Dipanggil Ke Kantor

Sepanjang langkah saat aku mengikuti Kak Rai menuju kantor aku benar-benar merasa takut. Kak Rai adalah orang yang tegas, meski lembut dan tak pernah membentak, namun itulah yang membuatku takut untuk membantah.

Sesampainya di kantor, Kak Rai duduk di kursi, sementara aku dan Andra berdiri di depannya. Jantungku bertabuh dan tenggorokanku terasa sangat kering. Gugup! Aku benar-benar merasakannya. Padahal Kak Rai bukan orang baru bagiku, kami tinggal satu komplek dan kedua orang tua kami bersahabat sejak lama. Namun jelas itu tak ada kaitannya karena aku baru saja mengacau jam pelajarannya, apalagi kami sedang ujian praktek.

"Ada yang mau menjelaskan?" tanya Kak Rai. Suara beratnya membuat lututku lemas. Aku lekas menarik napas dan menatap wajah pria berkulit putih bersih tersebut.

"Aisha minta maaf karena sudah membuat kekacauan di jam pelajaran Kak–"

"Bukan salah Aisha. Ini memang salah saya." Andra baru saja memangkas kalimatku, padahal aku hendak meminta maaf selayaknya adik pada kakaknya.

"Ya, kamu memang salah. Kalau tidak salah kamu tidak akan berada di sini."

Andra mengangguk dan aku menghela napas. Ah! Kenapa harus begini?

"Tapi, Aisha juga salah. Kalau saja dia mau menahan diri untuk tidak membuka surat dari kamu di jam pelajaran saya, kejadiannya tidak akan seperti ini."

Jantungku mencelus. Tentu saja aku menyadari kesalahanku. "Maaf," ucapku dan Andra bersamaan.

"Maaf kalian tidak cukup karena sudah bikin saya kesal." Kak Rai memberi jeda, namun aku tak berani menatap wajahnya. "Saya memang guru sementara di sini menggantikan Pak Gunawan yang sedang cuti, kalian tahu itu, 'kan?"

Kami mengangguk.

"Tapi, bukan berarti saya tidak bisa menghukum kalian." Dia kembali memberi jeda. "Aisha."

Aku lekas mengangkat wajah dan menatapnya. "Kamu itu anak berprestasi, saya tahu kamu tidak akan meninggalkan satu jam pelajaran pun, apalagi ini sedang ujian." Kak Rai terdiam menatapku sampai beberapa detik. "Andra."

"Iya, Pak?"

"Sebentar lagi Ujian kelulusan, seharusnya kalian belajar lebih giat, bukan malah pacaran. Ngapain pacaran, nggak ada gunanya, cuma nambah beban pikiran."

"Aisha nggak–" Kalimatku tercekat saat Kak Rai mengangkat telapak tangannya.

"Kalian mau saya panggil orang tua kalian ke sini?"

"Jangan dong, Kak. Jangan bilang sama Papa, Aisha mohon," kataku pelan dan tenang.

Kak Rai menggeleng.

"Kak, please, Kak. Aisha nggak apa-apa dapat nilai merah asal jangan kasih tahu Papa," rengekku kali ini.

"Kamu yakin?" tanyanya.

Aku merengut, tentu saja aku juga tidak rela mendapat nilai merah karena kejadian ini tidak ada kaitannya dengan pelajaran olahraga, rasanya tak adil juga.

"Aisha, kamu yakin?" tanya Kak Rai sekali lagi.

"Nggak," jawabku lirih.

"Kenapa kamu mengubah keputusan kamu?"

"Masalahnya ini nggak ada hubungannya sama pelajaran olahraga."

"Iya, kamu benar. Mungkin ini ada kaitannya dengan pelajaran akhlak."

Aku menghela napas. "Ya udah deh, dihukum aja, nggak harus panggil Papa ke sini, 'kan?"

Kak Rai bangkit. "Tapi, Papa harus tahu kalau anaknya di sekolah malah pacaran," katanya pelan.

"Kak, Aisha nggak mau jadi beban pikiran Papa. Kak Rai sendiri tahu, 'kan perjuangan Papa selama ini."

"Nah itu. Mangkanya jangan bikin Papa kecewa. Ini peringatan terakhir, kalau sampai terjadi lagi, Kak Rai akan bilang sama Papa." Akhirnya dia melepaskan keformalannya. Aku lebih suka dia memarahiku seperti Kakak, bukan seperti guru. Berbeda ketika dia mengingatkanku tentang tabarruj waktu itu, aku jauh lebih sakit hati, padahal dia bisa memberitahuku layaknya adik, seperti biasanya.

Aku mengangguk. "Jadi?"

"Ya sudah kamu kembali."

"Makasih, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab kak Rai.

"Saya gimana, Pak?" tanya Andra. Aku menoleh ke arahnya.

"Kamu tahu letak kesalahan kamu, 'kan?"

Andra mengangguk.

"Jangan pernah ulangi lagi karena saya tidak suka."

"Saya minta maaf, saya janji, Pak."

"Kamu boleh pergi."

Mendengar Kak Rai meminta Andra pergi, aku lekas berlari meninggalkan teras kantor, kalau mereka tahu aku menguping, bisa malu.

***

Sepulang sekolah Andra kembali meminta maaf, rasanya sama seperti kak Rai maaf saja percuma karena semua sudah terjadi, tapi marah pun tidak ada gunanya yang ada nanti aku malah menyakiti hati Andra.

"Aku udah maafin, kok, Ndra."

"Makasih, Sha." Dia memberi jeda dan tetap mengiringi derap langkahku. "Tapi, aku butuh jawaban kamu. Biar jelas dan nggak digantung."

"Jawaban apa?"

"Soal tadi."

Aku menatapnya lama.

"Jadi, kamu terima apa nggak?"

"Aku nggak tahu," kataku sembari mempercepat langkah. Namun, Andra malah mengejarku sambil bilang kalau ini penting untuknya. Aku menghentikan langkah dan termenung di depannya, sementara perlahan koridor sekolah mulai sepi.

"Gimana, Sha?"

Melihat raut wajahnya, aku takut dan aku tak ingin melukainya. Mungkin perasaan takut yang kurasakan itu adalah, aku takut menyakitinya.

"Kalau kamu dapat nilai tertinggi untuk ujian nanti, mungkin aku bisa pertimbangkan."

"Benar, Sha?"

Aku termangu beberapa detik. Tunggu! Apa aku baru menjanjikan sesuatu pada Andra? Aku tergagap. "Ma-maksudku–"

"Aku bisa buktikan kalau aku layak untuk kamu, Sha."

Aku menggeleng dan dia malah pergi tanpa mendengar penjelasanku lagi. Akhirnya aku hanya bisa menghela napas. Semoga Andra tak serius.

Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan perkataan Andra tentang dia yang layak untukku. Apa maksudnya. Sesampainya di rumah aku mengempas tubuh ke sofa.

"Tadi di kantor ngapain aja?" tanya Bang Irham sembari melepas tas dari bahunya.

"Cuma dinasehati."

"Masa nggak dihukum? Argh nggak seru," katanya sembari melengos pergi. Kadang aku bertanya-tanya apa dia benar kakakku? Saudara kembarku yang hanya berbeda lima menit, kenapa ingin sekali dia melihatku susah?

"Seharusnya Kak Rai hukum kalian, minimal hormat bendera dua jam. Atau yang berat bersihin seluruh toilet sekolah kek."

Aku menghela napas, kemudian bangkit. "Untung Kak Rai, bukan kamu." Aku kemudian pergi ke kamar.

"Heh, Sha. Kamu itu baru aja nggak menghargai Kak Rai sebagai guru," teriak Bang Irham dan kurasa dia benar. "Kalau Andra mah nggak salah, karena kamu juga nggak harus buka pemberian Andra saat itu juga, 'kan?"

Aku tahu kalau Bang Irham sedang mengemukakan pendapatnya, tapi tak seharusnya dia membela Andra karena di sini akulah adiknya.

"Ya, tapi kalau dipikir-pikir si Andra juga salah sih, padahal dia bisa nunda sampai jam istirahat, 'kan? Emang kalau orang jatuh cinta kayak gitu?" tanya Bang Irham.

"Ya, nggak tahu. Emang nggak pernah?"

"Pernah, tapi nggak sebodoh kalian sih."

"Hah, maksudnya apa? Aku nggak ada perasaan sama Andra."

"Ya kalau gitu tolak."

Aku tergemap. Aku tak mungkin bilang kalau aku sebenarnya suka sama Andra dan aku tak ingin menyakitinya, tapi rasa sukaku tak perlu berakhir dengan pacaran juga sih.

"Pantes si Andra nanyain kamu terus, sukanya apa, Makes, Mikes? Alah bosen dengar dia nanyain itu terus, seminggu kemarin aku sampai jauhin dia. Akhirnya aku tanya, kenapa harus Aisha, kenapa nggak yang lain aja, lagian si Aisha orangnya nyebelin."

Aku tersenyum sinis. "Abang macam apa yang jelekin adiknya sendiri," gerutuku kesal sembari pergi melewatinya menuju kamar mandi.

"Kenyataan woi, nggak ada yang jelekin kamu."

"Itu tadi apa namanya? Kenyataan atau nggak tetap aja itu ngejelekin." Bang Irham baru saja menambah kedongkolanku. Kalau Andra memilihku, lalu apa yang salah, ini hanya masalah momen yang kurang tepat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top