12. telfon nyasar

Seperti yang sudah dijadwalkan, hari ini adalah rapat kedua untuk pengadaan acara reunian SMA. Zahra tengah bersiap-siap menunggu jemputan Carla, karena Zahra memang tidak diperbolehkan membawa kendaraan sendiri.

Zahra kembali menatap benda warna hitam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah 30 menit ia menunggu tapi Carla belum juga menunjukkan batang hidungnya.

Zahra pun mengambil ponselnya di dalam tas, memutuskan untuk menghubungi sahabatnya. Tapi saat telfon sudah tersambung, Carla tidak juga mengangkatnya, hanya suara operator cantik yang ia dengar. Zahra menghembuskan nafasnya, mencoba bersabar. Ia pun mencoba kembali. Dan akhirnya diangkat.

"Assalamu'alaikum..kamu dimana La?" tanya Zahra.

"Astaghfirullah, La... bukannya semalem baru aja kita bahas katanya kita berangkat agak pagian biar bisa bantu-bantu dulu?"

"Ya sudah, biar cepet aku kerumahmu aja."

Terkadang Zahra memang harus punya kesabaran berlebih dalam menghadapi sahabatnya. Seperti saat ini, ternyata Carla lupa jika semalam mereka sudah merencanakan untuk berangkat lebih awal.

Zahra pun kembali berjalan kerumah. Hendak pamitan kepada sang Bunda.

"Bund, Zahra berangkat dulu ya."

"Loh Carlanya mana? Perasaan Bunda nggak denger suara mobil?"

"Carla baru mau siap-siap Bund. Katanya lupa."

"Ya ampun Carla... ya sudah. Kamu gak papa jalan, Ra?"

Keluarganya memang sudah mendengar cerita Zahra yang mengubah nama panggilannya.

Zahra mengangguk, lalu meraih tangan kanan Bundanya, tak lupa ia mencium punggung tangan wanita itu.

Jarak dari rumah Zahra ke rumah Carla tidak terlalu jauh hanya sekitar 400 meter. Dan untungnya saat ini masih pagi jadi tidak begitu membuat Zahra berkeringat.

Tapi saat sudah tinggal beberapa meter lagi, Zahra tiba-tiba saja dihampiri seorang nenek sambil menangis.

"Ada apa Nek?" tanya Zahra lalu membawa Nenek itu duduk di bawah pohon.

"Ini lho Nduk. Tadi Simbok dapet telfon. Katanya dari kantor Polisi. Anak Simbok kecelakaan Nduk." jawab Simbok itu sambil terus menangis. Melihat itu Zahra jadi tidak tega. Tapi ia juga bingung harus bagaimana.

Tak lama kemudian, ponsel Simbok yang diketahui namanya Mbok Karsi tersebut berbunyi. Dengan tangan bergetar Mbok Karsi mengangkat telfonnya.

"Ya Allah Pak. Terus kulo ken pripun Pak?"

"Tebusan? Pinten pak?"

Entah apa yang dibicarakan Mbok Karsi dengan si Penelfon. Tapi nampaknya mereka tengah membahas tentang uang tebusan.

Saat mendengar kata tebusan, Zahra langsung mengusap lengan Mbok Karsi. Entah bagaimana ia merasa ada yang tidak beres dengan telfon tersebut.

"Biar Zahra aja Mbok yang ngomong." ucap Zahra sembari meminta ponsel Mbok Karsi. Mbok Karsi pun memberikannya.

"Assalamu'alaikum...." sapa Zahra saat ponsel tersebut sudah menempel di telinganya.

"Wa'alaikumsalam." jawab seseorang disebrang dengan nada sangat ketus.

"Maaf Pak saya cucu dari Simbah tadi. Saya mau nanya bagaimana kronologinya."

Seseorang itu pun memceritakan jika anak dari Mbok Karsi itu melajukan motornya sangat kencang saat melewati depan sekolahan. Disaat yang sama, ada anak memakai seragam putih biru menyebrang. Jadi anak dari Mbok Karsi menabrak si bocah tersebut. Dan ternyata anak tersebut tidak bisa diselamatkan. Ia meninggal ditempat kejadian. Lalu Zahra kembali bertanya bagaimana dengan si Penabrak apakah tidak apa-apa? Si Polisi tersebut menjawab jika si Penabrak dalam keadaan baik-baik saja.

Mendengar cerita itu Zahra sudah tahu, lalu ia pun meminta untuk musyawarah dulu karena uang sebesar 300 juta itu tidak sedikit. Polisi itu pun mengizinkan. Lalu sambungan telfon pun terputus.

Mbok Karsi masih terus saja menangis, ia terus saja mengucapkan takbir, tahmid, dan tahlil. Ia juga mendoakan anaknya.

Zahra mengusap pungung Mbok Karsi. "Mbok! Nama anak Mbok siapa? Sudah dicoba ditelfon?"

"Ndak bisa Nduk. Pulsa Mbok habis."

"Ya sudah biar Zahra telfon saja. Siapa nama anak Mbok?"

Setelah Mbok Karsi menyebutkan nama anaknya, Zahra mulai mencari kontak di ponsel Mbok Karsi. Ia mulai dengan mencarinya di riwayat panggilan. Ternyata ada. Zahra mengetikkan nomor tersebut ke ponselnya.

Lama sambungan tidak segera dijawab hanya ber bunyi tut.

"Assalamu'alaikum." ucap seseorang diseberang.

"Wa'alaikumussalam. Maaf bisa bicara dengan Pak Dimas?"

"Iya saya sendiri. Maaf ini siapa?"

"Maaf pak saya Zahra tetangganya Mbok Karsi. Jadi tadi saat saya melewati rumah Mbok Karsi beliau tengah menangis."

"Menangis? Ada apa? Apa ada sesuatu? Apa terjadi sesuatu dengan Ibu saya? Apa Ibu saya baik-baik saja?" potong Dimas dengan nada khawatir. Zahra pun tersenyum. Seperti dugaannya ternyata penelfon tadi hanya orang iseng yang kurang kerjaan. Mencoba mencari uang dengan cara yang tidak halal.

" Mbok karsi baik kok Pak. Sebenarnya tadi...." Zahra pun menceritakan kronologi kejadiannya dengan pelan.

"Oh begitu. Ya ampun Mbok... ya sudah kalau begitu apa saya bisa bicara dengan Ibu saya?"

"Silahkan Pak."

Zahra pun menyerahkan ponselnya pada Mbok Karsi.

"Wa'alaikumussalam. anakku... ya ampun nak kamu ndak apa-apa to?" teriak Mbok Karsi. Ada perasaan lega dihati Mbok Karsi saat sudah berbicara dengan anaknya.

Zahra pun membiarkan Ibu dan anak itu mengobrol lebih dulu.

Hingga suara klakson mobil di depannya mengalihkan perhatiannya. Mobil Carla.

Orang di dalamnya pun turun ia bersungut-sungut. Bersiap hendak memarahi Zahra.

"Nay... eh em... Ra!" Carla lupa jika kini Nayla dipanggil Zahra. Zahra tersenyum kearahnya.

"Kamu sengaja mau bales aku ya? Udah aku tungguin dari tadi malah nongkrong disini." Carla terlihat begitu kesal.

"Sstttt...." hanya itu tanggapan Zahra yang semakin membuat Carla kesal. Mungkin jika di kartun-kartun Jepang kini mukanya sudah berubah jadi merah lalu keluar tanduk di kedua sisi kepalanya. Tak lupa asap yang keluar dari lubang telinga serta hidungnya.

Zahra tidak menghiraukannya. Ia beralih menatap Mbok Karsi yang ternyata sudah selesai menelfon.

"Dimas mau bicara Nduk." Mbok Karsi menyerahkan ponsel Zahra kembali.

"Iya hallo." ucap Zahra saat ponselnya sudah beralih padanya.

"Makasih Mbak Zahra. Kalau tidak ada Mbak Zahra. Entah bagaimana keadaan Ibu saya. Ibu saya memang begitu Mbak. Beliau baru saja dari Kampung kemarin."

"Oh iya Pak. Nanti kalau si penelfon menghubungi lagi jangan diangkat ya Mbok." kata Zahra menjawab Dimas lalu beralih kepada Mbah Karsi.

"Ya sudah kalau begitu saya tutup. Sekali lagi terimakasih. Assalamu'alaikum.."

"iya pak sama-sama. Wa'alaikumussalam."

Sambungan telfon pun terputus. Zahra kembali memasukkan ponselnya kedalam tas kecilnya.

Carla yang tidak tahu apa-apa hanya terlihat kebingungan. Melihat kedekatan Zahra dengan Ibu tetangganya yang bahkan baru kemarin datang dari Kampung. Carla bertanya-tanya apa yang tengah terjadi.

Karena saat ini Zahra tengah menasehati Ibu tetangganya itu.

Saat mulut Carla terbuka hendak bertanya. Ponsel Mbok Karsi berdering kembali. Membuatnya mengurungkan niatnya. Tapi anehnya -aneh dimata Carla- Zahra yang mengambil alih ponsel tersebut. Awalnya Zahra berbicara begitu tenang. Hingga kemudian terdengar suara gertakan.

"Hey kalian. Kalau mau cari duit bisa cari yang halal nggak? Menipu orang, kalian mikir dong. Apa?apa? kalian mau apa? Kalian pikir saya bodoh? Maaf saya nggak sebodoh itu. Sekali lagi kalian menghubungi nomor ini, kalian akan tahu akibatnya. Bukan saya yang masuk penjara. Tapi kalian. Apa kalian nggak tahu? Orang yang kalian sebutkan kalau menabrak orang tadi itu polisi." setelah mendengar kata polisi. Orang disebrang sana langsung mematikan sambungan telfonnya. Membuat zahra menyeringai.

"Nak Zahra tahu dari mana kalau Dimas itu polisi?" tanya Mbok Karsi yang membuat Zahra terkejut.

"Eh? Jadi Pak Dimas itu polisi?" Zahra menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pasalnya ia tadi hanya bermaksud untuk menggertak si polisi gadungan.

Carla yang melihat sahabatnya salah tingkah hanya bisa tersenyum. Tanpa penjelasan, kini ia pun sudah faham.

"Saya yakin. Orang tadi sudah tidak akan menghubungi Simbok lagi." kata Mbok Karsi. Zahra tersenyum. Lalu Mbok Karsi pun pamit undur diri karena tadi ia tengah menjahit baju anaknya. Tak lupa Mbah Karsi mengucapkan terimakasih.

Sepeninggalan Mbok Karsi, Zahra tampak masih emosi. Ia tidak habis fikir dengan orang-orang yang berani menipu. Karena tidak sedikit juga yang tertipu lalu mentransfer sejumlah uang kerekening si penipu.

Saat tengah ngedumel ponsel dalam tas slepangnya berdering. Karena masih kesal ia pun tidak melihat siapa yang menelfon.

"Apa lagi?" sahut zahra ketus sebelum mendengar orang tersebut mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum...Cuma mau ngingetin. Hari ini kita ada rapat di rumah Nanda." suara diseberang terdengar begitu dingin.

Zahra pun membulatkan matanya. Mulutnya terbuka begitu ia mengenali suara orang diseberang sana. Sambungan telfon pun terlutus tanpa ada ucapan salam. Zahra merasa lemas. Tangannya terkulai kebawah. Masih untung Carla bisa menangkap ponsel milik Zahra.

Karena penasaran dengan perubahan sahabatnya yang awalnya galak jadi tak berdaya. Carla pun melihat siapa sipenelfon. Mata Carla ikut membulat. Ia segera menutup mulutnya yang terbuka lebar menggunakan tangan kirinya.

Terpampang jelas disana tertulis nama ALIF.

TBC.

Pernah nggak sih kalian sahabat SNDD, dapet telfon seperti itu. Yang mengaku jadi polisi yang katanya keluarga kita lagi di kantor polisi lalu akhirnya minta uang tebusan? Terus ada yang telfon katanya kita dapet undian hadiah yang ujung-ujungnya minta pulsa?

Jika ada yang belum. Harap hati-hati jangan langsung dipercaya begitu saja ya. Jangan langsung sebut nama keluarga kita.

Semoga bermanfaat..😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top