(Dua Puluh Enam).KBM.

Mereka sampai di perbatasan menjelang sore. Perjalanan selanjutnya akan menempuh medan yang sulit, tapi ada jasa motor khusus menuju ke sana.

Kirana berusaha bernegosiasi dengan dua pengendara motor yang akan mengantar mereka, ketika harga cocok, Kirana langsung membayar mereka secara Tunai.

"Tolong berhati-hati membawa istriku, dia sedang hamil muda," kata Taduh dingin, sejak dia tau Kirana hamil, Taduh menjadi lebih protektif dan cerewet. Kirana hanya tersenyum senang.

"Tenang saja, bang! saya akan menjamin keselamatannya dengan nyawa saya," ucap pria itu dengan mantap.

Mengantar orang pedalaman sudah biasa bagi mereka, karena itu adalah sumber mata pencarian yang menjanjikan, dan ke sana pun cuma bisa dicapai dengan motor khusus yang tak dimiliki semua orang.

Taduh menggendong Kirana, membantu istrinya itu duduk dengan nyaman. Kirana diperlakukan layaknya seorang bayi. Kirana hanya tersenyum dan menurut.

Motor melaju dengan kecepatan sedang, jalan yang dilalui masih jalan aspal kasar, medan yang berat akan dijumpai dua puluh kilo dari perbatasan. Untung saja cuaca cukup bersahabat.

*****
Mereka sampai di pedalaman menjelang tengah malam. Kehadiran Taduh disambut hangat oleh beberapa orang yang sengaja keluar dari pondoknya ketika mendengar suara deru motor.

Para pengendara sudah cukup di kenal disitu, mereka dibawa kesebuah pondok untuk menginap malam ini.

"Anakku Taduh," seorang wanita tua yang tak lain adalah ibunya, diikuti Ayahnya berjalan tergesa-gesa.

Taduh memeluk ibunya dan ayahnya, pertemuan yang cukup mengharukan.

"Kau berhasil membawa istrimu," ibu Taduh mengelus pipi Kirana dengan lembut, sambil tersenyum hangat. Kirana tersenyum dan memeluk wanita tua itu.

"Ayo Taduh! bawa istrimu masuk! pipinya benar-benar dingin, ibu yakin kalian sangat lelah." Ibu Taduh menggandeng Kirana untuk masuk.

Kirana merasa di rumah sendiri, aman dan terlindungi, betapa hangatnya keluarga Taduh. Rumah ini lebih mirip dengan rumah panggung dan memiliki beberapa kamar, ruang tamu cukup luas dilengkapi dengan kursi rotan. Dapur dan rumah terpisah beberapa meter.

Keluarga Taduh sangat hangat, Kirana heran, dari mana wajah dingin itu berasal. Bahkan pria tua yang merupakan ayah Taduh termasuk kategori ayah yang humoris.

Setelah makan malam dan berbincang singkat, ibu Taduh menyuruh mereka untuk tidur.

Taduh membawa Kirana ke kamarnya, kamarnya cukup bersih, berlantai papan, dan ada jendela kecil menghadap kelapangan.

Ada dipan kecil di sana, tapi memiliki kasur yang cukup layak. Lentera kecil tergantung di dinding yang terbuat dari papan yang sudah tua. Kirana merasa suasana yang sangat romantis.

Taduh menggiring Kirana ke kasur, menyelimuti mereka berdua, malam sangat dingin, belum lagi lelah yang teramat sangat dirasakan mereka.

"Keluargamu sangat baik, aku jadi teringat orang tuaku," ucap Kirana sambil menerawang.

"Setelah semua aman kita akan mengunjungi orang tuamu." Taduh menghibur istrinya.

"Kuharap begitu, tapi tak mungkin dalam waktu yang dekat." Kirana menghela nafas.

"Tidurlah! kau sangat lelah." Taduh memiringkan badannya menghadap Kirana.

"Badanku terasa lengket, ini pertama aku mencoba tak mandi selama empat hari." Kirana terkekeh.

"Tapi kau tetap wangi," jawab Taduh mengendus rambut Kirana.

"Benarkah?" Kirana tersenyum tipis," aku sangat bahagia bisa kembali bersamamu."

"Di sini tidak akan ada yang mengusik kita, setidaknya sampai esok hari, karena pagi-pagi sekali kita harus kembali ke pondok kita yang dulu, maafkan aku!" Wajah Taduh berubah sendu penuh penyesalan.

"Kenapa kau minta maaf?  aku memahami tradisi di sini," jawab Kirana menghibur.

"Ya begitulah! belum ada perubahan di sini berkaitan dengan menerima orang luar menjadi keluarga."

"Kenapa kau sedih? aku lebih suka kita tinggal di sana, kita berasa seperti Tarzan dan Jane." Kirana tersenyum

"Siapa itu?" Taduh bertanya bingung.

"Sebuah tokoh film yang hidup di hutan."

"Oh. Apa kau tak akan menyesal?" tanya Taduh menunggu reaksi Kirana.

"Kalau aku menyesal, aku takkan berjuang sejauh ini, aku sudah memutuskan, melanjutkan pernikahan dan ingin punya banyak anak."

"Seberapa banyak?" Taduh semakin tertarik.

"Lima, enam atau tujuh," jawab Kirana berfikir, membayangkannya saja dia sudah bahagia.

"Tujuh terlalu banyak, lima saja!"

"Apa disini ada alat kontrasepsi?"

"Apa itu?"

"Semacam alat penghambat kehamilan."

"Tidak."

"Kalau begitu kau bersiap memiliki anak lebih dari tujuh, bisa jadi dua belas."

"Dua belas?" Taduh ternganga dengan mulut terbuka, dia bisa membayangkan dua belas anak di sekeliling mereka ditambah dengan Kirana dengan perutnya yang kembali buncit.

"Hei! mulutmu nanti kemasukan lalat." Kirana tertawa melihat wajah melongo Taduh, suaminya itu benar- benar polos.

"Aku jadi takut." Taduh bergidik ngeri.

"Lalu bagaimana lagi? Di sini tak ada alat kontrasepsi, selagi kita tidur berdua, aku akan hamil setiap tahun."

Taduh semakin bingung sendiri. Dia tampak berfikir keras.

"Tak usah difikirkan." Kirana tersenyum sambil menyelundupkan kepalanya di dada Taduh.

Selama beberapa menit mereka diam, dan pada akhirnya Kirana membuka suara.

"Taduh." Kirana setengah berbisik.

"Hmm?"

"Kau mau belajar pelajaran baru?" tanya Kirana, Taduh sudah tau apa maksud kiasan itu.

"Kirana, kau sekarang sedang hamil muda, kita kelelahan, sebulan ini kita hampir bergadang setiap malam, untuk beberapa hari ini kau harus istirahat." Taduh berkata selembut mungkin agar tak menyakiti perasaannya.

"Ya sudahlah!" Kirana membalikkan tubuhnya membelakangi Taduh. Taduh tahu istrinya itu sedang merajuk, tapi semua demi kebaikannya.

Dia diam saja, tapi mendekap Kirana dari belakang, beberapa saat setelah itu, bunyi nafas Kirana terdengar teratur, dia sudah tertidur pulas. Mereka perlu istirahat malam ini.

***
Versi tamat ada di karya karsa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top