Another beginning
SUARA lonceng berbunyi nyaring ketika aku membuka pintu kafe. Kendati sudah lewat pukul 01.30, kafe tidak sepenuhnya sepi, masih ada beberapa manusia yang menempati beberapa meja.
Setelah memesan sepotong pai apel dan secangkir cokelat panas, aku memilih tempat duduk di sudut ruangan yang jauh dari pengunjung lain. Sambil menunggu pesanan datang, aku mengeluarkan laptop dan sebuah novel dari ransel. Menyalakan laptop, aku mulai menulis review novel itu, AFTER THE NIGHT oleh Linda Howard.
“Apa yang dilakukan cewek sepertimu di sini pada jam segini?” Datang suara mengganggu ketika aku baru menulis beberapa line review.
Mendongak, aku menemukan J.H, cowok paling rupawan yang pernah kutemui, salah satu personel TLBs—oops, mantan personel maksudku—berdiri di belakang kursi dengan kedua tangannya masuk kantung jeans putih yang sangat pas membalut kedua kakinya. Rambutnya yang berwarna merah hampir menyerupai warna rambutku diaturnya sedemikian rupa, terkesan berantakan dan setiap ujungnya mengarah ke segala penjuru, tetapi justru membuatnya semakin menarik.
Bukankah tidak adil Tuhan menciptakan satu anak Adam begitu rupawan dan membuatnya menjadi pusat perhatian kaum hawa, sementara sisanya tidak kebagian sedikit pun.
Wah! Aku pasti kesurupan hantu fansnya J.H atau otakku yang sudah eror sampai pikiran semacam itu melintas di kepalaku.
“Cewek kayak gue itu maksudnya apa, yah?” Aku memandangnya curiga.
Dia mengangkat kedua tangannya seperti menyerah. “Nggak bermaksud apa pun. Hanya saja nggak baik seorang cewek cantik sendirian di luar rumah hanya untuk segelas cokelat panas pada jam segini.” Dia menggeser kursi kemudian menjatuhkan pantatnya di seberangku.
“Nggak ada urusannya sama lo.”
“Ada, dong,” tukasnya. “Kalau terjadi hal buruk sama lo, gue bakal ngerasa berdosa karena nggak bisa mencegah hal itu terjadi.”
“Ih, berisik, deh! Nggak ada hubungannya antara gue kena hal buruk sama lo ngerasa berdosa.”
“Gue kenal sama lo, jadi harusnya kesempatan mencegah lo tertimpa hal buruk bisa mencapai tujuh puluh persen.”
“Kita cuma kenal wajah sama nama doang, nggak usah lebay. SKSD banget, sih.”
Yup! Terima kasih pada Kath yang selalu menyeretku setiap kali TLBs mengadakan jumpa fans, aku jadi bisa dikenal oleh TLBs.
“Masa?” J.H menaruh tangannya di dada—di mana jantungnya berdetak dan memberiku ekspresi terluka. “Terus, siapa dong, cewek yang mencium gue di lift beberapa bulan lalu itu?”
Aku memelototinya. “I was drunk and you’re being an asshole! End of story. Erased.”
Pai dan cokelat panasku datang bersama dengan tiga buah muffin cokelat dan secangkir kopi milik J.H.
“Ngapain, sih, lo di sini? Emang nggak ada tempat syuting yang perlu lo datangi atau lagu buat lo nyanyiin di tempat lain gitu?”
J.H menghela napas dalam. “Gue nggak ngerti kenapa lo benci banget sama kami, khususnya gue. Apa lo utusan antis?”
“Objection!” sergahku sambil mengangkat tanganku.. “Gue bukan benci sama kalian. Gue cuma seorang dislikers, beda sama yang namanya antis.”
J.H malah tergelak. “Objection? Sejak kapan kita pindah ke ruang sidang?”
“Sejak lo memfitnah gue. Menuduh gue antis. Itu termasuk pencemaran nama baik dan lo kena pasal 310 KUHP ayat 1,” jawabku tak acuh, lalu kembali mengalihkan tatapanku pada layar laptop. Tapi aku mendongak saat terdengar gelak tawanya menggema. Aku menatapnya tajam. “Nggak ada yang lucu.” Aku mengacungkan garpu ke arahnya.
Dia mengangkat kedua tangannya menyerah, tapi mulutnya menampilkan senyum menawan. “You amused me and you’re cute.”
Aku mendengkus. “Sorry, the feeling’s not mutual.”
“Udah gue duga, sih,” ujarnya. Dia lalu mengulurkan telapak tangannya ke arahku. “Bagi nomer hp lo, dong.”
Aku memandangnya curiga. “Mau ngapain?”
“Buat persediaan. Jadi, semisal gue lagi down, gue bisa nelepon lo buat naikin mood.” Cengirannya selebar cengiran kuda.
“Nomor gue bukan hotline penyedia jasa hiburan.” Karena dia tidak juga menarik tangannya, aku mengambil sesendok pai dari piringku kemudian meletakannya di atas telapak tangan J.H. “Makan aja tuh pai.”
Dia hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lalu melahap pai yang kuletakkan di telapak tangannya. Kontraksi leher dan gerakan jakunnya ketika menelan menarik perhatianku. Aku menggeram kesal karena tidak menemukan sesuatu dari hal itu yang biasanya membuatku illfeel. Kenapa jakunnya tidak sebesar jakun ayam jago dengan leher panjang seperti bangau?
Aku segera mengalihkan perhatian pada layar laptop untuk melanjutkan menulis review dan mengabaikan J.H sepenuhnya. (to Gocing: si cowok duduk di depannya, di seberang meja yak)
“Ngerjain apa, sih? Serius banget.”
Suaranya yang tiba-tiba terdengar sangat dekat di telingaku, membuatku terkejut sampai menjatuhkan sepotong pai yang hendak kumakan. Melihat noda cokelat pada rokku, aku lalu melirik J.H dengan marah.
“Oops, sorry!” ucapnya, tidak terlihat menyesal sama sekali.
Aku mengambil novel yang sedang ku-review lalu memukulnya berkali-kali. “What-the-hell-do-you-think-you’re-doing?!”
Dia segera melompat menjauh. “Cuma penasaran lo lagi ngerjain apa.”
“Bukan urusan lo!” tukasku kasar.
Menyimpan apa yang sudah kutulis namun belum kuselesaikan, aku mematikan laptop, menutupnya, lalu memasukkannya ke dalam ransel. Aku mendengar J.H menghela napas dan duduk kembali di kursinya.
“Ayolah! Jangan pergi dulu. Temenin gue.” Suaranya yang memohon itu hampir membuatku duduk kembali.
“Dibilang gue bukan penyedia jasa hiburan juga.”
“Gue juga nggak minta lo buat menghibur gue.” Dia mengambil novel yang hendak aku masukkan ke dalam tas lalu menyembunyikannya di pangkuannya di bawah meja. “Temenin gue aja. Diam, duduk, dan nggak ngobrol juga ngga apa-apa.” Aku memelototinya menunjukkan ketidaktertarikanku. “Melototin gue sepanjang waktu juga boleh, gue nggak keberatan.”
“Nggak mau.”
“Nanti gue anterin pulang,” ujarnya, dia masih berusaha bernego.
“O-gah!” Aku mendorong telapak tanganku mendekati wajahnya. “Novel gue.”
“Stay.”
Kira-kira, konsekuensi terburuk apa yang akan kuterima kalau aku menyiram si berengsek ini dengan cokelat yang masih setengah cangkir milikku? Dihujat penggemarnya? Dilaporkan ke polisi?
Melihat ke sekeliling dan mengamati para pengunjung lain, aku tidak melihat tanda-tanda penggemar fanatiknya di sini. Tidak ada yang mengeluarkan kamera atau ponsel untuk memotretnya diam-diam. Jadi, kemungkinan dibenci oleh penggemarnya termasuk kecil atau bahkan tidak ada sama sekali seandainya aku menyiram pukangnya.
“Don’t even think about it.” Nada peringatan pada suaranya membuatku hampir tertawa.
“How did you know what I was thinking?”
“The way you look at your hot chocolate, my crotch, and then around.” Dia memutar bola matanya.
Kali ini aku melepaskan senyum terlebarku. “Hei, lo punya karier baru yang menjanjikan, as a mind reader.”
Dia membuka mulutnya untuk meresponsku, tetapi dering ponsel di sakunya menghentikannya. Menjawab panggilan itu, dia memindahkan novelku ke sisi lain tubuhnya saat dia melihatku bergerak.
Sementara dia berbicara dengan seseorang dan menyuruh orang itu untuk datang ke sini, aku berusaha mendapatkan novelku kembali, tetapi tidak ada hasil. Akhirnya kutendang tulang betisnya saat dia selesai bicara di telepon.
Dasar sialan. Menyuruhku tinggal padahal dia ada janji dengan orang lain.
Dia mengernyit, mengusap kakinya. “What was that for?”
“I hate you.”
“Apa salah gue?” Nada dia bertanya seolah-olah mustahil ada seseorang yang bisa membencinya.
“Gara-gara lo keluar dari Teletabis—”
“Terus, lo mulai nge-fans sama kita, jadi lo nggak rela gue keluar?” ujarnya menyelaku.
“Najis.” Aku melempar remahan pai ke arahnya. “Telinga gue harus menderita seharian karena tangisan fans-fans lo.”
“Bukan salah gue kalau mereka emosional.”
“Kalau lo nggak keluar, semua itu nggak bakal terjadi.”
Dia memandangku sejenak dengan pandangan yang memunculkan curiga. “Ngaku aja, deh. Lo jadi nge-fans sama kita dan lo nggak rela banget gue keluar.”
Aku mengayunkan kakiku untuk menendangnya lagi, tapi dia berhasil menghindar sambil tertawa. Aku tertegun sejenak. Gelak tawa lepasnya, entah kenapa terdengar familier di telingaku. Di mana aku pernah mendengarnya?
Duh!
Tentu saja suaranya terdengar familier. Ini bukan pertama kalinya aku bertemu dangannya, ditambah dia seorang penyanyi yang memang penghasilannnya dari menjual suara ke mana-mana.
Kedatangan seorang wanita cantik mengenakan scrubs dan langsung cipika-cipiki dengan J.H membangunkan lamunanku. Aku memutar bola mata. Saat aku hendak kabur, wanita itu justru menoleh, menyadari keberadaanku.
“Hai,” sapanya ramah. Aku yang sedang malas beramah-tamah hanya membalasnya dengan lambaian kecil. “Are you joining us?” Pertanyaanya memang terarah padaku, tapi matanya melirik J.H.
“No,” jawabku bersamaan dengan J.H yang menjawab ‘yes’. Aku memelototinya, tetapi dia hanya menyengir seperti kuda. “Thanks, but I have to go,” ujarku ketus sebelum meninggalkan mereka.
***
“HI, Boyfriend!” sapaku saat teleponku tersambung. Namun sapaanku tidak dijawab, aku dibiarkan mendengarkan suara dengungan dan suara samar orang yang sedang berbicara. “Halo, Jeha?”
“Siapa?”
“Dih! Masa nggak kenal suara pacar sendiri.”
“Terre?”
“The one and only.”
“How did you get my number?” tanyanya setelah menciptakan kesunyian beberapa saat.
“Minta sama Miss Shafa.”
Dia mendengkus. “Miss Shafa nggak bakal ngasih nomorku ke sembarang orang.”
Aku tertawa. “Yeah, sebenernya gue mencurinya setelah melihat ponselnya tergeletak di meja, sih.”
“Kalau semua pencuri kayak kamu, pasti penjara pasti penuh.” Ada nada tawa dalam suaranya.
“Thank you.”
“Cuma Terre Velveta yang mengucapkan terima kasih saat disebut pencuri,” gumamnya. Aku hendak membela diri tapi dia mendahuluiku, “Ngapain, sih, meneleponku? Tahu nggak sekarang jam berapa? Nggak puas menggangguku di sekolah aja?”
“Mau minta jemput.”
“What?”
“Jemput gue, di perempatan jalan di dekat pabrik gula di belakang sekolah itu, loh.”
“Ngapain kamu jam tiga pagi di sana?” Nada keheranan terdengar jelas di suaranya.
“Mau pulanglah.”
Setelah dari kafe, aku pergi ke sekolah untuk mengambil skecthbook milikku yang tertinggal. Aku memerlukan gambar-gambar yang ada di sana untuk melengkapi portofolio yang harus aku kirimkan besok. Menyogok Pak Min dengan setengah lusin donat dan segelas besar kopi hitam , akhirnya aku diizinkan masuk. Sekarang aku terpaksa jalan kaki karena uangku habis.
“Tau nggak kalau pabrik tua itu angker?”
“Rumor.”
“Bukan. Aku pernah lihat kuntilanak di sana.”
Jangan termakan. Dia cuma nakut-nakutin lo, Re.
“Berisik. Cepat jemput gue.”
“O-gah.”
Bunyi gemerisik pada semak di sisi kananku hampir membuat jantungku melompat keluar. “Jempuuut!” Akhirnya aku merengek.
“Nggak mau. Lebih enak tidur.” Dan si berengsek itu terkekeh sebelum menutup teleponnya.
Menggenggam erat ponsel di tangan, aku mempercepat langkahku dan tidak berani menoleh walau ada suara di belakangku. Aku tidak takut pada manusia yang jahat sekalipun. Setidaknya aku bisa membela diri, melawan balik setiap perlakuan yang mereka lakukan. Namun, berbeda dengan setan yang tidak bisa aku sentuh. Memang mereka hanya memandangimu dengan mata mati tanpa ekspresi, tapi justru itulah letak menyeramkannya.
Saat mendengar suara derap langkah kaki di belakangku, aku berhenti. Suara itu ikut berhenti. Kalau yang ini jelas manusia. Jehakah? Dia mau mengerjaiku dengan menakut-nakutiku?
Ah, tidak mungkin! Aku baru saja menutup telepon berbicara dengannya.
Aku semakin mempercepat langkahku sampai akhirnya aku berlari, orang di belakangku mengikuti. Saat aku merasakan sebuah tangan membekap mulutku dan satu lagi mencekik leherku, refleks aku mengayunkan sikuku ke belakang sekuat tenaga. Orang itu memang mengaduh, tapi tidak membuat dia melepaskan cengkeramannya dariku. Aku mulai kesulitan bernapas dan orang gila ini tampaknya tidak akan melepaskanku dengan segera.
Menyerangnya dengan membabi buta juga percuma karena dengan tangan kosong aku tidak bisa melukainya—yang seluruh tubuh beserta kepalanya terbalut baju tebal, bahkan kepalanya juga. Penjahat bodoh menjijikkan yang pintar.
Sembari masih berjuang dengan pernapasanku, aku meraba wajah terselubungnya dengan kedua tanganku. Saat jemariku menemukan lubang matanya, tanpa ragu aku menekankan kedua ibu jariku ke sana sekuat yang aku bisa. Terdengar jerit kesakitan, tapi aku tidak melepaskannya sebelum dia melepaskanku. Saat akhirnya dia melepaskannya, aku segera berlari, tidak peduli walau paru-paruku terasa seperti terbakar. Namun baru beberapa langkah berlari dia sudah menangkapku lagi, menubrukku dari belakang dan menjatuhkanku.
Belum sempat aku mengasihani dahi dan dadaku yang menabrak aspal, orang gila itu sudah membalik badanku dan duduk di atas perutku. Satu tangannya kembali mencekikku sedang tangannya yang lain mulai terangkat mengambil aba-aba.
“Ayo, kita lihat apa yang bisa lo lakuin tanpa wajah ini!” geramnya sebelum kepalan tinjunya terayun memukul wajahku berkali-kali.
Bernapas saja susah, apalagi berteriak. Jadi satu-satunya caraku mempertahankan diri adalah menghalangi pukulannya dengan tanganku yang syukurnya bebas-bebas saja. Tapi orang ini gila tampaknya tidak akan menghentikan serangannya sampai wajahku tidak bisa dikenali. Hanya menggunakan tanganku sebagai tameng juga tidak akan bertahan lama, tanganku mulai sakit semua seperti tulangku mulai remuk.
Apa yang harus aku lakukan dalam situasi seperti ini? Andai saja aku berdiri, mungkin aku bisa menendang barang yang ada di antara pahanya, tapi dengan dia menduduki perutku, tendanganku tidak menyakitinya, bahkan lututku tidak sampai mengenai punggungnya.
Aku benci posisi ini, aku benci tidak berdaya. Setelah semua hal yang aku lalui, masa aku harus berakhir di tangan pria gila tak berwajah. Satu pukulan yang mengenai mataku hampir membuatku buta, sakitnya minta ampun. Sebagai balas dendam aku memukul kepala dan menarik kain penutup wajahnya.
“Ih, jelek!” seruku spontan begitu aku melihat wajahnya.
Dia memukulku lagi.
Okeh. Sudah dicatat. Jangan mengatai orang jahat yang memegang kendali akan hidupmu, apalagi saat kau tidak berdaya.
I don’t want to die this way, I refuse to.
Terdorong keinginan bertahan hidup, aku menarik wajahnya ke dadaku. Pukulannya berhenti dan tubuhnya jadi kaku. Saat dia mulai mencoba melepaskan diri aku segera mempererat tekananku pada kepalanya, menenggelamkan wajahnya ke bagian empuk dadaku. Tidak butuh waktu lama untuknya bereaksi. Dia mulai menggerak-gerakan wajahnya, menikmati—kelewat menikmati—posisinya.
Yup. Men loves boobs.
Ew. Yikes. Bakal mandi lima belas kali habis ini, harus.
Memanfaatkan perhatiannya pada dadaku, aku menginjakkan kedua kakiku ke aspal dan mendorong tubuhku ke atas lalu memutar posisi kami. Sekarang aku yang duduk di atas perutnya dan mencekiknya.
“Pasti nggak ada yang pernah ngasih lo peringatan, yah, kalau lo mesti hati-hati kalau berurusan sama gue.”
Mempererat cengkeraman pada lehernya, aku menguncinya dengan menusukkan kuku-kuku panjangku pada tengkuknya. Saat dia sedang menjerit kesakitan aku memukul wajahnya.
“Gue bisa jahat kalau lo jahat. Gue bisa nggak punya hati kalau lo juga nggak punya hati. Gue bahkan bisa jadi monster kalau berhadapan dengan monster juga.” Aku memberinya pukulan terbaik di sela setiap kalimat yang aku ucapkan.
Saat tanganku kembali mencengkeram lehernya, untuk sesaat aku dibutakan oleh keinginan untuk membunuhnya. Mungkin itu terdengar kejam, tapi setidaknya aku tidak akan merasa bersalah seandainya aku membunuhnya. Kalau aku membiarkannya hidup, dia mungkin akan mencari korban lain, dan secara tidak langsung itu salahku.
Cahaya terang yang tiba-tiba muncul, membutakan mata dan mengalihkan perhatianku. Si gila di bawahku menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Aku pikir dia akan membalasku, tapi ternyata dia kabur tepat saat sebuah mobil berhenti di dekat kami. Aku segera menangkap kedua kakinya, membuatnya jatuh terjerembap mencium aspal.
“Revenge is sweet,” ujarku puas. “And prompt.”
Terdengar suara pintu mobil terbuka dan sedetik kemudian J.H muncul di depanku, menarik dua lengan si orang gila ke belakang punggungnya. “I got him. You can let go now.”
Ah, elah! Kenapa harus orang ini yang lewat dan menemukanku? Apa juga yang dia lakukan di sini?
Aku melepaskan kaki si orang gila dan segera menjauh saat kakinya berusaha menendangku. Dia meronta seperti hewan liar kehilangan kendali sampai akhirnya dia bisa melepaskan diri dari tangan J.H. Orang itu lari, J.H mengejarnya. Saat J.H berhasil menangkapnya, mereka langsung berkelahi habis-habisan tanpa ada yang ditahan. Satu pukulan keras pada perut dan dorongan kasar oleh si gila berhasil membuat J.H jatuh. Si gila menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
J.H masih berusaha mengejarnya, tapi saat jarak mereka semakin saling menjauh, cowok itu menyerah dan kembali.
“Are you alright?” tanyanya, berjongkok di depanku.
“No. My face hurts like a bitch.” Ekspresi ngeri yang terlintas di wajahnya membuatku was-was. “Apa? Gue jadi jelek, yah?”
“Hah?”
“Gue pasti jadi jelek banget, deh.” Aku bahkan tidak bisa pura-pura merana dengan ekspresiku karena rasa sakit yang sebenarnya sudah cukup menunjukkannya. Apalagi mulutku benar-benar sakit. “Iya, kan?”
Dia tertegun sejenak sebelum menjawab, “Erm ... no. You ... you still beautiful.”
“You hesitate,” tuduhku.
“No, I didn’t,” elaknya ngotot sambil memelototiku.
Dengan bantuan sinar lampu mobilnya, dia memeriksa wajahku, lalu leherku. Aku melakukan hal yang sama pada wajahnya diam-diam. Anehnya, aku tidak menemukan memar yang berarti walau sepertinya tadi mereka berkelahi habis-habisan.
“Ayo, gue antar ke rumah sakit!”
“Gue mau pulang aja.”
“Ke rumah sakit.” Nada keras pada suara dan tatapan tajamnya seperti mengatakan dia tidak mau dibantah,
Menghela napas, aku pun berdiri. Tetapi belum sepenuhnya aku menegakkan badan, aku hampir jatuh ke aspal kalau saja dia tidak menopangku.
Wah, mentalku baik-baik saja! Bahkan rasa takutku sudah tidak ada, tapi ternyata tubuhku masih belum berfungsi normal. Kakiku masih terasa lemas sampai J.H harus memapahku berjalan ke mobilnya. Setelah aku duduk di kursi penumpang, dia mengambil tas dan meletakkannya di kursi belakang sebelum dia sendiri duduk di kursi kemudi.
***
“I’M sorry.” Terdengar suara penyesalan yang tertahan.
J.H tidak banyak bicara selama membawaku ke rumah sakit dan ke kantor polisi untuk memberikan laporan resmi. Dia hanya bicara seperlunya dengan dokter dan polisi yang menerima laporanku, dia juga selalu menghindari tatapanku.
Memang wajahku lebam dan bibirku sedikit robek, tetapi tidak hancur sampai tidak enak dipandang lagi. Namun, postur badannya yang kaku, rahangnya yang terkatup rapat, serta cengkeraman kedua tangannya pada kemudi membuatku diam dan tidak berani mengonfrontasinya.
“What for?” Gampang sekali mendeteksi nada sinis dari suaraku sendiri.
“Karena nggak datang lebih cepat.”
Aku meliriknya. “Bukan karena nggak ikhlas nolongin gue?”
Dia menoleh padaku dengan dahi berkerut dalam.
“Nggak apa-apa, kok. It’s not like you’ve ever sign up as my Superman anyway.” Aku membuka pintu mobil.
“I really am sorry,” ujarnya lagi, menghentikan langkahku.
“And I said it’s fine.” Aku menghela napas. “Thanks for passing by at that street,” ujarku mengingat alasannya kenapa dia bisa ada di sana. “Drive safe.” Aku melambai.
Aku baru mendengar suara deru mobil meninggalkan rumahku saat aku sudah berada di dalam.
What a night!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top