15. A little tiny dot of light
Keterangan lebih lanjutnya besok 😉
***
DANANG tersenyum lebar saat melihatku berdiri di depan pintunya, tapi kemudian ekspresinya berubah waspada ketika matanya menemukan Terre di belakangku. Pintu yang awalnya dia buka lebar juga mulai dia tutup sebagian.
Aku selalu penasaran kenapa sikapnya pada Terre selalu waspada. Biasanya cowok kalau melihat pacarku ini either flirting langsung atau melihatnya malu-malu, memendam rasa kagum mereka tetap untuk diri mereka sendiri, tapi tidak dengan Danang. Dia seperti ingin selalu berada sejauh mungkin dari Terre dan itu menggelitik perasaanku untuk mengetahuinya.
“A-ada apa kemari?” Kedua matanya selalu berpindah antara aku dan Terre.
“Gue mau menanyakan sesuatu ke lo.” Aku mendorong si tuan rumah masuk ke dalam rumahnya sendiri.
Aku duduk di sofa, Terre mengikuti, sedangkan Danang masih memandang kami dengan penuh waspada sambil berdiri dengan canggung. Aku mengeluarkan selembar foto dari saku jaketku lalu meletakkannya di atas meja. Aku mengisyaratkannya untuk mendekat. Dia nampak ragu saat mendekat, tetapi matanya langsung terbelalak lebar begitu melihat foto Logan, Seth, dan Kyle.
“Kenapa lo mencari informasi soal mereka?” tanyaku dengan nada seorang teman.
Danang menelan ludah dengan susah payah sebelum menjawab, “G-gue nggak tahu apa maksud lo.”
Melihat matanya menghindariku, aku terpaksa menggunakan kartu lain. “Dengar, Nang, gue nggak mau bawa-bawa polisi kalau memang bisa dihindari. Lo udah gue anggap temen, jadi gue harap lo mau menyambut itikad baik gue untuk menyelesaikan ini di antara kita saja.”
“Gue bener-bener nggak tahu apa maksud lo, J.”
Ini kenapa aku melarang Seth dan Kyle mengeksekusi Danang. Selain Danang sudah mengetahui identitasku namun tetap diam, dia juga bukan orang jahat. Dia bukan seseorang yang akan merugikan orang lain kalau orang itu tidak mengganggunya. Jadi, kecuali seseorang membayarnya untuk mencari tahu soal saudara-saudaraku, aku tidak melihat alasan lain yang membuat Danang mau melakukan itu. Sejak bangkrut dan ayahnya meninggalkan banyak hutang sebelum bunuh diri, dia menjadi kepala keluarga yang selalu kesulitan uang.
“ZebCrozz.” Aku menyebutkan nama yang dia gunakan sebagai hacker.
Kali ini dia kehabisan kata dan mulai menunjukan rasa takut. Setahunya aku hanya artis yang kebetulan mempunyai otak pintar, tapi tidak cukup pintar untuk mengimbangi kemampuang hacking-nya. Dia tidak mengetahui kalau selama ini aku tahu apa yang dia lakukan untuk membiayai hidup ibu dan dua adik perempuannya yang belum menerima kemiskinan mereka. Aku diam saja karena, toh, dia tidak mengusikku. Dan lagipula Seth dan Kyle juga melakukan hal yang sama, bahkan skala mereka lebih besar dan bisa membuat mereka di penjara seumur hidup kalau pihak berwenang mengetahui kegiatan itu.
“Mereka kakak-kakak gue.”
Danang terlihat kaget. “Kakak-kakak lo?”
Aku mengangguk. “Kemampuang hacking mereka lebih hebat dari lo,” tambahku.
“BlackestIce dan SilverHue kakak-kakak lo?” tanya dengan suara lirih, lebih terlihat ketakutan dari sebelumnya.
Ah, jadi Seth dan Kyle sudah memperkenalkan diri. Tipikal. Mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyombongkan diri.
“Jadi, lo punya tiga pilihan; mau ngomong sama gue, polisi, atau sama mereka. Kalau sama mereka biasanya nggak ngomong, tapi langsung hajar.”
Danang terlihat menelan ludah lagi. Setelah melirik Terre sekilas, dia mendekatkan diri padaku. “Sebenarnya gue emang butuh bicara sama seseorang, tapi gue nggak bisa bicara sama polisi walau menurut gue ini urusan mereka,” bisiknya. Dia melirik Terre lagi. “Bisa kita bicara empat mata?”
Terre yang dari tadi diam saja, langsung merebahkan diri di sofa, menggunakan pahaku sebagai bantal, lalu memandang galak padaku. Aku menatapnya, mencoba bernegosiasi dan menuntut agar dia mau menurut kali ini saja. Urusan sesama hacker biasanya semakin sedikit yang diketahui orang luar akan semakin baik. Ditambah lagi kalau Seth dan Kyle terlibat, biasanya ada bahaya yang membayangi. Tapi bukan Terre namanya kalau dia menurut.
Aku menghela napas lalu mengedikkan bahu pada Danang. “Dia ikut.” Sangat jelas kalau Danang merasa sangat tidak nyaman dengan keputusan ini. “Sebenarnya lo harus berterima kasih padanya. Kalau bukan karena dia, lo sudah ‘dihajar’ sama BlackestIce.”
Danang memelintir-lintir tangannya. “Lo ... lo bakal menjaga dia tetap di samping lo, kan? Lo nggak bakal biarin dia nyerang gue, kan?”
Memang apa yang sudah Danang lakukan sampai dia bisa berpikir kalau Terre akan menyerangnya?
Aku melirik Terre yang sudah kembali duduk.
“That’s interesting.” Terre melipat tangannya di depan dada dan menyipitkan matanya memandang Danang, tapi Danang tetap memandangku dengan tatapan berharapnya.
Aku memeluk Terre, yang mana membuatnya mengalihkan mata curiganya padaku. “Tenang aja, gue nggak bakal ngelepasin pelukan gue,” kataku serius.
Merasa yakin dengan kata-kataku, Danang mengangguk lalu pergi ke pintu, mengeluarkan kepalanya, memeriksa keadaan di luar sebelum mengunci pintunya. Dia lalu menyuruh kami mengikutinya ke dalam kamar.
“What’s going on?” bisik Terre.
Aku mengedikkan bahu walau perasaanku mulai tidak enak memikirkan ke mana masalah ini akan berujung. “Yang lebih membuat penasaran sebenarnya adalah apa yang terjadi di antara kalian sampai dia ketakutan dan merasa yakin kalau kamu bakal menyerangnya?”
“Mana kutahu. Kalau dia bukan temenmu juga aku nggak bakal ingat siapa dia.”
“Woah! Kekejamanmu selalu berhasil membuatku merasa takjub.”
Dia hanya mengibaskan rambutnya sebelum mendahuluiku masuk ke kamar Danang.
***
DANANG menyerahkan amplop bermotif mawar dengan aroma yang semerbak padaku. Seriously? Motif mawar beraroma? Aku menahan napas saaat mengeluarkan isi amplop lalu menyerahkan kembali amplop alay itu pada Danang.
“Lo sadar kan kalau Jeha itu pacar gue?”
Aku melirik Terre, menemukannya sedang menyilangkan lengannya di depan dada sambil memandang galak pada Danang.
“Lo ngga boleh ngasih surat cinta ke dia. Apalagi di depan gue.”
Aku tertawa sementara Danang beringsut menjauh dari kami. “Mungkin sebaiknya kamu diam,” kataku pada Terre. “Lagian ini bukan surat cinta.”
“Sayang banget. Padahal pengen gue share di Instagram,” ujarnya tak acuh sambil mendekat padaku ingin melihat apa yang aku pegang.
Bukan, isinya bukan surat cinta. Yang di tanganku adalah tiga lembar foto ketiga kakakku ketika sedang bercanda bersama Terre dan sebuah kertas merah berisikan tulisan yang diketik dengan mesin tik tua seperti yang ditemukan di TKP mayat Landis.
Find out who they are. The money transfered already as usual.
—Mr. Roseman.
As usual? Apa itu berarti ....
“Sejak kapan lo bekerja sama si creepy itu?” tanya Terre.
Berlawanan dengan sikap tubuhnya yang tegang dan sorot matanya yang dingin, suaranya terdengar kalem. Danang semakin cepat memainkan tangan di dalam bajunya lalu melirikku. Aku mengangguk.
“Sejak ....” Dia menyapukan tangannya ke segala arah.
Sejak Ayahnya bangkrut? Itu berarti dua setengah tahun yang lalu. Gila. Sudah lama sekali. Aku penasaran apa saja pekerjaan yang sudah Danang lakukan untuk si creepy stalker itu.
Gerakan kecil yang kulihat dari sudut mataku menjadi semacam peringatan. Refleks, aku meraih pinggang Terre sebelum dia sempat bergerak meraih Danang yang sekarang sudah melindungi kepalanya dengan tangan.
“Lepas,” geramnya, memberontak dalam pelukanku.
Aku mengabaikannya dan mengalihkan tatapanku pada Danang. “Apa saja yang sudah lo kerjakan atas suruhan Mr. Roseman?”
Danang menurunkan tangan dari wajahnya yang tampak pucat dan basah keringat. Danang melirik Terre lagi.
“Kalau lo nggak jawab, gue bakal lepasin Terre, nih.”
Dilihat dari semakin pucat dan semakin menempelnya dia ke dinding, sepertinya ancamanku terlalu menakutkan untuknya. Mungkin dia juga berharap dinding itu mau menelannya sekalian.
“Me-mencari tahu segala sesuatu dan tentang se-semua orang yang bersosialisasi dengannya dan ... dan meminta ....”
Kalau tadi wajah Danang pucat pasi, sekarang wajahnya seperti tidak dialiri darah sama sekali. Sebenarnya wajahnya lebih tampak seperti antara ingin muntah atau sedang berpura-pura menjadi vampir. Aku hampir merasa kasihan padanya.
“Dan meminta?” tuntutku agar dia melanjutkannya.
Danang memandang Terre dengan tatapan memohon dan penuh rasa bersalah. “Meminta password ponsel dan semua akun yang Terre punya,” jawabnya lirih.
Hah. Pantas saja dia selalu waspada berada di sekitar Terre.
Nah, sekarang apa yang harus aku lakukan? Melepaskan Terre yang menggeliat di dalam pelukanku dan sudah tampak hampir meledak, atau aku harus menghajar Danang dengan tanganku sendiri. Kedua pilihan itu sama-sama menggoda untuk dilakukan.
“Lo tahu nggak apa yang udah lo lakuin?!” Tanganku sudah mulai sakit menahan Terre. “Dasar berengsek!!”
“Ma-maaf, tapi gue butuh uang. Nyokap gue sakit.”
“Dan gue butuh privasi, Bego!” Mata marahnya kini dialihkan padaku. “Lepas atau aku akan menyakitimu,” ancamnya.
“Kamu nggak boleh membunuhnya. Kita butuh dia untuk mendapatkan Mr. Roseman.”
“Aku nggak butuh tambahan orang untuk membuat hidupku semakin berantakan. Aku harus menguranginya satu per satu. Aku akan mendapatkan Mr. Roseman dengan tanganku sendiri.”
Aku menggeleng dan tersenyum ketika melihat matanya memelototiku dengan galak. “Apa aku sudah bilang kamu tambah cantik kalau lagi marah?”
“Oh. Kamu mau menggantikan Danang untuk aku bunuh, yah?”
Aku tertawa, tapi Terre malah menginjak kakiku. Untung dia sedang tidak memakai high heels. Sebagai gantinya aku semakin mendekapnya dan karena tidak tahan melihat mulutnya, aku pun mengecupnya sekalian.
Untuk sesaat dia hanya tertegun menatapku, baru setelah mengerjapkan matanya beberapa kali dia kembali marah dan menginjak kakiku lagi. Kali ini lebih kuat, seperti berharap kalau kakiku bisa segera rata dengan lantai. Aku sampai terpaksa mengangkat tubuhnya agar kakinya tidak menyentuh lantai, apalagi kakiku. Cewek ini kalau marah menyeramkan. Tidak heran Danang ketakutan.
Omong-omong soal Danang, aku dan Terre sama-sama mengerutkan dahi ketika terdengar suara isak tangis. Entah aku harus kasihan atau tertawa menemukan Danang menangis dengan air mata mengucur deras di pipinya dan dia tidak segan atau malu untuk memperlihatkannya.
“Kayaknya kamu harus mengampuninya kali ini, deh,” aku berbisik pada telinga Terre, “nangisnya kelihatan menyedihkan begitu.” Aku malah kembali mendapat pelototan darinya.
Okay. That won’t work. She doesn’t have soft spot for crying people, does she?
“Gu-gue takut, J.” Isakan Danang kembali mengalihkan perhatianku.
Aku menghela napas. “Nang, gue udah pegangin Terre, nih. Lo nggak perlu nangis ketakutan kalau dia bakal menyerang lo begitu.” Geli juga sebenarnya melihat dia menangis seperti anak kecil begitu.
“Bukan itu.” Danang mengusap air matanya dengan lengan kaosnya. “Orang yang disebut dalam surat kabar, yang meninggal itu, gue yang ngasih tahu Mr. Roseman lokasinya.” Dan dia menangis lagi.
Oke. Ternyata masalah ini lebih gawat dari yang aku pikir. Sekarang aku benar-benar kasihan sekaligus marah padanya.
Terre tertawa dingin. “Lepaskan aku. Aku nggak akan membunuhnya. Kayaknya siksaan penjara yang lama lebih mengasyikan untuknya.”
Aku melepaskan Terre dan memandang Danang dengan sebal. “Lo itu nggak meriksa dulu gitu waktu menerima pekerjaan? Kalau seperti ini kan lo sendiri yang susah.”
“Soalnya selama gue disuruh mencari tahu soal orang-orang di sekitar Terre nggak ada apa pun yang terjadi pada mereka, jadi gue pikir ini juga sama saja.”
“Sekarang ada mayat gara-gara lo,” kata Terre.
Dagu Danang bergetar menahan tangis.
Aku menghela napas. “Lo harus ngomong sama polisi.”
Mata Danang langsung terbelalak lebar dan dia menggelengkan kepalanya dengan gila. “Tolong, tolong jangan bawa gue ke polisi. Gue nggak tahu kalau pengetahuan gue bakal dipakai buat hal semacam itu. Tolong, J. Ibu gue sakit, cuma gue yang dia punya, kalau gue pergi dia bisa hancur.”
Aku hendak meminta Terre untuk pergi meninggalkan kami berdua, tapi tiba-tiba dia keluar kamar sendiri.
“Tunggu di sini,” kataku pada Danang sebelum mengikuti Terre. Aku pikir dia akan pergi ke mobil lebih dulu, tapi aku malah menemukannya duduk di ruang tamu. Dia mengambil remot lalu menyalakan tv. Aku tersenyum. “Duduk manis di situ aja, ya. Nanti aku kasih hadiah, deh.” Dia hanya melirikku sekilas sebelum kembali fokus pada layar televisi.
Aku kembali ke kamar Danang dan menutup pintunya. “Lo beneran harus ngomong sama polisi.” Danang menggeleng dengan cepat lagi. “Nanti gue temenin. Polisi yang menangani kasus ini adalah om gue, nanti gue ngomong sama dia biar lo bisa bikin kesepakatan sama mereka,” lanjutku berbisik.
“Nggak akan dipenjarain?” tanyanya penuh harap.
“Mungkin kalau lo mau bekerjasama sepenuhnya, lo nggak bakal dihukum layaknya kalau lo satu komplotan sama si creepy.”
Danang memikirkannya. “Apa semua uang yang gue dapet bakal mereka minta?”
“Kerjasama dengan mereka sepenuhnya dan mungkin lo cuma bakal dijadikan saksi saja, mengerti?”
Walau masih nampak khawatir, kali ini dia mengangguk.
“Besok pulang sekolah bisa?”
“Gue harus nganter nyokap cuci darah dulu.”
Aku mengangguk. “Rumah sakit mana? Biar nanti gue sekalian jemput di sana. Kemungkinan Mr. Roseman satu sekolah sama kita, jadi sebaiknya dia nggak tahu kalau lo jalan sama gue.”
Danang mengangguk lagi.
“Ngomong-ngomong, bagaimana lo menghubungi Mr. Roseman waktu pekerjaan lo udah selesai?”
Danang menggeleng. “Dia yang menghubungi gue, dan setiap kali melakukannya, nomornya selalu berbeda.” Terdengar suara seorang wanita memanggil Danang. “Iya, Bu!” sahut Danang. “Ayo, keluar!” ujarnya padaku sambil mengelap wajahnya, menghilangkan sisa tangis dan air matanya dengan tisu.
Ketika Danang hendak membuka pintu, aku baru teringat sesuatu. Aku menahan lengannya.
“Jawab gue dengan jujur, apa Mr. Roseman pernah meminta lo menyelidiki soal gue juga?”
Danang menggeleng dengan pasti. Aku melepaskan lengannya.
Kalau begitu bagaimana dia mendapatkan foto yang dia kirim ke Terre? Foto yang isinya sangat mencurigakan. Sedang apa aku di dalam foto itu sampai Terre menamparku sekuat tenaga? Aku sempat menanyakannya pada om Dirga saking penasarannya, tapi dia bilang aku harus bertanya sendiri pada Terre. Kalau bertanya pada Terre, sih, aku sudah tahu jawabannya.
Aku tidak menemukan Terre di ruang tamu. “Gue hubungi lo nanti dan lo segera hubungi gue kalau si berengsek itu menghubungi lo.” Aku segera berlari keluar mencari Terre.
Aku menemukannya sedang berdiri bersandar pada pintu mobil. “Let’s go eat! Aku tahu tempat makan enak yang pasti kamu suka,” kataku sembari berjalan menuju pintu kemudi.
“Nggak mau. Aku mau pulang. Capek,” jawabnya ketus.
Dia tidak bicara lagi setelah itu, sampai mobil berhenti di depan rumahnya, bahkan sampai keluar dari mobilku dia tetap tidak mengatakan apa-apa.
***
AKU mengetuk pintu. Seorang wanita paruh baya, asisten rumah tangga di sini sepertinya, membukakan pintu. Berbekal tas berisi pakaian yang ketinggalan di mobilku, aku menggunakannya sebagai alasan untuk melihat keadaan Terre.
Aku kemudian diantar ke depan kamar Terre. Sorry, maksudku di bawah pintu kamar Terre karena ternyata pacarku itu menempati lantai loteng sebagai kamarnya. Bagaimana bisa dia menempati sebuah loteng sementara sepanjang aku berjalan menuju kamarnya banyak sekali pintu kamar? Sepengetahuanku, dia tidak memiliki sebuah keluarga yang besar. Semua kamar di rumah besar ini tidak mungkin terisi semuanya, kan?
Aku mendengar benturan benda dari atas kepalaku. See? Akhirnya meledak. Sepanjang perjalanan aku berharap dia marah-marah atau apa, kek, pokoknya keluarkan emosinya, jangan hanya diam. Lihat akhirnya sekarang.
Aku segera menaiki tangga dan mendorong pintunya ke atas. Menjulurkan kepalaku ke dalam kamarnya, aku segera bergerak ke samping saat sebuah benda melayang ke arahku. Melihat ke bawah di mana benda itu jatuh, aku menemukan ponselnya sudah pecah. Mengalihkan perhatianku kembali pada Terre, aku menemukannya berwajah merah, napasnya ngos-ngosan dan matanya seperti memancarkan api. Nah, itu yang aku sebut emosi sesungguhnya. Dan dia berdiri di atas sebuah laptop.
“Wah-wah, apa yang kamu lakukan pada laptopmu?” Aku masuk ke kamarnya lalu menyingkirkannya dari atas laptop. “Mr. Roseman hanya memasuki akun media sosialmu, bukan memasuki sistem komputermu. Kamu nggak perlu merusaknya begini.”
“Ngapain kamu di sini?” geramnya bertanya.
“Tas kamu ketinggalan,” jawabku tak acuh. Aku sibuk mengamati keadaan kamarnya.
Untuk sebuah loteng, dia sudah melakukan pekerjaan luar biasa untuk mengubahnya menjadi kamar yang nyaman, namun kurang … hidup. Selain lemari kecil dua pintu di samping jendela kecil, tempat tidur dan meja rias, tidak ada furniture lain di dalam kamarnya. Tidak seperti gadis remaja kebanyakan yang memenuhi dinding kamarnya dengan poster idola mereka, dinding kamar Terre kosong, putih bersih. Tidak ada hiasan apa pun yang menggantung di sana walau sekadar foto dirinya sekali pun. Tidak banyak yang bisa dilihat di dalam kamar gadis yang selalu menampilkan dirinya classy, bitchy, stylish, dan tidak kekurangan apa pun. Kamar ini sangat tidak mencerminkan seorang Terre.
Laptop dan tas direbutnya dari tanganku. “Now you can go. Shuh!” ujarnya dengan nada lelah. Dia menghempaskan diri ke tempat tidur lalu menutup kepalanya dengan bantal.
Aku duduk di pinggir tempat tidurnya. “Sini laptopnya.”
“Mau ngapain? Sono pergi, ah!” Dia mendorongku dengan kakinya.
“Aku pasang perlindungan dulu ke semua akun kamu baru nanti aku pergi.”
“Buat apa?” Dia melemparkan bantalnya ke sembarang arah. “Dia sudah memasuki semuanya, dia sudah mengatur hidupku tanpa aku sadari.” Dia menoleh padaku. “Apa kamu tahu sudah berapa orang komplain karena aku nggak membalas email atau chat mereka? Cliens, friends, my money sources. Bagaimana aku mau membalas mereka sedangkan merasa menerima saja aku nggak?”
“Kalau begitu sudah cukup. Belum terlambat. Ayo, bikin dia nggak bisa lagi menginvasi privasi kamu!”
Aku menarik laptopnya ke pangkuanku. Semoga dia belum sempat membanting dan merusaknya. Cukup melegakan saat menemukan ternyata laptop itu masih baik-baik saja. Aku bertanya akun apa saja yang dia punya dan dia menjawabnya dengan malas. Terre segera duduk di sampingku untuk melihat proses kerjaku ketika aku memulai.
“Jawab yang jujur, apa kamu atau Seth dan Kyle pernah nge-hack salah satu atau semua akunku juga?” tanyanya tiba-tiba.
“Nggak pernah,” jawabku, tapi dia memandangku tidak percaya. “Sumpah nggak pernah. Kalau pernah aku pasti tahu kalau ada orang yang memasuki akunmu selain kamu.”
Okay, sekarang aku menyesal tidak menyerah pada godaan Seth yang mengajakku menengok apa yang Terre punya di dunia maya dan melarang saudara-saudaraku juga untuk melakukannya.
“Aku mau mandi,” ucapnya tiba-tiba, beranjak dari tempat tidur. Setelah mengambil perlengkapan mandi, dia turun pergi meninggalkanku yang sudah berkonsentrasi melacak si creepy-crazy-stalker-bastard.
Satu menit menjelajahi dunia maya Terre dan aku bisa katakan kalau si creepy ini pintar, dalam hal kelicikan. Si berengsek itu tidak pernah mengintip ke akun Terre dengan menggunakan satu alamat IP yang tetap dan pribadi, selalu di tempat terbuka seperti warnet atau tempat yang menawarkan wifi gratis. Memang tertangkap olehku juga si berengsek membukanya dengan alamat IP di sekitar sini, tetapi wifi di rumah-rumah itu tidak dikunci, jadi siapa pun bisa memakainya. Untuk berjaga-jaga, aku mengecek semua penghuni di rumah-rumah itu.
Yang paling membuatku geram adalah dia pernah menggunakan komputer perpus. Aku di sana dan aku tidak mengetahuinya. Damn, Bastard.
Terre kembali ke kamar 30 menit kemudian dengan masih mengenakan jubah mandi dan rambutnya digulung handuk. Dia membawa sebuah piring berisi beberapa potong pie dan cherry struddle lalu meletakan piring itu di atas nakas kemudian pergi ke meja riasnya.
“Dapat sesuatu?”
“Stalker-mu ternyata lumayan pintar, dia nggak mau menggunakan saluran internetnya sendiri.”
“Pintar atau pelit, dasar berengsek,” gerutunya. Aku mendengarnya menghela napas. “Kenapa tadi aku membanting ponselku segala?”
Sungguh itu hanya pertanyaan retorikal, jadi sebenarnya aku tidak perlu menjawabnya. Tapi aku tidak tahan untuk tidak mengelitik respons darinya.
“Yup. That was the stupid of—” Aku menelan kelanjutan kata-kataku saat tiba-tiba dia menjatuhkan jubah mandinya ke lantai.
Aku segera mengalihkan pandanganku kembali ke layar laptop, tapi aku masih bisa melihatnya melalui sudut mataku. Walau dia memunggungiku, tapi tetap saja ....
Akhirnya aku menutup mataku dengan salah satu tanganku. “Kamu itu nggak boleh senyaman itu telanjang di depan lelaki,” kataku, hampir mengeluh.
“I’m not naked. There’s still bra and panties on me,” jawabnya tak acuh.
“Mereka hampir nggak menutupi seluruh kulitmu.”
“Mereka cukup menutupi beberapa bagian,” jawabnya masih terdengar tak peduli.
Ya, ampun!
Apa yang aku pikirkan tadi sebelum memutuskan naik ke kamarnya? Benar, aku tidak memikirkan apa pun kecuali khawatir kalau dia akan mengalami histeris atau mental breakdown setelah mengetahui akses apa saja yang Mr. Roseman bisa jangkau. Kenapa aku tidak memikirkan kemungkinan seperti ini?
“Udah pakai baju belum?” tanyaku setekah beberapa lama.
“Belum.”
Aku menggeram.
“Gerah tahu.”
“Kamu baru aja mandi,” protesku.
Tiba-tiba tanganku ditarik dari wajahku dan aku menemukannya berjongkok di depanku, masih belum mengenakan pakaian. Aku memejamkan mataku. Tidak lama kemudian aku merasakan pukulan keras di kepalaku.
“Aw! What was that for?!” Aku memelototinya. Serius, aku pastikan aku cuma memelototi wajahnya, tapi dia malah berdiri jadi aku terpaksa bertatap muka dengan perutnya. Aku mengalihkan pandanganku.
“Aku itu jarang banget merasa tersinggung, tapi apa yang kamu lakukan selalu berhasil menyinggungku.” Dari nada bicaranya, dia terdengar benar-benar tersinggung.
“Aku menyinggungmu? Memang apa yang sudah aku lakuin?”
“Memang tubuhku begitu jeleknya, yah, sampai bikin kamu menutup mata, nggak mau melihatnya?”
Dari semua hal yang terlintas di pikiranku yang mungkin menyinggungnya, dia malah mempermasalahkan itu?! Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya.
Aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok besar Cina.
“I’m trying to be a gentleman here.” Aku melototi matanya yang memandang malas padaku dari posisinya yang bersandar pada mejanya.
Dia memutar bola matanya. “Alasan doang!”
Dan dia mulai mondar-mandir di kamarnya mengerjakan ini-itu, masih tanpa mengenakan pakaian, dan berbicara padaku tanpa acuh seperti aku adalah salah satu teman wanitanya. Nah, sekarang pikiran itu menggangguku.
“Pakai bajumu!”
Dia melirikku melalui bahunya. “Kenapa? Toh, kamu nggak suka sama tubuhku.” Dia lalu mematikan lampu kamar dan naik ke tempat tidur untuk merebahkan diri di sampingku.
“Mau ngapain kamu?” tanyaku curiga.
“Tidurlah. Duh.”
Ah, iya. Tentu saja.
Aku mematikan laptop lalu meletakkannya di atas meja di samping tempat tidurnya. Ketika aku hendak berdiri, dia melingkar kedua lengannya di pinggangku.
“Stay.”
Apa aku mau tinggal dan bermalam di sini? Ya. Apalagi kalau memikirkan dia sendirian di rumah dengan si creepy yang masih berkeliaran bisa setiap saat masuk ke sini dan menemukan Terre tidur tanpa pakaian. Apa aku mau tidur di sini dengan dia tanpa pakaian?
“Pakai bajumu dulu,” kataku pada akhirnya. Aku pikir dia akan menenggapinya dengan sebal dan tak acuh seperti sebelumnya, tapi yang aku dengar adalah tawa yang menggoyangkan tempat tidurnya sekalian. “You minx,” geramku, melepaskan tangannya dari pinggangku lalu menahan keduanya di kanan-kiri kepalanya.
Harusnya aku sudah tahu. Bukan satu-dua kali dia mencoba menggodaku tanpa benar-benar mencoba. Harusnya aku menyadari kalau ini adalah bagian dari permainannya.
Dia masih tertawa walau aku sudah berada di atasnya dan mengurung serta mengunci kakinya agar dia tidak bisa bergerak. Aku melepaskan satu tangannya untuk berkumpul dengan tangannya yang lain—yang kini aku tahan di atas kepalanya agar aku bisa melepaskan kacamataku.
“Jangan bermain sama api,” bisikku di atas mulutnya.
“Ngapain juga aku mau main sama api, aku kan udah hot,” ujarnya dengan percaya diri dan penuh kesombongan.
“Mulut pintar semacam ini, nih, yang perlu dijahit,” kataku gregetan sendiri.
“Sama mulutmu, yah. Karena dijahit sama dinding itu nggak enak dan aku nggak yakin ada mesin jahit yang bi—”
“Wish granted,” potongku sebelum menangkap mulutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top