Kertas Berpita Merah Muda
Di depan kelas Kak Rai sedang menjelaskan tentang ujian olahraga yang hari itu akan diikuti oleh semua siswa. Dia mengingatkan untuk membawa air mineral dan menjaga kesehatan, katanya dia tidak ingin kejadian minggu lalu terulang, ada yang pingsan ketika ujian sedang berlangsung. Dan itu aku.
Saat itu aku memang melewatkan sarapan, kakiku tiba-tiba gemetar dan kurasakan tubuhku berkeringat, tapi rasanya dingin sekali, bersamaan dengan itu pandangan mataku kabur, dan aku tak ingat apa-apa setelahnya.
Waktu itu aku sempat bertanya pada Inne setelah berada di ruang UKS. "Siapa yang menggendongku ke sini?"
"Irham. Kenapa gitu?"
Aku menghela napas, tentu saja dia, mana mungkin Kak Rai. "Emang dia kuat?" tanyaku penasaran.
"Kamu lupa badannya sebesar apa?" tanya Inne. "Lagian katanya masih beratan kerupuk sama badan kamu." Inne tergelak. "Nggak kebayang kerupuknya segede apa."
Aku hanya tersenyum. Sudah biasa, Bang Irham memang seperti itu. "Kapan dia ngomong?"
"Pas Pak Raihan tanya, 'kamu bisa nggak?' Ya Irham jawabnya gitu. Kamu harus lihat ekspresinya pas ngangkat kamu."
"Ya, mana bisa, Ne, aku 'kan pingsan," jawabku waktu itu.
Kuliah siang itu Inne sedang senyum-senyum sendiri memperhatikan Kak Rai yang masih berbicara di depan kelas. Jujur aku tidak suka senyum genitnya. Aku tahu dia mengagumi pria bercambang tipis itu, tapi tak seharusnya dia menunjukkannya di depanku, mengingat aku membenci pria itu.
"Heleh, om-om," cibirku ketus.
Inne malah menyenggol bahuku dengan tubuhnya tanpa menoleh kepadaku. "Om-om yang ini ganteng kok, Sha, apalagi masih lajang. Aku rela deh nikah muda kalau yang lamarnya Pak Raihan," bisik Inne.
Aku seketika bergidik. "Orang seusia Pak Raihan itu pantasnya sama Bu Khadijah. Sama-sama cukup umur, lagian kita masih terlalu kecil untuknya," kataku.
"Kita?" Inne mengernyit menatapku.
Kedua mataku terbuka lebar. "Maksudku kamu," kataku meralat kata kita yang tadi kuucapkan tanpa sadar. Kuedarkan pandangan dan semua teman menatapku. Ah! Sepertinya aku terlalu emosi, hingga yang lain mungkin mendengar ucapanku, tapi yang mana? Jangan-jangan semuanya.
Tidak-tidak!
Kak Rai tersenyum menatap kami. "Sudah siap?" tanyanya.
Aku lekas tertunduk kemudian mengangguk dan Inne kembali menyenggol lenganku. "Kamu sih, jadi ketahuan, 'kan."
"Maaf," gumamku tak enak hati. Inne mungkin malu, padahal aku sendiri jauh lebih malu kalau sampai yang lain dan Kak Rai mendengar aku mengata-ngatainya.
Tak berapa lama yang lain bangkit dan meninggalkan kelas, begitupun dengan Inne yang dengan sengaja mendorong lututku agar bergeser dan memberinya jalan. Kurasa dia benar-benar marah padaku. Aku mengikuti Inne dari belakang. Sebagian siswa sudah pergi ke lapang, sedangkan kulihat Kak Rai malah asyik mengobrol dengan Bu Khadijah di koridor depan kelasku. Inilah yang tidak kusuka, kenapa selalu saja ada jeda untuk memperhatikan mereka padahal jelas itu bukan urusanku.
"Aisha!" Andra melempar sesuatu ke arahku. Aku terdiam beberapa detik usai menerima surat yang diikat pita merah muda dan ada sesuatu yang keras di dalamnya.
Andra tersenyum dan tak ada alasan untukku menolak senyum itu. Dia kemudian melambaikan tangan. "Duluan," katanya.
Aku mengangguk kaku. Apalagi semua orang menatapku. Aku lekas tertunduk dan termangu menatap benda yang dibungkus kertas putih bertuliskan "Semangat Aisha" dan diikat pita merah muda.
"Ciee." Inne menyenggolku.
"Sudah-sudah kenapa pada ngumpul di sini, cepat ke lapang semuanya." Kak Rai menginterupsi.
Aku lekas pergi ke lapang basket sembari terus menggenggam hadiah pemberian Andra. Seharusnya aku meletakkannya di kelas, namun karena rasa gugup aku jadi lupa melakukannya dan malah membawanya ke lapangan.
Di lapangan saat kami sudah berbaris dengan jarak setengah meter dari yang lain. Karena rasa penasaran diam-diam aku segera membuka pita pengikat dari gulungan kertas tersebut. Aku kaget, isinya ternyata satu buah permen berwarna merah dengan tulisan I Love U di belakang bungkus permen tersebut. Jantungku bertabuh sampai lututku terasa lemas. Ah, ya ampun, jangan sampai aku pingsan lagi.
Tiba-tiba kudengar Kak Rai berdehem. Entah sejak kapan dia berdiri di sebelahku dan menatap apa yang sedari tadi kupegang.
"Kita sudah mulai," katanya.
"Maaf." Aku lekas memasukkan kertas dan permen tersebut ke saku, namun, Kak Rai memintanya. Dia membuka telapak tangannya di depanku. "Apa itu?"
Perlahan kuangkat wajah dan menatapnya. "Cuma permen, kok, Kak, eh ... Pak."
"Mana saya lihat."
"Tapi, Pak."
"Berikan, atau kamu keluar dan tidak ikut ujian," ancamnya.
Jantungku mencelus. Aku lekas merogoh saku dan meletakkan pemberian Andra di atas telapak tangan Kak Rai, setelah itu aku tertunduk.
"I Love You?" katanya dengan nada bertanya. "Maksudnya apa ini, Aisha?"
Kedua mataku membola dan lekas tengadah menatap Kak Rai yang masih berdiri di sebelahku. Dia baru saja membaca apa yang tertulis di belakang bungkus permen tersebut. Dia kemudian berdehem dan membuka gulungan kertas itu. Ya Allah, jangan sampai dia membacanya atau aku akan semakin membencinya.
"Aisha ...."
Aku lekas tertunduk.
"Jika kamu menerima cintaku ...."
Kak Rai tiba-tiba terdiam dan aku kembali menatapnya, meski merasa takut. Dia meremas kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket.
"Ayo kita mulai lagi semuanya." Dia meniup peluit. Namun, wajahnya terlihat begitu kesal. Dia memberi arahan agar kami melakukan beberapa gerakan yang sudah diajarkan. "Nanti akan di tes satu-satu. Gerakan lokomotor, non lokomotor dan ...."
Kak Rai menatap tajam ke arahku dan aku lekas tertunduk. Ya ampun sepertinya dia benar-benar marah, semoga Kak Rai tidak melaporkanku atau Andra ke kepala sekolah. Aku tidak masalah nilai olahragaku jeblok asal jangan sampai ini sampai pada kepala sekolah dan kemudian berakhir di telinga Papa.
***
Matahari kian meninggi. Praktek olahraga sudah selesai dan saat hendak beristirahat di tempat teduh tiba-tiba satu tangan menganjur menyodorkan sebotol air mineral. "Maaf untuk tadi, Sha, aku nggak tahu kejadiannya bakal kayak gini."
Aku menatap Andra, dua detik kemudian aku mengabaikannya dan aku memilih pergi meninggalkan lapangan.
"Aisha," panggilnya keras.
Aku mendengkus dan tak menoleh kepadanya. Hari itu Andra sudah membuatku malu. Kak Rai juga sama. Aku tidak bisa mentolerir rasa dongkolku pada dua laki-laki itu. Tiba-tiba Andra sudah berdiri di depanku.
"Aisha, aku minta maaf." Dia memohon dan bahkan berlutut di depanku.
"Kamu apa-apaan? Malu." Kedua mataku membola.
"Kalian berdua, ke kantor sekarang!" titah Kak Rai.
Seketika kami terkesiap mendengar perintah itu. Baru kali ini dalam sejarah aku membuat hal memalukan. Bukan mau berbangga diri, aku adalah murid berprestasi dan citraku di sekolah sangat baik. Andra mengacaukannya hanya dalam beberapa menit saja, seharusnya dari awal aku tak menerima sesuatu yang dia lemparkan padaku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top