(Empat)
Tekan vote dulu sebelum baca.
Di karya karsa sudah tamat.
***
Malam berlalu dengan sangat lambat, dua sosok anak manusia itu saling sibuk dengan pemikirannya sendiri. Kirana tak pernah menduga, hidupnya bisa berakhir setragis ini, semua yang di rencanakan sudah hanyut dibawa banjir bandang.
Kirana meratapi nasibnya, apa kesalahannya di masalalu sehingga tuhan menghukumnya dengan cara yang paling menyedihkan? Kini apa yang bisa dilakukannya dalam ke adaan lumpuh begini, bahkan untuk buang air kecil dia harus digotong oleh laki-laki itu, melupakan rasa malu yang ada pada dirinya.
Seperti beberapa saat yang lalu, Taduh menyuapinya dengan sabar, bubur itu adalah bubur terburuk yang pernah dimakan Kirana, tapi dia tak punya pilihan lain, dia harus tetap hidup, melanjutkan tujuannya selama ini, bukankah untuk keluar dari hutan dan pedalaman antah berantah ini dia perlu fisik yang sehat dan kuat? Kirana menyemangati dirinya sendiri dan menanamkan keyakinan bahwa dia akan pulih seperti sedia kala.
Setelah makan malam, Kirana tak punya pilihan selain meminta tolong kepada Taduh mengangkatnya untuk buang air kecil, karena mengotori tempat tidur kayu dan keras itu demi rasa malu bukanlah ide yang baik.
Anehnya Kirana merasa Taduh tidak tertarik dengan kecantikannya, kalau laki-laki lain pasti sudah meneteskan air liur, tapi tidak dengan Taduh, laki- laki itu sangat dingin tak tersentuh, tak ada senyum di bibirnya, dia selalu asik dengan dunianya sendiri.
Saat mengangkat Kirana setelah buang air kecil, tak ada sedikitpun Taduh melirik tubuh molek Kirana, bahkan ketika laki-laki itu menempelkan obat yang menyerupai daun-daunan yang ditumbuk, lalu dioleskan bagian luka bertepatan di bagian dada kiri Kirana, tak sedikitpun dia tertarik melihat Kirana. Setidaknya Kirana masih bisa bersyukur, Taduh bukanlah laki-laki yang membahayakan dirinya.
Kirana mengamati langit-langit tempatnya bernaung saat ini, gubuk yang terbuat dari bambu dan beratap ijuk itu berukuran empat kali empat meter, tak ada perabotan sama sekali, cuma satu tempat tidur yang tidak layak dikatakan tempat tidur, tak ada kasur, tak ada bantal, hanya selimut lusuh yang terbuat dari anyaman benang wol, lantainya adalah tanah, disudut kiri ada meja kecil untuk meletakkan makanan dan satu kendi air untuk minum. Kirana benar-benar merasa di planet lain, ini bukan dunianya. Tapi dia masih bersyukur diberikan kesempatan untuk hidup.
Taduh, sudah membaringkan tubuhnya di dekat tungku perapian, tanpa memakai selimut, pria itu mengangkat kedua tangan menjadikannya bantal, memamerkan otot liat dan kuatnya. Matanya sudah terpejam, tapi Kirana yakin pria itu belum tidur, bulu matanya masih bergerak-gerak pelan.
Suara jangkrik dipadukan dengan suara binatang hutan membuat Kirana sedikit ngeri. Bagaimana kalau binatang buas nyasar kepondok ini dan lebih dulu memangsa Kirana yang lumpuh, tapi Kirana meyakinkan diri, laki-laki yang tidur di lantai tanah beralaskan tikar dari pandan itu pasti memiliki keberanian dan kekuatan sekuat ototnya.
Taduh memiringkan badannya menghadap Kirana, menatap sekilas gadis itu dan kembali memalingkan wajah tak peduli. Kirana berfikir, kalau dia sembuh, dia perlu merayakan ini, karena baru kali ini ada pria yang mengabaikannya serta tak peduli dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
Tiba-tiba Kirana teringat kembali kepada Richard, air matanya kembali mengalir, kekasihnya itu memperlakukannya seperti ratu, selalu ada binar kekaguman dan kehangatan di matanya, berbeda dengan Taduh, dia menampakkan rasa enggan dan tidak tertarik secara terang-terangan.
"Apa yang membuatmu menangis?" Taduh akhirnya bertanya pada Kirana, apakah wanita itu merasa kesakitan? dia harus membuat wanita itu sembuh secepat mungkin, mengembalikannya dan kembali melanjutkan hidupnya di pedalaman.
Kirana tidak menjawab pertanyaan dengan logat yang kentara itu, Taduh melanjutkan.
"Ini mungkin tak kau sukai, tapi kau harus tau kita sudah menikah tiga hari yang lalu, tepatnya saat aku menyelamatkanmu. Pernikahan secara adat dan agama kami."
Tangis Kirana pecah, dia sekarang lebih memilih mati. Hidupnya benar- benar sudah berakhir, lumpuh, terdampar di pedalaman dan dinikahi oleh laki-laki primitif, apa yang akan dikatannya kepada Richard nanti? Bagaimana dia bisa hidup di hutan dengan orang yang tak tersentuh teknologi dan parahnya laki-laki itu tak sedikitpun menaruh minat kepadanya.
Kirana merasa hancur, tak ada lagi harapan untuknya, seharusnya tuhan membiarkan dia mati saat itu.
Taduh berdecih malas, dia bangun dari tidurnya menantap Kirana yang masih terisak-isak
"Jangan berfikir bahwa pernikahan ini keinginanku, setelah kau sembuh kita akan kembali kedunia kita masing-masing," tegasnya.
Kirana berhenti menangis, menatap Taduh dengan penuh harap.
"Apa aku bisa memegang janjimu?"
"Aku adalah laki-laki sejati," jawabnya.
Kirana mendapatkan sedikit harapan. Richard, demi Richard dia akan bersabar sampai waktu itu tiba.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top