Malam Di mana seharusnya Tak Pernah Terjadi
Langkah kakiku terhenti di depan Masjid bertepatan dengan kumandang Adzan maghrib. Sejujurnya berat untuk hadir pada kajian sore itu, apalagi melihat hampir semua anggota Remaja Masjid sudah berkumpul dan siap melaksanakan shalat Maghrib termasuk ketua Remaja Masjid itu sendiri. Kak Raihan. Ya, Raihan Arsalan, guru olahragaku, sekaligus ketua KURMA (Kumpulan Remaja Masjid).
Kalau saja Papa tidak pulang lebih awal, mungkin aku akan menghindari kajian sore itu dengan alasan menunggunya pulang. Tadi memang aku sempat beralasan kalau besok ada ulangan praktek bahasa arab dan aku harus belajar. Namun, Papa tetap memintaku pergi.
"Kamu bisa belajar sehabis dari masjid," kata Papa.
"Capek, Pa." Aku menatap Bang Irham, berharap laki-laki itu sependapat denganku. Nyatanya tidak, dia malah bilang, "Sebentar doang."
Aku hanya bisa menghela napas, kalau boleh jujur aku malas bertemu Kak Rai, kejadian tadi masih sangat membekas dalam hati dan terasa hangat di ingatan. "Em, Aisha belajar di rumah aja ya, Pa," bujukku.
"Tuh Bang Irham juga mau pergi."
"Ck." Akhirnya aku pergi, meski sepanjang jalan menuju Masjid aku mengomel. "Lagian ngapain ngadain kajian pas lagi ulangan kayak gini, nggak tahu waktu."
"Lah, 'kan udah ada jadwal, sebelum jadwal ujian, jadwal kegiatan Remaja Masjid sudah lebih dulu keluar," kata Bang Irham. "Mangkannya, Neng, kalau pas Musyawarah Kerja itu hadir," tambahnya. Dia malah berbalik mengomeliku. "Papa nggak minta aneh-aneh, Papa minta kita belajar dan perdalam ilmu agama yang banyak." Persis seperti Papa. Bang Irham memang photocopy-annya.
Setelah selesai shalat kami berkumpul, para ikhwan duduk secara acak dan renggang, sedangkan para akhwat duduk rapi berjajar. Jumlah kami para akhwat hanya sedikit, tak semua tertarik mengikuti kajian seperti ini. Kegiatan KURMA sebenarnya banyak, termasuk mengadakan baksos di kampung ini seperti ketika bulan Ramadhan. Namun, memang sekarang lebih ditekankan ke acara kajian saja.
"Aku kira kamu nggak datang," bisik Anggi yang baru saja duduk di sebelahku.
"Sebenarnya malas sih, tapi Papa yang nyuruh," ucapku jujur.
"Pasti malu ya, kena hukuman Kak Raihan," ledek Anggi.
Aku hanya tersenyum. Malas membicarakan ini dengannya. Lagi pula tidak ada yang ingin membahas kejadian siang tadi. "Fokus, udah mau mulai," bisikku.
Kegiatan dimulai dengan hamdallah dan pembukaan, kemudian langsung membahas. Q.S Alhujurat : 13
"Wahai Manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
"Ayat ini bisa dijadikan landasan bahwa Allah memerintahkan kita untuk saling mengenal berbagai macam suku dan budaya," terang Kak Rai tenang. "Tak kenal maka tak sayang. Itu 'kan yang biasa dikatakan untuk menjalin suatu hubungan?"
Kami mendengarkan dengan seksama dan tampaknya tak ada yang menyangkal penjelasan Kak Rai. Mungkin para Jin juga mengangguk takzim pada ketua Remaja Masjid itu. Yang aku tahu Kak Rai adalah ketua Remaja Masjid kedua selama dua periode, tapi aku tidak tahu siapa yang pertama. Satu periode selama tiga tahun, berarti sudah enam tahun Kak Rai memimpin dalam komunitas ini.
"Sebenarnya, salah. Tak kenal, maka–?" Kak Rai menunggu sahutan dari para Remaja Masjid. "Maka ta–?"
"Taaruf," gumamku tanpa menatapnya.
"Betul."
"Masalah sayang itu, bukankah kita memang dianjurkan untuk saling menyayangi? Rasulullah SAW saja tidak mengenal satu pun dari kita, tapi beliau menyayangi kita sebagai umatnya. Benarkan Aisha?"
Bukannya mengangguk, jantungku malah menggelepar. "Kenapa Aisha?" gumamku.
"Ada yang mengaitkan ayat ini dengan keutamaan mencari jodoh. Namun, untuk urusan jodoh seperti itu jangan khawatir, karena seperti yang ayat ini bilang kalau Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, ada dalam ayat lain yang menyebutkan kalau kita diciptakan berpasang-pasangan. Yang jelas yang namanya jodoh itu pasti bertemu seperti apapun caranya. Jika tidak di dunia, mungkin di akhirat. Bukankah semua ada waktunya?" tambah Kak Rai.
"Kanan dan kiri," sambung Kak Rai. "Ada yang berjodoh dengan tetangga sendiri, sahabat sendiri, terus siapa lagi ya, mmm ...."
"Guru sama Murid?" sahut Anggi seperti sedang bertanya.
"Ya, bisa, selama si perempuan sudah cukup umur untuk menikah, tidak masalah, banyak kok di luar sana kejadian guru menikahi muridnya."
Anggi tersenyum sembari menyikuku hingga aku terkesiap dan terperangah menatap Kak Rai. Apa yang baru saja disampaikannya telah membawaku ke kejadian satu tahun yang lalu. Sebelum aku tahu dia menjadi tenaga pengajar di sekolahku menggantikan Pak Gunawan sementara waktu.
Malam itu terasa dingin seperti malam ini, namun, tak sekaku setelahnya. Kencangnya embusan angin seolah menerpa kulitku yang tertutup gamis beserta atasan mukena yang masih kukenakan.
Kak Rai menemani derap langkahku dengan pelan dan teratur, sepanjang kami berjalan tak ada percakapan lain selain, "Bagaimana sekolah kamu? Kak Rai dengar kamu jadi juara kelas. Syukurlah Kak Rai ikut senang karena dengan kamu berprestasi kamu meringankan uang bulanan yang harus Pak Abdulah keluarkan."
Ya, di sekolahku ada program gratis SPP selama satu semester bagi siswa yang mendapat rangking pertama. Aku bahagia karena selain Papa dan Bang Irham, ternyata Kak Rai juga bangga dengan prestasiku.
Entah apa yang terjadi padaku, kenapa aku merasa kalau malam itu ada sesuatu yang mendorong keluar dari dalam diriku. Sesuatu yang membuatku kehilangan kendali dan mengungkapkan semuanya.
Kesempatanku mungkin tak datang dua kali. Malam itu memang Bang Irham tak mengikuti kajian karena sedang sakit perut, jadi Kak Rai berkesempatan mengantarku pulang. Jika saja Bang Irham ikut acara Remaja Masjid, mungkin malam itu tidak akan terjadi.
Bibirku terus tersungging. Namun, lenyap oleh gelapnya malam, sehingga Kak Rai tak dapat melihat senyumku malam itu. Sebenarnya cahaya lampu cukup menerangi jika saja dia mau menoleh dan menatap ku sekali saja.
"Kak Rai," panggilku pada akhirnya, "makasih udah nganter."
Kali ini Kak Rai menoleh dan aku reflek menyembunyikan senyumku darinya. "Iya, Sha." Dia kembali menatap lurus ke depan. "Lagian salah sendiri, kenapa rumah kamu ada di ujung komplek?" Sembari menunjuk ke ujung jalan di depannya.
"Kalau mau protes kenapa nggak dari dulu?"
Kak Rai tertawa kecil. "Tega aja kalau biarin kamu pulang sendiri."
Reaksiku waktu itu mungkin berlebihan, wajarlah, aku baru pertama kali menyukai orang, sehingga rasanya jantungku terus menggelepar dan bahkan aku merasa kakiku seperti tak menapak aspal.
"Kak, entah sejak kapan sebenarnya Aisha suka sama Kak Rai." Kalimat itulah yang pada akhirnya menjadi jurang. Jika memang mesin waktu itu ada dan bisa membuatku kembali ke masa lalu, aku akan kembali ke masa itu dan mengendalikan diriku agar aku tidak mengatakannya.
Langkah kaki Kak Rai terhenti, kemudian menoleh padaku. "Maksudnya gimana, memang awalnya Aisha nggak suka sama Kak Rai?"
"Bukan. Ini beda. Bisa nggak kira-kira kita mengubah status kita yang tadinya kayak kakak adik, jadi–"
"Maksudnya?"
Aku tergemap karena Kak Rai tak mengizinkanku menyelesaikan kalimatku terlebih dahulu. Kurasa sebenarnya dia tahu apa maksudku. Namun, dia baru saja membuatku merasa gondok. "Nggak, Kak," kataku pelan. "Lupain aja." Aku pun kembali melenjutkan langkah.
"Sha? Kak Rai ngerti kok maksud kamu."
Seketika aku menoleh. Redupnya cahaya rembulan tak mampu menebak potongan perasaan di wajahnya. Sesaat kemudian aku mendengar permintaan maafnya dan aku cukup tahu kalau aku memang tak ada di hatinya.
"Maaf. umur Kak Rai udah nggak pantes buat nyari pacar. Lagian kamu, 'kan tahu pacaran itu nggak boleh. Sekarang udah waktunya Kakak cari calon istri sholehah," imbuhnya tetap dengan nada yang lembut, namun menusuk, bahkan membuat jantungku terambau, jatuh ke aspal dan tertiup angin malam beserta dengan semua harapanku untuk menjadi makmumnya.
"Aisha ngerti."
"Tapi, Sha–"
"Aisha, 'kan tadi bilang lupain aja. Lagian juga kayaknya Kak Rai salah paham," tandasku menyela kalimat yang akan diucapkannya. Aku tak sanggup mendengarnya lagi, karena itu membuatku terlihat semakin bodoh. Menyatakan perasaan pada laki-laki yang seharusnya kuanggap sebagai Kakak.
"Aisha, 'kan nggak ngomongin soal pacaran," tambahku sembari kembali melangkah. "Cuma bilang suka, apa yang salah." Nada suaraku bergetar dan aku tak sanggup mengangkat wajahku sendiri dan Kak Rai pun tak lagi memberi tanggapan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top