10. From the two other side
JEHA
____
“MAU ke mana kamu?” tanya om Dirga ketika aku mulai berdiri hendak keluar setelah Terre menutup pintu. “Duduk. Om belum selesai.”
Aku menurutinya. “Kalau belum selesai, kenapa Terre dibiarin keluar?” Pandangan mataku menemukan kertas yang tadi ditulis Terre. Aku menghela napas dan kembali bangkit berdiri. “Dengar, Om, kalau ini soal J.H ini dan Jeha itu—”
Om Dirga mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Om nggak peduli, itu urusanmu,” ujarnya memotong omonganku.
Aku menghela napas, perasaanku terpecah antara lega karena om Dirga tidak mengonfrontasiku dan kecewa karena aku tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa aku melakukannya.
Om Dirga mengeluarkan plastik barang bukti lain berisi kertas merah lalu meletakkannya di hadapanku untuk kulihat. Detik ketika mataku menemukan tulisan di atas kertas itu dan membacanya, hawa dingin langsung mengalir membekukan darahku.
For my Terre and the job you’ve done but failed to finish.
-Mr. Roseman.
“Who the hell is Mr. Roseman? And what job?” tanyaku beruntun.
Aku mengambil foto lain yang tadi aku lihat, gambar gulungan uang yang mengintip dari saku celana korban; kalau Mr. Roseman seorang klien dan Landis gagal menyelesaikan misi. Gulungan uang itu mengeliminasi dugaan kalau Landis dibunuh karena Mr. Roseman menolak membayar.
“No idea.” Om Dirga menatapku dengan penuh keseriusan. Rasanya aku bisa melihat roda di dalam otaknya sedang berputar dengan kekuatan penuh. “Mungkin kamu bisa memanfaatkan peranmu yang satu lagi untuk mendapat jawaban dari Terre?”
“Kenapa Om nggak memperlihatkan ini dari tadi dan menanyakan langsung pada orangnya?”
Om Dirga melihatku seperti aku orang bodoh. “Nggak lihat tadi posturnya defensive gitu? Dia nggak akan buka mulut.”
“Kalau Om ngasih lihat foto ini juga paling nanti dia berubah pikiran. Ada namanya di situ.” Apalagi mengingat bagaimana raut wajahnya saat melirik foto keseluruhan TKP sesaat sebelum dia meminta keluar.
Dia memandangku lama dengan ekspresi datarnya. “Lupa. Haha.”
Sekarang aku yang memandangnya datar. Detektif macam apa? Bisa-bisanya melupakan hal sepenting itu. “Tell me again, why are you qualified as a homecide detective?”
“Nggak, sih, nggak lupa. Sebenernya Om mau memastikan kalau kamu bukan Mr. Roseman aja.”
Aku memandangnya dengan mulut terbuka dan ekspresi tidak percaya. “Don’t you know me at all?!” seruku kesal. “I don’t even like roses. I would never use it as a name. Wah. Mama bakal sangat kecewa kalau tahu keponakannya berpikir seperti itu tentang anak kesayangannya.”
Dia malah nyengir. “Nggak dari awal, hanya setelah tahu kalau ‘Jeha’ adalah pacarnya ....” Dia mengedikkan bahu tanpa menyelesaikan kalimatnya.
Tanpa meminta izin, aku mengantongi plastik berisi barang bukti itu lalu berlari keluar mencari Terre, mengabaikan teriakan protes Om Dirga.
Aku menemukannya sedang menapaki anak tangga terakhir di bawah. “Terre, tunggu!” Kata-kata yang salah karena dia justru lari. Sialan.
Aku menangkapnya tepat sebelum dia mencapai pintu, lalu menariknya menepi. Dia memberontak, tentu saja, tetapi genggamanku pada tangannya tetap kuat. Aku baru melepaskannya saat sudah memojokkannya di tempat sepi. Dan seperti yang sudah kuduga, dia langsung mencoba melarikan diri.
“For God’s sake, stand still,” kataku kesal. “Lo selalu melarikan diri kalau ada gue. Emangnya lo pikir gue mau ngapain lo, hah?”
Aku tidak mengerti cewek ini. Entah apa masalahnya, tetapi dia seperti tidak pernah tahan lama-lama satu ruangan denganku. Aku tahu dia tidak menyukaiku, dia sudah menegaskannya sejak pertemuan pertama di sebuah Meet and Greet dengan TLBs, tapi dia tidak perlu bereaksi berlebihan begitu, kan?
“Oh, entah, yah. Mungkin hal yang sama seperti yang lo lakuin waktu terakhir kali gue kejebak sama lo.” Dia memelototiku.
“Maksud lo waktu kita di dalam lift cuma berdua itu?” Aku menyeringai. “Apa mesti gue ingetin kalau lo yang nyosor duluan?”
Aku masih bertanya-tanya bagaimana mungkin dia tidak mengingatku setiap kali dia mencium Jeha. Dan itu sangat sering. Yah, tapi mungkin seharusnya aku tidak heran sama sekali mengingat dia bukan fans terbesarku. Dia tidak akan menghubung-hubungkan sesuatu denganku hanya karena sesuatu itu terasa familier.
“I was drunk. If you’re so much as a gentleman, you wouldn’t ... wouldn’t ...” Dia berhenti.
“Kiss you back?” kataku, menawarkan kata-kata untuk melengkapi kalimatnya.
Dia memelototiku dan semakin terlihat galak. “Lo nggak bakal ngelakuin apa yang udah lo lakuin, dasar berengsek.”
“Hei, gue cowok normal. Nggak mungkin gue melepas kesempatan waktu dicium cewek cantik kayak lo.”
“Tuh, kan. Berengsek.”
Dia berusaha memutari badanku untuk pergi, aku segera meraih pinggangnya, memaksanya berjalan mundur sampai punggungnya menempel dinding dan aku mengimpitnya agar dia tetap di tempat.
“Nggak usah sok sebel gitu. Gue tahu lo menikmatinya juga.” Jariku menelusuri lengannya dengan sentuhan bulu yang hampir tak terasa.
“You’re so touchy,” katanya, sambil mendorong dadaku. Dia terdiam, dahinya berkerut memandangi dadaku, sementara aku memandangi bibirnya.
Okay. This is not the time and we’re in police station.
Aku mundur satu langkah memberinya ruang atau lebih tepatnya memberiku ruang. Kalau aku tetap mengimpitnnya, mungkin kali ini aku yang akan menyosornya lebih dulu.
“Siapa Mr. Roseman?” tanyaku kembali fokus dan memanfaatkan ketertegunannya.
“Just some guy.” Perhatiannya masih fokus pada kedua tangannya yang masih menempel pada dadaku.
Aku mundur satu langkah lagi, melepaskan kontak tangannya dengan badanku. Aku memerlukannya untuk tetap fokus. “Who is he?”
Dia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum memberiku tatapan sebal. “Gue nggak ngerti lo ngomongin apa.”
“Gue ngomongin soal orang yang kemungkinan adalah seorang pembunuh yang kenal sama lo dan sepertinya lo juga kenal sama dia.”
Ekspresi keras kepala yang sudah mulai sangat aku kenal itu masih terpakai di wajahnya.
“Siapa dia?”
Dia mengedikkan bahu. “Seperti yang gue bilang tadi, gue nggak ngerti lo ngomongin apaan.”
Kali ini saat dia berusaha pergi, aku mengeluarkan kantung barang bukti dan menunjukan tepat di depan wajahnya. Awalnya dia terlihat kesal dan hendak menyingkirkan benda itu dari depan wajahnya, tapi saat aku mengimbangi kekeras kepalaannya dengan keras kepalaku sendiri, dia akhirnya mengarahkan perhatiannya pada benda di tanganku.
Seandainya aku tidak menatapnya lekat-lekat dengan mataku sendiri, aku akan mengira dia tidak membaca tulisan di dalam kertas barang bukti itu. Aku heran bagaimana raut wajah dan postur tubuhnya tidak berubah sama sekali.
“So?”
Bahkan suaranya biasa saja, tidak ada tanda-tanda ketakutan atau goyah di sana. Dan dia malah bertanya ‘So?’
“Apa maksud lo dengan ‘So’? Orang yang lo kenal membunuh seseorang. Apa itu nggak bikin lo khawatir atau takut?”
Dia menghela napas. “Bukannya gue setuju dengan tindakan bunuh-membunuh, yah, tapi negara dan khususnya lo, nggak dirugikan karena kematian Landis, bukan? Seseorang yang menyerang perempuan di tengah gelapnya malam bukankah bagusnya memang dihilangkan?”
Aku menghela napas berusaha mengontrol emosiku. “Bagaimana kalau kita mengesampingkan kontribusi Mr. Roseman terhadap keamanan masyarakat dan lebih fokus pada kemungkinan kalau dia membunuh karena disuruh lo aja?”
“Enak aja nuduh orang!”
“Dan kenyataan bahwa lo melindungi identitasnya malah semakin membuktikannya,” lanjutku.
Dia memutar bola matanya. “Kalau mau main detektif-detektifan nggak usah bawa-bawa gue, deh. Gue nggak tertarik main sama lo.”
Kalau dia bukan cewek, aku sudah memukul kepalanya berkali-kali dari tadi.
“Bagaimana kalau kita melanjutkan percakapan kalian di kantor saya saja?” kata om Dirga yang tiba-tiba muncul. Pertanyaannya bukan sesuatu yang mengharapkan jawaban. Dari nada tegasnya, pertanyaan itu adalah sebuah usulan yang mau-tidak mau harus kami ikuti. Om Dirga kemudian merebut plastik barang bukti di tanganku. “Saya bisa menangkapmu karena berusaha menghilangkan barang bukti,” katanya padaku. Dia beralih ke Terre. “Dan saya bisa menangkapmu karena menghalangi penyelidikan kasus pembunuhan. Atau yang lebih buruk lagi, saya bisa menangkapku karena kamu bersekongkol dengan pembunuh.”
Terre melongo memandang om Dirga. “Bapak tentu tidak serius percaya omongan si berengsek ini tadi,” ujarnya kesal sambil menunjuk wajahku.
Aku menyingkirkan tangannya dari wajahku lalu menyeringai mengejeknya. Dia semakin terlihat kesal.
“Apakah maksudmu saya adalah detektif bodoh sampai harus meniru pemikiran seorang artis yang masih anak ingusan?” ujar om Dirga dengan nada tersinggung yang sangat meyakinkan.
Aku akan memuji aktingnya yang luar biasa itu kalau saja aku sedang tidak kesal dan ingin menantangnya berkelahi karena mengejekku hanya untuk mendapatkan sedikit kepercayaan Terre. Aku memutar bola mataku saat Terre menyeringai dan mendengkus mengejekku. Om Dirga mengisyaratkan Terre agar berjalan lebih dulu. Setelah menepuk punggungku dengan tenaga berlebihan yang membuatku mengernyit, om Dirga kemudian mendorongku mengikuti Terre.
“Good job,” bisiknya saat Terre sudah jauh menaiki tangga.
Aku cuma memutar bola mata sebelum dia berjalan mendahuluiku dan menggiring Terre menuju ruangannya.
***
“JADI, siapa si Mr. Roseman ini?” tanya om Dirga begitu kami duduk di sofa panjang di hadapannya.
Terre menghela napas. “Seseorang yang suka mengirimi saya notes dan mawar,” ujarnya dengan nada malas. Om Dirga menatapnya, menunggu kelanjutan dari penjelasan yang pendek itu. “Sejak kelas sepuluh,” lanjut Terre. “Tapi saya tidak tau identitas aslinya. Mr. Roseman adalah nama yang diberikan saya dan teman-teman padanya.” Lalu dengan nada meragu dan lirikan was-was padaku dan om Dirga, dia menambahkan, “Dan sepertinya dia punya akses ke rumah dan mungkin kamar saya juga.”
Di dalam ruangan luas yang memang hanya ada kami bertiga, suasana menjadi begitu sunyi. Hanya suara dengungan air conditioner yang terdengar sebelum om Dirga menggeram dan mengeluarkan sumpah serapah sementara aku memandang gadis di depanku ini dengan begitu banyak kekesalan dan tanganku gatal ingin melakukan sesuatu padanya.
“I really wanted to strangle you right now,” geramku dengan rahang terkatup rapat dan kedua tangan terulur ke lehernya. Dia menangkis tanganku dengan kasar, tentu saja.
“Kamu tentu sadar, kan, apa artinya ini?” tanya om Dirga.
Terre menggerak-gerakkan badannya ke depan dan ke belakang. “Bahwa kemungkinan besar dia adalah orang yang saya kenal?”
“For a smart girl, you’re so stupid sometimes.”
Dia memicingkan matanya padaku, lalu sedetik kemudian ujung sepatunya sudah mengenai tulang betisku. “Apa kita sangat membutuhkannya sampai dia harus ada di sini? Saya sangat tidak suka dia ada di sini.”
“Iya. Dia harus tahu hukuman karena mencuri barang bukti.” Dia mengibaskan tangannya tak acuh sebelum memfokuskan perhatiannya pada Terre sepenuhnya. “Apa tidak terpikirkan olehmu kalau dia terlalu dekat dan mungkin berbahaya jadi harus dilaporkan ke polisi?”
Cewek itu masih mempunyai keberanian untuk mengedikkan bahu. “Sudah hampir tiga tahun dan dia tidak pernah melukai saya. Saya hanya menganggapnya orang creepy kurang kerjaan yang memberikan bunga sana-sini.”
“He has access to your room, for God sake! It’s violating your privacy.”
Now that I think about it, bukan satu atau dua kali aku menemukannya tidur di UKS bersama mawar, entah mawar itu ada di dalam genggamannya atau tergeletak di atas bantal di samping kepalanya. Bagaimana kalau dia sedang tidur di kamarnya sendiri dan si berengsek itu masuk kemudian melakukan sesuatu padanya?
Ingatanku kembali ke kejadian di UKS tadi pagi. Tidak terlewat olehku bagaimana reaksinya ketika tiba-tiba aku membalik posisi tubuh kami, membuatnya berada di bawah dan aku menindihnya. Raut wajah ngeri dan mata yang menerawang entah ke mana serta postur tubuhnya yang tiba-tiba kaku bukanlah reaksi dari sebuah keterkejutan karena tindakanku yang mengagetkannya. There’s something more than that.
Sesuatu, yang terasa seperti cairan empedu, tertahan di tenggorokanku, susah untuk ditelan dan isi perutku seperti dipelintir kepalan tangan es ketika aku membayangkan skenario terburuk.
“Penjarakan dia,” kataku pada om Dirga sambil menunjuk Terre dengan ibu jariku. “Dia sudah terbukti menutupi sesuatu yang diketahuinya sejak awal, tapi dia tidak mengatakannya pada Anda.”
Aku kembali mengalihkan perhatianku pada Terre yang sedang memandangku seperti aku orang gila. Lagipula mungkin dia akan lebih aman di dalam penjara. Kejudesan, kekeras kepalaan, dan sikap galaknya tidak akan membuatnya kalah dari napi wanita yang lainnya.
“Woah, otak lo pasti lebih bego dari dugaan gue sebelumnya!” Dia membalas tatapanku dengan intensitas kekesalan yang tidak ditahannya. “Apa gue udah bilang kalau gue nggak suka sama lo? Well, gue berubah pikiran. Gue benci banget sama lo.” Kepada om Dirga dia mengatakan, “Sumpah, saya tidak tahu siapa Mr. Roseman dan saya tidak pernah ingin mencari tahu.”
“Okay,” kata om Dirga sambil melemparkan tatapan memperingatkan padaku. “Apa ada seseorang yang kamu curigai? Seorang mantan mungkin?”
Aku mendengkus. “Yeah, mantanmu yang super banyak itu pasti membuat seorang mantan yang lain merasa kesal.” Aku berhenti menghitung berapa cowok yang dipacarinya kurang dari dua minggu saat dia sedang nemplok pada mantan nomor sembilan.
“Mantan-mantanku ....”
Well, setidaknya dia mencoba memikirkan kemungkinan itu. Yeah, walau sebaiknya tidak terlalu banyak berharap mengingat banyaknya cowok yang pernah dikencaninya. Aku tidak akan terkejut kalau dia tidak ingat siapa saja mereka.
“Nah.” Dia menggeleng. “Mantan-mantan saya terlalu bodoh untuk melakukan hal semacam ini. They’re mean-stupid, but not evil.”
Kali ini aku setuju dengan penilaiannya, tapi juga merasa kasihan pada orang-orang itu. Itu membuatku bertanya-tanya. “Kalau mereka bodoh dan mean-stupid, kenapa lo pacari juga sejak awal?”
“Bukan urusan lo,” ujarnya sambil mengibaskan tangan ke arahku.
Aku memutar bola mata.
“Oke. Bagaimana dengan pacarmu yang sekarang?” tanya om Dirga. Perhatiannya fokus pada Terre, mengabaikan tatapan tajamku sepenuhnya. “Apa menurutmu dia mampu melakukan hal ini? Melihat wajah pacarnya yang cantik babak belur tentu membuat seorang cowok yang bangga menjadi marah.”
Aku melirik Terre.
“Hm ... kalau ditanya dia mampu atau tidak ...,” dia mengedikkan bahu, “mungkin dia mampu, ditambah lagi dia pintar. Tapi, saya rasa dia terlalu pintar untuk melakukan hal bodoh seperti ini.”
“Thank you!” seruku sebelum bisa kutahan.
Dia melirikku. “Ngapain lo berterima kasih?”
“Gue nggak berterima kasih sama lo. Gue berterima kasih pada Tuhan karena setidaknya Dia masih ngasih lo hati yang belum beku sepenuhnya.” Dia memandangiku penuh skeptis.
Om Dirga menyita kembali perhatian Terre, menyuruhnya menuliskan nama mantan-mantannya dan siapa saja yang punya akses ke dalam rumahnya tanpa dipertanyakan orang lain. Aku sendiri juga mencari-cari kira-kira siapa orang di sekolah yang nampak mencurigakan di sekitarnya.
“Jangan lupa gengnya Adam,” usulku, mengingat bagaimana kelakuan geng itu dan sikap Adam sendiri terhadap adik tirinya ini. Saat Terre menoleh padaku dengan tatapan aneh dan curiga, aku baru menyadari keeroranku.
“Bagaimana lo kenal Adam?” tanyanya sambil menyerahkan daftar itu pada Om Dirga.
Bagaimana aku kenal Adam? Bagaimana, yah?
Ah!
“Sama-sama pelanggan di bengkel mobil yang sama,” jawabku mengingat aku pernah melihat si pem-bully itu di Kitchen Setter.
Keraguan dari tatapan matanya saat melihatku menandakan dia tidak puas dengan jawabanku, tapi sepertinya dia tidak tertarik lebih jauh karena dia malah memutar bola matanya.
‘Diskusi’ berlanjut dengan om Dirga menanyakan bagaimana sifat mantan-mantan Terre satu demi satu, yang ternyata ada 24. Great. Jadi aku adalah calon mantan yang ke-25. Entah aku harus merasakan bagaimana mengetahui tentang hal itu.
“Wow. Lo inget semua nama mantan lo. Mereka pasti meninggalkan kesan yang sangat luar biasa.”
Terre memilih mengabaikanku dan mengikuti Hanso—partner om Dirga—keluar ruangan untuk mengambil sampel sidik jari. Karena dia melakukannya lebih dulu, dia pun selesai terlebih dahulu. Ketika aku selesai, aku tidak menemukannya di mana pun. Sambil berlari menuju kamar mandi di lantai satu di mana aku menyimpan ranselku, aku menghubunginya. Aku bisa saja mengejarnya dan mengantarnya pulang langsung sebagai J.H, tetapi nanti aku tidak bisa melakukan apa yang bisa Jeha lakukan.
“Di mana?” tanyaku segera begitu dia menjawab panggilanku.
“Hallo to you too, Beb.”
“Di mana?” tanyaku lagi mengabaikan sindirannya. Masuk ke dalam salah satu kubikel dan menguncinya, aku kemudian segera berganti baju.
Aku mendengarnya menghela napas. “Di halte dekat kantor polisi.”
“Ngapain pergi ke halte? Aku sudah bilang nanti aku jemput, kan?”
“Loh, kamu belum pulang?”
“Nggak lihat mobilku masih di parkiran kantor polisi?” Mengenakan celana sembari berbicara pada ponsel yang aku apit di antara bahu dan telingaku bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang. Apalagi di dalam kubikel toilet yang sempit. Bah.
“Aku di dalam lama banget, kirain kamu udah pulang duluan.”
“Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana. Bentar lagi aku keluar.” Memasukan jeans dan jaket merahku ke dalam ransel, aku kemudian membuka pintu.
“Emang kamu ada di mana?”
“Di dalam toilet kantor polisi,” jawabku sembari memakai kacamata lalu menata rambutku sebelum keluar.
“Ck. Harusnya kamu nggak usah nungguin. Sampai kebelet gitu saking lamanya nunggu. Untung aja nggak ngompol di celana. Eh, wait, mungkin sebaiknya kamu ngompol di celana, jadi aku bakal punya alat untuk mengejekmu seumur hidup.”
“Sorry aja, nih, yah. Aku nggak bakal ngasih kamu kepuasan semacam itu.”
“Hey, it’ll be a good-embarassing memory when you’re old.”
Tidak melihat Terre saat keluar gedung, aku segera ke mobil dan membuka bagasi mobil lalu melemparkan ranselku ke sudut terjauh. “No, thanks. I’ve had many enough good-embarassing memory. I have no intention to adding it more anytime soon.”
“Ck. Payah.” Klik. Tuttut.
Mengeluarkan mobil dari parkiran, aku langsung menuju halte di mana Terre duduk di bangku sendirian dengan ekspresi wajah yang lelah. Terbiasa dengan Terre yang judes dan agresif, melihatnya yang nampak lemah begitu memunculkan perasaan yang tidak aku inginkan. Dia langsung berdiri kemudian mendekati mobilku sebelum membuka pintu dan menjatuhkan diri pada kursi di sampingku diiringi helaan napas panjang.
“Long day?”
“Hm,” gumamnya, memejamkan mata lalu menyandarkan kepalanya ke jendela mobil.
“Apa kata detektif Ambrose?” tanyaku, memancing pengetahuan dari mulutnya agar aku tidak kembali eror kalau-kalau nanti aku keceplosan. Karena Jeha tidak semestinya mengetahui apa yang J.H ketahui, bukan?
“Nggak ngomong apa-apa,” jawabnya mengguman.
“Kalau nggak ngomong apa-apa kenapa lama banget di dalam?”
Dia langsung terduduk tegak. “You know what? I don’t want to talk about it. Lets go eat. I’m so soooo hungry, I could eat a buffalow alone.”
Aku menghela napas dan menuruti saja dia mau makan di mana. Aku akan menanyakannya lagi besok saja. Dia sudah cukup tertekan hari ini.
***
“AKU nggak pengen pulang,” keluhnya saat aku mematikan mesin mobil di depan rumahnya.
Yah. Kalau aku jadi kamu juga aku tidak ingin pulang setelah mengetahui ada penguntit gila yang mengikuti sampai ke dalam rumah.
“Mau bermalam di rumah Tantemu aja?” tanyaku, siap menyalakan mesin mobil lagi.
“Daripada di sana aku mending tidur di rumah ini, deh,” ujarnya sambil membuka pintu. Aku mengikutinya turun.
Menghabiskan banyak waktu di rumahku saat abang-abangku masih di Jakarta memberiku pengetahuan sedikit tentang hubungannya dengan Tante Malanya. Mereka tidak mempunyai hubungan yang baik atau lebih tepatnya Terre tidak mau mempunyai hubungan yang lebih baik dengan adik ibunya.
“Aku nggak akan mengajakmu masuk,” ujarnya, mengamatiku yang ikut turun dan memutari bumper depan mobil mendekatinya.
“That’s okay.”
Aku meraih pinggang dan tengkuknya begitu aku berada di depannya, menyentakkan tubuhnya agar merapat padaku sebelum menciumnya dengan tiba-tiba. Suara terkejutnya teredam oleh mulutku sebelum sempat dia keluarkan.
“Okay. What was that for?” tanyanya begitu aku melepaskan mulutnya.
“Kamu pikir cuma kamu yang bisa dan dibolehin main cium tiba-tiba?”
“Well, no. But—”
Aku menciumnya. Kali ini lebih dalam dan lama dari sebelumnya.
“Okay, that’s different from before. Seriously, what was those for?”
“Bukannya kamu suka, yah, kalau aku cium?” Aku memeluknya, menghindarkan wajahku dari pengamatan. Mataku kemudian mulai mencari-cari sosok atau bayangan yang mungkin mengamati kami.
“Iya, sih. Tapi terasa aneh kalau kamu yang berinisiatif pertama. Berasa bukan Jeha.”
“Aku mau mengambil alih dan ikut berpartisipasi dalam hubungan ini,” kataku masih mengamati ke sekelilingku. Lingkungan perumahan elit yang terlalu sepi.
Dia menjauhkan wajahnya dariku lalu memandangku dengan kedua alisnya terangkat. “Jadi ciuman tadi maksudnya prosesi pengambilan alih gitu?” tanyanya dengan wajah geli.
“Nah,” aku menggeleng, “yang pertama buat ngebalas kamu yang suka mencuri rasa bibirku. Kalau yang kedua, sih, aku cuma mau mencium kamu aja.”
“Oh, begitu?” Dia menikmati kelakar semacam ini.
Aku mengangguk.
“Bagaimana kalau aku menolak penyerahan kendali?”
“Itu nggak akan berakhir baik buat kamu.”
Aku kembali mengklaim bibirnya. Sementara perhatiannya fokus pada ciumanku, tanganku merogoh saku blazernya untuk mengambil ponselnya. Aku melepaskannya setelah beberapa saat. Matanya tidak fokus dan aku punya kepuasan tersendiri karena bisa membuatnya seperti itu sekali-kali. Saat matanya mulai fokus, perhatiannya langsung menemukan tanganku yang sedang memegang ponselnya. Dia langsung berusaha menjangkaunya, aku segera menjauhkannya.
“Aku bisa beli HP baru kalau kamu menyandera yang itu.” Dia menjulurkan lidahnya.
“Siapa bilang aku mau menyanderanya?” kataku. Aku melepaskan pinggangnya, melangkah menjauh, kemudian mulai mengotak-atik ponselnya.
“If it’s not that, what are you doing with my phone then?” Dia mendatangiku, berusaha merebut ponselnya lagi, tapi aku kembali mejauhkannya.
“Mengirim aplikasi pelacak ke HP-mu,” jawabku sembari mengeluarkan ponselku sendiri.
“Aplikasi pela—” Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, dia lebih tertarik merebut ponsel miliknya dari tanganku. Tentu saja aku tidak membuat itu mudah untuknya. “Give my phone back, you asshole!”
“Bentar. Satu langkah lagi,” kataku sembari terus menjauhkan ponsel dari jangkauannya. Dia mulai menaiki punggungku.
“Josh!” teriaknya tepat di depan telingaku. “Balikin HP-ku nggak?”
Aku menyelesaikan langkah terakhir untuk mengaktifkan aplikasi itu kemudian membiarkannya merebut ponselnya kembali. Mungkin seharusnya aku menurunkannya dulu dari punggungku dan menjauh, jadi dia tidak akan bisa memukul kepalaku dengan ponselnya.
“That hurts.”
“And you crossed the line,” geramnya, mulai memeriksa ponselnya. Dia tidak akan menemukannya. “Di mana aplikasinya?”
Aku mengedikkan bahu.
“Hapus.” Dia menyodokkan ponselnya ke wajahku. Aku menggeleng. “Apa ini cara kamu mengambil alih? Dengan memasang pelacak di ponselku, jadi kamu bisa mengontrol ke mana aku pergi?” Dia memandangku kesal.
“Nggak gitu. Bukan buat protes atau nyuruh kamu pergi dari suatu tempat. Aku cuma perlu tahu kamu ada di mana.”
“Itu masih tetap menganggu privasiku, berengsek.”
“Jadi, apa kamu lebih suka aku meneleponmu setiap saat cuma buat tahu kamu sedang di mana?” Dia memelototiku.
Tidak peduli walau aku sudah memasang senyum polos dan manis untuknya, wajahnya tetap terlihat kesal dan mulutnya seperti gatal ingin menggigitku.
“Aku nggak tahu kalau kamu punya kepribadian control-freak juga.” Dia mengamatiku penuh selidik, menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus pada ponselnya.
“Aku memang jenis pacar semacam itu, tahu?” Dia melirikku dengan memicingkan matanya. “Aku memberimu ‘kuasa’ selama ini karena mengingat MO-mu yang seharusnya nggak lebih dari dua minggu. Sekarang sudah lebih dari dua minggu, aku memutuskan untuk menunjukan siapa diriku.”
“Jeez. I can’t believe this.” Dia bergumam. “I surrounding myself with crazy people.”
Aku melipat lenganku di depan dada dan menatapnya. “Kenapa? Menyesal udah pacaran denganku? Mau putus?”
Untuk sejenak dia menatapku datar sebelum tawa tanpa humor tiba-tiba keluar dari mulutnya. “Jadi itu rencana kamu? Mau aku memutuskanmu?” Dia kembali tertawa hambar, namun segera berhenti dan digantikan dengan pelototan mata. “Jangan harap!” teriaknya, sebelum memutar badannya dan berjalan menuju rumah.
Diremehkan dan dia akan menantang. Aku menyembunyikan senyumku.
“Hey, Beb?” Dia menoleh tapi tidak berhenti berjalan. “No goodnight kiss?”
Aku cuma diberinya acungan jari jengah.
***
MR. ROSEMAN
AKU pikir aku akan melihat wajah bahagia dan senyum lebar di wajahnya lalu memberiku pelukan atau ciuman sebagai tanda apresiasi setelah mengetahui apa yang sudah aku lakukan untuknya. Aku tidak menduga aku malah melihat wajah kusut dan mulut yang tidak berhenti menggerutu.
Aku tidak melakukan kesalahan. Melenyapkan Landis adalah tindakan benar yang aku lakukan setelah si berengsek itu gagal mengirimnya ke surga untukku, jadi aku bisa menyusulnya nanti. Alih-alih mengirimnya ke surga tanpa rasa sakit, si berengsek Landis malah membuat wajah Terre-ku babak belur, membuatnya menjadi bahan ejekan dan tawaan di sekolah serta media sosial. Landis sialan.
“Hei, Terre!” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memanggil namanya. Nama yang begitu indah saat keluar dari mulutku. Dia menoleh. “Wanna join us?”
Dia berhenti, melongok ke dalam kamar lalu mengernyit jijik. Aku tidak menyalahkannya. Memenuhi kamar dengan asap, rokok, kokain dan wanita bayaran tanpa sehelai baju pun memang bukan pemandangan yang enak untuk dilihat.
“You guys are pigs,” komennya.
“Shut-up, Sister,” geram Adam dengan suara yang sudah tidak jelas. Satu-satunya kesempatan Adam mengakui Terre sebagai adiknya adalah saat dia sedang high.
Kalau bukan karena bantuannya yang tanpa sadar menyingkirkan pacar-pacar Terre terdahulu, sudah lama aku melenyapkan orang ini.
Terre memutar bola matanya sebelum melangkah pergi.
“Hey, we still have plenty of these!” Aku mengacungkan bungkusan-bungkusan kecil.
“No, thanks.” Dia bahkan menjawabnya dengan malas dan tanpa menoleh lagi padaku.
Apa yang sudah aku lakukan? Aku yakin sudah melakukannya dengan benar, aku bahkan meninggalkan catatan di tempat aku membuang Landis. Aku ingin mengejarnya, menanyakan kenapa dia bersikap seperti itu padaku, tapi aku sendiri juga sedang high. Aku bisa hilang kendali kalau mengejarnya dalam keadaan seperti ini.
Ah. Persetan dengan kendali.
Aku bangun dengan susah payah karena lantai yang kuinjak tidak berhenti bergoyang. Setelah berhasil berdiri, aku keluar kamar untuk mengikutinya. Aku berhasil mengejarnya saat dia sedang menaiki tangga menuju kamarnya, sambil berbicara di telepon dengan si Yeti. Aku tidak menyukai caranya berbicara dengan si Yeti.
Ngomong-ngomong soal si Yeti, bukankah dia sudah terlalu lama di samping Terre? Waktu mereka bersama harusnya sudah habis.
Mungkin aku harus melakukan sesuatu.
Salam,
Jealoucy.
[ first pub, 2203'16]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top