Surat Tanpa Nama pengirim
Kemarin siang sebelum pulang sekolah Andra kembali menanyakan hadiah darinya, apakah aku suka? Untung aku tidak lupa lagi, setelah sehari sebelumnya aku bilang, "Maaf, Ndra, aku lupa."
"Jadi, hadiahnya belum dibuka?" Dia tampak kecewa.
Namun, siang itu senyumnya mengembang setelah aku mengucapkan terima kasih.
"Sama-sama," kata Andra sembari terus tersenyum.
"Kamu tahu dari mana aku suka nulis diary?"
"Bang Irham ya?" tebakku.
Dia tersenyum kikuk. "Maaf ya, Sha."
"Iya, nggak apa-apa, kamu nggak salah juga."
"Soalnya aku takut kamu nggak suka."
"Suka, cuman aku kaget aja, soalnya nggak pernah dapet buku diary semahal itu."
"Eh, kok?" Dia memberi jeda dan kulihat merah di wajahnya. "Emang aku belum copotin harganya ya?"
"Udah kok," kataku sembari menahan senyum, betapa lucunya Andra siang itu. "Aku sering ke toserba dan ...." Aku menghela napas, entah kenapa aku menjadi segugup ini. "Ini salah satu buku diary yang aku incar."
"Waw kebetulan banget dong ya."
Jujur aku malu mengungkapkan ini pada Andra, meski aku sempat berbohong karena sebenarnya aku tak begitu kaget dengan hadiah darinya. Termasuk soal harganya. Aku tahu Andra memiliki selera yang bagus dan mahal terlihat dari fashionnya yang berbeda jauh dengan abangku. Aku hanya tidak ingin dia merasa kalau aku tidak bersyukur dengan hadiah darinya. Sebenarnya ada yang lebih membuatku terkejut, yaitu surat dan hadiah yang kutemukan di loker.
Aku benar-benar dibuat terkejut, selain karena merasa aneh di tahun 2010 ini masih ada orang yang menggunakan surat sebagai alat komunikasi aku juga merasa risih dengan isinya. Surat itu membuatku flashback ke beberapa tahun ke belakang, entah tahun berapa saat Tante Riyah, ibunya Mia dan Om Ramdan yang kebetulan bekerja di Yaman, mereka selalu bertukar surat lewat pos. Dan Om Ramdan akan mengirimkan uang dengan cara di wesel. Mia sering cerita betapa romantisnya kedua orang tuanya itu.
Kuakui surat memang lebih berkesan dibanding SMS. Namun, aku juga tidak berharap isinya akan seromantis Om Ramdan pada Tante Riyah. Dan Sore itu aku benar-benar dibuat terpukau dengan gaya tulisan tangan dalam kertas surat tersebut, indah dan rapi, tapi bukan dalam bentuk tegak bersambung. Tulisan latin biasa. Namun, sangat rapi. Aku sampai menebak kalau orang yang menulis surat itu adalah orang yang rapi, kalem dan mungkin hidupnya sangat tertata. Entahlah, aku jadi ingin mempelajari cara membaca karakter seseorang dari gaya tulisan.
Assalamualaikum, Aisha-ku ....
Satu sapaan yang membuatku bergidik. Tulisannya memang indah dan rapi, namun itu tak membuatku kehilangan rasa takut setelah tahu isinya.
Perkenalkan, aku seorang pria yang sedang menantimu dewasa. Aku pria yang paling percaya diri di muka bumi ini karena berani mengirimmu surat dan menyatakan bahwa aku adalah calon imammu.
Otakku sampai mencatat kata, "menantimu dewasa". Tunggu apa dia om-om? Jika memang iya, mungkin aku harus lebih hati-hati karena memiliki penggemar dari kalangan om-om.
Aisha, Barakallah fii umrik. Semoga apapun yang kamu cita-citakan, apapun yang menjadi resolusimu di tahun ini, bisa kamu wujudkan tanpa ada rintangan apapun. Dan yang terpenting tetaplah menjadi Aisha-ku.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tertanda calon imammu.
Dia menyebut dirinya sendiri sebagai calon imamku? "Nggak salah?" gumamku heran. Dan yang lebih membuatku heran dia tahu tanggal lahirku. Namun aku yakin kalau ini bukan salah satu dari temanku. Tidak mungkin Fahri, meski rasanya aneh karena tiba-tiba aku memikirkan laki-laki pendiam yang menjadi wakilku di OSIS.
Sampai beberapa menit isi surat tersebut mengusik pikiranku. Aku terus bertanya-tanya keabsahannya. Jangan-jangan itu hanya orang iseng, atau memang aku punya seorang penguntit? Biarkanlah sampai mana si pengirim bertahan dengan surat misteriusnya. Aku hanya tidak perlu menanggapinya.
Aku lekas membuka kotak kecil berbahan rotan yang dianyam tersebut, ukurannya memang kecil, hanya sebesar telapak tanganku. Kubuka penutupnya dan didalamnya terdapat sebuah kain hitam sebagai alas antara dasar kotak tersebut dan penutupnya. Kudapati sebuah rantai kecil berkilauan perak dengan dua buah bentuk love yang masing-masing tertanam mata kecil di tengahnya, lalu ada huruf A yang menjuntai di ujung rantai tersebut.
Dan siang tadi sepulang sekolah lagi-lagi aku menemukan surat di dalam loker, sepertinya orang itu menyimpan surat tersebut saat aku sedang belajar, tapi pertanyaannya bukan lagi, siapa? Melainkan, bagaimana bisa? Apa dia memasukkannya lewat celah tipis di antara pintu loker? Ah! Tapi tidak mungkin, karena karena semua loker di sekolah tak memiliki celah yang cukup, kalaupun cukup tak akan serapi dia membuka pintu loker dan meletakkannya dengan baik di atas tumpukan buku dan tas. Apalagi selalu ada aroma wangi yang menguar membuat otakku sengaja menyimpan aroma tersebut.
Assalamualaikum .... selamat sore Aisha-ku.
Sudah berapa surah Al-Quran yang kamu baca hari ini? Jangan lupa selipkan doa untukku di setiap sujudmu. Oh iya, Besok ujian olahraga, 'kan? Jangan lupa bawa air mineral dan jaga kesehatan ya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...
Tertanda calon imammu.
Aku hanya bisa menghela napas, kemudian mengempas tubuhku di ranjang. Sok perhatian, tapi siapa? Kurasa memang orang itu memiliki kunci lokerku. Haruskah aku meminta bantuan Bang Irham untuk mencari tahunya? Tapi, nanti bocor dan Papa bisa tahu masalah ini. Mungkin selama tidak mengancam, aku akan simpan dulu rasa penasaran ini, karena walau bagaimanapun aku tidak ingin Papa merasa terbebani dengan hal sepele seperti ini.
***
Bang Irham meletakkan dua mangkuk mie ayam di meja. "Pedas, asem punya kamu."
"Makasih," sahutku sembari menghirup aroma yang menggiurkan dari kepulan asap tipis yang mengepul di antara mie dan potongan daging-daging kecil dengan bumbu yang khas. Satu bakso besar dan dua bakso kecil ada diantara kumpulan mie dan daging tersebut, tak lupa sawi hijau dan pangsit ikut meramaikan isi mangkokku.
"Versi rakus badan kurus," komentar Bang Irham melihat tumpukan makanan di mangkokku. Makanku memang terbilang banyak, namun entah kenapa aku tak bisa gemuk, entah ada apa dengan sistem pencernaan dan metabolisme tubuhku. Semoga ini bukan penyakit. Kalau Bang Irham memang, selain tinggi tubuhnya juga besar dan kekar.
"Semoga nggak ada lagi yang bilang kalau jatah makan kamu dihabisin sama aku," katanya sembari menggeser mangkoknya agar beradu dengan mangkokku. Ya, kadang aku kasihan, tapi juga ingin tertawa.
"Makan, makan, makan," kataku.
"Enak aja, belum dibayar."
"Astaghfirullah." Aku menatap wajah menyebalkannya.
"Bayar dulu, aku nggak ada uang. Abis dipake moto copy," keluhnya.
"Tapi, nanti ganti ya." Aku lekas bangkit. "Mangkanya nulis, jangan catatan orang di photocopy."
Aku keluar untuk membayar dua mangkok mie ayam. Kebetulan Mas penjualnya sedang membuat mie ayam pesanan Anggi, tetangga depan rumah sekaligus teman sekelasku.
"Sha, kayaknya akhir-akhir ini, Andra ngedeketin kamu terus," katanya dengan wajah yang tak ramah.
"Iya gitu? Keningku mengernyit. "Kayaknya nggak deh, soalnya dia sama siapa aja dekat, 'kan?" rasaku, karena aku juga tidak tahu dengan siapa saja Andra dekat, lagi pula aku merasa Andra hanya lebih sering bertanya dan melambaikan tangan akhir-akhir ini. Dan soal hadiah itu, mungkin dia memang ingin memberi saja karena kudengar dia juga memberi Bang Irham hadiah berupa sepatu, bahkan kurasa lebih mahal hadiah untuk Bang Irham dibanding untukku.
"Jangan sok polos, Sha, jangan-jangan dia suka sama kamu," kata Anggi sembari membayar mie nya dan menunggu kembalian.
"Aku nggak tahu," kataku sembari mengedikkan bahu. "Bisa aja karena hal lain, mungkin karena aku adik Bang Irham kali. Andra, 'kan dekatnya sama Bang Irham."
"Makasih, Mas." Anggi pergi membawa satu mangkok mie ayam dan uang kembaliannya. Namun, dia baru saja mengabaikan penjelasanku. Rasanya aneh, tak pernah Anggi sejudes itu.
"Ini apa, Neng?" tanya Mas penjual mie ayam.
"Dua mangkok mie yang tadi, komplit." Aku menoleh ke dalam.
"Kan, udah dibayar sama si Aanya."
Rasanya kalimat si Mas menggema dan terulang di telinga. Aku baru saja dikerjai Bang Irham, dia pasti sengaja agar mie punyaku jadi dingin, padahal kalau sudah dingin rasanya pasti tidak begitu enak.
"Ya udah, makasih, kirain belum."
"Kalau Neng mau bayar lagi mah nggak apa-apa, Mas mah seneng aja," kata si Mas bakso dengan logat jawa yang kental. Aku hanya bisa mendengkus dan kembali ke rumah dengan perasaan dongkol pada orang yang sedang asyik menikmati mie sembari menonton televisi. Dia menahan tawa menatapku. Mau marah rasanya percuma, mungkin aku hanya perlu lebih berhati-hati dari jebakan-jebakan dia selanjutnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top