2. Besok kawin, nih?
"Sial, sial! Kenapa gue lupa untuk naikin resleting, sih," gumam Glory dalam hati.
Glory berdehem kecil untuk menghilangkan ketegangan seraya menyisir rambut yang mulai panjang ke belakang. "Saya habis buang air kecil, Pak. Makanya lupa naikin resleting."
"Udah, Pak. Suruh kawin aja!" celetuk seorang gadis.
"Benar, tuh. Saya gamau tinggal disini, kalo ada yang berzina," sambung yang lain.
Mendengar hal itu Misca benar-benar tidak terima. "Kalian jangan malah bikin suasana tambah panas dong."
"Emang kejadiannya begitu!"
"Kenapa? Gak mampu sewa hotel, sampe harus berzina di kosan. Tepatnya di dalam kamar mandi haha."
"Kalian tuh, ya ...!"
"Sudah-sudah, kalian semua bubar. Glory dan Misca ikut ke rumah saya!" titah Pak Bambang.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Sudah hampir dini hari, tetapi Bu Rani dan suami masih mencoba untuk menghubungi orang tua Glory, sementara orang tua Misca sudah berangkat dari Bandung sejak tiga jam yang lalu. Mungkin sebentar lagi akan tiba.
"Mereka nggak akan datang, Bu," ucap Glory yang merasa lelah terus menerus melihat Bu Rani mondar-mandir kayak kucing yang berniat mencuri ikan di dapur.
Bu Rani menoleh, mereka semua sudah merasa sangat lelah dan ingin beristirahat, tetapi jika masalah ini tidak segera diselesaikan, para penghuni kosan mungkin akan menuntut penjelas kepada wanita itu.
"Kamu nggak punya keluarga lain yang bisa dihubungi?" tanya Bu Rani yang kini berdiri persis di depan Glory.
Glory menatap Bu Rani sekilas, lalu mulai mencari kontak keluarga yang mungkin bisa dihubungi. Padahal kediaman orang tua Glory hanya di Dekat pasar Senen, jarak yang tidak terlalu jauh dengan Bekasi.
"Ini nomor kakak saya, mungkin bisa dihubungi," ucap Glory seraya memberikan ponselnya pada Bu Rani.
Sang pemilik kosan pun dengan cepat segera menelpon nomor yang sudah diberikan Glory. Beberapa panggilan masih belum mendapat jawaban.
"Kalau nggak bisa, besok aja saya pulang," usul Glory. Karena dia sudah sangat lelah dan ingin segera memejamkan mata yang sudah mulai memerah seperti bara api yang mulai madam.
"Nggak bisa, Glo. Besok anak kosan pasti mempermasalahkan hal ini." Bu Rani kembali menolak usulan dari salah satu anak kosnya itu.
"Lagian kenapa, sih, kalian harus ngelakuin itu di kosan? Apa nggak bisa sewa hotel aja?" suara maskulin itu terdengar menggema dari arah dapur menuju ruang tamu.
Terlihat pria tua dengan sarung yang melilit di bawah perut buncitnya. Kumis tebal membuat pria itu terlihat sedikit menyeramkan.
"Saya nggak ngelakuin apa-apa, Pak Bambang!" tegas Glory. "Bapak kalau nggak percaya tanya aja sama ...." sambung Glory seraya menoleh ke sofa di sebelah tempatnya duduk.
Matanya membulat sempurna saat mengetahui bahwa Misca justru sedang tertidur dengan pulasnya, seolah malam ini tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.
Glory menghela napas panjang. Benar-benar tidak pernah menyangka kalau dirinya harus berada di situasi seperti ini. Tiga bulan tinggal di kosan ini, bahkan Glory jarang sekali berinteraksi dengan penghuni lainnya, termasuk Misca.
"Eh, bangun dong!" seru Glory seraya memukul pelan Misca dengan bantal sofa.
Perempuan itu tidak bergerak sama sekali. Mungkin sudah terlalu lelah hari ini.
Ponsel Glory bergetar, menandakan adanya sebuah panggilan masuk. Membaca nama yang tertera di layar ponsel membuat pikirannya mungkin sedikit lega, karena artinya masih ada yang peduli padanya.
Glory berdehem kecil seraya menghela napas. Bibirnya mulai bergerak menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya.
"Jadi, Mami bisa kan kesini? Glo minta tolong sama Mami dan Papi, kali ini aja."
"Mami akan ...."
"Cari masalah terus hidup kamu! Bisa nggak kalau kamu dengerin omongan Papi untuk membantu pekerjaan Papi!" belum selesai ibunya bicara, sudah dilanjutkan dengan ocehan dari sang suami.
Glory hanya terdiam saat mendengar keduanya justru malah bertengkar di seberang salurang telepon.
"Aku menghamili anak gadis orang, Pi, Mi. Tolong kalian kesini untuk menikahi aku besok!"
Sepasang suami istri di seberang telepon sana nampak terdiam mendengar ucapan anak bungsunya itu. Tidak hanya orang tua Glory, Bu Rani dan suami pun ikut terdiam. Pengakuan Glory yang tidak pernah terpikirkan akan terucap dari mulut seorang pria yang masih berstatus sebagai mahasiswa kesenian.
Glory menutup panggilan telepon. Lalu meminta izin untuk meminjam toilet milik Bu Rani.
Seketika ruangan menjadi hening. Bu Rani dan Pak Bambang memutuskan untuk meminum teh dan kopi panas untuk sekedar menghilangkan rasa kantuk.
***
"Misca," panggil seseorang dari arah luar.
Muncul sepasang suami istri yang terlihat begitu panik. "Permisi, Bu. Kami orang tua Misca," ucap seorang pria.
"Nak," ucap Amelia seraya menghampiri Misca yang masih tertidur.
"Misca belum lama tertidur," ucap Bu Rani memberitahu.
Sang suami mengulurkan tangan untuk sekedar bersalaman. "Herman, ini istri saya Amelia."
"Saya Rani, dan ini suami saya Bambang," sahut Bu Rani seraya mempersilakan orang tua Misca untuk duduk. "Silakan duduk dulu Bu, Pak."
"Jadi begini Pak ...." Bu Rani mulai menjelaskan.
Herman dan Amelia hanya menyimak. Sementara Bu Rani masih terus menjelaskan.
"Kami sudah berusaha mengawasi seluruh penghuni kosan. Tidak pernh terlintas dipikiran kami kejadian hal seperti ini," ucap Rani terus terang.
"Dan seluruh penghuni kos meminta saya untuk menindaklanjuti masalah ini. Dengan menikahkan Misca dan Glory di sini."
Herman dan Amelia hanya saling menatap tanpa arti. Bagai disambar petir siang hari, setelah mendengar anak sulungnya melakukan hal tidak senonoh dengan lawan jenis di dalam kosan.
"Bagaimana dengan pihak pria?" tanya Amelia.
"Glory sedang ada di toilet, sementara keluarganya sesegera mungkin akan tiba."
"Permisi," kata Glory ragu.
"Nah, ini pria yang sudah melakukan itu bersama anak Ibu dan Bapak," ucap Rani seraya menggerakkan ibu jari dan jari tengah bersamaan. Seolah membentuk telinga kelinci.
Herman melihat pemuda tinggi, berkulit bersih, hidung yang cukup mancung. Menurutnya cukup tampan dibandingkan dirinya dahulu ketika muda.
"Bu, coba bangunkan Misca," pinta Herman pada istrinya.
"Kalian melakukan itu atas dasar cinta?" tanya Herman tanpa basa-basi.
Glory duduk di samping Herman. "Sebenarnya saya nggak melakukan apa-apa Pak, saya hanya membantu anak bapak mengganti bohlam. Tadi malam Misca terjatuh di atas toilet. Karena kebetulan kamar sama persis di sebelah kamar Misca. Makanya saya menghampiri anak Bapak," jelas Glory.
"Tapi saya nggak tau kalau penghuni kosan akan berpikir yang nggak-nggak terhadap kami berdua."
Herman mengerti. Entah harus percaya kepada siapa. Pria berusia empat puluh enam tahun itu menepuk bahu Glory.
"Kalau diharuskan menikah, apa kmu siap?"
Glory terbelalak, tidak sesuai apa yang dia khawatirkan. Glory mengira setelah bertemu orang tua Misca dia akan mendapat pukul di setiap sudut wajah tampannya, sampai babak belur seperti daging yang belum matang.
Amelia menahan lengan Herman. "Pa, yang benar aja?"
Namun, Herman mengangguk kecil dan menatap istrinya dengan penuh ketenangan. Berusaha meyakinkan bahwa ini adalah cara terbaik, agar bisa membersihkan nama baik Misca, maupun Glory.
Melihat kedua orang tua itu, Glory mencoba untuk memberi pendapatnya. "Jujur saya masih seorang mahasiswa, yang belum bisa lulus sidang skripsi. Dan menyerahkan tugas akhir aja saya belum bisa."
"Pah, Mah, aku nggak siap nikah muda!" tegas Misca. "Lagian aku nggak kenal orang ini."
Misca mengarahkan jari telunjuknya ke arah Glory. "Lo emng udah bantu gue pasang bohlam, tapi nggak dengan menikah, kan, sebagai tanda terimakasih atas pertolongan itu?"
"Gue juga nggak mau menikah dengan orang yang nggak gue kenal. Dan kalau aja waktu bisa diulang kembali. Gue nggak akan pernah mau bntu lo tadi."
"Sudah, sudah, alangkah baiknya kita menunggu keluarga Glory untuk membicarakan hal ini." Bu Rani menengahi pembicaraan di ruang ini.
"Sebagai wali dari Glory. Saya setuju kalau mereka berdua kawin. Besok!"
"Besok?"
"Besok?
"What? Besok?"
☕☕☕
"Caca! Woi ini benda apa, sih? Kenapa ada di lemari baju gue?"
Glory berteriak saat melihat sebuah benda seperti kacamata kuda di dalam lemarinya. Glory menutup tangannya dengan kaos. Diraihnya benda itu perlahan dengan rasa ragu yang menghampirinya. Seolah itu adalah benda keramat yang tidak ingin tersentuh oleh kulitnya.
"Kacamata kuda?" tanya Glory dengan pikirannya sendiri saat benda itu kini ada di tangannya.
Rasanya dia pernah melihat benda itu di kamar orang tuanya saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Tapi ....
"Sejak kapan, tuh, kuda lumping pelihara kuda?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top