13. Some revealed, some stay hidden

TELAPAK tanganku berdenyut, suara tamparan masih terngiang di telingaku. Pipi kirinya mulai nampak memerah, menandakan kalau aku tidak sedang bermimpi. Pantas saja Seth tertawa saat mendengarku mengeja panggilan untuk adiknya. Jeha yang dia maksud adalah J dan H, yang memang kalau diucapkan orang Indonesia terdengar sama dengan bunyi Jeha. Ini cuma aku saja atau semua orang di sekolah beranggapan kalau penulisan nama Jeha bukanlah J, E, H, dan A melainkan hanya J dan H?

It's just misscomunication between me and people at school. I say that, they heard this.

Ah, sepertinya bukan cuma aku. Kalau anak-anak di sekolah tahu bahwa Jeha sebenarnya adalah J.H, mereka pasti sudah ribut dan mungkin orang ini akan memilih keluar sekolah saja.

Kepalanya yang menoleh ke samping akibat tamparanku yang terlalu bertenaga, perlahan menghadapku. Tangannya menangkup pipi kiri lalu menekannya. Kernyitan wajah kemudian pelototan mata tajam yang ditujukan padaku, mungkin membuatnya yakin kalau ini bukan mimpi juga untuknya.

"What was that for?!" bentaknya.

What was that for?

Hm. Tidak mungkin, kan, aku mengatakan kalau aku sudah tahu siapa dia di balik kacamata jelek dan poni tebalnya itu dan melewatkan kesempatan untuk balik mengerjainya? Pfft. Get real.

"Who's there?" Suara seruan Kak Logan dari luar mengalihkan pelototan Jeha-J.H-whatever dariku.

"Identify yourself or I will call the cops!" Kali ini Kak Logan berteriak.

Jeha-J.H-what his name-mengerutkan dahi lalu bangun, dengan terpincang berjalan keluar. Aku mengikuti. Sebelum mencapai pintu, aku melihat Kak Logan berlari melintasi halaman rumah lalu memanjat atap rumah tetangga dengan bantuan pohon mangga. Di depannya terlihat siluet seseorang yang melarikan diri. Jeha-let's just call him that when he wore glasses-berjalan ke samping rumah. Kecuali gudang, di sana tidak ada apa-apa.

"Ada apa?" tanyaku.

"Ada maling cancut," jawab Seth. Tahu dari mana juga kata cancut itu. "Emak suka pakai bahasa langka kalau ngomong," ujarnya seperti bisa membaca pertanyaan dalam pikiranku.

"Kalian nggak bantuin Kak Logan?"

"Cuma maling cancut gitu, sih, kecil buat Logan," kata Kyle sambil membuka bagasi mobil Raja. "Sini, Re."

Aku mendatangi Kyle dan langsung diserahi sebuah tupperware besar, membuatku menerimanya dengan terpaksa. Ketika aku memeluk wadah itu, rasanya dingin.

"Apa ini?"

"Beef." Aku membukanya, dan terlihatlah sepotong daging besar merah yang dikelilingi es. "Tolong masakin, yah? Kita laper."

"Kalian banyak duit. Kenapa nggak makan di restoran aja?"

"Kita lebih suka masakan rumah," jawab Kyle. "Lagipula lo seksi banget kalau lagi masak." Dia mengedipkan satu matanya.

Kyle tidak pernah melewatkan kesempatan untuk flirting dengan cewek, tidak terkecuali aku walau sudah tahu kalau aku pacar adiknya.

"Lama-lama gue bakal memungut biaya dari kalian," ujarku memperingatkan. "Kalau makan nggak ada yang cukup satu piring, tapi rewelnya minta ampun."

Memasak untuk empat lelaki Clarke itu selalu terasa seperti memasak untuk satu pasukan batalion, apalagi kalau ditambah Raja. Aku heran ke mana semua makanan itu mengingat tidak ada timbunan lemak yang tak perlu di badan mereka.

"Salah sendiri masakanmu selalu berhasil membuat lidah gue berorgasme," kata Kyle dengan tersenyum jail.

"I second that," timpal Seth sebelum berlalu membawa kopernya ke dalam rumah.

Aku memandangnya datar. "Daripada memuji, kata-kata kalian lebih terdengar seperti hinaan."

"Percaya, deh, itu pujian. Karena gue susah untuk mencapai klimaks kalau lagi nge-sex. Merupakan suatu pencapaian lo bisa memberikannya."

Aku menatapnya jijik, tapi dia malah nyengir.

"No pun intended."

"Tetap aja, menyamakan masakan gue dengan sex terdengar seperti hinaan di telinga." Aku memutar bola mata. "And it's too much information on your part."

"Fine." Kyle lalu meletakan tas plastik besar di atas tupperware yang aku peluk.

Aku berusaha mengintip ke dalam tas tapi tidak berhasil. "Apa isinya yang ini?"

"Kain Bali kualitas terbaik pesenan lo," ujar Kyle sembari melewatiku dan mendahuluiku ke rumah.

Dengan senyum lebar aku mengejarnya. "Uangnya nggak perlu gue ganti, kan?"

Kyle melambaikan tangannya ke udara. Asyik!

Aku berpapasan dengan Jeha yang baru keluar dari kegelapan samping rumah. Aku tidak memandangnya walau aku tahu dia menatapku dengan tajam. Aku tetap menatap lurus ke depan dengan dagu terangkat tinggi.

"Ada yang hilang?" tanya Raja dari belakangku.

"Nggak ada."

Aku masuk rumah, meletakan kainku di sofa lalu ke dapur meletakan tupperware di atas konter. Aku mulai memikirkan bisa kumasak apa saja daging sebanyak ini. Steik sounds good. Apa lagi, yah?

Aku membuka kulkas untuk melihat ada apa saja di dalamnya. Yup, tidak ada apa-apa. Dia cowok, jadi tidak hobi belanja walau untuk makan sendiri. Asal ada softdrink dan buah katanya sudah cukup. Jadi, kecuali asistennya-Mbak Rani-tidak menitip bahan makanan di sini, kulkas ini pasti kosong.

Asisten.

Kenapa aku berpikir yang dia maksud adalah asisten rumah tangga? Walau sudah bertemu Mba Rani yang nyatanya sudah sering aku lihat bersama J.H, baik di foto-foto yang Kath ambil ataupun di event-event yang TLBs adakan, kenapa aku tetap tidak ngeh?

Aku membenturkan dahiku berkali-kali ke pintu kulkas.

Idiot. Begobegobego.

Permukaan kulkas yang keras tiba-tiba terasa empuk saat aku membenturkan dahiku ke sana lagi.

"Sekarang, apa salah kulkasku sampai kamu menganiayanya juga?"

Menghela napas untuk menahan emosi, aku menegakkan badan dan menghadapnya sambil mengangkat tangan kiriku. "Aku pengen nampar kamu lagi."

Terdengar siulan panjang yang menarik perhatianku ke ruang tamu di mana Seth, Kyle, dan Raja sudah berkumpul dan duduk di karpet.

"Jadi, itu penyebab adanya tanda tapak Budha semerah api di pipi lo? Kirain tato yang gagal," goda Seth yang diikuti tawa oleh Kyle.

Jeha tidak terpengaruh, tatapannya masih tajam tak berkedip menatapku.

Seth mengangguk padaku. "Nice job, Sister." Lalu dengan ekspresi iba di wajahnya, dia bertanya pada Jeha, "Now man, what did you do to deserved such a thing?"

"Mana gue tahu," jawabnya sambil melotot padaku. "And I want the answer now, you Ms. Crazy Queen of Bitch."

Kali ini bukan satu siulan yang aku dengar, tapi tiga. Bahkan Raja ikut bersiul mendengar panggilan Jeha padaku. Ekspresi Jeha menjadi serius dan matanya sangat tajam saat menatapku.

Yup. Aku akan membalasnya saja. Dia mau bermain-main denganku? Fine. Aku bisa mengikuti permainannya.

Aku mengedikkan bahu. "Aku lagi pengen nampar orang aja."

"Dan kamu putuskan buat menamparku saja, gitu?" tanyanya dengan nada tak percaya.

"Ya, iya, dong! Kamu kan pacarku, jadi kalau ada yang nanya kenapa aku tiba-tiba menamparmu aku bisa ngasih jawaban tanpa terdengar gila," jawabku tak acuh.

Dia menyipitkan matanya. "Dan apa jawabanmu?"

"Aku bisa bilang kalau kamu pacar yang gila, tukang selingkuh, PEMBOHONG, dan super-control-freak. Mereka bakal setuju kalau kamu berhak mendapat satu atau dua tamparan. Tapi beda kalau aku memutuskan menampar orang lain."

Aku mengedikkan bahu lagi ketika dia hanya memandangku dengan mulut mengap-mengap seperti ikan dan wajah tak percaya seperti aku baru saja bicara bahasa alien. Penonton yang berkumpul di ruang tamu tertawa. Aku tersenyum manis pada Jeha dan mengulurkan tanganku bermaksud menepuk pipinya, tapi dia malah mundur lagi.

"Jauhkan tanganmu dari wajahku mulai sekarang." Dia memelototiku sekali lagi sebelum memutar badan dan bergabung dengan yang lain.

Aku menatap punggungnya dengan tajam sementara kepalaku menyusun rencana untuknya. Aku tidak terkejut kekesalanku padanya tidak sebesar kekesalanku pada diri sendiri. Dia sudah melemparkan banyak umpan, tapi aku terlalu bodoh untuk menangkapnya dan menemukan apa yang dia sembunyikan.

Kak Logan masuk, meminta segelas penuh air lalu meneguknya sampai habis.

"Did you catch him?" tanyaku.

Kak Logan menggeleng. "He got away, with a taxi."

"Ah, payah! Cuma maling cancut aja nggak bisa nangkep," ejek Seth.

Kak Logan mengabaikan ejekan adiknya. Raut wajahnya tampak serius memikirkan sesuatu. "Menurutku, sepertinya dia bukan sekadar maling panties."

I think so too. Yang tinggal di sini kebanyakan adalah wanita tua, tidak akan ada Victoria Secret di sini. Yah, kecuali maling itu sangat 'sakit'. Aku menghela napas dan mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak.

Dugaanku, dia Mr. Roseman. Bahkan sebelum aku menemukan 'hadiah kecil' di dalam tasku, aku tahu kalau Mr. Roseman telah mampir ke butik. Puisi yang Jazz resital berkali-kali itu diambil dari salah satu buku puisi karya Pablo Neruda.

Dulu, aku pernah bertanya di dalam kelas dengan suara lantang, dari mana dia mendapat puisi-puisi romantis yang sering dia kirim padaku? Aku mendapat buku 100 Love Sonnets karya Pablo Neruda sebagai jawaban keesokan harinya.

Melihat tulisan tik tua pada kartu merah jambu yang Jazz pegang membuktikan kecurigaanku. Sayangnya aku tidak bisa meminta kartu itu dari Jazz untuk kuserahkan pada detektif Dirga. Selain entah sudah berapa banyak tangan yang memagangnya, Jazz juga tidak mau menyerahkannya. Daniel bukan orang yang romantis semacam ini, jadi sekali Jazz pikir calon suaminya mengirim bunga dan puisi, dia akan menyimpannya seumur hidup, katanya.

Aku memaki diri sendiri dalam hati akan kebodohanku, lagi. Bagaimana bisa aku tidak berpikir kalau mungkin Mr. Roseman masih berada di luar butik, menungguku, kemudian mengikutiku ke sini.

Ah, tadi dia melihatku menampar Jeha. Apa yang akan dia lakukan sekarang?

***

"SIALAN," maki Seth, dengan tatapan tak teralihkan dari layar laptopnya. "Berani sekali dia muncul lagi, sangat berani."

Raja mendengkus. "Sudah hampir seminggu dan kalian belum menangkapnya? Biasanya cuma butuh beberapa menit buat kalian menemukan virus."

"Berbeda dengan di Amerika, kami tidak menguasai jaringan di Indonesia." Seth membela diri.

"Ya. Tapi kalian bilang sendiri hacker di Indonesia sedikit. Bukannya itu harusnya mempermudah pencarian kalian?" Raja mendebat. "Akui saja, this guy is good."

Giliran Seth yang mendengkus. "Good is when I can't know that he was looking for us. He left so much trace, duh."

"And yet you can't find him."

"Shut-up. Daripada berisik, mending bantuin kita mengejar si berengsek ini."

Aku menonton mereka dari dapur. Mengesankan sekali para computer geeks itu, mereka bisa tetap berbicara satu sama lain walau mata tetap terpaku pada layar laptop dan jari-jemarinya mengetik keyboard dengan super cepat.

"Siapa 'dia' yang mereka maksud?" tanyaku pada kak Logan yang duduk di kursi tinggi menghadap konter dapur di depanku. Jeha sendiri sudah pergi begitu selesai makan, katanya ada kerjaan, a.k.a siaran radio kesukaan Kath. Aku tahu karena Kath baru saja nge-tweet kalau dia sedang mendengarkannya.

"Hacker. Sudah seminggu ini mereka tidak berhenti mendapat peringatan kalau ada orang yang mencari kita melalui program pengenalan wajah."

Aku mengerutkan dahi. "Bagaimana mereka bisa tahu kalau ada yang sedang mencari kalian?"

"Karena mereka membuat sesuatu yang memastikan mereka akan mendapat notifikasi kalau ada orang yang berusaha mencari tahu siapa kita melalui program pengenalan wajah ataupun keyword nama lewat internet."

"Kita itu maksudnya Kak Log, Seth, Kyle, dan Jeha?"

Kak Logan menggeleng. "Kita itu maksudnya seluruh keluarga Clarke."

"Wah! Terus kalau mereka sudah tahu ada yang mencari kalian, apa yang akan mereka lakukan?"

Kak Logan mengedikkan bahu. "Tergantung siapa yang mencari."

Kedua alisku terangkat. "Mereka juga bisa mengetahui tentang siapa yang sedang mencari kalian?" Kak Logan mengangguk. "Hebat sekaligus menakutkan."

"Mereka kalau kebanyakan waktu luang memang begitu, usil." Kak Logan memandang adik-adiknya lalu menggelangkan kepala.

"Terus bagaimana dengan Jeha? Dia kan artis terkenal, pasti nggak terhitung berapa banyak orang yang mencarinya di internet. Bagaimana mereka menangani itu?"

Kak Logan memandangiku dengan senyum bermain di mulutnya. "You knew." Sebuah pernyataan.

Oops!

Aku melirik ke ruang tamu, memastikan kalau tidak ada yang memperhatikan percakapan kami. Yakin ketiga computer geeks itu sibuk dengan laptop masing-masing, aku mengalihkan kembali perhatianku pada Kak Logan.

"Bagaimana mereka menangani fans yang haus akan informasi tentang idolanya?" tanyaku lagi tanpa mengonfirmasi pengetahuannya. "Kalau mereka memeriksa setiap orang yang mencari informasi tentang Jeha pasti merepotkan."

Dia meletakkan cangkirnya di atas konter lalu mengedikkan bahu. "Kalau adikku yang satu itu lain soal. Wikipedia terbuka untuk umum. Tapi kamu mungkin nggak akan menemukan apa yang orang lain nggak tahu. Mereka membuatkan biografi yang bagus untuknya di sana." Nada geli pada suaranya membuatku curiga dengan maksud kata 'bagus' itu.

"Informasi di Wiki bohong?" Kasian sekali fans-fans-nya.

"Bukan bohong, hanya diimproviasasi sedikit dan hanya memberikan informasi seperlunya saja. Mereka kan nggak perlu mengetahui urusan yang bukan urusan mereka," ujarnya membela diri. Dia memandangku dengan heran. "Kamu ngga pernah mengeceknya di Wiki?"

"Nggak pernah mencari apa pun soal dia. Titik. Bukan fans."

"Banzai!" Seruan Seth dan Kyle bersaman menarik perhatianku. Mereka sedang tos lalu menari dengan kedua tangan mereka udara.

"Did he know that you know about him?"

Maksudnya apa Jeha tahu tentang aku yang sudah mengatahui identitas aslinya?

Aku mendengkus. "Are you kidding? Where's the fun in that?"

Kak Logan hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

"You can't tell him," ujarku dengan nada peringatan.

"Sure. Not my business, anyway. As long as you're not about to kill him."

"Don't worry. I still human." Kak Logan tergelak.

Aku bergabung dengan mereka yang di ruang tamu, memaksa duduk di antara Raja dan Seth untuk melihat apa yang sedang mereka lakukan.

"Dia satu sekolah sama lo, Re," kata Raja. "Goblok banget dia pakai wifi sekolah lo."

"Siapa yang satu sekolah sama gue?"

"Si hacker-lah." Seth menghadapkan layar komputernya ke arahku. "Here. Take a look. Do you know him?" tanyanya.

Sebuah stillshot seorang cowok yang jelas diambil secara diam-diam, terpampang di layar. Latar belakang di dalam potret itu terlihat familier.

Wait ....

Aku mendekatkan wajahku ke layar. Perpus sekolahku, yah? Meneliti sosok chubby di layar komputer, aku berusaha mengenali siapa dia. Wajahnya terlihat familier, tapi aku tidak yakin.

"Coba ambil dari angle yang berbeda." Gambar lain muncul. Kali ini tepat bagian depan wajahnya. Dari ekspresi wajah terkejutnya, dia tahu kalau dia sudah ketahuan. Oh, aku kenal dia.

"Danang-something."

Jari-jari Seth kembali sibuk mengetik lalu lima detik kemudian muncul deretan informasi semua murid dan guru dengan nama Danang di sekolahku.

"You really have to teach me how to do that."

Aku menunjuk Danang Prakoso saat informasi data dirinya melintas di layar. Aku ingat dia sekelas dengan Jeha. Kecepatan jari-jemari Seth pada papan ketik memang mengesankan, tetapi hasil ketikannya yang tertampil di layar laptop lebih mengesankan. Tidak lebih dari lima detik, semua informasi menganai Danang Prakoso sudah muncul di sana. Mulai dari sejarah keluarga sampai keadaan keuangan keluarganya sebelum dan sesudah mengalami kebangkrutan. Terakhir, Seth menarik semua info akun media sosial dan bank-bank yang Danang gunakan.

"Danang Prakoso," ucap Seth dengan suara aneh menyeramkan, "you're so dead."

"Eh, tunggu!" Aku menghentikan aksi Seth. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan pada Danang, tetapi melihat mereka masih di depan laptop yang terhubung dengan internet, aku rasa itu lebih menakutkan daripada menghajar Danang secara langsung mengingat bagaimana kemampuan mereka dengan komputer. "Gue rasa kalian harus ngomong sama Jeha dulu."

"Kenapa kita harus melakukannya?" tanya Seth, bingung dan protes.

"Pertama, karena Danang teman sekelasnya. Kedua, selain teman sekelas, dia juga satu meja dengan adik kalian. Ketiga, gue rasa mereka akrab." Aku sendiri tidak mengenalnya dan tidak berniat mengenalnya lebih jauh. Selain dia selalu kabur kalau aku mendatangi Jeha, tatapannya padaku juga terlihat waspada dan agak gimana gitu.

Seth akhirnya mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi adiknya. Sementara itu, aku mengalihkan perhatianku pada Raja yang nampak sedang membaca e-mail dengan serius. Penasaran apa yang menyebabkan kerutan di dahinya menjadi dalam, aku mendekat untuk mengintipnya. Yang tertampil di layar laptopnya bukan akun e-mailnya sendiri.

"Siapa [email protected]?" Raja terkejut, seperti lupa kalau aku ada di sini. Dia menutup laptopnya. "Akun siapa yang lo hack?"

"Bukan urusan lo."

"Kata Josh kita nggak boleh mengganggu Danang. Dia mau menanganinya sendiri secara langsung." Seth menggerutu. "Iya, iya, tahu!" lanjutnya berbicara pada ponsel yang masih menempel di telinganya.

Aku merebut ponsel itu dari tangan Seth dan menempelkannya ke telingaku sendiri. "Halo?"

Aku mendengarnya menghela napas. "Apa?" tanyanya dengan lesu.

"Jangan mengonfrontasi Danang sendirian, aku mau ikut. Awas saja kalau kamu pergi sendirian. I'll cut your balls off when you sleep."

Dia diam sesaat. "Kamu benar."

"Biasanya, sih, begitu. Tapi yang ini soal apa, yah?"

"Aku ngga mau berurusan dengan exhausted-Terre The Queen of Bitch." Dia menutup telepon sebelum aku sempat membalasnya.

Kurang ajar. Awas saja nanti.

***

AKU pergi dari rumahnya sebelum Jeha pulang. Setelah menghubungi detektif Dirga dan dia mengatakan masih berada di kantor polisi, aku naik taksi langsung ke sana. Seandainya aku langsung ke kantor polisi dan bukannya ke rumah Jeha untuk memastikan kebenaran tentang jati dirinya, aku tidak akan secemas ini.

Detektif Dirga sudah memberi tahu kalau aku disuruh langsung ke ruangannya, jadi setelah aku mengisi buku tamu di meja depan aku langsung naik ke lantai dua. Aku mengetuk pintu, mendengar seruan untuk menyuruhku masuk aku pun membuka pintu. Detektif Dirga sedang duduk bersama seorang pria yang mirip seperti copy-an dirinya.

"Terre," sapa Detektif Dirga sembari berdiri. Aku melangkah masuk. "Silakan duduk. Minum?"

"Tidak, terima kasih." Aku mengambil tempat duduk di single-sofa yang berhadapan dengan detektif Dirga.

"Jadi, hal penting apa sampai tidak bisa menunggu besok pagi?" tanya detektif Dirga. Aku melirik pada pria yang duduk di sampingnya. "Dia detektif Moreno, adik saya."

Aku menganggukkan kepala lalu membuka tasku. Dengan hati-hati aku mengambil amplop cokelat pemberian Mr. Roseman, hanya dengan jari telunjuk dan ibu jariku saja, lalu meletakkannya di atas meja. Detektif Dirga mengulurkan tangan untuk mengambilnya.

"Dari Mr. Roseman," kataku sebelum tangannya menyentuh amplop itu. Detektif Dirga menarik tangannya kembali.

"Kamu sudah melihat isinya?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Saya hati-hati tidak merusak bukti yang mungkin tertinggal di sana. Saya hanya menyentuh sudut atas dan tutupnya di bagian yg sama," kataku sambil menunjuk bagian yang aku maksud.

"Pintar," puji Detektif Moreno. Aku hanya memberinya perhatian sekilas.

Bangkit dari tempat duduknya, detektif Dirga berjalan ke meja kerjanya. "Ini kiriman pertamanya setelah berita itu turun?"

Aku mengangguk. Dia membuka laci lalu memakai sarung tangan putih yang diambilnya dari sana. Duduk kembali ke tempat duduknya, detektif Dirga bertanya sambil mengambil amplop itu.

"Apa katanya kali ini?"

"'Liar'," jawabku, mengingat tulisan di balik salah satu foto di dalam amplop.

Detektif Dirga mengangkat alisnya, namun tidak mengatakan apa-apa. Kemudian kedua alis semakin meninggi ketika akhirnya dia melihat dua foto yang jatuh dari dalam amplop. Lembar foto yang pertama adalah foto J.H si artis, lembar foto kedua awalnya adalah gambar yang sama dengan foto pertama, tetapi pada bagian wajah terdapat coretan marker membentuk kacamata dan rambut yang membuat J.H si artis berubah menjadi Jehaku.

Detektif Moreno yang ikut melihatnya mengerutkan dahinya dalam. "Gue nggak ngerti, Bang," ujar Detektif Moreno, melupakan keformalitasan.

Aku mengambil ponselku lalu mencari gambar Jeha yang kuambil beberapa hari lalu secara diam-diam. Aku kemudian meletakan ponselku di atas meja agar kedua detektif bisa melihatnya.

"Ini pacar saya," kataku sambil menunjuk gambar di layar ponsel, "yang ternyata kalau tidak memakai kacamata dan rambut yang hampir menutupi wajahnya itu disibak ke belakang, dia menjadi J.H si artis."

Mulut Detektif Moreno membentuk huruf O kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Detektif Dirga melemparinya dengan tatapan tajam yang membuat adiknya itu langsung diam. Matanya kemudian beralih padaku.

"Apa kamu sudah memberitahu Jeha soal ini?"

Aku menggeleng.

"Apa kamu sudah mengetahui tentang hal ini sebelumnya?"

Aku menggeleng lagi.

"Bagaimana Mr. Roseman bisa tahu?"

"Mungkin dengan cara yang sama seperti dia mengetahui tentang saya, stalking." Aku mengedikkan bahu.

Detektif Dirga mengangkat telepon yang tidak jauh dari tempatnya duduk lalu menyuruh seseorang kemari lalu menutup telepon setelah itu. Seseorang yang mengenalkan diri sebagai detektif Hanzo, partner dari detektif Dirga datang.

Mereka mulai pemeriksaan catatan tentang semua orang yang ada di sekitarku, dari mulai mantan-mantanku, kelompok menariku, Adam dan gengnya, ibu tiriku, hingga ayahku, lalu tidak ketinggalan para tetangga. Sejauh ini polisi belum bisa menemukan kemungkinan siapa yang menjadi tersangka karena terbatasnya akses dan tenaga. Selain banyaknya orang yang dicurigai, kebanyakan orang-orang itu adalah orang-orang kaya yang langsung menjadi defensive saat ditanyai polisi.

Mendengar para detektif ini berdiskusi secara langsung tentang kemungkinan adanya psikopat di sekitarku terasa sureal. Selama ini aku hanya menganggap Mr. Rosemen seperti angin tidak penting yang hanya berembus sesekali mengenaiku. Aku tidak pernah benar-benar memikirkannya sampai level di mana keberadaannya menggangguku. Tapi sekarang, setiap melihat bunga saja langsung sangat menggangguku karena membuatku ingat padanya.

"Apa ada hal lain sebelum kita mengirim foto-foto ini ke lab?"

Aku menceritakan mengenai kiriman bunga dan kartu yang diterima Jazz. Aku juga mengatakan alasan mengapa aku tidak bisa membawanya ke sini. Detektif Dirga bisa mengerti. Dia lalu menyuruh partner-nya membawa amplop dan foto-foto itu ke lab untuk diperiksa.

"Apa yang harus saya lakukan pada Jeha?"

"Kamu menanyakan kehidupan asmaramu pada kami?" Detektif Moreno balik bertanya dengan nada geli. "Dia kan pacarmu."

Aku memutar bola mata. "Oh. Saya tahu betul apa yang akan saya lakukan pada pacar yang mengelabui saya," kataku sedikit kesal padanya. Aku mengalihkan perhatianku pada detektif Dirga. "Yang saya tanyakan adalah apa yang harus saya lakukan pada Jeha dengan kenyataan bahwa mungkin dia dalam bahaya."

Detektif Dirga tampak serius memikirkan jawabannya. "Kamu bisa putus dengannya," ujarnya setelah beberapa saat diam.

"Wah, Bang, itu kejam buat yang diputusin," kata detektif Moreno.

Aku dan detektif Dirga mengabaikannya.

"Itu juga pikiran awal saya, tapi ... bagaimana kalau Mr. Roseman berpikir kalau Jeha menyakiti saya? Kita tahu bagaimana nasib orang terakhir yang menyakiti saya."

Detektif Dirga mengusap-usap rahangnya sambil menerawang. "Hm. Kalau kamu menempatkan situasi ini dalam kemungkinan yang seperti itu memang gawat," ujarnya kemudian. "Kita juga tidak tahu apakah dia berpikir kalau kamu hanya miliknya seorang dan orang lain tidak boleh menyentuhmu atau tidak."

"Intinya, pilihan apa pun yang diambil, J.H tetap dalam bahaya."

Kali ini aku setuju dengan perkataan detektif Moreno.

"Dia harus diberi tahu."

Yang ini aku tidak setuju.

"Jangan. Sepertinya hal ini tidak akan menakutinya dan malah akan membuat hero-complect-nya muncul." Aku sudah terlalu sering ditolongnya tanpa dia sadari, aku tidak mau dia celaka justru karena mengetahui tentang hal ini.

Detektif Moreno nyengir lebar. "Kamu benar soal itu."

Aku mengerutkan dahi memandangnya. Perkataannya mengindikasikan seolah dia mengetahui maksud perkataanku dan atau dia mengenal Jeha dengan baik.

"Tunggu sebentar," kata detektif Dirga, menarik perhatianku. "Selama kamu pacaran dengan dua puluh empat mantanmu itu, apa ada yang celaka di antara mereka?"

Aku mengabaikan ekspresi terkejut serta tawa detektif Moreno dan lebih fokus pada usahaku mengingat-ingat semuanya. Dari 24 mantan, hanya 15 orang yang berada dalam periode Mr. Roseman mengamatiku. Dari 15 orang itu, siapa yang pernah terluka dengan penyebab yang tidak jelas?

"Tidak ada."

"Kalau begitu kita bisa berpendapat Jeha akan aman saja bersamamu." Wajahnya terlihat lega.

"Tapi kalian tetap harus memberitahunya agar dia waspada dan lihat ke belakang kalau lagi jalan," usul detektif Moreno.

"Iya." Aku setuju, "Apalagi setelah Mr. Roseman melihatku menamparnya." Mendengar itu, detektif Moreno tertawa lagi, sedangkan detektif Dirga malah tampak lebih serius.

"Mr. Roseman melihatmu menampar Jeha? Dari mana kamu tahu? Apa kamu melihatnya?"

Aku menggeleng lalu menceritakan bagaimana aku terlalu bodoh untuk tidak mewaspadai kemungkinan Mr. Roseman mengikutiku dari butik sampai bagian di mana kak Logan mengejarnya tapi Mr. Roseman berhasil meloloskan diri dengan taksi.

"Jadi, Logan melihatnya?" tanya detektif Dirga. Wajahnya tampak ceria.

"Erm ... katanya dia tidak melihat wajahnya."

"Tapi saya yakin dia cukup dekat untuk bisa mengenali perawakannya. Saya perlu memanggilnya ke sini."

"Saya tidak mau merepotkannya," kataku, merasa tidak enak.

"Logan orang militer. Dia akan dengan senang hati membantu menangkap penjahat."

Eh? Bagaimana dia tahu kalau kak Logan orang militer?

Ponselku yang masih di atas meja berbunyi menampilkan nama Jeha. Aku menekan tombol merah pada layar sebelum memasukan ponselku ke dalam tas sebelum pamit pada dua detektif yang mengamatiku dengan ekspresi yang berbeda.

Di luar dugaan, detektif Moreno menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku menolak, tetapi detektif Dirga mendorongku untuk menerimanya. Demi keamananku, katanya. Akhirnya aku pasrah.

Ponselku berbunyi untuk ketiga kalinya saat aku sedang menunggu detektif Moreno di depan gedung kantor polisi. Menghela napas, akhirnya aku putuskan mengangkat panggikannya. "Hal-"

"Ngapain kamu di kantor polisi?"

Ugh. Aku benci aplikasi pelacak itu. "Well, pacar yang tadi pagi ngajakin kencan malah pergi kerja pas aku dateng ke rumahmya. Ya udah, aku ke kantor polisi mau ngajak detektif Dirga. Eh, tapi beliau ternyata lagi kencan sama detektif Moreno."

"Nggak lucu," bentaknya berbisik. "Serius, ngapain di sana?" tanyanya lagi dengan suara yang lebih tenang

Aku menghela napas. "Mr. Roseman ngasih hadiah kecil. Aku memberikannya untuk mereka periksa."

"Dan kamu nggak bilang padaku?!" Dia terdengar marah.

"Kamu nggak nanya," balasku santai.

"Bagaimana aku bisa tahu harus bertanya apa sementara kamu-" Dia tidak melanjutkan perkataannya dan terdengar helaan napas. "Apa yang dia kasih?"

"Foto kamu lagi ciuman sama cewek yang lebih jelek dari aku."

"What?! Jadi itu kenapa kamu menamparku tadi?"

"Kamu mengakui kalau kamu ciuman sama cewek?"

"Nggak. Aku cuma nanya apa foto itu sebab kamu menamparku."

"Well, sebagian iya, tapi sebagian lagi karena memang aku ingin menampar seseorang."

Terdengar suara orang memanggil Jeha. "Kita akan membicarakannya lagi nanti. Tetap di sana sampai aku datang menjemput."

"Are you kidding?"

Jam berapa juga dia selesai siaran?

"Nggak, makasih, aku sudah pesan taksi." Aku menutup teleponku tanpa membiarkannya mengatakan apa pun lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top