11. Getting deep
SEBELUM berangkat sekolah, aku dipanggil ke ruang kerja ayahku. Aku jarang ke sana, lebih tepatnya aku jarang bertatap muka dengan si sperm-donor itu kecuali ada sesuatu yang penting. Ini aneh, karena setahuku juga dia masih di luar kota.
Setelah mengetuk pintu dan justru suara perempuanlah yang terdengar dari dalam, aku mempersiapkan diri sebelum membuka pintu. Duduk di meja kerja ayahku adalah seorang wanita cantik dengan aura mengintimidasi dan kepercayaan diri yang tidak bisa kutandingi. Rambut bersinarnya dikuncir tinggi dan kencang di belakang, seperti menarik ke belakang otot-otot di wajahnya sekalian. Sangat rapi pula sampai tidak ada anak-anak rambut yang keluar mengganggu pemandangan
“Athena,” ucapku menyapa. Dia mengalihkan matanya dari koran di tangannya ke wajahku sejenak sebelum berdiri dan mendatangiku.
Athena adalah anak pertama ayahku bersama Norma, ibunya Adam. Melihat wajahnya tepat di depanku rasanya seperti melihat diriku sepuluh tahun mendatang. Aku rasa ini adalah salah satu hal yang membuat Norma membiarkanku tinggal di sini. Kerena daripada mirip ibu kandungku, aku malah lebih mirip Athena dari kecil sampai sekarang. Well, kecuali mataku yang persis seperti milik ibuku. Athena sudah melepaskan diri dari rumah ini sejak kuliah dan hanya datang sesekali kalau ibunya memohon atau ada emergency.
“What is this?” tanyanya, menunjuk koran pagi hari ini.
“News paper?”
Athena menunjuk kolom berita kriminal di sudut bawah halaman pertama koran harian di tangannya. Aku bisa melihat namaku di dalam rangkaian narasi berita.
“Berita kriminal.”
Detektif Dirga sudah memberitahuku kalau besok beritanya akan keluar, jadi sebaiknya aku mempersiapkan diri. Entah bagaimana berita itu bisa bocor ke tangan media sebelum kepolisian memberikan keterangan apa pun. Untungnya berita yang mereka terbitkan tidak mendetail.
“Bagaimana kamu bisa terlibat dengan hal semacam ini?” Athena melempar koran ke atas meja. “And I thought you’re smart enough not to speak anything without a laywer.”
Oh, dan dia seorang pengacara.
“Aku nggak terlibat. Aku cuma dibawa-bawa orang gila—”
“Yang tergila-gila padamu.” Dia menyela.
“—yang menggunakanku sebagai alasan. Dan aku nggak dijadikan tersangka, jadi nggak perlu membuat ini semakin ribet dengan melibatkan pengacara segala.”
Tatapan matanya semakin tajam. “Kamu ditanyai, diinterogasi.”
“Cuma untuk identifikasi korban dan ditanyai alibi. Mereka memeriksanya dan terbukti aku ada di tempat yang aku bilang waktu kejadian itu. Aku dilepaskan. Selesai.”
“Kamu mengenal korban?” Daripada bertanya, nada suaranya lebih seperti tuduhan. Dia ingin melihat reaksiku dan memastikan apa aku berbohong atau tidak.
Aku memutar bola mata. “Nggak.”
“Tell me, everything.”
Aku menghela napas sebelum akhirnya menceritakan semua yang aku tahu. Menyembunyikannya dari Athena juga percuma karena dia punya sumber pengetahuan di mana-mana. Sebenarnya aku dan Athena tidak terlalu akrab. Aku tidak akrab dengan satu pun anggota keluarga ini. Dari semua orang, justru sikap Athena yang paling dingin. Namun sikapnya berubah sejak dia menemani dan mengeluarkanku dari rumah sakit empat tahun lalu. Berubah juga bukan berarti menjadi akrab, setidaknya dia menjadi lebih pleasant.
Dia memandangku lama saat aku selesai bercerita dan aku membalas tatapannya. Dia akhirnya memutar badan dan mengambil tas kerjanya di sofa.
“They can be tricky as long as the boss pleased,” ujarnya tanpa membalikkan badan. “Be careful.”
“Aku tahu.”
“Lain kali kalau mereka mau bicara denganmu, suruh mereka menghubungiku dulu,” ujarnya sebelum keluar ruangan. Aku mengikutinya tidak lama kemudian.
***
ENTAH sejak kapan mereka beralih dari majalah remaja online ke koran pagi sebagai bacaan. Yang pastinya gara-gara itu anak-anak di sekolah jadi mengetahuinya juga. Wait, mungkin mereka tahu dari menonton tv? Mengingat ketenaran J.H, mustahil para paparazi melewatkan kesempatan untuk meliput beritanya.
“Gue nggak ngerti kenapa lo nggak langsung lapor ke kita,” Ro protes. “J.H menjadi pahlawan itu berita yang perlu diberitakan.”
Ternyata aku tidak mengantisipasi segalanya. Fans Telebes kembali membuatku terpukau, in a bad way.
Mengesampingkan isu tentang Mr. Roseman yang ternyata orang berbahaya, mereka lebih marah dengan kenyataan bahwa idola merekalah yang menyelamatkanku malam itu tapi aku sama sekali tidak mengatakan apa pun. Kath tidak berhenti mengirimiku tatapan garang dan mengguman dasar penghianat, Ro dan Val melirikku sejenak sebelum beradu pandang satu sama lain lalu geleng-geleng kepala seperti sedang merencanakan sesuatu padaku, dan bahkan Miss Marina yang sudah dewasa ikut-ikutan ngambek.
Aku menghela napas. “Denger, yah, fansnya Telebes…” Kath mencubitku, aku membalasnya.
“Ouwh! Sakit!” pekiknya.
“Kalau nggak mau dicubit ya jangan nyubit, rese!” Kath mencebik, aku memelototinya sebelum mengedarkan pandanganku pada mereka yang marah padaku. “Denger, yah, kalian, orangnya saja diam dan nggak mau mempublikasikan diri, kenapa gue harus gembar-gembor? Gue udah bilang terima kasih banyak banget, ya sudah.” Mereka tetap terlihat tidak puas dengan penjelasanku.
Mereka sama sekali tidak bersimpati ataupun marah pada Mr. Roseman karena sudah membawa-bawa namaku dalam aksinya menghilangkan nyawa orang lain, mereka marah karena idola mereka sempat berkelahi dengan Landis untuk menolongku. Such a friend, huh?
“Harusnya kita tanya lebih jauh waktu J.H pasang status itu, yah,” ujar Kath penuh sesal.
Status yang dimaksud adalah J.H memperingatkan followersnya dan siapa pun yang membaca statusnya agar tidak keluar malam-malam sendirian kalau bukan untuk keadaan darurat. Jangan seperti orang bodoh yang dia kenal katanya. Status itu menjadi most-retweeting status selama beberapa hari.
Si berengsek itu harus bersyukur dia tidak di depanku, karena aku mungkin akan mematahkan jari-jemari dan merusak pita suaranya kalau dia ada dalam jangkauanku.
***
AKU melemparkan tasku pada Jeha yang sedang duduk di lantai menghadap MacBook Airnya di depan tv. Dia tidak terkejut melihatku sudah berada di dalam rumahnya. Dia melirikku sekilas lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada layar laptop.
Aku tidak bertemu dengannya di sekolah, entah dia memang sengaja sembunyi dariku atau aku yang sedang malas mencarinya. Dia memang mengirimiku pesan, menanyakan tentang kebenaran berita itu dan ketika pesannya tidak juga aku balas, dia menelepon. Aku menjelaskan dengan malas dan seperlunya.
Kalau bukan karena aku merasa terganggu dengan aplikasinya, aku masih tidak mau mencari sampai ke rumahnya setelah selesai menari tadi. Kali ini aku melemparkan ponselku, yang hebatnya dia tangkap walau matanya masih terpaku pada laptop.
“Hapus aplikasi hantu itu dari ponselku!”
“Kenapa?” tanyanya tak acuh.
“Serius nanya gitu?”
Dia melirikku lalu mengedikkan bahu.
“Aku bukan kriminal yang perlu dimata-matai!”
“Sudah aku bilang kalau aku memasangnya bukan untuk memata-matai kamu sepanjang waktu.” Dia menepuk tempat di sampingnya, menyuruhku duduk. Aku bergeming. Dia menghela napas. “Sebenernya, yah, kalau kamu berhenti memikirkannya atau pura-pura nggak tahu, kamu nggak akan merasa diawasi.”
“Gimana aku bisa berhenti memikirkannya dan pura-pura ngga tahu kalau setiap kali melihat ponsel aku jadi ingat padamu dan juga apa yang udah kamu lakuin?” Akhirnya aku duduk di sampingnya.
“Hati-hati. Kalau kamu ngga berhenti memikirkanku kamu bisa jatuh cinta padaku,” ujarnya, menyunggingkan senyum kecil.
Saking kesalnya, aku langsung mematikan laptopnya tanpa peduli apakah dia sudah menyimpan pekerjaannya atau belum.
“Yah!” serunya, memandangi layarnya yang sudah hitam tak menampilkan apa pun kecuali bayangan jeleknya sendiri. “Tahu ngga sudah berapa lama aku mengerjakan itu?”
“Don’t know. Don’t care.” Aku menyodorkan ponselku ke wajahnya. “Remove the app.”
Dia mengambil ponselku, tapi bukannya mulai bekerja menghapusnya, dia malah melemparkannya ke sofa di belakangnya. “Maybe if you stop being pain in the ass, I’ll think about it,” geramnya memelototiku. “Lagipula, siapa yang selalu mengungkit-ungkit aku nggak nyelamatin kamu waktu itu? Aku memasang aplikasi itu biar aku tahu posisimu dan langsung datang kalau kamu dalam bahaya.”
Apa-apaan ini? Kenapa caraku agar membuatnya merasa bersalah malah berbalik merugikanku?
Oh, wait .…
“Hey, aku mengatakan di mana posisiku waktu itu, tapi kamu tetap nggak datang.”
“Bagaimana aku tahu kalau kamu lagi nggak mengerjaiku?”
“Kenapa aku mau mengerjaimu?”
“Oh, entahlah. Mungkin karena kamu cewek jahat, nggak sopan, senang menggangu orang and kind of pain in the ass?”
Aku tidak berkutik. Karena jujur saja, aku memang cuma ingin mengganggunya waktu itu, sebelum aku tahu kalau ada orang yang mengikutiku dan mungkin hendak membunuhku kalau saja mantan anggota Teletabis itu tidak datang.
“Ya udah,” aku menyerah, “aku ngga akan mengungkitnya lagi.”
“Bagus.” Dia menyalakan laptopnya lagi, “Karena aku nggak akan membiarkanmu.”
Aku memasang senyum manisku. “Nah, sekarang hapus, dong, aplikasi hantunya.”
Dia menoleh dan membalas senyumku dengan senyum manisnya sendiri. “Nggak mau.”
Senyum manisku terbuang sia-sia. Aku segera menghapusnya dari wajahku dan mulai mengincar laptopnya. Sayangnya kali ini aku kalah cepat. Dia sudah menangkap kedua tanganku bahkan sebelum aku menyentuh sedikit body mulus si Mac.
“Stop thinking about it and you will forget that it’s there,” ujarnya dengan senyum geli.
“This is so unfair.” Aku menarik tanganku dari genggamannya. “Bagaimana bisa cuma aku yang merasa dimata-matai sementara kamu bebas ke mana aja.”
“Aku ngga pernah melarang kamu pergi ke mana pun.”
“Perbuatanmu yang menyatakannya.”
Dia tidak mengatakan apa pun, hanya kembali menekuni laptopnya sementara aku bersungut-sungut, menendang dan menyingkirkan apa pun di dekatku yang tidak enak aku pandangi. Mataku menemukan setumpuk kertas yang ternyata tagihan kartu kredit. Mengambil satu, aku sempat membaca nama yang tertera di sana sebelum Jeha merebutnya dariku.
“Aku semakin yakin kalau kamu nggak punya yang namanya sopan santun. Jadi cewek itu tangannya jangan jelalatan.” Dia mengumpulkan ketas tagihannya kemudian menyimpannya ke dalam laci.
“Jadi nama lengkapmu Josh Harnet Clarke?” Dia menatapku datar ketika aku mulai tertawa. “Gimana ceritanya Josh Harnett Clarke bisa jadi Jeha?” Kali ini dia memandangiku seolah aku orang paling bodoh sedunia. “What?”
“It’s just misscomunication between me and the people at school. I said this, they heard that.”
Dia menatapku lagi dengan tatapan waspada seperti menungguku mendapat mukjizat. Saat aku tetap menatapnya dengan tanya, dia menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan senyum bermain di mulutnya, dia memandangku dengan ekspresi kekaguman yang sangat tidak ingin aku dapat darinya.
“You’re pretty, but you’re ignorance totally makes you blind and stupid,” hinanya dengan tawa.
Aku memukul bahunya. “Asshole.” Dia menggelengkan kepalanya lagi sambil tertawa. “Ibumu pasti penggemar Pearl Harbour, yah?”
Dia memutar bola matanya. “Nggaklah. Lagian dia Josh Hartnett, bukan Josh Harnet Clarke.” Dia menjulurkan lidahnya padaku.
“Siapa nama lengkapnya Seth, Kyle, dan Kak Logan?”
“Sethern Clarke, Kylerin Clarke, dan Logan Clarke,” jawabnya sambil mengerjakan sesuatu pada layar laptopnya.
“Sethern dan Kylerin?” Aku tertawa.
“Yeah. You can call them both at once with Slytherin, anagram mereka,” kata Jeha.
Aku tertawa lagi. Nanti dipraktekin, ah!
“If you want them to ruin your life, though.”
Damn computer-geeks.
“Tetap, kan, Harnet pasti terinspirasi dari pemain Pearl Harbour.”
“Nggaklah. Aku kan lahir lebih dulu dari filmnya. Harnet nama ayah kandungku. Nyokap nikah sama Mr. Clarke waktu aku masih dua tahun.”
“Kenapa kamu tinggal sendirian di Indonesia?” Aku mengalihkan pertanyaanku pada hal yang sudah membuatku penasaran sejak lama. “Bodoh banget ninggalin Cali buat tinggal di sini.”
Dia mengedikkan bahu. “I wanted to know more about my birth mother. Dalam prosesnya, aku sudah telanjur betah di Indonesia.”
“Your birth mother?” Dia menggumam ‘hm’ mengiyakan. “Jadi, Mrs. Clarke yang sekarang bukan ibu kandungmu?”
Dia menggeleng. “Mama menemukanku di depan pintu panti tempatnya menjadi relawan di hari kelahiranku.” Dia menjawabnya dengan santai, seperti tidak ada emosi kesedihan atau kemarahan yang seharusnya dia tujukan pada perempuan yang melahirkan dan membuangnya tidak lama kemudian.
Aku hanya memandanginya dengan diam. Akhirnya menoleh padaku dan menatapku aneh.
“Kenapa memandangku begitu?”
Mungkin aku, yah, yang menatapnya aneh? Dia mendekatkan wajahnya padaku, mencari-cari sesuatu di dalam mataku dan mungkin ekspresiku.
“Wah, ceritaku yang menyedihkan bahkan nggak bikin kamu terharu atau merasa iba. Kamu itu punya emosi selain marah nggak, sih? Jangan-jangan kamu ngga punya empathy.”
Aku menjauhkan wajahnya dengan telunjukku pada keningnya. “Aku masih nggak tahu cerita itu ngarang atau beneran.”
Dia malah tertawa. “Kenapa kamu pikir aku mengarangnya?”
“Cara kamu yang kelihatan sangat mudah menceritakannya.” Kini giliranku yang mendekatkan wajahku padanya. “Dan juga ekspresimu saat menceritakannya. Kenapa kamu nggak kelihatan sedih atau merasa iba terhadap diri sendiri?”
“Aku sudah menjalani cerita itu sepanjang hidupku.”
“Dan hidupmu juga nggak kelihatan menyedihkan seperti anak buangan lain.” Menyadari betapa kasar itu terdengar, aku segera menambahkan, “No offence.” Dia mengedikkan bahu, maka aku pun melanjutkan, “Nah, jadi nggak ada alasanku untuk merasa iba padamu. Hidupmu sekarang pasti lebih baik kalau dibanding hidup dengan ibu kandungmu.”
Aku harus merasa takjub sekaligus heran dengan caranya yang begitu mudah menceritakan keluarga dan kehidupan pribadinya. Aku pikir dia yang penuh misteri, ditambah ketidaksukaannya padaku tidak akan membuatnya mudah membuka mulut. Aku juga aneh. Biasanya aku tidak mau tahu hal-hal mengenai keluarga dan kehidupan mantan-mantanku terdahulu. Tetapi, semakin lama bersama Jeha, aku semakin ingin tahu tentang kehidupannya lebih dari yang dia perlihatkan padaku.
Lonceng peringatan berdentang keras di kepalaku.
Ini tanda-tanda aku sudah memasuki zona berbahaya. In my life, getting deeper in a relationship with someone will always end up in disaster. Namun aku tidak bisa menghentikan rasa penasaranku.
“Mungkin kamu benar. Tapi ekspresi datarmu masih membuatku tersinggung.”
Aku mengibas-kibaskan tangan di depan wajahku. “I still think you’re stupid. Bukannya di Cali lebih enak, yah? Napa Valley gitu.” Aku mengembalikan pembicaraan ke zona aman. Tidak mau memberinya kesempatan bertanya tentang keluargaku juga.
Dari foto dan cerita yang Seth berikan, rumah mereka berada di antara berhektar-hektar kebun anggur di Napa Valley, tidak jauh dari rumah produksi wine terbaik di U.S. Atau untuk bahasa simpelnya, keluarga Clarke adalah pemilik dari pabrik wine yang harga satu gelasnya sampai ratusan ribu dan bahkan ada yang jutaan itu. Aku hanya pernah mencobanya sekali dan aku langsung ketagihan. Sayang, aku terlalu menyayangi uangku.
Seth dan Kyle tidak berhenti menyombong dan memanas-manasiku setelah mereka tahu bahwa aku sangat menyukai wine. Mulutku langsung berliur mengingat bagaimana mereka mendeskripsikan rasa baru dan kenikmatan wine yang sedang mereka produksi.
“Kamu masih bisa ikut mereka kalau kamu berubah pikiran.” Suaranya membangunkanku dari lamunan.
Aku menahan diri untuk tidak mengecek mulutku kalau-kalau ada liurku yang keluar saat melihat seringaian menggoda seolah dia tahu apa yang aku pikirkan. Yah, mereka memang tidak berhenti mengajakku ke rumah mereka. Katanya aku bakal disuguhi wine sepuas hatiku kalau aku ikut.
“Pasporku udah kadaluarsa.”
Dia tertawa. “Kalau kamu mengurusnya besok, kamu bisa ikut nanti. Mereka kembali ke sini dulu lusa sebelum balik ke Cali. Masih ada waktu.”
Tawaran yang sangat menggiurkan. Sungguh. “Aku nggak bisa. Nggak boleh.”
Dengan penyelidikan kematian Landis yang masih berlangsung dan disebutkannya namaku dalam pesan yang ditemukan di TKP, aku dilarang pergi jauh. Apalagi mengingat kemungkinan besar kalau aku mengenal Mr. Roseman. Aku bisa jadi umpan.
Well, detektif Dirga tidak benar-benar mengatakan ‘umpan’, tetapi dengan instruksi yang dia berikan, seperti harus langsung bawa padanya jika aku mendapat notes atau kiriman bunga lagi dari Mr. Roseman, sudah cukup memberiku tanda kalau aku hanya satu-satunya orang yang bisa membawa mereka ke identitas asli Mr. Roseman. Dengan kata lain aku ini umpan, kan?
“Siapa yang melarang?” Jeha bertanya dengan nada menantang.
Saat aku hanya mengedikkan bahu, dia cuma bisa menghela napas. Dia lalu mengambil ponselku dan mulai menyibukkan jari pada layar, akhirnya dia luluh juga. Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya untuk melihat prosesnya. Tetapi bukan aplikasi hantu itu yang tampil di layar ponselku, melainkan tampilan Google Map.
“I thought you’re removing the app.”
“Who said that I wanted to?” Aku segera merebut ponselku kerena kesal, namun dia menahannya. Aku memelototinya. “Aku memasang aplikasi yang sama, jadi kamu bisa melihat di mana saja aku berada.”
Aku tertegun menatapnya. Alih-alih menghapusnya, kenapa dia malah memasangkan aplikasi ke ponselnya juga? Seputus asanyakah dia sampai menempatkan diri agar aku bisa mengawasinya asal aku tidak menghapus aplikasi itu? Dia benar-benar peduli padaku atau ini hanya caranya yang lain untuk mengontrolku?
“Why?” Aku menatapnya curiga.
Dia mengedikkan bahu. “Kamu bilang nggak adil karena cuma kamu yang merasa ‘dimata-matai’.”
Aku masih menatapnya skeptis.
“Lagipula aku nggak punya apa pun untuk disembunyikan.”
Dia menatapku dengan tatapan penuh maksud. Menyindir?
“Aku juga nggak punya apa pun yang disembunyikan,” ujarku membela diri.
Dia malah memutar bola matanya.
_________*
Salam,
Jealouc💕
2903'16
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top