what matters
AKU baru berangkat sekolah tiga hari kemudian. Memarku sudah tidak terlalu terlihat, apalagi setelah kusamarkan dengan make-up. Saat melihat Jeha sedang berjalan menuju kelasnya, aku buru-buru menghampirinya walau kelasku berada di sisi yang berlawanan dengannya. Aku menelusupkan tanganku pada tangannya saat sudah berjalan di sebelahnya. Dia tidak nampak kaget, hanya melihat tanganku yang menggenggam tangannya lalu tatapannya beralih ke wajahku.
“Pagi,” sapaku, mengangkat kacamataku ke kepala lalu mengerjapkan mataku beberapa kali disertai senyum termanis yang bisa kuukir.
Dia berhenti berjalan lalu mengamati wajahku dengan saksama. “Stop acting cute. You’re not cute.”
“I’m not trying to be cute, I was trying to be flirty. Tapi kayaknya itu nggak berhasil.” Aku mendecakkan lidah. “Nggak bisa, yah, pura-pura tergoda? Nggak usah jujur banget. Gue juga punya perasaan.”
Dia mengabaikan ucapanku, wajahnya masih serius mengamati wajahku. “Sudah lumayan. Nggak terlalu parah kayak kemarin,” gumamnya.
Aku menurunkan kacamataku kembali. “Siapa bilang luka gue parah? Dari kemarin kayak gini, kok.”
Dia memutar bola matanya. “Ada posting-an wajah babak belur kamu di Twitter.”
Oh, iya, si Kath sialan.
Aku menatap Jeha heran. “Lo punya twitter?”
“Kenapa kamu pikir aku nggak punya?”
“Gue nggak mikir kalau lo nggak punya, gue cuma kaget ternyata lo punya,” ujarku membela diri. “Jiwa antisosial lo itu, loh, yang bikin gue kaget lo punya twitter.”
“Antisosial di dunia nyata bukan berarti aku alergi Twitter dan Facebook.”
“Wah!” Aku menepuk bahunya beberapa kali. “Selamat. Lo baru aja mengakui kalau lo antisosial.”
Dia tidak menanggapi godaanku, hanya menatapku lama, membuatku curiga kalau magic make-up-ku mulai luntur. Saat dia mengulurkan tangan untuk membelai pipiku dan menatapku dengan tatapan tak terbaca, aku menjadi bingung. Kalau dia cowok lain, aku tidak akan heran, tapi karena dia Jeha malah jadi aneh.
“You’re so weird. My beauty chases you away, yet my ugliness pull you closer.”
Dia langsung menjatuhkan tangannya dari wajahku lalu melanjutkan langkahnya.
Aku mengejarnya. “Karena kasihan, yah?”
Dia melirikku melalui sudut matanya. “Kamu nggak pantas dikasihani.”
“Ouch!” Aku melihat sudut mulutnya berkedut, jadi aku tahu dia hanya bercanda. “Ah, gue tahu!”
Dia menatapku dengan sebelah alisnya terangkat.
“Karena lo jelek, jadi biar adil lo milih yang jelek juga. Iya, kan?” lanjutku.
Kini ekspresinya seperti mau meledak. “One of these days I might sew your mouth to—”
“Yours?” selaku.
Dia melotot padaku. “This wall!” bentaknya sambil menunjuk dinding di sebelahnya. Dia lalu memutar badannya dan berjalan cepat agar aku tidak bisa mengikutinya.
“But I like your mouth better!” seruku pada punggungnya yang menjauh.
Dia menoleh dan dengan tatapan tajam dia mengacungkan jari tengahnya. Aku membalasnya dengan kecupan dari jauh. Dia geleng-geleng kepala dengan mulut komat-kamit—yang aku yakin mengucap sumpah serapah—sebelum menghilang ke dalam ruang kelasnya.
***
“Come, gentle night, come, loving, black-brow’d night,
Give me my Romeo; and, when he shall die,
Take him and cut him out in little stars,
And he will make the face of heaven so fine
That all the world will be in love with night
And pay no worship to the garish sun.”
Aku ingin sekali melempar sesuatu ke anak itu. Entah sudah berapa kali dia meresital naskah Romeo and Juliet sampai aku hafal walau tidak membacanya.
“Nggak bosan, yah, baca itu terus-terusan?”
“Nggak bakal bisa bosan membaca kisah drama paling romantis di dunia,” ujar Tia mendesah.
“Mati atas nama cinta, kok, romantis. Otak kalian korslet, yah?”
“Cuma lo orang yang berani mengkritik karya paling terkenal dan disukai dari Shakespeare,” ujarnya. “Lo aja nggak pernah berada dalam hubungan jangka panjang. Gue ragu kalau lo ngerti arti romantis itu apa.”
“Ah, lo sendiri belum pernah pacaran!”
Dia menimpukku dengan pensil.
“Gue nggak mau gegabah. Gue lagi sabar nunggu satu orang yang bakal jadi belahan jiwa gue selamanya.”
Memelototiku, dia berkata, “Dan Romeo and Juliet tetap kisah paling romantis sedunia. Titik.”
Aku memutar bola mata. “Gue tahu lo suka banget sama Romeo and Juliet. Bukannya bermaksud mengejeknya atau apa, yah, tapi menurut gue ide Shakespeare tentang roman di cerita itu … aneh. Nggak enak banget, deh, dirasa.
“Mati demi cinta itu bukan romantis. Itu tindakan yang sangat nggak berarti and totally stupid.” Aku bergidik sementara Tia menyipitkan matanya padaku. Aku segera menambahkan, “Romantis itu datang dari sikap atau tindakan-tindakan kecil. Seperti waktu yang dihabiskan berdua atau curi-curi ciuman waktu nggak ada yang lihat.” Setidaknya itu pendapat yang aku kumpulkan dari tokoh dalam novel-novel roman yang pernah kubaca.
“Siapa lo?!” bentak Kath. Dia mencengkeram kedua bahuku. “Where is the ignorance-bitch who doesn’t believe in love, Terre the friend of mine?!” lanjutnya seraya menggoyang-goyangkan kedua bahuku.
Aku segera menangkis kedua tangannya.
Luna terkekeh. “Lo kesurupan hantu apa sampai bisa ngomong arti romantis begitu?”
Aku memutar bola mata.
Val terkesiap berlebihan. “Omagad.” Kami semua menoleh ke arahnya. “Lo jatuh cinta sama sama si jelek itu.” Sekarang semua mata memandangku.
“Ya, nggaklah! Cinta itu bukan sesuatu yang bisa tumbuh dalam waktu singkat. Gue ngga percaya itu seperti halnya gue nggak percaya adanya love at the first sight.”
“So soon for saken? Young men’s love then lies not truly in their hearts, but in their eyes,” kata Tia, mengutip kata-kata Friar Laurence.
“If your mind dislike anything, obey it,” giliranku mengutip kata-kata Horatio pada Hamlet. “And I dislike Romeo and Juliet, thanks to you, period.”
“Dasar cewek sinis penyuka drama tragedi,” gerutu Tia dibarengi masuknya Bu Nanik. Matanya berbinar aneh.”Gue kutuk lo jatuh cinta beneran sama Jeha.”
Aku memutar bola mata. Sepertinya dia tidak sadar kalau Romeo and Juliet juga drama tragedi.
***
SEPERTI biasa, aku menemukan Jeha di belakang konter perpus, sedang membaca buku dengan dahi berkerut memusatkan konsentrasi pada buku di tangannya. Dia bahkan tidak bereaksi saat aku duduk di kursi kosong di sebelahnya, padahal biasanya dia akan mengomel karena seharusnya hanya petugas perpus yang boleh berada di situ.
Aku menggunakan kesempatan itu untuk mengamatinya dengan saksama. Hidungnya mancung, tidak terlalu panjang tidak juga terlalu pendek, tulang pipinya yang tinggi menambahkan kesan boyish, dan bentuk rahangnya yang sempurna kadang membuatnya terkesan tegas data mara, serta kedua bibirnya yang kissable itu rasanya selalu memanggilku untuk merasakannya. Aku tidak terlalu yakin dengan matanya, mereka ditutupi salah satu faktor yang membuatnya begitu jelek, kacamata besar dan tebal setebal pantat botol itu.
Tidak tahan melihat kerutan di antara kedua alisnya, aku menyentuh dan meratakan kerutan-kerutan itu. Aku dihadiahi tatapan what-the-hell-are-you-doing dari si pemilik dahi.
“Jangan sering ngerutin dahi. Itu bisa jadi permanen dan bakal bikin lo semakin nggak menarik.”
Salah satu alisnya terangkat. “Apa yang mengagetkan soal itu? Gue nggak pernah memasukkan diri dalam kategori ‘menarik’.”
“Tapi lo berhasil menarik perhatian gue. Itu sesuatu luar biasa yang udah lo capai.” Aku menepuk bahunya beberapa kali.
“Masa?” Dia pura-pura terkejut. “Kok gue nggak ngerasa bangga sama sekali?”
“Karena lo masih belajar gimana cara menikmati hidup dari perspektif yang berbeda.”
Jeha memutar bola matanya sebelum memusatkan perhatiannya kembali pada buku.
“Hidup lo pasti nggak bahagia,” lanjutku, kembali mencoba menarik perhatiannya.
“Salah satu kebodohan yang sering dilakukan manusia dengan cerobohnya adalah tindakan mereka yang suka sok tahu dan menarik kesimpulan seenaknya tanpa mengetahui apa pun.”
“Gue bukan sok tahu atau asal menarik kesimpulan. Gue melakukan beberapa pengamatan terlebih dulu.”
“Oh …?”
Aku mengangguk. “Yang gue amati selama beberapa hari ini dari dekat dan berhari-hari dari jauh adalah raut wajah lo yang hanya punya tiga ekspresi; bosan, terganggu, dan kesal. Yang kalau dilihat sekilas sebenarnya tiga ekspresi itu terlihat sama aja. Lo lebih sering mengerutkan dahi daripada menarik beberapa otot di sekitar mulut lo buat tersenyum. Kalau itu bukan tanda-tanda hidup yang nggak bahagia, terus apa?”
Jeha menghela napas, menutup bukunya lalu memutar badannya menghadapku. “Pernah berpikir nggak kalau mungkin penyebab aku nggak bahagia itu kamu? Kehadiranmu itu sangat mengganggu dan bikin kesal.”
Aku menjentikkan jariku di depan wajahnya. “Tanda-tanda lain kenapa gue bisa bilang hidup lo nggak bahagia. You, my boyfriend, are a loner, nggak mau membiarkan orang lain masuk ke dunia kecil lo itu.”
Jeha menggeram sebelum melayani beberapa peminjam buku yang sudah mengantri. Aku tahu dia tidak menyukaiku dan aku mementingkan keegoisanku sendiri karena terlalu menikmati ketidaknyamanannya saat kugoda. Tapi ini terlalu menyenangkan.
“Mau gue kasih saran biar hidup lo lebih bahagia?” tanyaku saat orang terakhir keluar dari perpus.
“I have feeling you will tell me even if I said no.”
“Banyak-banyaklah makan petai dan pisang,” kataku, mengabaikan sindirannya.
Aku melihat bayangan senyum yang dibentuk bibirnya. “Apa hubungannya hidup bahagia sama makan pisang dan petai? Kamu baru keluar dari rumah sakit jiwa, yah?”
“Asal tahu aja, pisang menghasilkan zat kimia tryptophan, zat ini menyebabkan seseorang merasa lebih bahagia. Dan petai mengandung vitamin B6 yang katanya bisa memperbaiki mood seseorang. Pasti nggak tahu, iya, kan?” Aku mencolek hidungnya. “Nanti coba, deh, di rumah.”
“Nggak mau, makasih. Gue nggak suka pisang ataupun petai,” jawabnya seraya melangkah keluar dari konter. “Meski bertelinga, bukan berarti semua yang ada harus didengarkan.” Aku mendengarnya bergumam.
Aku mendecakkan lidah. “Hal itu seperti halnya berotak, tapi tidak pernah digunakan,” balasku.
Dia memandangaku dengan pandangan penuh tawa. “Kamu itu kalau ngomong terdengar cerdas, tapi selalu nggak berhubungan.”
“Apa aku membuatmu terkesan?”
“In odd way,” jawabnya, mengedikkan bahu.
“Eh, tapi yang soal pisang dan petai itu berhubungan, loh.”
“Iya, terserah.” Dia kemudian menghilang di balik rak-rak buku.
Aku segera menyusulnya. Bersandar pada rak buku sembari memandangnya, aku berkata, “Nanti malam nonton, yuk!”
Dia menghela napas. “Kamu itu nggak punya malu atau nggak punya harga diri, sih? Biasanya itu cewek nunggu diajak, kamu malah ngejar-ngejar kayak anak anjing tersesat.”
“Gue bukannya nggak punya malu, tapi gue selalu menempatkan diri sebagai cewek yang berani. Dan karena lo nggak mau ngejar-ngejar gue, ya udah, gue yang ngejar-ngejar lo. Masa cowok terus yang harus ngejar cewek. Dunia butuh keseimbangan.”
Jeha menggelengkan kepalanya.
“Jadi, mau ngga?”
“Gue kerja.”
“Kerja di mana?”
“Bukan urusanmu.”
“Jeha.” Sebuah suara riang datang dari arah pintu.
Aku dan Jeha menoleh, mendapati Ruadi berdiri di ambang pintu dengan ragu. Dia segera menundukkan kepala lalu berjalan mendekati Jeha, menyerahkan selembar kertas dan menyampaikan pesan dari Miss Shafa.
“Itu kalau Kakak berniat tinggal, kalau pun tidak, tolong sampaikan pada orang yang menggantikan.”
“Saya akan tinggal,” kata Jeha.
Ruadi tidak buang-buang waktu tinggal lebih lama bersama kami. Setelah mengucapkan terima kasih, dia segera pergi.
Aku memutar bola mata, lalu memandang Jeha dengan sebal. “Tadi katanya ada kerjaan, tapi ternyata tetap di sini juga.”
“Di perpus juga pekerjaan.”
Aku menggelayuti lengannya. “Gue bantuin, terus habis itu kita pergi nonton. Yaaah?” bujukku.
“Mau membantuku kapan? Bukannya kamu ada kelas menari?” ujarnya menyeringai. “Don’t pout. It doesn’t suit with your personality.”
Aku tetap merajuk sembari mengekornya keluar perpus.
Ugh! How to soften him up to me?
***
AKU menemukan setangkai mawar putih di atas handuk yang baru kutinggalkan lima menit yang lalu di atas kursi. Aku membaca tulisan yang tertera pada kertas di bawah mawar itu.
Sorry you had to suffer. It won’t happen again.
Aku meremas kertas itu lalu membuangnya ke tong sampah. Keluar dari studio tari, aku dibuat heran saat melihat Jeha sedang bersandar pada pintu mobilnya sambil memainkan ponsel.
Sedang apa dia di sini?
Dia mendongak saat aku mendekat lalu memasukkan ponselnya ke saku. “Lama amat.”
Aku mengerjapkan mata, sekali, dua kali, lalu menunjuk diriku sendiri. “Nungguin?”
“Katanya mau nonton,” ujarnya dengan nada bosan, seperti aku baru saja menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah pasti saja.
Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tetapi berpikir akan lebih baik aku tidak mengatakannya. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya waktu aku mengajaknya nonton tadi siang aku tidak bersungguh-sungguh, aku tahu dia akan menolak, jadi aku bercanda sedikit.
Sayangnya, sepertinya raut wajahku menghianatiku.
“You played me,” tuduhnya. Dia memelototiku beberapa saat sebelum mengitari bumper depan mobilnya menuju sisi kemudi.
Aku bergerak cepat, meraih pintu mobil, membukanya, kemudian melemparkan diri ke dalam bahkan sebelum dia duduk di kursi kemudi. Dia melempariku tatapan tajamnya yang lain.
“Out,” perintahnya dengan rahang terkatup rapat.
Aku mengencangkan seatbelt di pinggangku. “It’s not like that. I was just in stunned mode-on back there. Aku nggak nyangka kamu bakal dateng.”
“Doesn’t matter. Out.”
Aku membuat diriku nyaman di kursiku lalu memejamkan mata. “Nggak mau.”
“Kalau begitu kita nggak bakal ke mana-mana.”
Aku hanya mengedikkan bahu.
Kami sama-sama diam. Aku tidak pernah kesulitan dengan kesunyian, justru aku sangat akrab dengan diam dan sunyi. Namun sepertinya tidak demikian dengan Jeha.
Sebagai orang yang pendiam, aneh sekali dia tidak bisa tenang. Ada saja yang dilakukannya, mulai dari mengetukkan jari, menggerakkan kakinya dengan cepat lalu menggeram beberapa kali.
“Out!” bentaknya akhirnya.
Aku memutar badan menghadapnya. Untuk sesaat matanya melirik dan fokus pada pipi kananku yang pasti masih terlihat membiru karena magic make-up-ku sudah luntur oleh keringat, bagian ini paling parah karena si gila memukulku berkali-kali dengan tangan kidalnya. Aku sempat melihat sorot mata penuh sesalnya sebelum hilang secepat kilat dan matanya kembali teralihkan ke wajahku tanpa benar-benar fokus pada satu titik.
Ide jahat dan sangat tidak adil muncul di kepalaku. “Kamu tahu? Kamu harusnya menebus kesalahanmu.”
“Aku?”
Aku mengangguk.
“Kamu yang mempermainkanku, tapi aku yang harus membayar kesalahan?”
Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dengan berani.
“Unbelievable. Ada, yah, orang macam kamu.”
“Aku makhluk langka. Aku pikir kamu udah tahu soal itu,” balasku sambil mengangguk. “Ayo, jalan!” kataku, mencoba mengalihkan perhatiannya dan berharap dia terpancing sehingga aku tidak perlu menjalankan rencana jahatku.
“Nggak sampai kamu bilang apa kesalahanku.”
Aku memutar bola mata. Tentu saja dia tidak terpancing. Jeha gituloh.
Aku memejamkan mata, tidak ingin melihat ekspresi wajahnya saat aku mengatakan apa yang akan aku katakan. Aku menghela napas berlebihan untuk menambah efek dramatisnya. “Kalau kamu datang waktu aku menelepon malam itu, wajahku nggak bakal begini dan aku mungkin sekarang sedang dugem bersama temanku yang lain daripada di sini mengganggumu.”
Kesunyian kembali tercipta, tapi kali ini kesunyiannya sungguh tidak nyaman, seperti ada ketegangan dan rasa tidak enak yang menggaruk-garuk kulitku. Aku harus menggigit bibirku agar tidak mencetuskan kata maaf yang sudah berada di ujung tenggorokan.
Akhirnya, setelah aku merasa tidak tahan, Jeha justru menghela napas kemudian menyalakan mesin mobilnya. Aku menoleh ke arahnya, melihat postur tubuhnya kaku, rahangnya terkatup rapat, kedua tangannya mencengkeram kuat kemudi sampai buku-buku jarinya memutih dan matanya berkilat marah memandang lurus ke depan. Sangat mengingatkanku pada seseorang.
Aku memutar badanku menghadap penuh padanya lalu membayangkan si idol mantan Teletabis itu duduk di sana, and ... they’re fit. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, memukul kepalaku berulang-ulang lalu menggelengkan kepalaku dengan marah untuk mengusir hantu fans-nya Teletabis.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya galak.
“Aku melihat orang lain dalam sosokmu,” ujarku tanpa pikir. Aku mesih berusaha memisahkan bayangan mantan teletabis dan Jeha.
“Siapa?”
“The guy who came to my rescue the other night.”
Kalau tadi tubuhnya tegang sekarang dia kaku seperti patung. Matanya melirikku dengan ragu dan hati-hati. “Who?”
Apa aku harus mengatakannya? Tentu saja jangan. Aku sudah menjadi iblis tak berperasaan dengan membuatnya merasa bersalah, tidak perlu menambah beban rasa bersalahnya. Aku kembali duduk santai menyandarkan punggungku.
“Doesn’t matter. It’s not important,” jawabku kembali memejamkan mata.
“Doesn’t matter and not important?” Nada bicaranya seperti tidak percaya aku baru saja mengatakan itu. “Bisa-bisanya kamu anggap orang yang udah nolongin kamu itu nggak penting.”
Nah, sekarang dia terdengar kesal.
Aku meliriknya heran. “Why do you look upset?”
“I’m not,” geramnya.
Aku tertawa. “Okay, you look mad.”
“No, I’m not.”
“Yes, you are.” Aku mengamatinya. “Look at your rigid posture.”
Dia langsung merilekskan postur tubuhnya.
“Jaw locked.”
Dia membuka mulutnya sedikit.
“Frightening grip on your steering wheel.”
Dia mengendurkan cengkeramannya pada roda kemudi. Pada tahap ini aku sudah hampir tertawa. He’s so funny. Dia memelototiku saat mendengar dengkusan suaraku.
“And you’re glowering at me right now,” ujarku mengakhiri analisa.
Dia kembali menghadap jalan di depannya dan aku kembali memejamkan mata.
“Di mana rasa bersyukurmu karena sudah ditolong?” Aku mendengar suaranya tidak lama kemudian, masih terdengar kesal.
“I’ve said my thanks. End of story.”
Aku tidak suka mempunyai hutang budi pada seseorang, khususnya pada seseorang yang aku tidak ketahui bagaimana karakternya. Orang itu artis, jago akting sampai mendapat piala Citra, aku tidak bisa percaya pada orang yang bisa berganti-ganti karakter dengan mudah seperti itu.
“Aku masih nggak ngerti kenapa kamu kesal,” kataku kemudian, mengamati posturnya yang tidak lagi tegang. Walau begitu aku masih merasakan hawa gerah tak nyaman.
“Does it matter?” Nada bicaranya seperti lemparan sindiran, sayangnya aku tidak tahu hal mana yang dia sindir.
Aku mengedikkan bahu. “Ayo kita hentikan perdebatan what’s matters and what’s not. Aku janji akan menjadi pacar yang baik malam ini.”
Dia mendengkus. “Seriously, kapan kita jadian?”
“A week ago. Anak-anak di lantai tiga dan beberapa mantanku menjadi saksinya.”
Kali ini dia memutar bola matanya. “Itu bukannya kamu mencari-cari masalah dan dengan menyebalkannya melibatkanku, yah?”
Aku menggeleng. “Itu adalah aku mengklaimmu sebagai pacar.” Saat dia mulai membuka mulutnya, aku segera melanjutkan, “And I don’t take ‘no’ as an answer.”
“Spoiled brat,” gumamnya lirih.
“Stubborn nerd,” balasku.
Dia malah tertawa. “Itu ejekan terbaik yang bisa kamu lemparkan?” Saat aku diam tak membalasnya dengan ide lain, dia tersenyum sombong. “How disappointing.”
“Shut up.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top