Aisha, Itu Namanya Tabarruj

Pagi itu ketika semua sudah berkumpul di halaman sekolah untuk melaksanakan upacara bendera, aku masih mencoba untuk memaksimalkan diri agar tidak tertinggal, saat tengah menaiki anak tangga menuju lantai dua gedung sekolah SMA Islam Terpadu Lukmanul Hakim, aku mendengar seseorang memanggil namaku. "Aisha Fitria."

Perlahan aku berbalik. Kudapati pria berkemeja biru laut berdiri di depanku. Aku tidak menyadari kalau aku baru saja berpapasan dengan guru olahragaku. Raihan Arsalan. Pria tamp... Ah! Sudahlah. Lupakan!

Setiap aku bertemu dengannya, jantungku tak berhenti berdebar, menyesakkan. Entah kenapa, bahkan lebih kencang dari saat aku bertemu Andra. Dan aku membenci debaran ini.

"Kakak cuma mau bilang, kalau ke sekolah jangan pakai parfum terlalu banyak, apalagi sampai menumpahkan satu botol ke baju kamu," sindir Kak Rai.

Hah! Jantungku rasanya ingin jatuh terguling lalu berhenti tepat di kedua kakinya, agar dia tahu kalau aku tak melakukan seperti apa yang dia bilang barusan. Botol parfumku masih penuh, bahkan tak sampai satu mili aku memakainya.

Entah kenapa hawa panas yang sebelumnya kurasakan kini berubah dingin menusuk pori. Inilah hebatnya pria itu berhasil memporak-porandakan seluruh saraf di tubuhku.

"Aisha, kamu meninggalkan wangimu di setiap jejak yang kamu lewati. Dan orang di belakangmu akan dengan enaknya menghirup aroma yang kamu tinggalkan."

Aku hanya bisa tertunduk, sulit rasanya untuk menyangkal karena dia sudah terlanjur merasakannya, sepertinya memang hanya dia yang keberatan sedangkan sebelumnya Andra tak ada masalah dengan aroma parfumku.

Aku berharap tak ada yang melihat betapa dongkolnya aku pagi itu. "Hati-hati, karena kamu telah mengundang pikiran liar lelaki," tambahnya pelan.

Astaghfirullah. Itu adalah tuduhan yang teramat keji untukku. Dia pikir aku sengaja melakukannya? Dadaku semakin sesak mendengar apa yang dia tuduhkan.

"Aisha," kudengar suaranya melunak, "itu namanya Tabarruj. Tabarruj itu menampakkan perhiasan yang dapat mengundang syahwat lelaki."

Aku menarik napas, kemudian mengangguk. "Aisha ngerti." Perlahan aku mengangkat wajah yang memerah akibat rasa dongkol dan sedih karena tuduhan tak berasas tersebut. "Maaf, Aisha nggak tahu," sambungku. Sayangnya aku terlalu cengeng, sehingga gagal melenyapkan getaran dari suaraku. "Makasih udah di ingetin, Kak," imbuhku pelan.

Aku lekas berbalik tanpa melihat bagaimana senyumnya setelah mendapat permohonan maaf dan rasa terima kasih karena sudah diingatkan pada kebaikan, meski aku masih merasa kalau dia setengah menuduhku.

Hhhh ... mendadak aku kehilangan semangat, rasanya kakiku lemas. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hukuman yang sempat ingin kuhindari. Biarlah sekali-kali namaku terpampang jelek, toh aku tak bisa mengontrol semuanya seperti aroma parfum yang kupakai. Hidung Kak Rai mungkin terlalu sensitif. Jika para lelaki berpikir liar akibat aroma parfumku, apa itu salahku? Oh tentu saja bukan! Kenapa mereka tak mencoba mengendalikan pikiran mereka sendiri? Bukankah kata James Allen dalam bukunya As a Man Thinketh menyebutkan kalau, pikiran mulia melahirkan sosok yang mulia, sedangkan pikiran buruk melahirkan sosok yang menakutkan.

Jadi, apa salahnya kalau para lelaki lebih mengendalikan pikiran mereka ke hal-hal yang lebih baik dari sekedar mencium aroma parfum perempuan. Meski sudah mengucapkan maaf karena ketidaktahuanku dan terima kasih atas pemberitahuannya, namun hatiku tetap saja dongkol. Aku ingin membela diriku di depannya, setidaknya dengan kalimat James Allen tadi, agar pembelaanku sedikit berilmu. Namun, untuk berbicara dengannya perlu kekuatan penuh, bahkan sebelum pembelaan itu muncul saja hatiku sudah ingin menangis.

"Sha? Kamu nggak apa-apa?" Aku mendengar suara Inne, barusan aku memang pura-pura tidak melihatnya. Dia pasti mendengar apa yang dikatakan Kak Rai padaku. Inne malah mengikutiku menuju loker. "Buruan Sha, udah bell," ucapnya setelah suara bell berdering.

"Duluan, Ne," kataku cepat tanpa menoleh padanya. Sesuatu membuatku mematung di depan lokerku sendiri. Pandanganku tak teralihkan dari sebuah amplop merah muda yang teronggok di dalam loker beserta sebuah kotak kecil berbahan rotan yang dianyam. Sejak kapan aku memiliki penggemar rahasia? pikirku kaget.

"Aku khawatir sama kamu. Nanti bisa-bisa kamu dihukum karena telat." Inne menarik pelan tanganku.

"Iya-iya." Aku lekas menutup loker dan segera berjalan mengikuti Inne menuju halaman sekolah. Semua anak sudah berkumpul dan aku mendapat barisan paling akhir setelah Inne. Aku masih mencoba mengontrol napasku yang terasa agak berat. Aku yakin ini bukan hanya karena berlari, pasalnya aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di dada, entah itu karena tuduhan Kak Rai atau karena surat barusan.

"Sha?" bisik Inne.

"Hm?" Aku lekas menunduk dan sedikit mencondongkan kepala ke punggung Inne.

"Pak Raihan religius banget ya?" bisik Inne. Hhh! Sudah kuduga dia akan membahasnya. Segera saja aku menegakkan tubuhku dan pura-pura tak mendengar perkataannya barusan. Tak ada gunanya aku membahas Kak Rai.

Tiga bulan yang lalu tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran pria itu di tengah kelas. Bagaimana tidak, orang yang biasa kupanggil Kak Rai mendadak jadi guru sementara di sekolahku menggantikan Pak Gunawan yang cuti karena harus merawat ibunya yang sakit. Sejak saat itu hari-hariku berantakan. Sudah kubilang urat sarafku bereaksi setiap bertemu atau sekedar mendengar namanya. Terkesan berlebihan, namun itulah yang kurasakan. Sayangnya aku tak dapat mengendalikan rasa itu.

Setelah upacara selesai, aku berjalan santai, bahkan terlalu santai hingga tak menyadari tinggal aku sendirian di koridor sekolah. Semua orang sudah masuk ke dalam kelas masing-masing. Semangatku hari itu benar-benar hilang terbawa angin. Bukan angin topan, puting beliung atau angin ribut lainnya, tapi angin yang dibawa guru olahragaku, hawanya panas dan menyesakkan.

"Sha." Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku. Aku mengurungkan niatku untuk naik ke lantai dua. Aku tidak menyadari keberadaan Andra di pojokan tangga. Perlahan dia mendekat. "Selamat ulang tahun, ya."

Aku membalas ucapan selamat Andra dengan senyuman. Tak ada yang lebih baik selain itu. Sebenarnya aku tak pernah merayakan hari ulang tahun. Bahkan aku tak yakin Papa ingat dengan tanggal lahirku dan Bang Irham.

"Buat kamu." Andra menganjurkan kotak sebesar buku, aku tidak tahu isinya apa, hanya saja mungkin memang buku. Apa Andra menghadiahiku selusin buku Sinar Dunia? Entahlah, yang jelas cukup tebal untuk dikatakan satu buah buku.

"Makasih, Ndra." Aku meraih kotak berwarna biru tersebut. Sepanjang kami melangkah menuju kelas, gerak langkah kaki kami cukup seimbang, seperti memang diciptakan aku di kanan dan dia di kiri. Saling melengkapi.

Setahun yang lalu Andra datang sebagai murid baru pindahan dari Jakarta. Dia mengikuti ekskul musik dan kemudian diangkat menjadi vokalis band Abangku. Tak heran karena memang suara Andra begitu ramah di telinga, lebih bagus dari Bang Irham.

"Eh iya, Sha, kok tadi nggak bareng Irham?" Ah! Lagi-lagi itu yang kudengar, apa Andra tak menyiapkan pertanyaan lain yang lebih berbobot daripada membahas Bang Irham. Kalau sekedar pertanyaan seperti itu seharusnya dia tanyakan saja pada Bang Irham, kenapa dengan tega meninggalkan adiknya di rumah hingga nyaris terlambat ke sekolah?

Entah kenapa tiba-tiba Bang Irham datang bak dilempar angin, lalu menyambar seperti petir. "Biasalah telat bangun, dia, 'kan kebo," cibirnya.

"Kok bisa, Sha, memang habis subuh kamu tidur lagi?" tanya Andra.

Boro-boro tidur lagi, aku memang sedang halangan dan semalam setelah bertengkar dengan Bang Irham aku begadang menyiapkan artikel yang akan dimuat di mading pagi ini. Sekarang kulihat Bang Irham nampak biasa saja seperti tak terjadi apa-apa, sikapnya persis seperti Kak Rai. Panjang umur sekali pria dua puluh delapan tahun itu, baru saja terlintas di benak sudah terlihat perwujudannya. Tampak asyik sekali dia mengobrol dengan Bu Khadijah di depan kelasku dekat jendela.

Suasana hatiku kembali buruk, padahal aku baru saja bahagia mendapat hadiah dari Andra. Rasa dongkol masih bercokol di hatiku lantaran setiap melihat wajahnya aku teringat kejadian yang tidak mengenakkan tentang pria berambut ikal itu.

Aku berdehem dan bicara sedikit keras, agar kak Rai ikut mendengarku. "Andra, makasih ya kadonya." Aku mengangkat kado tersebut tinggi-tinggi. Dan aku mendelik saat pandanganku bertemu dengan kedua mata Bang Irham.

Kulihat Andra mengangguk sembari tersenyum lucu, dia tampan dan sebagai perempuan normal aku menyukainya. Ya. Aku menyukai Andra sejak dua bulan yang lalu. Dia berhasil membuat kesan istimewa di hatiku.

"Sama-sama, Sha, semoga suka."

"Duluan." Aku lekas menuju loker dan pandanganku kembali tertuju pada amplop merah muda beserta kotak kecil berbahan rotan, aromanya mencuat, entah kenapa wanginya begitu nyaman, parfum jenis apa yang orang itu semprotkan pada surat dan kotak tersebut. Siapa sebenarnya. Kalau Andra, buat apa dia memberikannya secara terpisah? Kalau hadiah ulang tahun, kenapa tak diberikan langsung seperti Andra? Aku tak bisa langsung percaya pada secret admirer. Takutnya itu hanya orang iseng yang menjahiliku.

Menerka-nerka hanya akan membuat hatiku lelah. Biarlah, kita lihat saja sejauh mana si pengirim surat itu bertahan dengan rahasianya. Setelah mengambil dua buku untuk dua mata pelajaran yang berbeda dan satu buku paket Sejarah Kebudayaan Islam aku masuk ke dalam kelas. Bu Khadijah sudah duduk di kursinya menghadap kami para murid yang siap menerima ilmu darinya.

Senyum Bu Khadijah yang lembut selalu menularkan energi positif pada kami. Mahya paling dekat dengan Bu Khadijah dan aku sering mendengar darinya tentang kedekatan Bu Khadijah dengan Kak Rai.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top