9. It's started
“HAI ladies!” Tomy menyelusup duduk di antara aku dan Kath, memaksa kami untuk bergeser memberi ruang untuknya.
“Iiih, Tomy apaan, sih,” keluh Kath kesal, namun segera menyerah saat Adam datang. “Hi, Adam.”
Yang disapa bahkan tidak menanggapi sapaan Kath dan malah langsung duduk di sebelah Val untuk merayunya. Kath menutupi kekecewaannya dengan langsung berbincang dengan Ro tentang Telebes.
Aku memutar bola mata. Ternyata drama semacam itu bukan hanya terjadi di dalam cerita fiksi dan film remaja saja.
Tomy menyenggol bahuku. “Mau pergi ke prom sama gue?” tanyanya, memamerkan undangan prom di tangannya.
Aku mengerutkan dahi. Ujian Akhir saja belum mulai, tiket prom sudah dijual saja. Biasanya kalau sudah dekat begini aku akan mendapat banyak ajakan. Walau akhirnya aku sama sekali tidak menikmati acara prom itu sendiri, tapi aku merasa perlu datang, hanya untuk melihat wajah-wajah sinis dan iri dari mereka yang tidak pernah menyukaiku.
“Jangan buang-buang waktu, Tom. Paling Terre mau pergi sama pacar pecundangnya. Biar sekalian ngajarin dia cara bersosialisasi.” Adam menyela sebelum aku sempat menjawab Tomy.
“Riiiight,” kata Tomy dengan seringaian yang mencurigakan. “Damn. Gue pikir tahun ini gue punya kesempatan.”
Aku memandangi mereka satu per satu. Gengnya Adam ini makin gencar saja mem-bully Jeha. Senin kemarin mereka sampai bertindak jauh melampaui yang biasanya, yaitu mengeroyoknya. Aku memang tidak melihatnya langsung, tapi mereka yang keluar dari tempat yang sama dan wajah Jeha yang lebam dan sudut bibirnya berdarah cukup untuk menjadi buktinya.
“Denger, yah,” kata Jeha kesal waktu itu, “gue udah ngebiarin elo gangguin hidup gue. Gue nggak mau lo juga bikin gue kelihatan lemah. Gue ngga perlu seorang cewek buat ngebela gue.”
Tuh, kalau marah pakai gue-elo lagi.
“Jadi hanya karena gue cewek?” Aku jadi ikut kesal. “Itu namanya diskriminasi.”
Dia mengetuk dahiku dengan ujung jarinya. “Itu namanya pride.” Dia mengusap darah di bibirnya, membuatku mengernyit. “Kalau gue mau, gue bisa menghabisi mereka sendiri.”
“Terus kenapa nggak dilakuin?” tuntutku. Karena sejujurnya aku juga sering ingin menghajar mereka.
“Gue lagi menyamar jadi anak baik-baik.”
“Preet.”
“Aku serius.” Dia menatapku pernuh peringatan. “Aku nggak butuh kamu buat jadi pahlawan kesiangan. Mereka cuma bakal nemu alasan lain yang lebih kuat untuk mem-bully kalau kamu ikutan ngomong.”
Aku hanya menghela napas. Karena memang pikirannya itu ada benarnya juga. Adam tipe orang yang kalau semakin dilarang malah akan semakin melakukannya. Jiwa pemberontak sedang panas-panasnya membara.
Setelah menghabiskan jus jeruk dalam gelas di depanku, aku berdiri. Hendak mengajak Kath atau Luna pergi, tapi ternyata mereka sudah menghilang lebih dulu. Dih, aku ditinggal.
Tomy memegang lenganku, menahanku pergi. “Eh, mau ke mana? Sini duduk aja. Bel masuk masih lama juga,” katanya.
“Males, ah!” Aku menarik lenganku dari genggaman tangannya. Perhatianku beralih pada orang di samping Tomy. “Ro, Kath ke mana?”
“Ke UKS. Pusing katanya.”
“Thanks,” ucapku sembari melangkah pergi.
“Hei, Re! Kalau si cupu itu nggak mau pergi sama lo, pintu gue selalu terbuka buat lo!”
Aku mengacungkan jari tengah.
***
AKU menemukan Kath dan Luna sedang berdiri di depan ruang UKS dengan ekspresi aneh. Dengan mata terbelalak dan mulut menganga lebar, mereka tak berkedip menatap pintu UKS yang terbuka. Saat mendekat aku baru sadar bahwa mereka bukan memandangi pintu melainkan memandangi Jeha dengan ekspresi yang bisa aku sebut sebagai ekspresi kaget yang berlebihan. Toh, bukan pertama kalinya mereka melihat Jeha.
“Hei,” sapaku.
Jeha hanya menanggapiku dengan anggukkan kecil sebelum memutar badannya lalu berbaring di salah satu tempat tidur berlinen putih itu dan mulai membaca book of the weeknya, The Woman In Black.
Aku mengalihkan perhatianku pada kedua temanku yang sepertinya mengikuti setiap gerakan yang Jeha lakukan, masih dengan ekspresi bodoh mereka. Aku menjentikkan jari di depan wajah mereka satu per satu. Luna langsung sadar, tapi Kath hanya mengerjapkan matanya sekali, menoleh ke arahku sebentar, lalu kembali mengalihkan matanya ke sosok Jeha di seberang ruangan dan memandangnya dengan ekspresi memuja diiringi desahan aneh.
That’s super weird.
Aku melirik Luna dengan tatapan bertanya. “Terlalu banyak mengonsumsi adegan Adam-Val,” jawab Luna. Dia lalu menarik lengan Kath. “Ayo, Kath! Kita harus menemui Miss Mirna.”
Kath menggeleng. “Lo aja yang pergi. Gue masih pengen di sini,” ujarnya, dengan mata masih terpaku pada pacarku.
Luna melirikku lalu tertawa canggung saat aku membalasnya dengan tatapan bertanya. Dia kembali menarik Kath dengan paksa karena Kath bersikeras tetap di sini, memandangi Jeha dengan aneh. Kath sampai berpegangan pada frame pintu untuk menahan diri tetap di tempat.
“Dadah, Jeha.”
Aku semakin mengerutkan dahi mendengar ucapan manis Kath pada Jeha. Jeha membalasnya dengan lambaian dan senyum kaku sambil melirikku sebelum Kath melepaskan tangannya dari frame pintu. Senyumnya sangat lebar saat akhirnya dia menyerah ditarik Luna pergi.
“Apa yang sudah kamu lakukan padanya?”
“Kenapa kamu pikir aku sudah melakukan sesuatu?”
“Karena Kath yang biasanya sinis dan sangat nggak suka sama kamu tiba-tiba memandangmu seolah kamu dewa?”
Dia mendengkus sambil membalik halaman pada bukunya.
“Apa dia melihatmu telanjang?”
“Dan apa alasanku untuk telanjang di depan Kath?”
Aku mengedikkan bahu. “Exibisionist?”
Dia melemparkan tatapan are-you-serious padaku.
Aku tidak menyalahkan Kath bereaksi seperti itu seandainya dia memang melihat Jeha telanjang. Apa aku sudah bilang kalau Jeha mempunyai bentuk tubuh yang cukup bagus untuk seorang kutu buku? Itu baru pendapatku saat melihatnya mengenakan baju, ketika tanpa baju? Beda lagi. Itu bukan berarti aku sudah tidur dengannya atau melihat dia tanpa busana sama sekali.
Hari minggu kemarin Seth, Kyle, dan Kak Logan mengundangku ke beach-party yang diselenggarakan oleh kenalan mereka sesama bule. Di sana aku diberi kesempatan melihat Jeha tanpa t-shirt, jadi tubuh bagian atasnya sampai pinggang ke bawah sedikit dia pamerkan. Dan wow-oh-wow, pertunjukan itu terus saja menarik perhatianku.
Sungguh, perutnya bahkan tidak berbentuk six-pack yang kentara seperti milik Seth dan beberapa bule yang hadir di sana, apalagi mirip Kak Logan yang sepertinya mempunyai eight-pack. Tidak mirip mereka sama sekali. Perutnya rata dengan hanya memiliki otot yang cukup untuk membuatnya nampak keras dan tangguh.
Aku menghela napas lega ketika ponsel di sakuku berdering. Biasanya aku tidak menjawab panggilan dari nomor tak dikenal, tapi ini pengecualian. Aku perlu pengalih perhatian dari bayangan tubuh Jeha di dalam kepalaku.
“Halo?” sapaku.
“Halo. Bisa saya bicara dengan Terre Velveta?” Suara pria menjawabku.
“Saya Terre. Bapak siapa?”
“Saya Detektif Ambrose, detektif yang menerima laporan penyeranganmu tempo hari.”
“Oh, ya, Pak Detektif.”
Jeha segera bangun dan mendekatkan telinganya pada sisi lain ponselku. Aku memindahkan ponsel ke telingaku yang satunya.
“Bisa kau datang ke kantor setelah pulang sekolah?”
“Ke kantor polisi?” Aku mengerutkan dahi, lalu melirik Jeha yang ternyata berbagi ekspresi yang sama denganku. “Erm ... ada apa, yah, Pak?”
“Kami mungkin menemukan orang yang menyerangmu, kami butuh kamu datang untuk mengonfirmasinya.”
Aku mengembuskan napas lega. “Harus, yah, Pak, saya datang? Bukannya saya sudah menggambar wajahnya waktu itu? Saya menggambarnya cukup detail kok.”
Gara-gara artis sketch yang bertugas waktu itu sedang sibuk, aku akhirnya berinisiatif menggambar sendiri wajah jelek orang itu pada secarik kertas yang aku ambil di atas meja di depanku.
Terdengar helaan napas detektif Ambrose. “Mungkin kau lupa, tapi kau menggambar wajahnya hanya pada secarik post-it note kecil berwarna cokelat yang membuat hasil gambarmu tetap tampak kurang jelas.”
Aku mendengkuskan tawa. Malam itu aku hanya ingin cepat-cepat pulang, jadi aku mengambil post-it note berukuran 3x5cm yang kebetulan menempel pada cangkir tempat pensil dan pulpen lalu mulai menggambar.
Aku mengabaikan tatapan bertanya Jeha. “Saya ada ekstrakulikuler sampai pukul enam, Pak. Bisa?”
Detektif Ambrose tidak menjawab untuk beberapa saat. “Saya akan menghubungi sekolahmu agar kau diizinkan absen hari ini.”
Eh?
“Saya tunggu pukul 4. Selamat siang,” ujarnya, lalu mengakhisi sambungan telepon.
Aku memandangi ponselku. Apa dia baru saja memutuskan sesuatu tanpa persetujuanku?
“Detektif berengsek!” jeritku pada ponsel di tanganku.
“Apa-apaan, sih?” tanya Jeha, memandangku dengan ekspresi yang tercampur antara aneh dan ngeri.
“Itu tadi Detektif Ambrose. Dia detektif yang menerima laporan penyeranganku waktu itu. Dia menyuruhku datang dan pas aku bilang aku ada ekstrakulikuler dia bilang bakal menghubungi pihak sekolah supaya aku diizinkan absen hari ini.”
Kali ini dia memandangku geli. “Bagus, kan? Kamu bilang capek latihan menari terus. Ini kesempatanmu buat nggak latihan.”
Kalau dilihat dari sudut itu memang enak. “Masalahnya bukan aku bolos nari atau nggak, tapi kenyataan bahwa dia memutuskan sesuatu untukku tanpa bertanya dulu apakah aku setuju atau nggak. Memangnya dia pikir dia siapa coba?”
“Orang yang menangani kasusmu?”
“Nggak lantas membuatnya memiliki hak mengambil keputusan seenaknya, duh.”
Dia memutar bola matanya. “Forget about that, let’s fokus on why he called you.”
“Katanya mungkin mereka menangkap orang yang menyerangku dan mau aku mengonfirmasinya.”
“Itu bagus, dong. Kamu seharusnya berterima kasih padanya, bukan malah meneriakinya berengsek.”
Aku memicingkan mata memandangnya. “Siapa sebenarnya yang pacarmu?”
“What are you talking about? I’ve never claimed to have any girlfriend,” ujarnya santai sambil kembali merebahkan diri di tempat tidur lalu mulai membaca.
Memang benar dia tidak mengklaim punya pacar. Waktu di beach party kemarin dia ditanya beberapa orang apakah aku pacarnya? Dia selalu menjawab ‘bukan’ bersamaan denganku yang menjawab ‘iya’. Aku harus mengatakan pada orang-orang itu kalau pacarku bohong lalu menciumnya di depan umum.
Weekend kemarin adalah weekend dengan rekor terbanyak aku melakukan PDA selama aku pacaran dengan seseorang hanya untuk membuktikan bahwa aku adalah pacarnya.
Aku membuang bukunya, lalu duduk di atas perutnya. Bad move. Ingatanku kembali ke pantai dan Jeha yang tidak mengenakan kaosnya. Seriously, dia bahkan tidak telanjang sepenuhnya atau berenang seperti kakak-kakaknya dan beberapa bule tak tahu malu yang menghadiri pesta itu. Dia cuma duduk di kursi malas sambil membaca.
See? Kurang cupu apa lagi coba? Cuma dia yang berada di pesta pantai yang ramai akan minuman, makanan, serta gadis-gadis minim busana bersileweran dan hanya membaca buku sepanjang waktu. Okay. Ayo pikirkan ini saja; dia cuma cowok kutu buku yang sangat kutu buku dan kebetulan punya bentuk badan bagus. Sama sekali tidak sexy.
“Turun dari sana. Jangan sampai aku mengubah dugaan level kegilaanmu.”
Aku duduk tegak, melipat lenganku dan mendengkus. “Itu ancaman terbaik yang bisa kamu lemparkan padaku? How disappointing.”
“What are you guys doing?” Datang suara tidak asing dari pintu.
Aku menoleh dan menemukan Ale, salah satu teman Adam yang selalu memandangku dengan tatapan ragu-ragu, sedang berdiri di pintu dengan salah satu kakinya sudah berada di dalam ruangan.
“I’m going to rape him,” jawabku sambil menunjuk Jeha tanpa melepaskan pandanganku dari Ale.
Perut yang aku duduki bergetar bersamaan dengan tawa Jeha yang menggema. Sementara itu, Ale hanya memandangku datar lalu memutar badannya pergi.
“So, you’re going to rape me, huh?” Aku mengangguk. Dia memandangku geli. “Mungkin kamu harus menutup pintu dulu biar nggak ada yang lihat.”
Aku menggeleng. “Justru itu tujuannya. Biar semua orang lihat apa yang akan aku lakukan sama kamu, jadi semua orang tahu kalau kamu pacarku walau kamu nggak mengakuinya,” ujarku sesaat sebelum menyerangnya dengan mulutku.
Dia masih tertawa beberapa saat aku menciumnya, sampai aku mengubah angle kepalaku dan menambah tekanan mulutku pada mulutnya baru aku berhasil mendiamkannya dan dia ikut berpartisipasi.
Aku menemukan kenyataan bahwa aku sangat menyukai ciumannya, kalau dia sedang mood untuk membalasku. Ciumannya bukan ciuman agresif dan posesif ala orang mesum yang merasa mendapat rezeki dicium cewek cantik, tapi bukan berarti dia menciumku dengan canggung juga. Gerakan bibir dan mulutnya tegas, pasti, dan lembut pada saat bersamaan seperti ... seperti dia seorang ahli dan tahu apa yang harus dia lakukan untuk menghanyutkanku.
“Sentimenmu terhadap penolakan,” gumamnya pada mulutku sesaat sebelum dia membawaku berputar mengubah posisi kami.
Gerakan tiba-tiba itu membuatku terkejut dan hampir mendorong serta menamparnya karena refleks. Aku harus mencengkeram perutnya untuk menahan tanganku agar tidak melakukannya.
Ada masa di mana aku sangat tidak menyukai posisiku di bawah seorang lelaki apabila dia melakukannya dengan tiba-tiba dan memaksa. Cara dan posisi seperti itu mengingatkanku akan peristiwa empat tahun lalu dan aku sangat tidak ingin ke sana sekarang. Aku segera mengusir kenangan yang tak layak dikenang itu dan memfokuskan diri pada wajah Jeha yang tampak bingung menatapku.
“Hey,” protesku. “This is supposed to be me who rape you, not the way around.”
Dia memutar bola matanya. “I’m not going to rape you. I was—” Ponselnya berdering memotong apa pun yang hendak dikatakannya.
Tubuhnya hampir sepenuhnya menindihku saat satu tangan yang awalnya menopang tubuhnya di atasku dia gunakan untuk mengambil ponsel pada sakunya. Sebenarnya dia bisa saja memiringkan tubuhnya agar ditopang sepenuhnya oleh tangannya yang lain, tapi sepertinya dia ingin menggodaku mengingat seringaian kecil pada sudut bibirnya ketika melihatku mengernyit.
Namun dia salah membaca. Kernyitan itu bukan karena aku menolak godaannya, sejujurnya aku tidak merasa tergoda sama sekali. Nyatanya dadaku menjadi sesak dan kepalaku mengancam untuk kembali ke masa kelam itu.
Aku segera mendorong dadanya tepat ketika dia menjawab panggilan di ponselnya. But it was another bad move. Aku jadi teringat lagi bagaimana bentuk dadanya. Dadanya, dada bidangnya itu sangat menggoda tanganku untuk menyusuri setiap lekukan yang ada di sa—
Okay. Stop.
Aku sudah mulai susah berkonsentrasi di dekatnya tanpa membayangkan dada telanjangnya. Aku tidak memerlukan otak yang eror karena terus memikirkan hal-hal mesum.
“Jam berapa ke kantor polisi nanti?” tanyanya membangunkanku dari lamunan tidak berguna yang aku sesali. Dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku dan memandangku menunggu.
Wah. Aku bahkan tidak mendengar pembicaraannya tadi. Aku pasti sudah melangkah terlalu jauh ke dunia lain itu. Aku berdeham lalu duduk.
“Pulang sekolah teng.”
“Oke. Nanti aku antar. Jangan pergi dengan siapa pun.”
Aku menatapnya dengan sebelah alisku naik. “Bossy much?”
“Bukan bossy, cuma mencegah kembali disalahkan kalau kamu nggak sampai ke kantor polisi dengan utuh,” ujarnya dengan nada menyindir.
Aku masih suka merasa tidak enak karena membuatnya merasa bersalah kalau mengungkit-ungkit tentang hal itu. Tapi dia tidak perlu tahu, jadi aku cuma mengibaskan rambutku lalu pergi meninggalkannya di belakang.
***
“MAU ngapain kamu?” tanyaku pada Jeha saat aku turun dari mobilnya dan melihatnya mengikuti. “Aku setuju kamu antar, tapi aku nggak pernah bilang kamu boleh ikut masuk.”
Dia memutar bola matanya. “Aku juga udah bilang kan kalau aku ada janji di sekitar sini.”
“Terus ngapain ikut keluar di sini? Sana pergi ke tempat janjian kamu.”
“Ini juga mau pergi.” Dia mengambil ranselnya dari kursi belakang, mengunci mobilnya, lalu berjalan ke gerbang keluar kantor polisi.
“Eh ... kenapa mobilnya ditinggal? Kalau mau gue bawa harusnya tinggalin kuncinya sekalian, dong.”
Dia berbalik badan. “Enak aja. Maksudku, daripada bayar parkiran di tempat lain, kenapa nggak ngambil yang gratis aja?”
“Iih, pelit. Parkiran mobil paling berapa coba.”
Dia memutar bola matanya. “Bukan pelit, tapi fleksibel. Toh, nanti aku jemput kamu juga.” Dia berjalan mundur. “Jangan pulang dulu sebelum aku datang.”
Dia tidak mau menerima penolakanku, dia langsung lari dan menghilang dari pandanganku sebelum aku sempat mengatakan apa pun. Dasar kutu buku bossy.
Aku menatap kantor polisi di depanku dengan sedikit rasa menghina. Polisi apaan coba tidak bisa mencari solusi untuk melihat gambar pada sepotong kertas yang kecil? Mereka bisa pakai kaca pembesar atau di-scan dulu lalu diperbesar dengan komputer begitu, tidak perlu memanggilku ke markas mereka segala.
Menghela napas panjang dan dalam, aku akhirnya melangkahkan kaki masuk ke gedung bertingkat yang tampak membosankan itu. Aku hanya menyebut nama detektif yang menghubungiku lalu menyebut namaku sendiri di meja depan, dan mereka segera mengantarku ke lantai dua. Aku dimasukkan ke sebuah ruangan kosong yang hanya berisi meja dan bangku yang tampak tidak nyaman. Detektif Ambrose sendiri tidak ada di sana, jadi aku disuruh menunggu.
Beberapa menit kemudian pintu terbuka. Namun bukan detektif Ambrose yang datang, melainkan artis yang tidak pernah masuk daftar orang favoritku. Dia mengenakan t-shirt putih polos yang ditutupi jaket merah di atasnya dipadankan dengan celana jeans biru dongker. Rambutnya seperti biasa, masih merah dan berantakan berdiri mengarah ke segala penjuru.
“Ngapain lo di sini?”
Dia menjatuhkan pantatnya ke kursi di sebelahku dengan helaan napas lelah. “Dipanggil,” jawabnya singkat sambil menengadahkan wajahnya, bersandar pada kursi dan memejamkan mata.
“Why?” Dia mengedikkan bahu sementara aku terus memandanginya, menunggu dia mengatakan suatu yang lain sebagai alasan. “Stop staring. You might fall in love with me.”
Aku mendengkus bersamaan dengan pintu yang terbuka. Kali ini yang masuk adalah seorang lelaki tampan berkemeja putih dan dasi kendor melingkari lehernya, setumpuk map cokelat dikempitan lengannya dan kopi di tangannya yang lain. Dia tersenyum padaku dan J.H—yang masih dalm posisi memejamkan mata—lalu dia duduk di kursi di hadapan kami.
Dia mengulurkan tangan padaku, aku menyalaminya. “Saya detektif Dirga.” Dia memperkenalkan diri. “Di mana kalian dua malam yang lalu?”
Aku mengerutkan dahi sedangkan J.H langsung terduduk tegap seperti terkejut. Apa hubungan keberadaanku dua malam yang lalu dengan pengenalan wajah pelaku yang menyeranganku? Dan siapa detektif Dirga ini?
“Apa hubunganya?” J.H menyuarakan pertanyaanku. “Bukannya kita di sini untuk mengenali pelaku penyerangannya, yah?”
“Dan di mana Detektif Ambrose?” Aku menimpali bertanya.
“Ada perubahan dalam kasus ini. Jadi kasus ini dilimpahkan pada saya.” Dia lalu kembali bergantian menatapku dan J.H dengan tatapan yang tak mengungkapkan apa pun. “Jadi, di mana dan apa yang kalian lakukan dua malam yang lalu?”
Aku melipat lenganku di depan dada, tak mengatakan apa pun. Aku tidak mau memasukkan diriku ke dalam penjara hanya karena minum alkohol di bawah umur. Nope.
Detektif melihat, menilaiku sejenak lalu beralih ke J.H. “Kau?”
“With my brothers in a party,” jawab J.H dengan tatapan lurus tanpa goyah memandang detektif Dirga.
Si detektif beralih padaku, aku menggeleng keras kepala. “Sebaiknya kau jawab atau kau bakal kena masalah, Nona.” Nada bicaranya berubah penuh kuasa dan pandangannya mulai mengeras. J.H ikut memandangiku.
Aku menegakkan badanku lalu berdeham. “Saya perlu tahu apa hubungannya?” Kami beradu pandang, saling menatap mata masing-masing menolak menyerah.
“Baiklah.” Detektif itu yang menyerah.
Aku menahan diri untuk tidak melepaskan helaan napas lega.
Dia lalu membuka map cokelat kedua dari tumpukan map yang dia bawa tadi. Membukanya, dia mengambil sebuah foto kemudian menyodorkannya ke arahku dan J.H. Aku dan J.H mencondongkan tubuh ke depan untuk mendapat penglihatan yang lebih jelas ke foto itu. Perutku langsung mual dan aku segera manjauhkan diri.
Aku tidak pernah melihat mayat sebelumnya. Satu-satunya orang meninggal yang pernah aku lihat dari dekat adalah Oma. Dan Oma bukan mayat berusia beberapa hari, jadi beliau masih tampak cantik di usianya, berbeda dengan orang mati di dalam foto di atas meja itu.
“Korban atau pelaku yang menyerangmu bernama Landis Irawan.” Detektif Dirga melirikku. “Dia tinggal di perkampungan kumuh tidak jauh dari kompleks perumahan tempat tinggalmu. Kau yakin tidak pernah melihatnya?”
Aku menggeleng.
“Kapan dia ditemukan?” J.H bertanya dengan nada seolah dia sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu.
“Tadi pagi,” jawab Detektif Dirga, “dan koroner sudah memastikan waktu kematiannya sekitar dua hari yang lalu, antara pukul 7-9 malam.”
Jadi aku disuruh datang bukan untuk mengonfirmasi tentang pelaku penyeranganku, melainkan untuk diperiksa alibiku?
“Dan bapak menuduh saya melakukannya.”
“Kami memeriksa segala kemungkinan yang ada, tapi untuk sekarang kalian berdualah yang mempunyai motif paling besar saat ini.”
Tidak sepertiku yang membuang muka dan rasanya ingin jauh-jauh dari gambar mayat itu, J.H justru menarik gambar lain dari map dan mengamatinya. Itu foto bagian leher yang dililit dengan sesuatu. Ugh!
“Saya berada di sebuah beach-party dari pukul lima sore sampai pukul satu dini hari. Boleh saya pergi sekarang?” ujarku dalam satu tarikan napas panik.
“Apa ada orang yang bisa memberimu kesaksian?”
Aku menganguk. “Pacar saya dan saudara-saudaranya.”
Detektif Dirga mengambil selembar kertas lalu menyuruhku menuliskan nama beserta nomor telepon alamat orang-orang yang menjadi saksiku. Sementara aku menulis, aku melihat J.H dengan seenaknya menyebar foto-foto TKP di hadapannya untuk dia amati. Aku segera membelakanginya.
Aku menyerahkan pensil dan kertas yang sudah kuisi kepada detektif yang kemudian langsung memeriksanya. Dahinya berkerut, mendongak padaku kemudian beralih memandang J.H sebelum kembali memandangku. Dia mengintip lagi kertas yang baru aku serahkan tadi.
“Jeha?” tanyanya padaku, membalik kertas di tangannya lalu menunjuk dengan pensil nama pacarku.
“Ya?” Orang yang duduk di sebelahku yang menyahut, mendongakkan kepalanya.
Aku memutar bola mata sebelum mengangguk pada detektif Dirga. “Pacar saya.”
Dengan sebelah alis matanya naik dan sudut mulutnya berkedut, detektif Dirga beralih memandang J.H.
“Erm ... saya akan menjelaskan alibi saya nanti,” kata J.H, tak acuh dan kembali mengamati gambar-gambar di depannya. “Apa menurut Anda ini perbuatan seorang profesional?”
“Dilihat dari kerapian dan tidak adanya tanda-tanda keraguan pada luka di lehernya, kami menduga iya,” jawab Detektif Dirga.
“Serial killer kumat?” tanya J.H lagi.
Aku meliriknya sinis. Ceritanya dia ingin menjadi detektif, yah?
“Diragukan.” Detektif Dirga mengambil foto lain dari dalam mapnya. “Tidak ada serial killer dalam data kami yang meninggalkan ‘kenang-kenangan’ seperti ini.” Dia meletakkan foto yang diambilnya tadi di atas meja dan jantungku hampir copot saat melihat gambar TKP keseluruhannya.
Di sana, mengelilingi mayat Landis Irawan yang tergeletak dengan posisi aneh dan mata terbuka, bertebaran mawar hitam tak terhitung jumlahnya.
Aku tidak ingin berpikir ke arah sana, tetapi mengingat note yang aku temukan pada sela pintu kamarku sepulang dari beach party, aku jadi merinding dan tanpa sadar mengeluarkan suara keluhan aneh. Detektif Dirga dan J.H menoleh padaku. Aku langsung pura-pura cegukan.
“Sorry,” gumamku menutup mulut dengan tangan. “Saya sudah boleh pergi, kan?”
“Yah, silakan.”
Aku tidak membuang waktu untuk berada di dalam ruangan itu lebih lama. Aku segera keluar dan berlari menuju lift.
You’re welcome.
-Mr. Roseman
Inikah maksudnya? Membunuh orang yang sudah menyerangku dan dipikirnya aku berterima kasih?
Great!
Sekarang aku bukan hanya mempunyai stalker creepy, namun juga gila, psycho, dan kemungkinan besar adalah seorang pembunuh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top