12. He means business

“AYOLAH, Re, bagi nomornya Jeha!” Entah sudah berapa lama Kath merengek seperti itu dan sepertinya tidak akan berhenti selama aku belum memenuhi permintaannya. “Gue bakal nurutin semua perintah lo, deh.”

“Jawab aja dulu kenapa lo jadi gatel gitu sama pacar gue.”

“Kecuali yang itu. Gue ngga bisa. Gue udah terikat sumpah.” Dia menatapku dengan tatapan memelasnya. “Pleaseeeee ....”

“Ooooogah!” Aku berjalan melewatinya, dia langsung mengikuti, sambil menarik-narik lengan bajuku.

Kami baru saja melewati lantai dua dan baru menginjakkan kaki pada anak tangga pertama menuju lantai tiga saat melihat tubuh seseorang menggelinding menuruni tangga dan jatuh tepat di kakiku. Mungkin karena terkejut atau hanya tidak menyangka akan kejadian itu, tapi aku dan Kath hanya mematung memandangi cowok yang tersungkur di kakiku untuk beberapa saat. Ketika cowok itu menggeram sambil membalik badannya, temanku langsung menjerit histeris.

“I was going to meet you upstair. No need to meet me halfway with a circus way like that,” godaku.

Dia menggeram sambil memelototiku.

“Jeha-Jeha, kamu nggak apa-apa?” tanya Kath dengan panik yang berlebihan.

Aku melihat cairan merah mengalir dari keningnya, di balik poninya yang tebal itu. Saat aku hendak menyibakkan rambut di keningnya, Jeha menangkis tanganku.

“Kening kamu berdarah,” geramku, menangkis tangannya yang menahanku. Dia akhirnya membiarkanku. Aku mengernyit melihat lukanya. Selain kening, ada goresan dan memar pada lengannya.

Kath menjerit lagi. “Gue panggil ambulans,” ujarnya sambil mengeluarkan ponsel.

“Nggak, nggak usah. UKS udah cukup,” kata Jeha cepet-cepat  sambil mencoba berdiri, tapi kemudian dia terhuyung. Aku segera memeganginya.

“Lets get you to the infirmary.”

“I think I sprained my ankle.”

Aku melingkarkan salah satu lengannya pada leherku lalu membantunya berdiri.

“Sini gue gendong aja.” Kath menawarkan diri, langsung berjongkok di depan Jeha.

Jeha melirikku canggung. Aku memutar bola mata lalu menendang bokong Kath pelan. “Ngga usah sok jadi Samson, deh.”

“Gue kuat, kok.”

Yah, aku percaya dia sanggup menggendong Jeha sampai UKS, bahkan kalau mau dia bisa menggendong Adam yang badannya lebih besar dari pacarku ini. Kath memang kuat seperti itu, tapi aku tidak sudi Jeha digendong sama anak yang sudah beberapa hari ini sangat tergila-gila pada pacarku ini.

“Nggak usah, Kath. Dibantu jalan begini saja sudah cukup,” kata Jeha. Dia mengisyaratkanku untuk mulai membantunya berjalan, aku  menurutinya.

Tanpa bertanya lebih dulu, Kath mengambil lengan Jeha yang lain dan membantunya berjalan sepertiku. Aku membiarkannya kali ini. Toh, Jeha juga tidak protes. Tetapi tidak lama kemudian sepertinya dia mulai menyesal membiarkan Kath menolongnya. Raut wajahnya berubah menjadi tidak nyaman saat sepanjang perjalanan ke UKS Kath tidak berhenti berteriak menyuruh orang-orang sepanjang koridor untuk menyingkir. Teriakannya seperti orang gila yang sedang membawa orang sekarat. Aku sendiri tertawa melihat raut wajah ngeri Jeha. Bu Anni, guru olahraga kelas sepuluh yang kebetulan ada di UKS, segera menghampiri kami ketika masuk.

“Ada apa ini?” tanya beliau.

“Jatuh di tangga, Bu,” jawab Kath sambil melepaskan tangan Jeha dari bahunya setelah dia duduk di tempat tidur.

“Kok, bisa?” Bu Anni mendekati Jeha dan memeriksa lukanya.

Ketika Jeha diam, Kath mengambil alih menceritakan kejadian bagaimana kami menemukan Jeha. Aku sendiri segera ke lemari obat untuk mengambil kapas, alkohol, dan obat antiseptik. Selesai bercerita, Kath disuruh Bu Anni membeli es batu di kantin. Aku pikir Kath tidak bisa lari, tapi gerakannya yang secepat kilat keluar dari UKS membuktikan kalau aku salah.

“Kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit?” Bu Anni bertanya.

“Tidak perlu, Bu. Cuma lecet dan keseleo saja.”

Bel berbunyi, Bu Anni pergi untuk mengajar. Kath datang sambil membawa es batu. Dia ingin, memohon lebih tepatnya, untuk tinggal di UKS bersamaku menjaga Jeha, tapi Jeha  bilang tidak perlu. Aku juga disuruhnya pergi. Dia bilang akan membersihkan lukanya sendiri.

Setelah Kath pergi, aku menyingkirkan rambut Jeha dan langsung dipelototi luka di dahinya. Dia mengernyit saat aku mulai membersihkannya.

“Ayo, ke rumah sakit aja! Kayaknya perlu dijahit, tuh,” kataku.

Dia menoleh ke cermin dan melihat lukanya sendiri. “Ngga perlu. Kecil gitu.”

“Kecil dari Afrika? Ada kali lima senti. Dan lagi lukanya terbuka gini.”

“Ya udah cepet bersihin, kasih obat terus dikasih plester atau perban gitu. Jadi, ketutup nanti.”

Aku menghela napas dan melanjutkan membersihkan luka-lukanya. Aku bisa merasakan dia mengamatiku selama aku bekerja, tapi aku mengabaikannya. Aku tidak bisa melakukan apa pun pada memar-memarnya, jadi aku langsung membuka kaus kakinya dan memijat kakinya yang terkilir.

“I hope you know what you’re doing.” Dia menggeram sambil mengernyit.

“I know what I’m doing.” Terakhir, aku memasukan es batu ke dalam plastik lalu menempelkannya ke kaki yang terkilir sebelum memakaikan kaus kakinya kembali agar es itu tetap di tempatnya.

Dia merebahkan diri sambil menghela napas. “I can’t feel my feet.”

Aku menendang kakinya. Dia mengaduh lalu memelototiku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku naik ke tempat tidur dan ikut merebahkan diri di sampingnya. Menghela napas, aku lalu memejamkan mata. Intensitas tidurku di malam hari semakin berkurang. Selain memang gangguan insomnia, pikiran bahwa seseorang mengawasi dan bisa sewaktu-waktu menyelinap ke kamarku semakin membuatku tidak bisa tidur. Aku juga tidak berhenti mengamati dan mewaspadai orang-orang di sekitarku yang kemungkinan salah satunya adalah Mr. Roseman. Sejauh ini aku tidak mempunyai seorang pun yang bisa kujadikan kandidat tersangka.

Mungkin Jeha benar, my ignorance makes me blind and stu—

Aku menoleh pada Jeha dan memandangnya tajam. “I’m not stupid!”

Dia yang juga memajamkan mata, hanya menggumam, “Hm?”

Melihat lebam dan perban serta plester yang sudah aku tempelkan untuk menutupi lukanya membuatku tidak tega untuk bertengkar dengannya. Mungkin kepalanya juga sakit. Aku tahu bagaimana rasanya dilempar dan mendarat jauh dari tempat awalku berdiri. Memang dia tidak dilempar, tapi hampir samalah.

Aku memiringkan badan agar menghadapnya. “Aku nggak tahu kalau kamu bisa ceroboh begitu. Bisa-bisanya jatuh menggelinding di tangga. Kayak anak kecil aja.”

“Someone pushed me,” jawabnya tak acuh seperti apa yang baru saja dikatakannya bukanlah hal besar.

Aku mengamatinya, menunggu dia menyerukan ‘just kidding’, namun itu tidak terjadi. Dia tetap memejamkan matanya. “Nah, loh? Siapa yang kamu bikin kesal atau tersinggung dengan cetusan sarkasmu yang tanpa ampun itu?” candaku akhirnya.

“Entah. Seingatku aku belum melemparkan sarkas terbaikku pada siapa pun hari ini.” Dia mengernyit ketika berusaha mencari posisi tidur yang nyaman dan menghela napas saat menemukannya.

Melihatnya nampak rapuh seperti itu membuatku bertindak tanpa berpikir. Aku menariknya ke pelukanku. Well, dia tidak benar-benar terlihat rapuh, hanya kelihatan tenang dan damai, membuatku iri.

“What are you doing?” gumamnya.

“Menurut orang lebay yang sok romantis dan delusional, katanya luka bisa cepat sembuh dan ada yang ajaib bisa langsung sembuh kalau dipeluk, dicium, dan dibelai sama orang yang dicintai.”

“But I don’t love you, so it won’t work.”

“I don’t love you either,” kataku, “but we’re in this relationship, so we must pretend that we’re in love.”

“Then it still won’t work, because we’re  just PRETENDING.” Dia mengucapkan kata pretending dengan penekanan yang berlebihan.

Aku mengusap-usap kepalanya dengan pelan dan membelai rambut hitamnya yang halus. “Kamu kelihatan keren kalau sedang keras kepala dan sarkasnya keluar, tapi kamu berisik dan agak nyebelin,” kataku sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Dia diam.

Saat ini, tiba-tiba bulu kudukku berdiri kemudian rasanya hawa dingin merayap sepanjang punggungku, membuatku menggigil. Bukan jenis menggigil yang disebabkan karena aku kedinginan tapi karena perasaan itu, perasaan seperti ada sesuatu atau seseorang yang mengamatiku diam-diam.

“Let’s have a date tonight,” kata Jeha tiba-tiba.

Aku terkesiap berlebihan pura-pura terkejut lalu menjauhkan wajahku agar bisa melihat wajahnya.  “A … what?”

Dia memutar bola mata. “A date.”

Aku tertawa. “Kesurupan, yah? Tiba-tiba ngajak nge-date.”

“Siapa yang suka nagih minta diajak nge-date? Wait, jangan dijawab. Anggap aja aku nggak ngomong apa-apa.” Dia memelototiku sebelum membalikkan badan, memberikan punggungnya padaku.

Aku memeluknya dari belakang, terlalu erat sampai membuatnya mendesis kesakitan karena aku menekan rongga dadanya. “Gimana kalau besok lusa aja?” tanyaku. “Habis latihan aku ada fitting bridesmaid dress. Aku pasti udah capek banget. Percaya, deh, kamu nggak mau berhadapan dengan Terre-super-exhausted? She’s the  queen of bitch.”

“Kamu baru aja mengakui kalau kamu The Queen of Bitch.” Nada suaranya geli.

“Bukan aku, tapi si Terre-super-exhausted.”

“Sama aja.”

Aku mempererat pelukanku lagi. Kali ini dia mengaduh, lalu dengan kasar melepaskan tanganku yang melingkari tubuhnya. Berbalik badan kembali menghadapku, wajahnya terlihat kesal.

“Kamu ingat kan kalau aku babak belur habis jatuh dari tangga tadi?”

Aku  melingkarkan lenganku di pinggangnya dan menenggelamkan diri di kehangatan badannya. “Sure. Tapi kamu masih cukup kuat untuk berargumen denganku, jadi aku yakin kamu baik-baik saja,” gumamku pada dadanya.

Rasa dingin bercampur panas kini terasa menyatu dengan darah yang mengalir dan menyebar ke seluruh tubuhku. Kalau aku tidak mengetahui tentang keberadaan Mr. Roseman si stalker gila, aku akan menduga kalau ada hantu di dekat sini.

“Let go.” Suaranya tenang, namun pendengaranku tetap menangkap ancaman seolah mengatakan dia akan melakukan sesuatu seandainya aku tidak menurutinya.

Aku mengabaikannya dan malah sedikit naik ke tubuhnya agar mulutku sejajar dengan telinganya. “Lihat keluar atau ke mana pun, tapi jangan membuatmu kelihatan jelas sedang mencari sesuatu,” bisikku segera ketika dia mulai protes. “Dari tadi bulu kudukku berdiri dan punggungku terasa ditusuki ratusan jarum es,” tambahku.

Dia memelukku lalu menurunkanku dari tubuhnya agar aku tiduran di sampingnya saja. Entah matanya mencari sosok di luar sana atau tidak, aku tidak tahu karena dia menekan kepalaku agar tetap bertatapan dengan tulang selangkanya. “Theres no one,” bisiknya setelah beberapa saat diam. Dia menghela napas. “Aku heran kenapa ada stalker yang tergila-gila sama kamu. Kamu memang cantik, tapi kepribadianmu jelek dan juteknya minta ampun.”

Aku menonjok dadanya, tidak peduli walau dia kesakitan  atau pukulanku bisa mematahkan tulang dadanya yang mungkin sudah retak.

Dia melepaskan diri dariku. “What was that for?!”

Aku mengedikan bahu. “You forgot to mention that I have a bad tamper too,” jawabku tak acuh.

Dia menggeram berlebihan lalu turun dari tempat tidur dan pindah ke tempat tidur yang lain. Mengarahkan telunjuknya padaku, dengan wajah tegas dia berkata, “Stay away from me.”

“You deserved it.”

Dia melemparkan pelototan terakhirnya sebelum menarik selimut menutupi seluruh badan sampai kepalanya.

***

M

R. ROSEMAN

BERCERMIN pada spion mobilku, aku tersenyum geli namun puas melihat bayanganku. Untung toko bunga Tante Nana tidak memiliki tanda khusus pada seragam pegawainya, hanya mirip seragam polisi lalu lintas. Aku mendengkus mengingat betapa ironisnya situasi ini.

Melangkah menyeberangi jalan sambil membawa karangan bunga, aku tidak berhenti tersenyum. Aku sangat puas dengan rencanaku. Terre akan sangat senang dan mungkin marah saat melihat hadiahku untuknya. Marahnya bukan ditujukan padaku tentu saja, aku yakin itu.

Mengetuk pintu, aku langsung masuk saat wanita penjaga kasir mendongak. Aku mendatanginya.

“Permisi, saya mengantarkan kiriman bunga untuk Nona Jasmine dari Tuan Daniel,” kataku sambil pura-pura membaca kartu di karangan bunga yang aku pegang. Aku sudah hafal nama mereka; semua orang yang ada di sekitar Terre.

Wanita ber-name tag Aleta mengulurkan tangannya padaku. “Biar saya berikan,” katanya tanpa keramah tamahan.

Aku menjauhkan bunga dari tangannya. “Tuan Daniel berpesan saya memberikannya langsung untuk melihat reaksi Nona Jasmine dan melaporkannya.”

Wajah Aleta bimbang dan matanya curiga saat menelitiku. Aku memberinya senyum polos yang biasanya berhasil membuat cewek-cewek takluk dan ternyata itu juga berhasil pada wanita ini karena akhirnya dia menghela napas lalu mengisyaratkanku untuk mengikutinya ke lantai dua. Suara berisik wanita-wanita yang berkumpul semakin jelas dengan semakin pendeknya jarakku dengan tujuanku.

Aleta meminta maaf karena mengganggu mereka lalu menunjukku dan mengatakan tujuanku. Aku memberi si calon pengantin senyum tanpa benar-benar menunjukan keseluruhan wajahku, dia membalas senyumku dengan terlewat lebar saat aku menyerahkan karangan bunga padanya.

Pandanganku langsung mencari satu-satunya sosok yang tidak pernah gagal membangkitkan hasratku. Orangnya tidak terlihat tapi tasnya tergeletak begitu saja di sofa.

“Of everything I’ve seen,

It’s you I want to go on seeing.”

Sementara Jasmine meresital puisi yang aku tulis pada kartu yang terselip di antara rangkaian bunga dan semua temannya fokus padanya, aku menggunakan kesempatan itu untuk menyelipkan hadiahku ke dalam tas Terre. Setelah itu aku memutuskan untuk keluar. Tapi tepat sebelum aku mencapai pintu, pantulan pada cermin besar di belakang Jasmine membuatku berhenti. Tirai yang menutupi tempatnya berganti baju terbuka sedikit dan aku harus memeriksa kalau liurku tidak mengalir deras dari mulutku.

    “Of everything I’ve touched,

    It’s your flesh I want to go on touching.

    I love your orange laughter.

    I am moved by the sight of you sleeping.”

Melihat pantulan kaki jenjang dan punggungnya yang telanjang di cermin  membuat  pikiranku langsung membayangkan apa yang bisa aku lakukan dengannya di dalam tirai tertutup itu.

    “What am I to do, love, Loved one?

    I don’t know how other love or how people loved from the past.

    I live, watching you, loving you.”

Aku harus bersabar. Untuk melakukan apa yang ingin kulakukan padanya, aku harus menunggu sampai dia sadar milik siapa dia sebenarnya. Aku akan memberikannya waktu bersama teman-temannya untuk sekarang. Waktu mereka terbatas, sedangkan waktunya denganku tidaklah terhingga.

Pergi dari butik, aku lalu menunggu di dalam mobilku. Kira-kira sepuluh menit kemudian, aku melihat Terre keluar dengan terburu-buru dan langsung menghentikan taksi yang lewat. Aku tersenyum membayangkan hal apa yang akan dia lakukan pada pacar of the week-nya. Aku mengikuti beberapa meter di belakang taksi itu.

Kalau saja apa yang Billy lakukan tadi siang pada si berengsek itu cukup menghasilkan kerusakan, aku tidak akan bertindak sejauh ini. Tapi ternyata dia hanya memar dan sedikit luka. Pembohong perlu mendapat pelajaran yang lebih berat dari itu. Pembohong seperti dia juga tidak pantas bersama Terreku.

Aku harus berhenti dan memarkirkan mobilku di tempat tersembunyi beberapa meter dari gerbang Griya Kenanga. Untuk ukuran kompleks perumahan yang dihuni para lansia dan pensiunan yang miskin-miskin, tempat ini dijaga ketat oleh satpam bertubuh besar yang tidak mau berkompromi dengan tamu asing pada malam hari. Aku terpaksa memasuki komplek dengan menaiki pohon jambu di luar dinding pembatas kompleks dan melompat ke dalam.

Aku sampai di rumah si Yeti tepat saat Terre membuka pintu rumahnya. Aku segera menyelinap masuk ke halaman rumah dan bersembunyi di dalam bayangan pohon mangga. Terre tidak menutup pintunya kembali, jadi aku bisa melihat mereka di dalam. Si berengsek sedang tidur di lantai sementara Terre berdiri di dekat kepalanya sambil menunduk memandangnya dengan kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena dia membelakangiku.

Ayo, Sayang, bereskan dia! Alibimu akan aku buat sempurna tanpa cela.

Adrenalinku mulai naik saat melihat Terre berjongkok dan mengulurkan kedua tangannya pada wajah si berengsek. Tapi sedikit kekecewaan kurasakan saat dia hanya membuka kacamata dan menyapu rambut di kening si berengsek. Aku menunggunya melakukan sesuatu, mengantisipasi bantuan apa yang bisa aku lakukan, tapi yang dia lakukan hanya memandangi wajah artis yang tidak dia sukai di depannya.

Apa lagi yang kamu tunggu? Bereskan dia. Cekik atau pukul kepalanya sekuat tenaga dengan benda tumpul di dekatmu. Atau kamu bisa ke dapur dan mengambil beberapa pisau dari sana. Kamu tidak perlu segan, pembohong seperti dia berhak menerimanya. Ayolah, Sayang!

Aku hampir maju ke depan dan mengambil alih pekerjaan yang sepertinya terlalu berat untuknya ketika suara mesin mobil menarik perhatianku. Sebuah Mazda merah memasuki tempat parkir mobil. Aku semakin menenggelamkan diri dalam gelapnya bayangan saat lampu mobil menyapu tempatku bersembunyi.

Empat orang lelaki keluar dari Mazda. Aku kenal Raja, dia sepupu Adam dan mantan costumer setia, tapi aku tidak tahu siapa tiga orang yang lainnya. Aku hanya tahu Terre memanggil mereka Setan, Kail, dan Kalog. Hacker yang aku pekerjakan juga tidak bisa menemukan apa pun tentang mereka di internet. Sangat aneh.

“What was that for?!” Seruan dari dalam rumah mengalihkan perhatianku kembali ke sana.

Aku tersenyum walau kecewa melihat si berengsek memegangi pipi kirinya dan matanya membulat di balik kacamata yang sudah terpasang kembali di wajahnua. Aku terlalu bersemangat ingin membantu Terre menyelesaikan urusan di sini sampai membuatku tanpa sadar bergerak dan akhirnya menimbulkan suara yang menarik perhatian lelaki berbadan besar yang Terre panggil Kalog itu.

“Who’s there?!”

Ugh. I hate that guy. Tidak peduli betapa tersembunyinya aku, dia seperti punya indra keenam untuk menemukan atau merasakan keberadaanku. Dia memang tidak pernah melihatku, tapi entah bagaimana tanpa dia sadari dia tahu aku di mana dan sikapnya menjadi sangat waspada.

“Identify yourself or I will call the cops!”

“Jangan pakai bahasa Inggris. Barangkali dia cuma maling pakaian dalam,” kata seseorang disambut tawa oleh yang lain. Kegaduhan itu membawa Terre dan si berengsek keluar rumah juga.

“Siapa di sana?!” Dia mulai melangkah ke arahku.

Aku harus segera pergi.

Mengumpulkan udara pada paru-paruku, aku segera keluar dari persembunyianku, berlari menaiki pepohonan dan melompat naik ke atap rumah tetangga. Bertahun-tahun menggemari parkhour membuatku tidak mengalami kesulitan untuk melompat dari satu tempat ke tempat lainnya, tidak peduli rendah atau tinggi. Sayangnya Kalog tidak jauh di belakangku. Double shit! Apa dia menggeluti parkour juga.

“Berhenti di sana!”

Yeah, right. I’m not that stupid, fackard.

Si Berengsek ini pantang menyerah. Dia tetap mengejarku walau aku sudah keluar dari kompleks perumahan. Memang akan lebih cepat kalau aku kabur dengan mobil, sayangnya aku tidak bisa menggunakan mobilku sekarang atau dia akan mengetahui siapa aku.

Ketika sampai di jalan raya, aku naik ke taksi pertama yang bisa aku dapat dan menyuruh supir untuk pergi secepat mungkin.









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top