23. cerita nenek
"loh Adit...." Zahra terkejut saat mendapati siapa yang duduk dihadapannya.
"Kalian udah saling kenal?" tanya Alif heran.
"Iya mas, jadi mbak Zahra ini anak dari temennya mama. Kita juga udah beberapa kali ketemu. Karena orang tua kita yang sering banget ketemuan. Mereka dulu sahabatan waktu SMA katanya." Adit menjelaskan. "Ya Mbak?" kemudian bertanya pada Zahra hanya sekedar untuk memperkuat ceritanya.
Zahra mengangguk.
Jawaban dari Adit membuat Alif jadi berspekulasi sendiri. Pikirannya terbang jauh, mengingat sesuat.
"Anak dari sahabat. Udah sering ketemu. Dijodohin orangtua. Sama anak teman orangtuanya. Kok pas ya? Apa iya mereka...." Alif mengingat kata-kata yang terekam dalam ingatannya. Membuatnya merasakan sedikit rasa sakit yang tiba-tiba menyerang dadanya, saat ia memikirkan kenyataan bahwa Adit dan Zahra .... Bahkan ia tak sanggup mengucapkannya meski didalam hatinya.
"Kalian kok bisa kenal?" kini giliran Zahra yang bertanya. Dan itu membuat Alif tersadar dari lamunannya.
"Iya mbak. Awal kenal itu pas aku mau buka resto ini. Aku kan pesen semua kebutuhan resto dari kak Alif. Mulai dari meja kursi. Pokoknya yang berbahan kayu, aku pesennya ke kak Alif." jawab Adit. Sementara Alif masih menilai keduanya. Ia memandang Adit lalu gantian memandang Zahra. Seolah mencari sesuatu.
"Aku nggak nyangka loh, Dit. Resto kamu ternyata udah besar. Aku kira bunda cuma lebay aja. Tahu sendiri kan bunda suka gitu orangnya. Berlebihan. Masya'Allah. Mbak salut, Dit, sama kamu."
"Mbak sih, tiap Adit ajakin kesini nggak mau."
"Maaf-maaf bukannya nggak mau tapi mbak belum bisa."
Adit dan zahra malah asik mengobrol sendiri. Mengacuhkan dua orang yang kini seperti sedang menyelidiki sesuatu.
"Oh iya. Kenalin ini..." ucap zahra saat mengingat ia kesini tidak sendiri. Tapi ucapannya menggantung sengaja ia lakukan karena setelahnya ia berbisik pada Adit. "calonnya kak Riki."
"oh. Kalau sama kak Zalfa, Adit udah kenal."
"kan kak Zalfa sama aku sepupuan." lanjut Adit saat melihat wajah bingung Zahra.
"oh iya. Aku lupa." Zahra menepuk dahinya pelan. Padahal waktu om Gunawan datang kerumah, ia berfikir akan melamar dirinya untuk Adit.
"Gimana kak pertemuannya?" tanya Adit kini beralih menatap Zalfa.
"Ya... Nggak gimana-gimana sewajarnya orang ta'arufan. Makanya buruan, masih nungguin apaan coba?"
"Nunggu jawaban kak." jawab Adit dengan tertawa.
Alif yang mendengarnya semakin terkejut. Dugaannya tentang Adit dan Zahra dijodohkan semakin kuat. Ia menatap kearah keduanya yang seolah tersenyum malu.
Untuk menyembunyikan kegundahan hatinya ia mengalihkan pembicaraan. Membahas untuk niatannya menggunakan restoran tersebut untuk acara reuni. Dan Adit pun tidak keberatan. Ia bersedia membantu. Untuk masalah lebih lanjutnya mereka akan membahasnya lain waktu. Karena Adit yang kembali harus dipanggil anak buahnya. Adit pun undur diri.
"Saya balik kedalam dulu ya kak, mbak. Untuk masalah ini sudah tidak usah. Itung-itung untuk mbak Zahra yang baru kesini." ucap Adit bermaksud untuk memberi gratisan pada Zahra.
"Emm. Makasih loh, Dit. Sekalian kalo gitu. Mbak sama teman-teman pamit."
"Ya udah, mbak, hati-hati."
***
Zahra tiduran karena merasa lelah setelah seharian berada diluar rumah. Punggungnya ingin diluruskan.
Selama beberapa hari ini memang ia selalu berada diluar rumah. Mulai dari mengurusi acara reunian, beberapa hari yang lalu. Hingga dua hari ini ia mengurusi anak didiknya yang akan diikutkan dalam perlombaan. Ada lomba mewarnai dan juga berbagai lomba keagamaan seperti lomba menghafal do'a serta surat-surat pendek.
Ia membuka layar ponselnya yang tadi bergetar. Ada notifikasi dari aplikasi whatapps nya. Ternyata dari grup pengurus reuni. Irfan mengajak mereka untuk kembali rapat besok pukul dua siang. Zahra pun membalas pesan tersebut setelah yang lainnya menyanggupi untuk datang. Hingga teman-temannya mengobrol banyak hal. Ia pun ikut serta dengan membalas beberapa chat dari temannya.
"Ra...." panggil Winda dari luar kamar. Mengharuskan Zahra meletakkan ponselnya yang kelihatannya masih akan ramai.
Zahra segera bangun, lalu beranjak ke pintu untuk menghampiri bundanya yang sepertinya berdiri di balik pintu.
"Iya, bund."
"Kamu mau ikut jemput Mbah Uti atau mau dirumah aja?"
"Loh. Mbah Uti kesini bund? Sama siapa? Kok nggak ngabarin?"
"Sama mbah Kakung. Katanya mau ngasih kejutan. Kalau mau ikut, itu udah ditunggu ayah didepan."
"Oke bund. Zahra ambil tas dulu."
Zahra pun bergegas untuk mengambil tas kecil yang baru saja ia lepas. Rasa lelah langsung hilang seketika saat mendengar kabar nenek dan kakeknya yang dari wonogiri datang.
Zahra berlari kebawah karena tidak mau ketinggalan. Ia sudah tidak sabar ingin ketemu dengan kakek neneknya.
Tapi saat didalam mobil, Zahra tak bisa lagi menahan rasa kantuknya. Matanya terasa lengket. Dan perjalanan menuju ke stasiun masih lumayan lama. Ditambah disetiap perempatan selalu macet. Karena hari memang sudah sore, sudah saatnya para pekerja pulang kerumahnya.
Akhirnya Zahra pun tidak lagi tahu suasana diperjalanannya karena matanya sudah benar-benar terpejam. Sang ayah yang duduk disampingnya fokus melihat jalanan yang ramai akan sepeda motor.
Zahra benar-benar terlelap, hingga sang ayah membangunkannya saat tiba disebuah pelataran masjid. Ternyata sudah waktunya sholat isya'. Zahra mengerjapkan matanya saat lengannya terasa digoyang-goyangkan.
"Bangun, Ra. Kita sholat dulu disini." ucap ayahnya sambil melepaskan seatbelt yang masih terpasang.
Zahra segera mengikuti sang ayah yang sudah turun lebih dulu, tapi kemudian ia mengambil jalan lain menuju ke tempat wudhu khusus untuk perempuan. Ternyata sholat berjamaan sudah akan dimulai. Zahra pun sedikit berlari, supaya tidak tertinggal.
Setelah selesai sholat, tak lupa Zahra berdiam diri sejenak untuk berzikir lalu berdoa.
Di dalam doanya kali ini, ada satu nama yang ia sisipkan. Entah kenapa ia mendoakan orang itu lagi setelah sekian lama ia tidak menyebut nama itu dalam doanya.
Alif. Nama Alif kembali ia sebutkan. Zahra hanya meminta jika memang yang terbaik adalah menerima perjodohan dengan teman ayahnya, ia berharap Alif juga segera menemukan wanita impiannya. Wanita yang terbaik.
Zahra mengusapkan kedua tangannya ke muka seraya mengucapkan kata Aaamiiiiin sebagai tanda ia telah selesai berdoa. Tak lupa ia kembali mengemas mukena yang selalu ia bawa dari rumah.
Saat keluar dari masjid, terlihat sang ayah tengah berbincang dengan seseorang. Tapi saat melihat Zahra sudah keluar, sang ayah langsung berpamitan. Lalu berjalan menuju ke mobil yang terparkir di ujung selatan, dekat dengan pintu masuk.
Zahra pun segera bergegas. Karena mungkin nenek dan kakeknya sudah hampir tiba.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit lagi. Mereka kini sudah tiba disebuah stasiun. Dan benar, nenek dan kakeknya sudah duduk di depan stasiun.
"Assalamu'alaikum, bu, pak." ayah menyapa kedua mertuanya.
"Sudah lama pak nunggunya?" lanjut ayah setelah mendengar jawaban salam. Ayah lalu penyambut tangan kedua mertuanya. Tak lupa ia mencium punggung tangannya. Zahra pun mengikuti sang ayah. Lalu ia memeluk nenek kakeknya secara bergantian.
"Ya ampun nduk. Simbah kangen. Nek libur mbok ya maen ke wonogiri to." (kalau libur maen ke wonogiri) ucap simbah dengan bahasa jawa. Membuat Zahra sedikit bingung. Pasalnya ia dari kecil diajari bahasa indonesia bukan bahasa jawa. Ia hanya sedikit tahu tentang bahasa jawa.
"kamu masih belum belajar bahasa jawa to?" tanya mbah kakung saat melihat zahra seperti kebingungan.
"emmmm... Mbah, debatnya dilanjut nanti dirumah ya. Ini udah malem kan. Yuk pulang." Zahra menghindar saat melihat sang kakek sudah terlihat marah.
Ayah hanya tersenyum melihatnya. Lalu ia mengambil alih tas yang berisi pakaian mertuanya. Zahra membantu membawa kardus besar, yang mungkin berisi oleh-oleh.
****
Jalanan sudah tidak macet seperti saat berangkat. Walau masih banyak para pengendara motor yang mungkin baru pulang kerja tapi tidak sampai membuat kemacetan panjang.
Tak butuh waktu lama, kini mereka sudah berada di halaman rumah. Ayah sudah memarkirkan mobilnya tepat didepan rumah, untuk memudahkan kedua mertuanya.
"assalamu'alaikum..." zahra beruluk salam sambil membuka pintu rumahnya. Lalu mempersilahkan nenek kakeknya untuk masuk.
Jawaban salam terdengar dari salam. Sang kakak, riki, berlari lalu berhambur kepelukan sang nenek kakek. Zahra mengangkat bibirnya, kesal dengan kedekatan kakaknya dengan nenek kakeknya. Zahra merasa nenek kakeknya lebih sayang pada sang kakak.
Zahra pun memilih untuk naik kekamarnya, dengan membawa tas yang berisikan pakaian neneknya. Karena rencananya sang nenek akan tidur bersama zahra, dan kakek akan tidur bersama riki.
Zahra tidak berani membuka tas sang nenek. Karena tadi ia hanya diperintahkan untuk membawa tas neneknya, tidak membukanya. Walaupun dengan niat untuk membereskannya tapi itu tidak ia lakukan tanpa seijin pemiliknya, sekalipun itu milik neneknya sendiri.
Zahra kembali turun untuk kembali bergabung dengan keluarganya yang sepertinya tengah berbincang di ruang makan. Tapi belum sampai zahra mencapai tengah tangga. Terlihat nenek dan kakeknya sudah naik keatas. Diikuti riki dan juga ayah dan ibunya.
"Lhoh mbah nggak makan dulu?"
"Ora nduk, ijik wareg. Mau wis maem enek stasiun." (nggak nduk, masih kenyang. Tadi udah makan distasiun.)
"Iyo, mau mbah utimu tuku sego bungkus." (iya, tadi mbah utimu beli nasi bungkus.)
Zahra yang hanya tau bahasa jawa sedikit-sedikit hanya tersenyum lalu ikut naik lagi keatas.
Dengan menggandeng sang nenek. Ia berjalan menuju ke kamarnya kembali. Sedangkan sang kakek sudah lebih dulu masuk ke kamar Riki. Dan kedua orang tuanya sudah kembali turun kebawah.
"Iki kamarmu nduk? Waahhh rapi yo. Tak pikir kamu ijik jorok." ini kamarmu nduk? Waahhh rapi ya. Mbah kira kamu masih jorok.
"Mboten mbah." (nggak mbah) dengan kemampuan bahasa jawanya yang terbatas Zahra menjawab.
Lalu mengajak sang nenek untuk duduk di ranjangnya.
"Alkhamdulillah. Anak-anak simbah sekarang sudah menjadi orang yang berhasil. Tempat tidurnya saja sudah empuk. Terima kasih ya Allah sudah memberikan kesehatan dan umur yang panjang pada hamba. Sehingga hamba bisa merasakan kasur yang empuk ini." dengan mata berkaca-kaca mbah uti memanjatkan doa. Tapi kali ini memakai bahasa indonesia, mungkin sengaja biar Zahra tidak bingung.
Zahra memeluk tubuh sang nenek. Ia sudah mendengar dari cerita ibunya, betapa kerasnya nenek dan kakeknya berjuang untuk mendukung cita-cita ibunya. Zahra ikut meneteskan air mata.
"Simbah sangat bersyukur, ikut merasakan enaknya. Sekarang kasur mbah juga empuk. Rumah mbah lantainya sudah dikeramik. Dindingnya juga sudah tidak lagi bolong-bolong. Atapnya tidak lagi bocor kalau hujan." ucap mbah uti lagi. Sedangkan Zahra hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
Kemudian sang nenek seolah lupa dengan rasa capeknya. Beliau bercerita tentang masa perjuangannya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beliau mengucapkan syukur berkali-kali karena dikaruniai anak yang pintar-pintar. Winda, ibunda Zahra, mendapatkan beasiswa selama sekolah di SMP dan SMA. Waktu kuilah pun Winda juga ikut membantu dengan bekerja paruh waktu di tempat pengetikan milik temannya. Sedangkan sang kakak, wisnu, lebih pintar lagi. Karena semasa kuliah orang tuanya tidak perlu membayar biaya kuliah. Bahkan uang saku sudah ditanggung negara.
Cerita nenek pun berlanjut. Beliau menceritakan kisah perjuangannya dalam membela agama. Tinggal di pelosok desa memang dulu sangat tidak mengenal agama. Bahkan dulu beliau baru mengenal agama saat dipersunting suaminya, kakek Zahra. Sangat sulit untuk mengubah keyakinan orang-orang di desa. Mereka masih kental dengan kepercayaannya. Sehingga saat Marini, nenek zahra mulai mengamalkan ajaran Islam, Marini dijauhi oleh teman-temannya. Bahkan ia pernah dikatakan wanita gila. Karena selalu memakai kerudung. Masih untung ada sang suami, Kasto. Yang selalu mendukung dan menyemangatinya. Mereka percaya jika mereka dijalan Allah. Pertolongan Allah itu pasti. Allah tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang memperjuangkan agamaNya. Itu janji Allah. Dan keluarga Kasto pun percaya itu.
Sekarang perjuangan itu masih berlanjut. Tapi tongkat espafetnya sudah ia serahkan pada wisnu, anak pertama mereka.
Tak terasa waktu sudah larut. Marini, mengusap lembut pipi cucunya. Lalu mengajaknya untuk tidur.
Zahra mengangguk. Lalu menyeka air matanya yang masih tersisa. Ia merasa terharu dengan kisah neneknya. Perjuangan beliau untuk menyekolahkan anak-anaknya dan juga perjuangan untuk membela agamaNya.
Zahra pun berbaring disamping neneknya. Tak lupa ia menyelimuti sang nenek.
***
Bersambung...
Panjang kan? Alkhamdulillah lagi dapet ide. Semoga pada suka dan ada pelajarannya yang bisa diambil.
Yang baik dipakai yang jelek dibuang aja ya...
Selamat membaca...
Oh iya... Minta vomentnya boleh?
🌴 jangan lupa, minimal 3 ayat ya... 🌴
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top