space invation
SESEORANG merebut buku yang sedang kubaca saat aku baru melewati gerbang sekolah. Mendongak, aku mendapati Ryan, salah satu mantanku yang paling baik, menatapku dengan tatapan tajam dan cemas. Dia biasanya orang yang selalu membuat dirinya sendiri merasa damai, jarang cemas, jadi rasanya mencemaskan melihatnya tampak tidak tenang begitu.
“What?”
“I heard ….” Dia berhenti, dahinya berkerut.
“Heard what?”
“Ada yang ngelaporin lo ke Kepsek,” tuturnya cemas.
Aku menatapnya tak percaya. “You kidding, right?”
“Nope,” kata Ryan. “Kepsek mau ngomong sama lo pas istirahat nanti.”
Aku menggeram kesal. Merebut bukuku dari tangan Ryan, aku segera meninggalkannya yang mencoba menasihatiku.
Donny sialan. Kenapa kemarin aku hanya mematahkan hidungnya saja? Harusnya kusunat saja dia sampai tidak ada yang tersisa. Jadi dia akan sibuk membelai barangnya yang hilang daripada menyebar fitnah lewat sosial media bahwa tarifku per malam lima juta.
Pergi perpustakaan, kepalaku hampir meledak mendengar bisikan dan ejekan terang-terangan dari anak-anak lain yang kulewati. Aku memberi mereka jari tengah. Tiba-tiba pikiran untuk bolos terlintas di kepala.
“Apa ini? Cuci gudang?” tanyaku, saat melihat begitu banyak buku bertumpuk dan berantakan di lantai.
Miss Shafa, penanggung jawab perpus mendongak dan tersenyum. Jeha yang sedang mendata setiap buku tetap fokus pada tugas di tangannya.
“Buku baru datang,” jawab Miss Shafa. “Beberapa koleksi lama dan baru yang belum kita punya, sumbangan dari seseorang.”
Aku melihat Gone With the Wind dengan cover lamanya di sebuah tumpukan. Ada juga Anna Karenina dan beberapa karya Jane Austen yang gambar cover-nya belum pernah kulihat sebelumnya.
“Saya mau balikin buku.” Aku meletakkan dua buku di atas konter.
Miss Shafa meminta Jeha untuk mengurusnya. Dengan enggan, cowok itu berjalan ke belakang konter dan mulai bekerja dengan komputer. Dia menghela napas saat mengambil buku yang tadi kuletakkan, lalu memeriksa kartu perpus yang ada di dalamnya.
“These are due a week ago.”
“No shit, Sherlock!”
“Terre,” tegur Miss Shafa.
Aku menggumamkan maaf pada beliau sebelum beralih kembali pada Jeha. “Berapa?” Aku merogoh dompet di dalam tas, siap membayar denda.
“16 ribu.”
“What …? Banyak amat.”
“Terlambat sehari, seribu rupiah. Kamu terlambat delapan hari dan meminjam dua buku. Seribu dikali delapan sama dengan delapan ribu. Delapan ribu dikali dua sama dengan enam belas ribu,” terangnya dengan suara datar dan tanpa jeda.
“Well, Mr. Obvious, bisa nggak lo ngasih tahu sesuatu yang belum gue tahu?”
Aku biasanya tidak pernah terlambat mengembalikan buku, bahkan biasanya lebih cepat. Jadi walau tidak begitu memberatkan, rasanya enam belas ribu rupiah terdengar sangat banyak.
“Aku menjawab apa yang kamu ragukan.” Lagi, dengan nada datar yang sama. “Lagipula rasanya jumlah itu tidak seberapa mengingat jumlah fee per malammu.”
Satu kejadian yang membuatnya ikut-ikutan hype terhadapku malah tentang itu. Aku tahu, sih, orang ini sepertinya terlahir dengan sikap menyebalkan begini, mengingat pertama kali kami bersimpangan jalan ketika masih pada masa-masa MOS, dia sudah bersikap judes begitu. Sikap menyebalkannya itu terlihat sangat alami. Tetapi dia menjadi seribu kali menyebalkan gara-gara ikutan hype hal semacam itu.
Aku memelototinya sambil mengeluarkan satu lembar dua puluh ribuan dari dompet kemudian meletakkannya dengan kasar di atas konter. Jeha menjangkaunya sambil sekilas melirikku. Aku menggunakan kesempatan itu untuk mengacungkan jari tengah padanya.
He just rolled his eyes, though!
Bel berbunyi tepat ketika aku keluar dari perpustakaan. Berlari ke kelas, aku mendapati beberapa anak yang sama-sama mengikuti ekskul menari sudah berkumpul di mejaku. Aku berhenti di ambang pintu, bimbang antara melaksanakan rencana membolosku, atau menggunakan mereka sebagai tempat pelampiasan kekesalanku.
Seperti sudah diberi aba-aba, mereka berlima serentak menoleh ke arahku. Dengan helaan napas panjang, aku melangkahkan kaki memasuki kelas dan menghampiri mereka.
“Move.”
Tia berdiri dari kursiku lalu pindah ke kursinya sendiri dengan mata tetap tertuju pada majalah yang sedang dibacanya. Seperti biasa dia tidak bisa teralihkan kalau sedang membaca tentang zodiak. Hidup Tia seperti bergantung pada apa yang tertulis pada ramalan bintangnya. Dia juga percaya dongeng dan fairy tale. Menurutnya semua cewek di dunia adalah seorang putri yang sedang menunggu pangerannya dan semua cerita memiliki happy ending. Kalau belum happy, berarti belum ending.
I called them bullshit.
“Jadi, dipake buat apa fee yang lo dapat itu, Re?” Valerie menyeringai, membuat yang lainnya tertawa. Valerie tidak pernah menyukaiku, jadi sungguh aku tidak mengerti kenapa dia masih hang out di sekitarku. Dia bahkan tidak sekelas denganku.
“Gue tabung buat operasi payudara nanti,” jawabku santai.
Luna yang duduk di sampingku berdeham untuk menyembunyikan tawanya. Sedangkan Val hanya mengibaskan rambutnya. Semua tahu bawa Val melakukan operasi hidung dan bibirnya. Dan dia selalu mengeluh soal ukuran payudaranya. Ada dugaan dia akan menanam silikon di sana, jadi kalau tiba-tiba dadanya lebih menggelembung dari kemarin, kami tidak akan kaget.
“Huh! Nggak usah nyolot gitu jawabnya. Toh, bukan gue yang nyebarin rumor itu.”
“I don’t understand why you broke up with him. He’s kind of … okay.” Kath mengipasi wajahnya dengan kipas bergambar TLBs.
TLBs atau The Lost Boys adalah sebuah Boy Band Idol yang sedang hits dan Kath merupakan the president of TLBS fans club. Boyband Indonesia yang satu ini katanya adalah artis dengan pendapatan tertinggi se-Indonesia dan demamnya sudah merambah ke negara tetangga. Aku bahkan tidak mau tahu siapa saja yang menjadi korespondensi dalam survei.
“Iyalah. Lo ngerti dan suka basket, jadi lo nganggap obrolan Donkey itu … kind of okay.”
“Emangnya nggak ada alasan selain alasan konyol itu setiap lo mutusin seseorang? Lo nggak bisa putus dengan seseorang hanya karena dia ngebosenin,” ujar Nala. “It so cliche and you’re so annoying.”
Kadang aku bertanya-tanya, apakah tanpa sengaja aku pernah dekat dengan cowok yang ditaksirnya?
“Okay. Bagaimana kalau yang ini? Otaknya pindah ke selangkangan dan keidiotannya bikin gue capek.” Aku tidak bilang pada siapa pun soal taruhan itu. Aku sudah dicap murahan dan aku lebih nyaman dengan label itu daripada dikasihani. Aku menghela napas. “Gue harap ada cowok pintar yang nggak ngebosenin.”
“Ada.” Val nampak antusias. Mencurigakan. Melihat wajah-wajah bingung penuh tanda tanya di sekitarku membuat Val tidak bisa menyimpan misterinya sendiri lebih lama. “Jeha! You know, the guy from the library.”
“Ewww ...,” pekik Roanda, sahabat Val. “Please, deh. Lebih mending Ramon daripada si muka masam itu.”
“Ngaco! Si Ramon kan tukang ngiler. Lebih menjijikkan,” debat Val.
“Seenggaknya Ramon lebih good looking.”
“Gimana, Re? Lo belum pernah menggoda dan pacaran sama cowok jelek, kan? Seenggaknya Jeha sudah ketahuan pinternya,” kata Val terlalu antusias dari yang kusukai.
Memang, sih, si jelek itu pinter. Selain dia juara umum selama hampir dua tahun berturut-turut dan belum terkalahkan, dia juga maju ke olimpiade math waktu kelas 11. Tapi, bagaimana mau PDKT kalau sikapnya padaku saja sinis dan antagonis?
“Selain nggak ada survei yang membuktikan teori lo, dia juga nggak suka sama gue. Jadi gue nggak mau,” ujarku beralasan. Aku tidak suka kalau harus menyenangkan Val.
“Jeha nggak suka sama siapa pun, dan itu yang membuat ini jadi lebih menantang. Lo ngerasa bosan karena mantan-mantan lo tergila-gila sama lo.”
Dih. Sok tahu banget anak ini.
Aku menghela napas. “Kalau kalian berpikir bakal manfaatin gue buat balas dendam ke Jeha, lupain aja. Gue nggak mau.”
Aku rasa, hampir semua orang pernah disemprot sarcasme kejam yang keluar dari mulut Jeha, apalagi bagi orang yang tidak pernah ke perpus dan bertanya pada si Yeti di mana letak buku tertentu. Dan aku menolak dijadikan alat balas dendam mereka.
***
PAK kepala sekolah mengizinkanku keluar setelah mendengar penjelasanku. Walau aku sedikit berlebihan menunjukkan kesedihan saat menjelaskan situasi yang menjadi sumber rumor tersebut, aku tetap jujur apa adanya. Aku juga mengatakan bahwa aku menendang selangkangan si Donkey, tanpa menyensor kata-kataku sama sekali. Dan aku hampir tertawa melihat ekspresi wajah Pak Ayub ketika mendengarnya, sangat priceless.
Aku baru melepaskan tawa setelah jauh dari kantor kepsek. Tawaku baru terhentikan ketika tubuhku menubruk sesuatu.
Entah dikutuk apa aku dan Jeha. Setiap kali bertemu selalu saja dengan cara bertabrakkan.
“Sorry,” kataku, masih dalam kondisi good mood dan senyum di bibirku.
“Sure,” kata Jeha tak acuh sebelum pergi, membiarkanku menatap punggungnya.
What a broad back!
Terlintas usulan Val. Mungkin akan menyenangkan mengganggu cowok itu.
Aku mengambil busur dan anak panah khayalan dari punggungku, mengunci sasaranku, berpose seolah sedang memanah—sampai diperhatikan orang yang sedang lewat—aku melepaskan anak panahku tepat di sana, di antara kedua tulang bahunya.
Jeha berhenti berjalan, menegakkan tubuhnya, lalu menoleh dengan dahi berkerut. Aku segera menurunkan tanganku dan memberinya senyum dan melambai. Dia menggelengkan kepalanya dengan mulut komat-kamit sebelum berbalik badan dan pergi.
***
AKU kembali ke sekolah malam itu. Bukan, bukan karena aku terlalu rajin. Aku hanya mau ke perpustakaannya saja karena rumah sedang tidak terasa seperti rumah.
Fakta menarik tentang perpustakaan sekolahku adalah: itu merupakan perpustakaan dengan koleksi paling lengkap yang aku tahu—selain perpustakaan nasional, tentu saja—dan terbuka untuk umum sampai pukul sepuluh malam.
Ketika aku masuk, Ayunda tersenyum dari belakang konter. Dia adik Miss Shafa, bertugas di perpustakaan setelah jam sekolah berakhir dan setiap akhir pekan. Sedangkan yang menggantikan Jeha pada malam hari dan weekend biasanya Ilham atau Ruadi, dua mahasiswa semester dua yang kalau bertemu denganku selalu menundukkan kepala. Awalnya aku mengira mereka suka padaku, jadi mereka bersikap malu-malu terhadapku, tapi kemudian aku merasa kalau mereka takut padaku. Tidak tahu kenapa.
“Di mana Gone with the Wind dan Jane Austen yang datang tadi pagi?” tanyaku.
“Entah, gue nggak dikasih tahu. Coba tanya Jeha. Dia lagi nyusun buku ekonomi,” jawabnya sambil menunjuk.
Ya elah! Kenapa dia harus di sini malam ini?
Dengan enggan, aku melangkahkan kakiku ke tempat Jeha berada. Dia sedang berdiri di atas tangga, membereskan buku-buku di rak paling atas. Melihat kedua telinganya disumbat earphone, aku menggoyang-goyangkan tangga tempatnya berpijak untuk menarik perhatiannya. Ekspresi terkejut dan ketakutannya berhasil mengundang tawa dariku.
I was so mean, I know.
Dia melotot saat melihatku. “Kalau mau membunuh seseorang, seenggaknya pakai cara yang terhormat dan pakai otak sedikit,” desisnya.
Aku memutar bola mata. “Nggak ada yang namanya ‘terhormat’ dalam pembunuhan,” kataku, yang sepertinya justru membuatnya semakin kesal. “I’m sorry. Gue udah manggil lo berkali-kali, tapi lo tetap nggak nengok.”
“You can touch my feet.”
“Tapi cara tadi yang langsung terlintas di kepala gue. Sorry.”
“Stupid chick.”
Aku mendengarnya bergumam sembari kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku menggoncang-goncangkan tangganya lagi, membuatnya langsung berpegangan pada rak di depannya kemudian memelototiku lebih tajam dari sebelumnya.
Aku bertolak pinggang. “Pertama, gue bukan ayam, jadi jangan nyebut gue chick. Kedua, mungkin lo terlalu fokus sama peringkat lo sendiri sampai nggak sadar kalau gue cuma tertinggal beberapa poin di bawah lo.”
Dia menuruni tangga. “Jangan khawatir. Kamu bukan orang pertama yang membuktikan kalau tingginya nilai akademik seseorang nggak otomatis membuat orang itu cerdas.” Dia pergi membawa tangga itu ke belakang. Tidak lama kemudian dia kembali.
Ini pertama kalinya aku melihat dia tanpa seragam. Memakai jeans belel hitam, kemeja flannel merah dengan lengan kemeja dia gulung sampai siku, dan kets hitam bersih, dia tampak seperti remaja lelaki pada umumnya. Namun, wajah masam dan kacamata besar yang lebih besar dari mangkuk itu masih menghiasi wajahnya, membuatnya tetap menjadi Jeha.
“Kenapa lo benci banget sama gue?” Akhirnya aku menanyakan pertanyaan yang sudah mengusikku sejak lama.
Dia melirikku sekilas. “Benci itu sebuah kata kuat yang memerlukan faktor kuat juga untuk menumbuhkannya. Sejauh ini, sih, belum ada faktor kuat yang membuatku membencimu.”
“Okay. Mari ulangi.” Bersandar pada rak yang letak buku-bukunya sedang Jeha rapikan, aku memandang wajahnya lekat-lekat. “Kenapa lo nggak suka sama gue? Bukan suka secara romantis, deh, hanya secara umum.”
Tanpa menoleh atau memandangku, dia menjawab, “Perlu mengenal seseorang lebih baik untuk menumbuhkan rasa suka.”
Aku menarik-narik lengan bajunya. “Mau mencoba mengenal gue lebih baik?”
“Nggak tertarik,” katanya, lalu berbalik badan membelakangiku.
Jeez. Straight forward sekali.
Should’ve known, though. Membangun hubungan sosial dengan Jeha tidak akan mudah.
“Bagaimana bisa bilang begitu kalau lo belum nyoba?”
Dia menghela napas kesal lalu memandangku dengan tatapan menyelidik. Aku melipat kedua lenganku di depan dada. Biasa dipandang cowok dengan pandangan nafsu, rasanya aneh dan tiba-tiba merasa gugup ketika Jeha memandangku dengan tatapan seperti itu.
“Apa yang terjadi padamu hari ini? Tiba-tiba tertarik bicara padaku dan menanyakan hal-hal konyol.”
Aku mengedikkan bahu. “Gue cuma penasaran, kenapa seseorang bisa ben—nggak suka sama gue.”
“Kita semua tahu kalau sebagian besar anak sini nggak suka sama kamu. Kenapa cuma menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan nggak perting itu?”
“Gue tahu kenapa mereka nggak suka sama gue. Sedangkan lo?” Aku mengedikkan bahu. “Gue penasaran kenapa sikap lo sinis banget dan sangat antisosial sama gue. Gue nggak pernah pacaran sama orang yang lo sukai.” Aku menatapnya curiga. “Seenggaknya sejauh yang gue tahu.”
“Don’t flatter yourself. Aku bersikap antisosial pada semua orang.”
“Lo sopan dan friendly banget sama Mellisa,” sergahku, mengingat kembali gambaran tiga hari lalu saat mendapatinya bersosialisasi layaknya manusia normal. Dia bahkan tertawa.
“Lis is my friend,” jawabnya singkat.
“Gue temenan sama Mell. Jadi, mungkin lo mau bersikap friendly ke gue karena kita bakal sering ketemu.”
Jeha memandangku tanpa ekspresi. Okay, bahkan untuk telingaku sendiri aku terdengar sangat memaksa.
“Baiklah, nggak perlu friendly, menyadari keberadaan gue sudah cukup.” Dan sekarang aku terdengar sangat desperate. Ugh.
“Aku rasa nggak perlu. Lis nggak menganggap kamu sebagai teman.” Seringaian kemenangannya sangat menyebalkan.
Mellisa memang tidak menganggapku sebagai teman, dia menganggapku saingan dalam mendapatkan perhatian Bona; teman yang kukenal sejak SD sekaligus pacarnya.
Jeha kembali melanjutkan pekerjaanya. “Kalau sudah selesai, silakan pergi. Kalau kamu tetap mengganggu, aku nggak bisa jamin kalau aku nggak bakal mulai membencimu,” ujarnya tanpa melihatku.
“Jeha.”
“Hm,” gumamnya, masih tidak mau melihatku.
“Jeha. Jeha. Jeha!”
Akhirnya dia menghentikan pekerjaannya, meremas buku yang digenggamnya, lalu menghirup dan mengembuskan napas beberapa kali sebelum berbalik badan menghadapku.
It looks so comical, I almost laugh.
Dia mengerutkan dahi saat menemukanku sudah tepat di hadapannya, tak memberinya ruang sampai sepatu kami saling beradu, dan aku bisa mencium aroma tubuhnya, segar seperti dia baru saja keluar dari kamar mandi.
Ugh! I hate that glasses!
“A-apa lagi?”
Akhirnya! Reaksi yang biasa kuterima dari cowok-cowok yang aku goda keluar juga dari mulutnya. Aku tersenyum, lalu tanpa memberi aba-aba segera meraih kepalanya untuk mendekat agar aku bisa menciumnya. Tubuhnya langsung kaku. Aku yakin aku memberinya banyak kejutan hari ini. Aku tersenyum dengan bibirku masih menempel padanya. Lima detik tanpa reaksi darinya, aku kemudian melepaskannya.
Dia menoleh kanan dan kirinya sebelum matanya kembali fokus padaku. “Are you crazy? What was that for?!” bentaknya lirih.
Ah! Bukan kata-kata itu yang biasa keluar dari cowok yang baru saja menerima ciumanku.
Aku mengedikkan bahu. “Just because …”
“Dasar cewek gila!” makinya sebelum pergi membawa pekerjaannya ke barisan rak buku yang lainnya.
Aku tertawa, menikmati tatapan tajam yang dilemparnya padaku, dan melampiaskan kekesalan pada pekerjaannya.
Well, dia sudah tidak menyukaiku. Menambah kadarnya sedikit—okay, mungkin banyak—tidak akan menyakitkan.
091015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top