Lingkungan Sekitar Kita Adalah Kita

Di jam istirahat aku datang ke ruang OSIS untuk memberikan artikel yang kubuat semalam. "Kak Aisha telat nih," tiba-tiba kudengar Rian mengejek. "Sudah dipasang kali, Kak."

"Aku kesiangan. Itu terserah kalian aja deh, mau dipasang atau nggak. Itu yang terakhir, soalnya aku harus nyiapin buat ujian, jadi nggak bisa ikut terlibat lagi buat bikin artikel."

"Ya udah kita akan pajang ini dan dikasih judul, Yang Terakhir Selalu di Hati," ledek Mia. Adik sepupuku, anak dari Om Ramdan adiknya Papa.

"Iya, gitu bagus," seruku tak berminat. Aku mengangkat tema tentang, Lingkungan Sekitar Kita adalah Kita. Isinya dapat disimpulkan kalau sebenarnya lingkungan tidak membentuk kita, tapi justru menunjukkan siapa kita sebenarnya.

Seharusnya aku sudah tidak terlibat dengan OSIS. Namun, karena Mia ada di dalamnya dan dia ingin aku menjadi penasehat mereka, aku sebagai mantan ketua tak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Seminggu sekali aku berkontribusi untuk menyumbangkan gagasan.

"Kak Aisha lagi bad mood ya?" tanya Mia.

"Iya," jawabku malas.

"Ih, beneran," kata Mia sembari menyikut Rian. " Ya udah deh, makasih ya, Kakakku yang cantik," puji Mia. Pujiannya tak berarti apa-apa dan tak mengubah suasana hatiku. Namun, aku puas untuk artikel terakhirku karena aku mengerjakannya dengan cukup maksimal, bahkan sampai tak tidur hingga pukul dua pagi.

Setelah dari ruang OSIS aku pergi ke kantin. Sayangnya saat melihat ada Kak Rai yang sedang mengobrol dengan Bang Irham dan Andra, aku jadi malas, perutku mendadak kenyang terisi angin. Kedua mataku sempat bersirobok dengan pandangan Kak Rai dan aku ingin menghindarinya.

"Sha?" Tiba-tiba lambaian tangan Andra membuatku mengerjap dan aku hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan kantin. "Aisha." Kudengar kembali suara Andra. Namun, ku abaikan saja dan pura-pura tak mendengarnya.

Kulihat Inne sedang sibuk dan tampak asyik mengobrol dengan adik kelasnya di koridor. Daripada suntuk lebih baik aku pergi ke perpustakaan mencari referensi untuk karya tulis yang harus diajukan sebagai syarat kelulusan.

Aku belum memiliki ide untuk tema karya tulisku sendiri. Atau bisa saja kejadian pagi tadi kujadikan sebagai tema. Tabarruj dan Wanita Modern. Atau Tabarruj, Salah Satu Perilaku Buruk yang Wajib Dihindari Perempuan Modern.

Aku tersenyum di depan buku karya Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, yang berjudul, Tabarruj, untuk siapa kamu berhias? Mungkin aku juga harus mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Kak Rai, karena ternyata kedongkolan yang dibuatnya pagi itu membuatku melahirkan ide kreatif untuk karya tulisku nanti.

***

Semalam, aku, Bang Irham dan Papa mengobrol banyak. Sejak Mama pergi ke haribaan Ilahi tiga tahun lalu, Papa sudah berjuang untuk menjadi ayah yang sempurna, meski aku tahu tak ada yang sempurna, namun, Papa sudah melakukan yang terbaik yang Papa bisa.

Lelah dan kerut di wajahnya membuatku merasa takut. Aku takut kehilangan Papa seperti aku kehilangan Mama. Mama kalah setelah lima tahun berjuang melawan kanker rahim yang dideritanya.

Aku masih ingat kejadian itu bermula ketika aku dan Bang Irham baru berusia sepuluh tahun. Mama mengumumkan kalau kami akan memiliki adik. Aku dan Bang Irham berselisih tentang jenis kelamin adik kami nanti.

"Pokoknya Aisha mau bayi Mama perempuan, biar Aisha ada teman," pintaku setengah memaksa.

"Nggak," tolak Bang Irham. Mama udah kasih tahu aku kalau bayinya laki-laki."

Aku menatap Mama dan Mama lekas menggeleng.

"Ih Bang Irham bohong."

Debat kusir antara aku dan Bang Irham tak berhenti hingga kami sama-sama tertidur dan terbukti hingga sekarang. Jika dulu kami berselisih tentang Mama yang harus tidur di kamarku, Bang Irham pun juga memaksa agar Mama tidur di kamarnya. Sedangkan Papa? Tidak ada yang menginginkan Papa tidur di kamar kami. Karena jujur, Papa kalau tidur berisik dan aku tidak bisa tidur dengan orang yang suka berisik. Bang Irham dan Papa tuh sama, sebelas dua belas. Ngorok dan terkadang aku mendengar gigi Bang Irham mengeluarkan suara aneh kalau sedang tidur. Sampai sekarang aku masih belum menemukan jawaban tentang kenapa Bang Irham kalau tidur selalu membuat giginya mengeluarkan suara cekat-cekit.

Kembali tentang kabar kehamilan Mama. Singkat cerita Mama melahirkan, tapi adik perempuan kami meninggal. Meski belum sempat memeluk, mencium atau menatap wajahnya, aku tahu kalau Mama sangat sedih waktu itu.

"Mungkin Allah takdirkan Mama sama Papa cuma punya satu Aisha dan satu Bang Irham saja," kata Mama waktu itu. "Allah lebih sayang Dede Fatima."

"Allah cuma sayang Dede, Allah nggak sayang Aisha?"

Sejujurnya aku dan Bang Irham juga merasa sedih karena kami juga sering merasakan tendangan Dede di perut Mama. Namun, pertanyaanku waktu itu sudah menunjukkan kalau aku iri pada Dede Fatima.

Mama hanya tersenyum dan aku masih ingat senyumnya. Aku tidak mengerti kenapa orang yang meninggal selalu dikatakan kalau Allah lebih sayang padanya. Sama ketika kami kehilangan Mama. Akhirnya kami mengerti kalau Allah hilangkan sakitnya dan Allah membawa Mama pulang karena Allah sayang Mama.

Mama sudah dua kali dioperasi, pertama untuk mengangkat tumor, karena diagnosa awal memang seperti itu, aku juga tidak begitu paham karena waktu itu aku masih terlalu kecil. Operasi kedua untuk mengangkat rahimnya. Entah kenapa tak sejak awal mereka angkat rahim Mama, agar Mama tak harus menderita dua kali, meski itu berselang cukup lama. Namun kanker tak sampai di sana, meski sudah dilakukan pengangkatan rahim nyatanya sel-sel kanker sangat cepat menyebar, sehingga Mama kalah dan kami kehilangan cerianya. Segala bentuk pengobatan dan kemoterapi seperti tak ada gunanya. Namun, Papa meyakinkan kami kalau itu adalah bentuk ikhtiar dan keputusan akhir tetap ada pada Allah.

Dan malam itu aku meminta Papa agar tidak terlalu banyak bekerja. Seharusnya Papa tak mengambil double job.

"Itu adalah bentuk ikhtiar," kata Papa. Selalu begitu.

"Ikhtiar untuk apa lagi? Kami udah merasa cukup kok. Iya, 'kan, Bang?" Aku meminta persetujuan Bang Irham dan syukurlah dia setuju, karena biasanya dia akan menolak pendapatku.

Papa menghela napas. "Untuk kalian kuliah, untuk nanti kalian menikah."

"Astaghfirullah, masih jauh, Pa."

"Justru itu Papa harus persiapkan dari sekarang," katanya sembari mengempas punggung ke sandaran sofa, kemudian tengadah menatap langit-langit kusam ruang keluarga rumah kami. Televisi dibiarkan menyala, padahal kami tak benar-benar menikmati acara malam itu.

"Nanti kalau kuliah Aisha ikut program beasiswa," kataku sembari menyandarkan kepala di bahu Papa.

"Iya karena Aisha pinter," kata Bang Irham sembari membuang upil. Aku mendelik setiap dia melakukannya. Bukan masalah jorok, tapi aku terlalu sensitif seolah dia menggambarkan kalau kotoran dari hidungnya itu adalah aku.

"Papa percaya kamu bisa. Tapi, kalau jauh dapat beasiswa pun buat apa."

Papa sudah memberi ancang-ancang agar aku tak pergi jauh dari sini. Aku memang cukup dekat dengan Papa dibanding Bang Irham. Setiap kami bertiga duduk di satu sofa yang sama. Bang Irham paling banyak diam dan aku sama sekali tak dapat menebak isi pikirannya. Terkadang memang menyebalkan, tapi kadang bisa jauh lebih perhatian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top