4. Bukan Honeymoon!

"Jam tiga sore ini kalian berangkat." Sang ayah memberitahu.

"Pa, aku harus kerja."

"Kan bisa minta cuti dulu. Apalagi kamu baru aja menikah. Butuh waktu untuk berdua."

"Nggak, Pa. Akan lebih baik kalau aku kerja dua puluh empat jam daripada harus bulan ... Arghh! Ngomongnya aja bikin aku mau muntah, Pa." Misca memijat kepalanya yang terasa sedikit pening, harus memikirkan tentang hal ini.

"Kemasi pakaianmu. Sekarang!" pinta Herman. Jika sudah begini Misca tidak akan lagi bisa menolaknya.

"Tapi, Pa ...."

"Atau kamu mau pulang ke Bandung dan melanjutkan S2?"

Otak Misca kembali seperti ada arus listrik yang korslet di dalamnya. Dia sudah capek untuk mendengarkan dosen menjelaskan materi yang sama sekali tidak dia pahami.

"Yaudah, aku nurutin apa yang Papa mau. Kali ini aja."

Misca berdiri dari tempat duduknya, mengambil koper yang dia letakkan di atas lemari. Lalu mulai memilih pakaian mana yang akan dibawanya sore ini.

Di kamar sebelah, Glory sedang melakukan hal yang sama. Memilih pakaian yang akan dibawanya berlibur di Bali. Resleting itu hampir menutup, tetapi dering ponsel mengalihkan fokusnya.

_ Papi sudah kirim uang untuk kebutuhan kamu dan istrimu. Sore ini Papi harus pergi ke Malaysia untuk pembukaan vila disana _

Pesan singkat itu ternyata berhasil membuat senyuman di wajah Glory kembali setelah hampir dua belas jam murung karena pernikahan mendadak ini.

"Sekarang gue harus nyari ikan Hiu."

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Benar-benar tidak masuk akal. Semua yang terjadi seakan-akan seperti permainan dalam sebuah drama. Kini Misca benar-benar harus pergi ke pulau Bali, karena orang tuanya sudah membelikan dua tiket kelas eksklusif untuk dirinya dan sang suami dadakan.

Selama perjalanan keduanya benar-benar bungkam, baik Misca maupun Glory. Bukan hanya Misca yang tidak suka terhadap pernikahan ini, Glory pun merasakan hal yang sama.

Apalagi dirinya masih diberatkan tugas akhir yang cukup rumit. Dan pernikahan ini menurutnya adalah ketidaksengajaan yang sangat menyebalkan.

Glory melirik perempuan di sebelahnya yang tengah asik mendengarkan musik menggunakan earphone berwarna pink, jangan lupakan ponsel pintar yang juga berwarna khas perempuan itu. Dengan kacamata hitam besar yang menutup area matanya, bisa dijadikan sebagai peringatan bahwa dirinya tidak ingin diganggu.

"Caca? Lo tidur?" tanya Glory hati-hati.

Misca menurunkan kacamatanya sampai pada bagian ujung hidungnya yang mancung, dilepasnya earphone sebelah kiri. Dengan tatapan tajam, Misca berkata tegas.

"Tadi pagi, lo masih hafal menyebutkan nama gue saat ijab kabul. Kenapa sekarang jadi amnesia?"

Glory menarik kedua ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang terlihat sangat dipaksakan.

"Ikan hiu ...." Glory menelan ludah saat matanya bertatapan lulus dengan netra tajam Misca. "Lo gak beneran minta gue beli ikan hiu, kan?"

"Menurut lo?" desis Misca malas.

"Gue yakin itu cuma akal-akalan lo aja, supaya kita nggak benar-benar menikah."

Sial! Rupanya Glory memang bisa membaca pikiran orang lain. Kenapa bisa dia berpikir secerdas itu juga. Namun, Misca unggul dibandingkan Glory, karena sang istri tidak berpikir menggunakan otaknya. Tetap akal diluar nalarnya.

"Lo keren bisa berpikiran kayak gitu. Tapi gue beneran minta Hiu."

"Pulang dari Bali, gue harap bayi Hiu yang lucu, imut, dan gemesin udah ada di kosan gue."

"Stres nih orang! Mana ada anak Hiu gemesin. Digigit Hiu tau rasa lo!" gumam Glory tanpa suara.

"Nggak usah ngatain gue stres, karna sejak malam itu gue emang benar-benar stres bahkan nyaris depresi," ucap Misca.

Perempuan itu kembali memakai kacamatanya. Suara kecil terdengar sayu di telinga, mengalun dari bibir mungil milik Misca. Cukup merdu kalau hanya sekedar untuk menyanyikan anak Hiu saat hendak tertidur.

***

Pasangan suami istri yang baru saja menikah tadi pagi, kini telah tiba di pantai Melasti, salah satu pantai tercantik di pulau Bali. Sudah pukul enam sore, perjalanan yang memakan waktu dua jam di pesawat dan kurang lebih tiga puluh menit menggunakan mobil, membuat pasutri baru ini sedikit merasa lelah.

Setibanya di pantai Melasti, mereka masih harus berjalan kaki menuju sebuah hotel yang juga sudah dipesankan oleh orang tuanya.

"Bantuin gue dong!" titah Misca yng masih heboh dengan koper miliknya.

"Tangan gue cuma dua."

Misca memasang wajah cemberut. Pipi yang dibulatkan, bibir yang mengerucut seperti bokong ayam, dan kaki yang di hentakkan seolah dia memiliki kekuatan yang bisa membuat tanah bergoyang.

"Susah bawanya. Berat!"

"Lo nggak perlu ngangkat ini koper. Tinggal ditarik aja. Apa susahnya, sih?"

"Dengar ya, meskipun kita nikah tanpa cinta. Setidaknya lo bisa dong melihat gue sebagai perempuan yang harus dibantu," ucap Misca dengan nada memelas.

"Bawa sendiri, Caca!"

"Misca!"

"Nah, maksud gue itu." Glory membenarkan. "Cepetan. Udah gelap ini. Gue capek mau tidur."

"Lo bawain koper, atau gue guling-guling di atas pasir."

Glory berdesis. Itu hanya ancaman. Percayalah, itu hanya tipu daya seorang perempuan demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, Glory masih tidak menghiraukan ucapan Misca. Pria itu memilih beranjak sambil menarik koper miliknya.

"Gue duluan aja," kata Glory. Pria itu yakin bahwa perempuan yang kini sudah menjadi istrinya, tidak akan mungkin melakukan hal itu.

Tetapi siapa sangka, bahwa ....

"Haaaaa ... Bawain koper gue!"

Rengek Misca dengan teriakan yang bisa membuat siapa saja ingin meneriakinya kembali.

Glory menelan ludah. Benar-benar perempuan siluman Hiu.

Glory menoleh dan matanya membulat sempurna saat mengetahui bahwa misca benar-benar merengek sambil terduduk di atas pasir, dengan menghentakkan kakinya berulang kali.

"Woi!!! Benar-benar udah gila nih perempuan."

Misca tidak peduli, dia tetap melakukan aksinya.

"Bawain koper."

Tidak ada pilihan lain. Benar-benar tidak ada pilihan lain, selain mengutuk diri menjadi pasir demi bisa menghindari manusia setengah siluman ini.

Glory mulai meraih gagang koper milik Misca dan membawanya.

"Cepat bngun!"

Perempuan itu pun tersenyum miring. Misca bukannya tidak tahu malu. Tetapi membuat Glory muak dengannya adalah tujuan hidupnya saat ini.

Hotel di pesisir pantai Melasti, dengan konsep kamar seperti rumah. Jadi tidak perlu repot-repot naik turun tangga atau Menganti untuk naik lift lagi.

Kamar paling pojok adalah kamar yang akan mereka tempati. Rasanya Misca ingin memesan kamar sendiri agar tidak bermalam bersama Glory selama empat hari di Bali.

"Beneran ini?"

Glory melihat nomor pada kunci dan juga nomor yang berasa di samping kanan pintu, dan itu sama.

"Iya."

Pintu terbuka. Satu-satunya yang mereka lihat hanya sebuah kasur berukuran besar di tengah ruangan.

"Nggak salah, ini?" tanya Misca yang masih tidak menyangka.

Glory hanya menggeleng dengan mulut yang sedikit terbuka. Benar-benar diluar ekspektasi mereka.

"Oke, lo harus cari kamar sendiri!"

"Nanti kalau Papa Mama mertua telpon gimana?"

"Hah? Mertua?" Misca berdecih. "Gue yang dengernya aja mau muntah rasanya."

"Lagi pula, sejak kapan lo punya nomor orang tua gue?"

"Sejak semua penghuni kosan bilang sah tadi pagi."

Misca kembali berpikir, apakah orang tuanya sebahagia itu melihat anaknya menikah? Bahkan setelah mengetahui anaknya hamil diluar nikah?

Faktanya Misca masih belum bisa terima kalau dirinya menikah dengan orang yang bahkan tidak dia kenali.

"Jadi gimana?"

"Kalau gitu, gue yang akan cari kamar lain."

Misca mulai melangkah, tetapi lengannya tertahan oleh seseorang.

"Disini aja, Caca! Gue nggak akan ngapa-ngapain, kok. Gak nafsu gue sama pintu lemari."

Misca melotot tajam, mulutnya terbuka. "Maksud lo apa?"

"Disana ada cermin. Lo bisa ngaca! Badan lo tuh kayak pintu, lurus depan belakang."

"Penghinaan!"

"Itu fakta!" sahut Glory yang mulai merebahkan dirinya di atas kasur.

Misca hanya bisa menahan kesalnya dalam dada. Namun, melihat Glory sudah berbaring di atas kasur kembali membuat Misca kesal.

"Turun lo dari kasur ini!"

"Gue capek, Ca."

"Gue juga sama. Cepetan turun. Gue mau tidur!"

Glory menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. "Sini tidur bareng!"

Misca tersenyum miring. Perempuan itu menghampiri Glory, naik ke atas kasur dan duduk tepat di sebelah Glory.

"Najis," bisik Misca tepat di telinga Glory.

Glory yang sedang menutup mata pun mulai merasa akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Dan benar saja ....

Brukkkk!

"Istri sialan!"

☕☕☕

"Lo ngambil ikan koi gue, kan? Ngaku deh!"

Misca menggeleng cepat, pura-pura tidak tahu apa yang suaminya tanyakan itu. Ya, pura-pura. Karena sebetulnya Misca mengetahui semua hal yang terjadi di dalam rumah ini.

"Jangn bilang kalau lo goreng tuh ikan buat sarapan?"

"Bisa nggak sih, sekali aja nggak usah pegang barang-barang gue. Gue nggak pernah tuh mainin anak Hiu lo!"

Glory benar-benar kesal karena ikan koi miliknya hilang satu. Padahal ikan itu sangat berarti baginya.

"Justru itu, Glo. Karena Cimi laper, makanya gue kasihin aja ikan koi lo, buat Cimi."

"Hah?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top