16. Did I hear you right

BUKANNYA aku tidak menyadari keengganannya membalas ciumanku atau ketika dia menahan tanganku saat aku berusaha melepaskan t-shirt-nya dan mendorongnya agar kami berganti posisi, tapi aku terlalu fokus pada  pikiranku  untuk peduli bagaimana reaksinya.

Selama ini ternyata hidupku seperti pertunjukan kecil untuk kepuasan Mr. Roseman. Aku tidak tahu berapa e-mail yang dia hapus atau pesan dan chat yang tidak pernah tersampaikan padaku. Aku hanya baru bisa menghitung beberapa orang penting yang mengeluh kenapa e-mail dan chat mereka cuma aku baca dan tidak pernah aku balas.

Bagaimana aku mau membalasnya kalau membaca saja tidak?

Danang sialan. Pantas saja dia selalu ketakutan setiap melihatku.

Segala pikiran dalam kepalaku berhenti saat aku tidak lagi merasakan mulut Jeha pada mulutku. Aku membuka mata, seberkas cahaya bulan dari luar yang masuk melalui jendela di atas tempat tidurku menyinari mata tanpa kacamatanya yang sedang memperhatikanku. Kenapa dia berhenti?

Aku memindahkan tanganku yang sejak tadi meraba punggung ke lehernya, lalu menariknya kembali ke arahku. Dia memang menyerah untuk beberapa kecupan, tetapi ketika aku semakin menekan kepalanya dan mengaitkan kakiku di belakang punggungnya, dia justru mengangkat kepalanya dan tidak mau turun walau aku sudah menariknya ke bawah dengan paksa.

“Ada apa?” tanyaku, sebelum mengangkat kepalaku dan menyusul di mana bibirnya berada.

“We are so not going to do anything more than kissing,” gumamnya di sela-sela ciumanku.

“Kenapa? Kamu kan udah lepas baju, kita lanjutin aja sekalian.”

Aku merasakan mulutnya tersenyum. “Iya, sih, aku udah lepas baju, tapi kamu sendiri sudah pakai baju, jadi aku malas melanjutkannya.”

Aku kembali menjatuhkan kepalaku ke bantal lalu mendengkus. “Alasan. Sejak kapan aku pakai baju?” kataku.

Dia tertawa sembari bibirnya menghujani rahang dan leherku dengn kecupan-kecupan kecilnya. “Sejak tadi,” jawabnya. Bibirnya kemudian semakin turun.

Aku sudah mengantisipasi akan merasakan bibirnya di mana dan aku masih merasakan bibirnya saat dia mencium tulang selangkaku. Namun  ketika dia berpindah ke bahuku aku tidak lagi merasakan bibirnya. Aku masih bisa merasakan dia menciumi bahuku, tapi bibirnya tidak melakukan kontak langsung dengan kulitku. Seolah ada penghalang di—

Aku segera mendorongnya kemudian meraba badanku. “Sejak kapan aku pakai baju?!”

“Kan aku bilang sejak tadi,” jawabnya dengan tawa.

Apa-apaan? Aku yakin sekali aku belum memakai apa pun kecuali bra dan celana dalam saat naik ke timpat tidur. Bagaimana tiba-tiba aku sudah memakai baju?

Mencium aroma dari t-shirt yang aku pakai menjawab pertanyaanku. “Kamu memakaikanku baju yg aku lepaskan darimu.” Ya ampun, orang ini. “Kamu cowok paling bego yang pernah aku pacari.”

“Hei, aku cowok paling pintar yang pernah kamu pacari. Aku selalu ada di peringkat satu, ingat?”

Aku memutar bola mata. “Seperti yang pernah kamu bilang, tingginya nilai akademik seseorang tidak otomatis membuat orang itu cerdas.”

Dia diam, kemudian dia pindah ke sampingku dan merebahkan diri di sana. “Cuma kamu yang menganggap tindakanku sebagai kebodohan,” ujarnya. “Cewek lain bakal bilang; ‘ah sayang, kamu so sweet’, ‘ya ampun sayang, you’re so thoughtful’,” lanjutnya, mencoba menirukan suara cewek.

“Suara kamu bikin merinding.” Aku lalu mendengkus. “Lupa, yah, kalau aku nggak seperti cewek lain kebanyakan?”

Dia melingkarkan salah satu tangannya di pinggangku lalu menarikku de arahnya. “Nggak lupa juga. Cuma masih suka keheranan,” gumamnya pada kepalaku.

Aku memiringkan badanku untuk menghadapnya. “Kapan juga kamu memakaikan baju padaku?”

Hal aneh lain yang membuatku heran adalah tubuhku yang sama sekali tidak protes saat Jeha mulai menindihku, aku justru melingkarkan kedua kakiku di pinggangnya dan membuatnya semakin menekan berat tubuhnya padaku.

Dia menghela napas berlebihan. “Kenyataan bahwa kamu nggak sadar kapan aku melakukannya adalah alasan yang cukup untuk nggak melanjutkan yang tadi.”

“Na-ah. Justru itu menjadi alasan yang cukup untuk melanjutkannya yang tadi. Aku nggak sadar kan karena aku sangat tenggelam dalam ciuman kamu.”

“Yeah, right.” Dia mendengkus. “Walaupun aku jelek, bukan berarti aku nggak pernah pacaran sebelumnya.”

Tentu saja. Aku bahkan bisa membuat daftar artis yang mampir ke pelukannya. Bukan berarti aku rajin menonton acara infotainment dan mengikuti berita tentangnya, tapi Kath yang selalu meng-update berita tentang J.H membuatku mengetahui hal-hal yang tidak penting semacam itu.

“Aku bisa tahu pikiran seseorang sedang keluyuran ke mana-mana walau dia sedang melakukan sesuatu denganku.” Nada suaranya saat mengatakan ‘melakukan sesuatu’ terdengar sangat ambigu, bikin sensi.

“Padahal kamu jelek, tapi bisa-bisanya kamu berpengalaman begitu dalam hal seperti ini,” ujarku sinis. Aku lalu menambahkannya dengan marah, “Kamu, kok, jelek banget, sih?”

“‘This true my form is something odd. But blaming me is blaming God. Could I create myself a new, I would not fail in pleasing you. If I could reach from pole to pole or grasp the ocean with a span, I would be measured by the soul; The mind’s the standard of the man.”

Aku diam sejenak, mencerna puisinya. “Kayaknya pernah denger puisi itu deh. Di mana, yah?”

“Entah, yah,” gumamnya dengan tawa.

***

“AKU berani bertaruh, tadi kamu mikirin soal Mr. Rose‘creepy’man,” ujarnya tiba-tiba.

Busted.

Dia melepaskan pelukannya dariku lalu menyalakan lampu kamar saat aku diam saja. Saat dia memutar badannya ke arahku lagi, dia sudah memakai kacamata dan memelototiku yang masih tiduran dengan nyaman. Aku ikut bangun untuk duduk.

“Kalau tadi kamu tersinggung karena aku nggak mau memandangi badanmu, sekarang aku merasa terhina karena sementara kamu menciumku, otakmu malah memikirkan cowok lain yang notabenenya orang gila.”

Aku memutar bola mata. “Aku bukan memikirkannya berharap dia menggantikan posisimu, aku sedang memikirkan 1001 macam cara untuk membunuhnya kalau bertatap muka dengannya nanti.”

“Tetap saja, memikirkan cowok lain saat kamu sedang mencium pacarmu itu sebuah penghinaan. A cheating mind.”

Aku memutar bola mata lagi. “Lebay.”

“Berhenti memutar bola mata.”

Aku malah memutar bola mataku lagi.

Dia mendekat, menempelkan hidungnya pada hidungku. “Kalau kamu suka banget memutar bola mata, aku bakal senang hati mencongkel matamu lalu menaruhnya di dalam toples. Jadi nanti kalau kamu mau memutar bola mata lagi, kamu tinggal mengocok toplesnya.”

Aku mendorong bahunya. “Sadis.”

Aku hendak turun dari tempat tidur, tapi dia menarikku dengan kasarnya. Aku mau protes tapi dia menempelkan jari telunjuknya pada bibirku, menyuruhku diam. Dia melirik ke pintu kamarku dan aku mengikutinya. Samar, tapi aku mendengar langkah kaki mendekat. Aku menatap Jeha yang masih menatap pintu lalu aku mencengkeram lengannya. Sikap tubuhnya semakin waspada ketika derap langkah kaki terdengar sangat dekat dan menaiki tangga.

Tok. Tok. Tok.

“Non Terre, ada telepon dari Bapak.”

Jeha merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil menghela napas lega lalu menggeram. Aku tertawa.

“Iya, Bi, makasih. Saya terima dari kamar saja.” Terdengar langkah kaki Bibi menuruni tangga, aku menoleh pada Jeha. “Diam yah, jangan bersuara,” kataku sebelum mengangkat gagang telepon di kamarku dan menempelkannya ke telinga.

“Belum tidur, kan?” Suaranya terdengar lebih serak dari biasanya.

“Belum, kenapa?”

“Nggak apa-apa, cuma mau ngecek.”

Aku mendengkus. Sperm-donor tidak pernah ‘cuma mengecek’. Kalau meneleponku pasti ujung-ujungnya ada sesuatu.

“Cut the crap, what’s up?” Aku mengabaikan Jeha yang mengangkat sebelah alisnya mendengarku bicara begitu pada ayahku.

Sperm-donor berdeham. “Aku bertemu dengan ibumu—”

Aku menutup telepon sebelum dia melanjutkan sisa ucapannya.

“Matiin lampunya. Ayo, tidur!” kataku sambil merebahkan diri di samping Jeha.

Jeha mematikan lampu lalu kembali ke sampingku. “Caramu bicara pada ayahmu ....”

“Aku memang selalu begitu kalau bicara pada sperm-donor. Dia juga nggak protes, jadi kamu nggak usah sok-sokan protes dan mulai bicara soal sopan santun.”

Tubuhnya bergetar. “Sperm-donor?” tanyanya di sela tawa. “Apa kamu juga memanggilnya begitu di depan wajahnya?”

“Hanya kalau dia mengingatkanku kalau dia ayahku.” Aku mendapatkan tawa lagi darinya. “Apa yang kalian bicarakan tadi?” tanyaku membelokan topik.

“Hm? Kalian siapa?”

“Kamu sama Danang, duh!”

“Oh. Aku membujuknya untuk ke kantor polisi dan langsung memberitahuku kalau Mr. Creepy menghubunginya.”

“Dia mau ke kantor polisi?”

“Aku menawarkan diri untuk menemani.”

Itu tidak mengagetkanku. “Sekarang kamu bersyukur, kan, aku nggak bawa ponselku? Kalau aku bawa dan si creepy tahu aku ada di mana, Danang pasti dalam bahaya sekarang.”

“Danang masih dalam bahaya kalau si Creepy itu juga mengawasinya.” Dia diam sejenak. “Padahal tadi emosi banget mau menyerang Danang, sekarang kamu khawatir kalau dia dalam bahaya. Ternyata kamu nggak sedingin yang kamu mau.”

“Maksudku, nggak boleh ada yang mencelakainya kecuali aku.” Aku meninju dadanya dengan kuat. “Hei, aku nggak protes kamu telanjang dada, kenapa kamu keberatan aku hanya memakai baju dalam?”

“Are you fucking kidding me or are you just some kind of a retard?”

Aku meninjunya lagi.

“It’s different, you minx. And stop hitting me. You’re so abusive these days.”

Aku mengabaikan protesnya dan kembali memukulnya. “Kamu biasa aja waktu aku hampir seharian pakai bikini di beach party minggu lalu.”

Dia menangkap tanganku. “Itu juga beda. Kamu pakai baju jaring-jaring sampai lutut di atas bikinimu.”

Aku memutar bola mata. Setelah itu aku terus mengganggunya dan tidak membiarkannya tidur dengan terus bertanya apa pun tentang dia yang tidak terdapat di Wiki. Aku bertanya bagaimana masa kecilnya, katanya menyakitkan kalau punya saudara semacam Seth, Kyle, dan Holden, kakaknya yang lain. Mereka tidak menerimanya sebagai saudara sejak awal, jadi Jeha dikerjai habis-habisan. Mereka baru menerimanya setelah dia membuktikan kalau dia tidak mudah dikalahkan dan selalu berhasil membalik jebakan mereka untuk mereka sendiri.

Aku kemudian bertanya soal ibunya, Mrs. Clarke dan ibu kandungnya. Dia menggambarkan Mrs. Clarke sebagai wanita luar biasa yang hobi membakar dapur karena merebus air saja tidak bisa, anak-anak sampai harus meletakkan papan bertulisakan ‘Mama dilarang masuk’ pada pintu menuju dapur. Dan mereka akan menyeret Mrs. Clarke keluar kalau dia sudah telanjur berada di dapur. Anak-anak kurang ajar.

Mengenai ibu kandungnya, dia bilang wanita itu adalah wanita egois yang mementingkan karier di atas segalanya.

Lalu giliran dia bertanya tentang aku. Bagaimana masa kecilku? (It’s fine),  bagaimana bisa Kath tetap menjadi temanku padahal aku sering menganiayanya? (She’s just a crazy Kath), sejak kapan berteman dengan Kath dan Luna? (Sejak SMP). Ketika dia mulai bertanya tentang ibu, ayah, dan kenapa hubunganku dengan Mala begitu dingin, aku pura-pura tidur.

“Aku tahu kamu belum tidur. Ngga usah pura-pura.”

Aku mengembuskan napas pelan lalu memutar badanku membelakanginya.

“Dasar curang.”

Dia menarik rambutku, tapi aku  bergeming, masih pura-pura tidur.

“Fine!”

Aku merasakan dia bergerak di belakangku sebelum punggungku terasa lebih dingin dari sebelumnya. Mungkin karena aku terlalu lelah pikiran dan badan, tidur tidak terlalu sulit menghampiriku malam ini.

Ketika aku terbangun sebelum matahari terbit, aku sudah berada dalam pelukan Jeha dengan kepalaku berada di atas dadanya. Suara detak jantungnya di bawah telingaku bagaikan irama lagu pengantar tidur yang membuatku kembali memejamkan mata dan tidur lagi dengan mudahnya.

***

M

R. ROSEMAN

AKU pikir aku tidak akan beruntung pagi ini untuk melihat Terre yang baru bangun tidur karena aku datang terlalu siang. Tapi ternyata keterlambatanku memberiku double fortune.

Kalau biasanya aku melihat Terre yang tanpa make-up namun masih tetap cantik luar biasa masih mengenakan pijamanya, kali ini aku diberi kesempatan melihat sedikit lebih banyak. Dia turun ke dapur dengan rambut berantakan dan hanya mengenakan t-shirt besar yang panjangnya hanya sampai setengah paha. Aku penasaran ada apa di balik t-shirt hitam bergambar Phantom of the Opera itu.

“Nice shirt,” komenku, mengangguk pada t-shirt-nya. “New one?” Aku yakin sekali tidak melihatnya saat mengecek lemarinya kemarin.

Dia menunduk, ikut melihat apa yang aku lihat lalu mengedikkan bahu. “Ngapain lo di sini? Nggak ikut ‘camping’ bareng Adam?”

Aku suka sekali caranya saat mengucapkan kata camping. Nada tidak sukanya seolah-olah dia cemburu kalau aku ikut menikmati wanita yang disewa Adam. Aku tersenyum dengan hati berbunga.

“Lo nggak ikut, jadi gue ngga ikut,” kataku, berusaha menghiburnya.

Dia memutar bola matanya. Selanjutnya aku hanya memandanginya sementara dia membuat sandwich dengan isian tuna asap, acar, dan daun selada serta mayo pedas. Dia lalu menawariku, tentu saja aku mengangguk dengan semangatnya dan langsung menggigit sandwich pemberiannya. Masakan atau apa pun yang dibuat tangan olehnya tidak pernah mengecewakan, selalu lezat. Calon istriku tersayang.

Dia membawa sandwich lebih banyak daripada porsi makannya yang biasa, dia juga membawa dua gelas jus jeruk di nampannya. Aku menatapnya dengan curiga.

“Ada yang bertamu?”

“Bukan urusan lo,” jawabnya sebelum meninggalkanku.

Apa-apaan? Kenapa dia membangkang begitu? Siapa yang ada di kamarnya? T-shirt itu ... itu bukan tipe t-shirt yang biasa dipakainya, itu t-shirt pria. Apa pria itu bermalam di kamarnya? Tidur di sana, tidur dengannya, dan … dan ….

Aku membuang sisa sandwich-ku ke tong sampah dengan marah lalu berdiri, ingin menyusulnya ke kamar dan menghajar siapa pun yang ada di kamarnya. Tidak ada orang lain di rumah, Terre akan menurut padaku, jadi tidak akan susah menyingkirkan si berengsek itu.

Aku ditabrak seseorang saat aku baru saja keluar dari dapur.

“Maaf-maaf-maaf,” kata orang yang menabrakku.

Aku memutar badan dan memelototi Kath yang nampak ngos-ngosan. “Jalan aja bisa, kan? Ngapain, sih, lari-lari di rumah orang?”

Dia memutar bola matanya. “Kata orang yang suka main masuk ke rumah orang lain tanpa permisi.” Kalau dia bukan salah satu teman yang disukai Terre, aku sudah menyingkirkannya sejak dulu. “Minggir, gue buru-buru.” Kath menyingkirkanku lalu berlari menaiki tangga.

Sepertinya aku harus mencari cara lain untuk mengetahui siapa yang menginap di kamar Terre. Aku pergi ke ruang depan dan memeriksa sepatu-sepatu di raknya, tidak ada sepatu asing. Kendaraan. Kenapa aku lelet sekali?

Aku sedang melangkah keluar saat mendengar teriakan Kath yang memekakkan telinga itu. Masa bodoh, aku tidak peduli pada Kath. Kalau Terre membunuhnya, aku mungkin malah akan membantu dia menyembunyikan jasadnya.

Aku menemukan mobil Corona hijau tua usang di depan rumah Nando, satu rumah dari rumah Adam. Mobil si berengsek J.H. Terre masih sama orang ini walau aku sudah memberitahunya kemarin identitas asli si Yeti? Kenapa?

Mengeluarkan pisau army dari jaket, aku segera menusukannya ke keempat ban mobil itu setelah sebelumnya aku memastikan tidak ada orang di jalanan yang bisa melihatnya. Aku lalu pulang.

    J.H, Jeha.

    Aku harus memberinya pelajaran.

_______

*) Disclaimer: Poem originally written by Joseph Merrick

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top