Zahra? Gadis yang mengharuskan ia memilih ternyata ada satu. Itu artinya tidak lagi ada pilihan. Ia harus memperjuangkannya bukan? Ia harus menarik kata-katanya kala abahnya memintanya untuk memperjuangkan gadis pilihannya ia malah akan mundur. Tidak. Dia tidak bisa mundur. Ia akan maju.
Menyadari keyataan itu membuat Alif tersenyum bahagia. Pertanyaan yang selama ini ada di otaknya. Terjawab sudah. Dan jawabannya adalah Zahra.
"Kamu jangan seneng dulu." kata mbah Kasto saat melihat Alif tersenyum.
"Kamu sudah mendengar cerita dari bapak kamu kan?" Alif hanya mampu mengangguk. Ia ingat ada kandidat lain yang akan menjadikan Zahra istri.
"kamu tahu? Keputusan saya biasanya akan menjadi keputusan keluarga." Alif kian menundukkan kepalanya dalam.
"saya punya kandidat lain. Dan orangnya yang kemarin kita keremu itu."
Alif mengingat. Polisi yang menjadi imam dengan suara merdu itu yang menjadi pilihan dari mbah Kasto.
"kamu jangan berkecil hati dulu. Karena saya sudah memutuskan untuk mencoba mengenal kamu lebih dalam lagi."
"kenal apa lagi? Sudah pasti pilihannya jatuh pada pak polisi itu. Bertemu denganku saja kesan pertamanya sudah jelek." batin Alif. Ia menjadi merasa tidak percaya diri. Ada rasa tidak mungkin untuk mendapatkan Zahra.
"kamu setuju kan?"
Alif hanya bisa mengangguk. Ia pasrah. Karena tidak mungkin juga ia menolak. Biarlah kesan berikutnya akan seperti apa.
"Syaratnya. Kamu jangan temui Zahra dulu."
Lagi-lagi Alif mengangguk.
"ya sudah sekarang kamu lanjut kerja. Anggap saja saya tidak ada disini." ucap mbah Kasto saat ia berdiri. Bersiap untuk meninggalkan ruangan Alif. Walaupun ia ingin mengawasi Alif tapi tidak mungkin juga ia mengganggu pekerjaan Alif.
Sepeninggalan mbah kasto, Alif bisa bernafas lega. Ia mengucapakan hamdalah. Lalu ia berdoa untuk dilancarkan segala usahanya untuk bisa mencari istri yang terbaik untuknya.
****
Bersambung.
Ternyata masih belum tamat..hhe
Masih ada beberapa part lagi..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top