Galau ( Repost)

Reinaldo Narendra

Fikri

Sekali lagi pemeran ini cuma bayangan saya, jika punya visual lain silahkan yaa... Bebas kok. Hehe

Setelah satu minggu istirahat bekerja, pagi ini Adinda kembali beraktivitas seperti biasa. Saat memilih baju yang hendak di pakai matanya tertuju pada gaun malam beberapa waktu yang lalu dia pakai. Ada segaris senyum di bibirnya mengingat ketika tangannya di genggam erat Rei lelaki tampan anak majikan Neneknya. Namun kemudian dia tersadar ketika terdengar suara Kakeknya memanggil dari ruang tamu.

"Ya Kek?"

"Di tunggu Fikri nih." terdengar lagi suara Kakeknya. Adinda tersenyum, Fikri adalah lelaki yang setahun belakangan ini menemani hari-harinya. Mereka berdua saling mencintai, meski orang tua Fikri tidak begitu menyukai Adinda dengan alasan strata ekonomi yang berbeda. Namun itu tidak menghalangi cinta mereka.

"Hai sudah siap?" sapa Fikri ketika melihat Dinda keluar.

"Sudah," jawab Dinda dengan senyumnya.

Setelah berpamitan mereka berdua menuju ke mobil Fikri.

"Mas Fikri kapan datang?" tanya Dinda setelah mereka di dalam mobil.

"Kemarin malam,"

Fikri adalah putra dari Pak Handoko, seorang pedagang sukses di kampungnya. Jabatan sebagai manajer di sebuah Bank membuat dia sangat sibuk akhir-akhir ini, sehingga mereka jarang bertemu.

"Nanti pulang jam tiga kan? Aku jemput ya. Kita jalan-jalan sebentar. Mau?" tawar Fikri.

Dinda tersenyum sambil merapikan rambutnya.

"Aku kangen," bisik Fikri melirik gadisnya.

"Mas, kalau Ibu sama Ayah Mas tahu gimana?" Adinda meragu.

"Sementara kita ngga usah bicara itu dulu ya," jawab lelaki berwajah kalem itu.

Gadis itu mengangguk pelan. Tak lama mereka sampai di tempat Adinda bekerja.

"Terima kasih Mas."

"Sampai ketemu sore nanti ya," ucap Fikri menatap lembut Adinda.
.
.
.
.
.
.

"Dinda, tuh." Fera menepuk bahu Dinda sambil memberi isyarat dengan mata.

Gadis itu mengikuti isyarat mata Fera. Dia melihat Rei sedang menatapnya. Adinda mendekati. "Maaf ada yang bisa saya bantu?" sapa Dinda.

"Ngga ada. Aku cuma mau kasi ini." Lelaki itu memberikan paper bag padanya.

"Baju kamu waktu itu," ujarnya kemudian pergi.

"Tunggu, eum baju pesta dan sepatunya__"

"Ambil aja." Rei memotong kalimat Dinda menuju pintu lalu pergi. Gadis itu hanya memandang punggung Rei dengan tatapan takjub.

"Terima kasih," gumamnya.

Pukul tiga sore Adinda bersiap pulang, seperti ucapan Fikri pagi tadi mereka akan menghabiskan waktu bersama. Setelah mengganti seragam dengan blouse dan celana jeans biru Adinda menunggu di bangku depan toko. Ada bahagia tersirat di matanya, Fikri lelaki yang dia cintai itu sangat memperhatikan dirinya meski restu dari Ayah Ibunya tak kunjung turun. Adinda sangat menyadari hal itu, apalah dia di bandingkan dengan kehidupan keluarga Fikri yang serba kecukupan bahkan berlebih. Dan siapalah dia, hanya seorang gadis penjaga toko roti yang bermimpi mempunyai keluarga yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya. Entah sampai kapan mereka bertahan pada hubungan tanpa restu. Yang pasti saat ini mereka ingin bersama melepas rindu setelah hampir dua minggu mereka tidak bertemu.

Sejenak Adinda melirik jam tangan, sudah setengah jam menunggu. Matanya mencari-cari berharap menjumpai lelaki yang ditunggu. Tak lama mobil berhenti di depannya. "Adinda, ayo masuk," ajak seseorang dari dalam mobil. Mata Adinda mengerjap bahagia, Fikri menjemputnya.

"Kita mau kemana Mas?" tanya gadis itu setelah di dalam mobil.

"Ada deh," jawab Fikri sambil tersenyum.
Mobil mengarah ke Mall terbesar di kota itu.
.
.
.
.
.
Fikri mengajak Dinda memasuki toko perhiasan. Adinda terpukau melihat etalase yang di penuhi dengan aneka cincin dan kalung cantik dengan berbagai macam model. "Kamu suka?" tanya Fikri menatapnya.

Adinda tersenyum mengangguk.

"Pilih mana yang kamu mau," ujarnya tanpa melepaskan pandangan ke Adinda. Mata gadis itu membulat. "Pilih?" tanyanya.

"Iya, kamu pilih mana yang kamu suka, buat kamu."

Wajah gadis itu sontak merona bahagia, dia kembali menatap deretan perhiasan yang berjejer rapi di dalam etalase.
Matanya berhenti pada cincin cantik berhias permata diatasnya. Namun seketika pendar bahagia itu sirna, mengingat hubungan mereka. Sekilas dia melihat lelaki sampingnya yang tidak menyadari perubahan Adinda.

"Mas, untuk apa ini semua, Mas?" lirihnya.

"Untuk kamu, untuk cinta."

"Lalu orangtua Mas?"

Fikri membuang napas kasar. "Adinda, ambil dan pilih cincin mana yang kamu suka, karena aku mencintaimu. Itu saja."

"Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu," ucapnya lagi.

Adinda menunjuk satu cincin bertabur permata, sangat cantik. Setelah di coba pas dan cocok segera Fikri membayar.

"Kamu pakai ya."

"Terima kasih Mas, apa ini tidak berlebihan?" tanya Adinda setelah keluar dari toko perhiasan.

"Tentu saja tidak untuk orang yang aku cintai," ujar Fikri seraya mencubit pipi gadis yang lembut.

Adinda tertawa kecil kemudian membalas dengan perlakuan yang sama. Mereka berjalan menyusuri Mall, kemudian mampir ke restoran cepat saji. Keintiman sangat terasa pada mereka berdua, sesekali Fikri nampak menyuapi Adinda, kadang sebaliknya. Hingga senja menjelang dan mereka bergegas pulang.

💕💕

Meski cinta mereka tidak mendapatkan restu, namun mereka masih bisa saling berhubungan walau diam-diam. Seringkali Fikri mengantar dan menjemput kekasihnya itu. Hingga suatu malam setelah makan malam Adinda diajak bicara oleh Kakek Neneknya.

"Dinda, sampai kapan kamu dan Fikri terus begini?" tanya Kakeknya.

"Maksud Kakek?"

Lelaki tua itu menghela napasnya. Dia sangat menyayangi cucunya itu. Namun siang tadi Bu Wiwik istri Pak Handoko datang dan mengamuk di rumahnya, meminta supaya Adinda mengakhiri hubungan dengan Fikri.

"Maksud Kakek, hubungan kalian yang rumit itu apa tidak lebih baik jika diakhiri saja?"

Gadis itu menatap Kakeknya nanar. Sama sekali tak menyangka ucapan yang baru saja dia dengar keluar dari mulut lelaki yang sangat menyayanginya.

"Tapi kami saling mencintai Kek," lirihnya.

"Adinda, kami tahu kalian saling mencintai. Tapi apa cinta kalian itu saja cukup jika tak ada restu dari orangtua Fikri?. Sepi sejenak, lalu suara Kakek kembali terdengar. "Dinda, menikah itu tidak hanya melibatkan dua orang saja, tapi seluruh keluarga besar. Kamu tidak boleh egois. Ingat sudah berapa lama kalian berhubungan? Apa kamu mau hubungan kalian begini terus? Sampai kapan?"

Mata Adinda terasa panas, airmatanya pelan menetes. Sungguh apa yang dikatakan Kakeknya sama sekali tidak salah. Sampai kapan dia bisa terus bertahan pada hubungan yang tidak jelas ujungnya. Meski dia dan Fikri saling mencintai namun dia tak mungkin menjadi penghalang bakti anak pada Ibunya. Lalu haruskah dia menyerah disaat rasa itu semakin kuat? Berbagai rasa berkecamuk di kepala Adinda. Sesekali dia menyusut airmatanya.

"Dinda, bicarakan hal ini baik-baik ke Fikri ya. Bagaimanapun kalian pernah saling menyayangi, jangan sampai ada kesalahan pahaman di antara kalian." Kali ini Nenek urun bicara.

Adinda mengangguk pelan. "Iya Nek. Terima kasih Kek, besok Dinda akan bicarakan masalah ini ke Mas Fikri."

"Sudah, sekarang istirahatlah. Besok kamu musti kembali bekerja. Siapkan kata-kata yang enak untuk menyelesaikan semuanya ke Fikri ya."

"Iya Nek."

Gadis itu bangkit dari duduknya melangkah ke kamar.

💕💕

Setelah dengan berbagai pemikiran semalam, pagi ini Adinda siap membicarakan masalah hubungan mereka ke Fikri.

Seperti biasa Fikri menjemputnya. "Mas, sore nanti aku mau bicara."

Fikri menatap gadisnya itu bertanya-tanya.

" Ada apa sayang? Wajahmu serius gitu."

"Aku serius Mas," lirihnya menyembunyikan airmata yang hampir tumpah.

Fikri mengangguk, kemudian menjalankan mobilnya menuju tempat kerja.

Sepanjang pagi hingga siang Adinda sama sekali tidak konsentrasi, ada saja kesalahan yang dia buat.

"Dinda, kamu kenapa sih?" Fera merasa heran dengan sikapnya. Dinda menggeleng pelan.

"Ada masalah ya? Bicarakan Dinda, jangan disimpan sendiri."

"Fera, apa semua cinta itu membutuhkan pengorbanan?"

Fera mengernyit, "Maksud kamu?"

"Apa aku tidak pantas mendapatkan kebahagiaan?"

"Dinda, jangan berteka-teki deh! Cerita yang jelas gitu loh."

Dinda menatap sahabatnya lekat, segaris senyum dipaksa tercetak di bibirnya.

"Ada apa Dinda?"

"Ini tentang Fikri, aku mau selesaikan hubunganku dengannya," ucap Dinda datar.

"What? Kamu yakin?" Fera membelalak padanya.

Adinda mengangguk, tersenyum datar.

"Kenapa? Apa karena restu yang belum turun?"

"Begitulah." Dinda mengedikkan bahu.

"Aku turut prihatin Din, aku pikir seiring waktu restu akan turun."

"Mungkin memang harus begini, mungkin juga Fikri bukan jodohku. Entahlah," suara Dinda pelan.

Sejenak mereka saling diam, pengunjung toko hari itu sepi, hanya beberapa orang saja.

"Semoga ini memang keputusan terbaik ya Din, lalu bagaimana jika Fikri tidak terima?"

"Dia harus terima Fera, aku juga ngga bisa meneruskan hubungan tanpa keputusan dan kepastian,"

Fera mengangguk mengelus punggung sahabatnya.

Tak lama pintu kaca toko terbuka, nampak seorang Ibu dengan tas mewah di tangannya. Bergegas Fera menghampiri, "Ada yang bisa saya bantu Bu?"

Sementara Fera melayani, Adinda merapikan letak beberapa kue yang kurang rapi. Lagi-lagi pikirannya melayang merangkai kata yang akan dia sampaikan pada Fikri sore nanti.

"Dinda, Ibu itu nanyain kamu," bisik Fera.

"Kenapa dia nanyain aku Fer?"

"Mana ku tahu, sana temui."

Ragu gadis itu melangkah mendekat.

"Maaf Ibu, Ibu mencari saya?"

Perempuan berusia 50 tahunan itu menoleh kemudian tersenyum ramah.

"Kamu Adinda? "

" Iya, Bu,"

"Adinda cucu Mak Siti?"

"Iya Bu, maaf ada apa ya, Bu?"

"Kamu tidak mengenal saya?" perempuan itu memiringkan wajahnya menatap Adinda.
Ragu dia membalas menatap.

"Nyonya Wiguna?" lirihnya.

"Iya, saya Mamanya Rei. Kamu pasti tau kan?"

Adinda mengangguk mengerti.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?"

Wanita itu tersenyum menggeleng.

"Tidak ada, kamu jam berapa selesai kerja?"

"Jam tiga sore, Bu."

"Oh begitu, ya sudah kalau gitu ibu mau lanjut pergi dulu. Selamat bekerja ya," ucap Ibu Wiguna sambil menepuk bahu Adinda kemudian berlalu dengan membawa kue yang sudah dia beli. Sementara Adinda mengangguk dan tersenyum menanggapi.

.
.
.
.
.
.
Pukul tiga sore, saat Adinda keluar toko, Fikri sudah menunggu di dalam mobil. Senyum manisnya menyambut gadis itu.

"Hai sayang," sapanya ketika Adinda masuk mobil.

"Kamu mau kita kemana?" sambung Fikri menatap gadisnya.

"Kita di sini aja, Mas."

"Adinda, ada apa ini?"

"Aku mau hubungan kita selesai sampai di sini." Suara Adinda serak menahan gemuruh di dadanya.

"Adinda, kamu kenapa sayang?" Fikri mencoba meraih tangan gadis di sampingnya, namun cepat dia itu menghindar. Nampak lelaki itu gusar.

"Katakan kenapa Dinda? Apa ada orang lain?"

"Jangan cepat mengambil kesimpulan, Mas."

"Lalu kenapa, ada apa tiba-tiba seperti ini?"

"Karena hubungan kita adalah hal yang mustahil diteruskan."

Fikri mengacak rambutnya kasar. Wajahnya muram. "Sampai saat ini, restu dari orangtua Mas Fikri belum turun. Dan aku tidak ingin menjadi penghalang bakti seorang anak pada Ibu dan Ayahnya,"

Sunyi, hanya terdengar suara dari mobil lalu lalang. Nampak Fikri mencengkeram kemudi dengan kuat menahan emosinya.

"Aku tidak ingin hubungan kita berakhir seperti ini Adinda," ujar Fikri tegas.

"Lalu?"

"Kamu meragukanku?"

"Sama sekali tidak pernah ada keraguanku padamu, Mas. Tapi__"

"Cukup! Kita ke rumahku sekarang." Fikri menyalakan mobilnya dan meluncur pulang.

Sepanjang jalan Adinda diam. "Dinda, setelah ini kamu akan tahu seberapa serius aku padamu!"

"Mas, jangan membuat keluargamu marah, aku tidak ingin bermasalah dengan mereka. "

"Mereka yang membuat aku seperti ini. Kamu tahu Dinda, aku juga lelah meyakinkan mereka. Tapi mungkin hari ini mereka akan tahu jika aku bersungguh-sungguh dengan pilihanku."

Mobil terus berjalan menuju rumah Fikri, namun di persimpangan, nampak mobil Ayah Fikri menuju ke arah rumah Adinda.

"Mas, itu mobil__"

"Ayahku, kita ikuti."

Dan benar, mobil itu berhenti di depan rumah Adinda. Nampak Ayah dan Ibu Fikri turun dengan tergesa. Bergegas Adinda turun dari mobil.

"Dinda,tunggu." Fikri meraih tangan Dinda dan menggenggamnya erat.

"Saya harus bilang apa lagi ke Pak Hasan supaya kalian berhenti mengizinkan Adinda bertemu anak saya? Berapa yang harus saya bayar supaya perempuan itu berhenti menggoda anak saya?" Suara Ibu Ira terdengar jelas dari luar. Adinda menahan napas mendengarnya.

Fikri mencoba meredam emosinya.

"Maaf Bu, kami sudah bicarakan hal ini ke Adinda, Ibu jangan khawatir, cucu saya itu tidak akan ingkar janji." Suara Kakek terdengar pelan.

"Saya sudah capek menegur dengan cara ini. Apa saya harus langsung menegur cucu kesayangan Bapak itu? "

" Jangan Bu, jangan__"

"Tidak perlu! Saya sudah tahu diri Bu. Saya dengan kesadaran penuh sudah tidak akan lagi berhubungan dengan Mas Fikri," tiba-tiba Dinda masuk dan muncul di tengah-tengah mereka.

"Dinda," ujar Kakek pelan.

"Oh datang juga, kebetulan. Kalau begitu baguslah," sungut Bu Wiwik.

"Ibu kenapa sih sampai ke sini?" tanya Fikri gusar.

"Kamu ngga faham juga, perempuan ini tidak bisa menjanjikan keluarga yang bahagia denganmu kelak. Apa yang bisa kamu dapatkan dari seorang wanita penjaga toko roti seperti dia? Sekolah tidak tinggi. Pergaulan yang kampungan, lalu bagaimana nanti dia bisa menjadi pendampingmu? Itu sangat memalukan Fikri." Ibu Fikri terus berkata merendahkan Adinda. Sementara gadis itu meremas ujung bajunya sambil memejamkan mata menahan emosinya.

"Ibu, cukup! Ibu sadar sudah menghina orang yang aku cintai? Aku di ajarkan Ibu untuk bersopan santan namun kenapa Ibu sendiri tidak bisa menahan diri? "

" Mas Fikri, cukup. Jangan mendebat dan berkata tinggi pada Ibu. Pulang lah, Mas. Hubungan kita sudah berakhir. Ini, aku tidak bisa memakainya," ujar Dinda menyerahkan cincin pada Fikri. "Terima kasih buat semuanya. Ibu benar Bu, saya perempuan bodoh, tidak mengenyam pendidikan yang tinggi, pergaulan saya hanya pergaulan kampung. Jika kelak saya menikah dengan Mas Fikri itu akan menyiksa dan mempermalukan dia. Sekarang Ibu dan Ayah tidak perlu khawatir, saya tidak akan lagi berhubungan dengan putra Ibu."

"Adinda! "

" Tolong, Mas. Renungi ucapan Ibu, beliau benar. Dan sejak saat ini aku sudah tidak mencintai Mas lagi."

Fikri mengusap wajahnya kasar, nampak dia sangat frustrasi dengan keadaan saat ini. Tangan kekarnya mengepal menatap kedua orangtuanya.

"Nak Fikri, sebaiknya nak Fikri pulang. Semua sudah selesai. Bagaimanapun restu orang tua itu segalanya." Kakek mengusap punggung Fikri lembut. Lelaki tampan itu mengangguk, kemudian mengajak kedua orang tuanya pergi meninggalkan rumah Adinda.

Sepeninggal Fikri dan keluarganya.

"Kakek, kenapa ngga cerita kalau mereka sering datang ke sini?"

Lelaki tua itu tersenyum, "Kakek hanya tidak ingin kebahagiaanmu pergi."

"Lalu apa Dinda bisa bahagia jika harus melihat Kakek dan Nenek sedih dan terhina?" tanya Dinda dengan wajah dingin.

"Dinda janji, setelah ini tidak ada satupun yang bisa merendahkan keluarga kita. Dinda janji akan membahagiakan Kakek dan Nenek" lanjutnya.

Tidak ada airmata menetes di pipinya. Hanya napas yang memburu mengingat ucapan orangtua perempuan Fikri.

"Adinda, sudah adzan magrib, sebaiknya kamu membersihkan diri kemudian salat. Tidak perlu mendendam dengan apa yang baru saja terjadi. Percayalah Allah tahu yang terbaik buatmu." ucapan Kakek seolah hujan di hati Adinda. Dia menghela napas kemudian mengangguk.

💕💕

Seminggu setelah peristiwa itu, Fikri dan Adinda tidak pernah lagi bertemu. Pelan gadis cantik itu kembali menata hatinya. Namun rasa sakit atas hancurnya hubungan itu masih terasa.
.
.
.
.
.
"Mau langsung pulang Din?" tanya Fera melihat Dinda berkemas.

"Iya lah, kemana lagi emang? Ada pesanan 100 pie buah untuk besok, aku harus cepat sampai rumah. Sepertinya bakal lembur nanti malam." jawab Dinda sedikit tergesa. Fera mengangguk mengerti.

"Hati-hati ya Din," pesannya ketika mereka berpisah di pintu toko. Adinda mengangguk melambaikan tangannya. Dengan berlari kecil dia menuju halte. Kakinya bergerak gelisah manakala angkutan menuju rumahnya belum ada. Sesekali dia melirik jam tangan. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depannya.

"Mau pulang? Aku antar." Suara lelaki dari dalam mobil terdengar. Sekilas Dinda menoleh ke kanan dan kiri. "Aku bicara padamu Adinda."

Dinda mengernyit menunjuk dirinya.

"Ck, iya kamu."

Gadis itu menggeleng cepat, matanya melihat angkot yang biasa dia tumpangi sudah ada di belakang mobil lelaki itu. Segera dia mengucapkan terima kasih dan bergegas naik angkot dan berlalu. Sementara lelaki di dalam mobil itu menggerutu kesal.

Bersambung.

Ada yang bisa nebak siapa lelaki dalam mobil itu? Ahayy....

Terimakasih sudah mampir dan membaca. Akan dilanjutkan jika komen dan votenya melebihi ekspektasi saya qiqiqiqi. #narsisgue😂

Seperti biasa colek jika ada typo yaa. Maklumlah saya hanya sesemak yang halu. 😂😂😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top