Seberkas Memori Tentangmu


            Saat ini, hampir semua kenangan kita kala berinteraksi dengan orang lain terekam di media sosial.

Jujur saja, aku bukan tipe orang yang suka mengumbar hal-hal yang terlalu pribadi di media sosial. Tapi kalau mendengar kata social media romance, aku pernah mengalaminya sekali. Akan kuceritakan padamu.

Saat itu, aku tengah menjalani tahun ketiga kuliah. Tak banyak teman yang bisa dibilang cukup dekat. Suatu hari, aku berkenalan dengan seorang adik kelas yang satu tahun di bawahku. Kami pulang ke Bandung bersama-sama. Dia mampir untuk solat di rumahku, dan sejak saat itu kami pun berteman. Pelan-pelan, aku mulai mengaguminya. Kisah hidupnya tidak biasa, memancingku untuk menulis tentang dia.

Pada bulan-bulan pertama persahabatan kami, aku memberi komentar panjang lebar pada puisi-puisi yang Zein tulis, dan dia sangat gembira. Hal ini berlanjut ketika aku menulis sebuah puisi tentang sosok diri Zein, yang kemudian aku unggah di notes Facebook. Dia menjempoli dan mengomentari, tapi komentarnya berisi puisi balasan. Jadilah aku dan Zein berbalas puisi di kolom komentar, yang berlanjut pada unggahan puisi-puisi berikutnya. Pada setiap puisi, aku selalu menyelipkan kekagumanku padanya. Kadang kubuat tersirat, kadang terang-terangan. Dan kami selalu saling berbalas komentar yang lama kelamaan semakin mesra.

Kami berbalas puisi tidak hanya di Facebook, Zein juga sering mengirim SMS berisi puisi yang kubalas dengan puisi serupa. SMS darinya beserta SMS balasanku aku salin ulang dan kudokumentasikan di laptop. Lama kelamaan, itu menjadi rutinitas kami. Aku akan menulis puisi yang kemudian kami bahas bersama di Facebook, dan kami bahas lebih dalam lagi ketika kami bertemu di rumahku. Aku semakin menyukainya, walau aku selalu menyangkal. Sampai hari itu tiba, ketika kebersamaan kami mendekati batas akhir.

Zein lulus lebih dulu dariku, karena aku yang pemalas selalu menunda-nunda skripsi. Ketika semakin dekat hari perpisahan dengannya karena ia harus kembali ke kampung halaman di seberang pulau, aku membanjiri notes Facebookku dengan puisi patah hati dan kehilangan. Ia masih membalas, dengan puisi-puisi bernada menguatkan. Lalu, hari itu Zein memberi satu pertanyaan yang membuat duniaku jungkir balik.

"Teh, Teteh punya rasa kan sama aku?"

Aku nyaris tersedak teh yang sedang kuminum. Aku memandang Zein, hendak menyangkal dan menyanggah, tapi tak ada kata-kata yang keluar.

"Aku tahu, Teh. Dari sejak pertama kali Teteh menulis tentang aku. Bahwa dengan SMS-SMS panjang di malam sunyi itu, dengan notes-notes dan komentar seperti itu, Teteh suka sama aku. Apa itu betul?"

Aku diam. Lama.

"Ya, kamu bisa menilai sendiri, lah," ujarku akhirnya. Detik itu, aku berpikir aku sudah tamat. Inilah akhir persahabatan kami yang indah, Zein pasti membenciku.

"Terima kasih untuk perasaan Teteh. Aku senang, ada orang yang menyukaiku sampai sedalam itu. Walau mungkin aku tak bisa membalas. Teteh tahu kan, aku selama ini menahan diri. Teteh juga sama. Aku yakin nggak akan ada yang berubah di antara kita, walau aku juga nggak bisa menjanjikan pertemanan kekal. Suatu saat aku pasti pergi. Tapi, terima kasih untuk segalanya."

Lalu untuk pertama kali, Zein memelukku. Aku sudah kehabisan kata-kata. Mungkin apa yang ingin kukatakan sudah dikatakan olehnya, atau semua sudah habis kuungkapkan dalam puisiku. Selamanya aku akan mengingat aroma tubuhnya saat itu. Satu-satunya orang yang pernah terlibat romansa di media sosial denganku, dan orang yang sampai sekarang masih menjadi salah satu sahabat terbaikku. Terima kasih, Zein.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top