Jangan Berduaan!

Semalam sepulang dari kajian, hujan lebat dan baru reda pagi tadi. Sisa-sisanya bahkan masih begitu terasa, terutama dinginnya. Daerah Bandung memang terkenal sejuk, meski tak dapat dipungkiri kalau sedang panas, ya panas. Dingin kian menusuk pori kulitku. Aku lekas menyambar sweater rajut yang menggantung di balik pintu. Di luar rumah, Bang Irham sudah teriak-teriak memanggil namaku.

"Cepat, Sha," teriaknya lagi. "Kalau masih lama aku tinggal nih," ancamnya.

Aku berlari sambil memakai sweater, kemudian naik ke atas motor. "Yuk," kataku sembari memukul bahunya. Papa sudah berangkat lebih dulu beberapa menit yang lalu. Kami memang selalu berangkat terakhir karena jarak yang tak sejauh tempat kerja Papa. Papa bekerja sebagai Human Resource Development di sebuah pabrik sepatu yang cukup terkenal dan produk sepatunya khusus untuk dikirim keluar Negeri.

"Pintu udah dikunci?" tanya Bang Irham.

"Udah."

Motor pun melaju pelan dan kurasakan angin menerpa kulit wajahku membuat jilbab yang kukenakan sedikit melekuk.

"Sha, si Andra, 'kan nembak?" tanya Bang Irham di tengah perjalanan.

"Hm."

"Terus diterima nggak?"

Aku malas menjawab pertanyaan Bang Irham. Lagi pula sejak kapan aku curhat tentang laki-laki padanya? Tidak pernah! Yang ada dia malah terus menggodaku.

"Sha?"

"Sebenarnya aku gantung Andra. Jahat nggak sih?"

"Uh, kasihan anak orang pake digantung segala. Jangan minta dia nunggu kalau pada akhirnya kamu akan nolak dia. Nanti bapaknya yang TNI itu datang ke rumah nahan Papa, kamu mau?"

Aku tahu Bang Irham hanya bercanda dan menakut-nakutiku saja. Tapi aku tidak tahu kalau ayahnya Andra seorang Tentara.

Usai turun dari motor aku lekas pergi tanpa menunggu Bang Irham.

"Sha?" Tiba-tiba aku mendengar suara Andra. "Gimana, Sha?" tanyanya seraya mendekat.

"Apanya yang gimana?"

"Aku nggak bisa nunggu sampai nanti."

Tentu saja aku tidak mengerti dan hanya termangu menatapnya.

"Yang kemarin. Aku nggak bisa konsentrasi, aku minta jawabannya sekarang."

"Astaghfirullah, Andra. Aku nggak ada waktu buat mikirin itu."

"Kamu bilang, kalau nilaiku bagus kamu akan kasih jawaban. Jawabannya apa?"

Aku menatap wajah frustasinya. Aku pernah berada di posisi Andra dan memang perasaan itu sangat mengganggu.

"Kalau nilaiku bagus–"

"Aku terima kamu," selaku cepat.

Kedua mata Andra terbuka lebar dan kulihat wajah yang tadi terlihat murung, berseri dalam sekejap. Aku sampai terperangah melihatnya.

"Aku janji, nilaiku akan lebih baik dan kita akan setara."

Aku malah ingin menggelengkan kepala, bukan tidak percaya hanya saja aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Andra pikirkan tentang aku selama ini?

"Tapi, nggak boleh ada yang tahu soal ini."

"Kenapa?"

"Aku ... hhhh .... ck." Aku kembali mengambil langkah dan Andra mengejarku. "Kita ada ulangan dan kamu tahu absenku yang pertama."

"Aku juga yang pertama. Gimana kalau kita belajar bareng," usulnya.

"Maaf, Ndra, lain kali aja." Aku lekas pergi menuju loker. Masih ada satu jam untuk mengulang semua hafalan.

"Please, Sha."

"Ndra, mungkin kamu salah waktu. Kenapa nggak dari dulu."

"Udah. Kamunya aja yang nggak sadar."

Seketika aku tergemap. Namun, tetap melanjutkan langkah dan Andra tetap mengikutiku. Akhirnya kami belajar bersama dengan mengajukkan pertanyaan secara bergantian dan kuakui ini sangat menyenangkan, andai aku dan Bang Irham bisa seperti ini mungkin menghafal akan lebih mudah.

***

Selama dua minggu ini aku dan Andra menjadi dekat, belajar terasa lebih mudah dan tanpa beban dan rasanya jauh lebih menyenangkan. Ternyata dia satu frekuensi denganku. Entah kenapa aku jadi peduli padanya, awalnya memang dia yang mengingatkanku lewat pesan apakah sudah belajar atau belum, sudah sampai mana, apakah ada kendala atau tidak. Namun, aku juga jadi ingin menanyakan itu padanya. Sejak Andra hadir aku merasa punya teman sharing. Andra tak berlebihan memberikan perhatian dan aku nyaman dengan itu.

Pernah suatu pagi Andra menitipkan coklat pada Bang Irham. Dia juga meminta agar Bang Irham merahasiakan hubungan kami dengan dalih demi kebaikanku. Untungnya Bang Irham mengerti, meski terkadang dia kesal lantaran selalu merasa dijadikan kurir oleh Andra.

Aku tertawa saja mendengar keluhan Bang Irham. Namun, memang ku akui Andra sering sekali menitipkan hadiah-hadiah kecil seperti coklat, cake, apapun yang manis-manis. Saat kutanya kenapa cuma yang manis, katanya biar bisa menjaga mood ku.

Andra memang paling bisa membuatku tersenyum. Inne sampai berkomentar kalau semakin hari wajahku semakin terlihat cerah dan aku selalu bersemangat. Aku juga tak lagi menghiraukan Kak Rai. Sekarang aku merasa baik-baik saja setiap berpapasan dengannya. Kurasa keputusanku menerima Andra tak salah.

Kemarin di hari terakhir ulangan, aku tak sengaja berpapasan dengan Kak Rai di perpustakaan. Waktu itu aku sedang belajar bersama Andra untuk pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Kami berdiskusi dan saling melempar pertanyaan terkait pelajaran tersebut. Aku merasa memiliki teman diskusi yang sejalan, sedikit perdebatan, bahkan hampir tak pernah ada.

"Kenapa cuma berdua?" tanya Kak Rai. Aku sudah memberitahu Andra kalau Kak Rai adalah anak sahabat Mama dan ibunya Kak Rai ikut andil membesarkanku, jadi aku sudah menganggap Kak Rai seperti kakak sendiri.

"Kami sedang belajar, Kak," jawabku terbata.

"Kenapa nggak sama yang lain?" tanyanya.

"Yang lain suka berisik katanya, Pak," jawab Andra. "Soalnya dari dulu kalau belajar pas ulangan Aisha suka di sini."

"Oh." Kak Rai mengambil langkah, namun kemudian dia menoleh. "Aisha, hati-hati berduaan, ketiganya setan."

Jantungku mencelus. Aku tak langsung menyadari kalau sebenarnya hari itu Kak Rai sedang memperingatkanku. Sampai Kak Rai pergi pun aku masih belum menyadarinya. Namun, saat pulang sekolah dan ujian berakhir ada sesuatu yang terjadi dan untuk pertama kalinya aku merasa resah atas kejadian itu.

Waktu Andra menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Tentu saja kubilang kalau aku terbiasa pulang dan pergi bersama Bang Irham.

"Irham bilang boleh kok, Sha," kata Andra.

Aku terdiam dan mencoba menimbang, namun, saat aku melihat Kak Rai sedang memperhatikan kami, seketika itu juga aku katakan, "Lain kali aja ya, Ndra."

"Kamu belum siap hubungan kita diketahui orang?"

"Hubungan?" Keningku mengernyit.

"Sekali ini aja, Sha, aku mau ajak kamu jalan. Untuk merayakan keberhasilan kita. Lagian selama kita pacaran kita belum pernah jalan."

"Pacaran?" Aku tidak lupa kalau aku pernah menerima Andra. Namun, selama dua minggu ini aku jadikan Andra sebagai teman tak lebih, sayangnya, aku tidak mengerti kalau ada tuntutan seperti itu.

"Kenapa, Sha? Kamu keberatan?" Kening Andra mengernyit. Dia terdiam menunggguku menanggapinnya. Namun, aku malah bingung, aku sadar ini salah, tapi bagaimana cara mengatakannya pada Andra?

"Sha?"


Aku menghela napas dan kuedarkan pandangan. "Kita pergi sama Inne sama Bang Irham juga."

"Tapi, Sha?" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top