1. Perkara ganti bohlam

Pukul sebelas malam, Misca masih terus  berjalan menuju sepetak kosan yang selama tujuh bulan belakangan ini dia jadikan tempat untuk pulang. Hanya terdengar derap langkah yang dihasilkan oleh sepatu hitam dengan ikon daun singkong sebagai logo di bagian kanan sepatu.

Cahaya bulan yang terpantul pada genangan air di beberapa sudut jalan, menandakan bahwa jalan setapak yang Misca lewati belum lama terguyur hujan.

"Bu, beli lampu," ucapnya saat telah tiba di sebuah warung yang selalu buka dua puluh empat jam nonstop.

"Berapa Watt?" tanya si ibu dengan ramah, meski Misca bisa melihat betapa lelahnya mata perempuan yang sudah tidak lagi bisa disebut muda itu.

"Yang bisa menerangi saya seumur hidup, Bu."

Pemilik warung yang sudah mulai mengantuk pun mulai mencari lampu yang diminta, tetapi gelengan kecil menandakan bahwa perempuan itu tidak ingin mendengarkan ocehan gadis muda dalam keadaan mabuk. Sudah terlalu sering melihat Misca jalan tengah malam dalam keadaan seperti itu,membuat penjaga warung enggan banyak bicara.

Menjadi seorang pelayan di sebuah kafe besar, membuat Misca sesekali harus menemani tamu untuk menghilangkan stres dan bersenang-senang dengan minuman beralkohol.

Misca mulai mencari uang di saku kemeja dan celananya. Rasanya hari ini dia mendapatkan uang tip yang lumayan banyak, cukup untuk membeli permen beserta toplesnya.

"10 Watt, Neng?" tanya si ibu memastikan.

Misca hanya mengiyakan dengan anggukan kecil. Pada dasarnya Misca memang tidak begitu paham perkara hal ini. "Berapa, Bu?"

"Tiga puluh ribu," sahut si ibu seraya memberikan kantung plastik hitam berisi lampu.

Misca memberikan uang dan kembali melanjutkan perjalanannya. Di ujung gang sana terdapat bangunan dua lantai, tepat di lantai dua itulah Misca tinggal.

Meski dalam keadaan sedikit pusing, Misca masih tahu betul dimana letak pintu kamarnya. Setelah melepas sepatu dan meletakkannya pada sebuah rak di depan pintu, Misca bergegas masuk dan langsung berganti pakaian.

"Sial! Kenapa lampu di kamar mandi harus mati, sih," decak Misca kesal.

Kalau ada perempuan yang takut dengan kegelapan, maka Misca menjadi salah satu dari mereka.

Di kamar yang lain seorang pria masih terjaga. Kanvas yang hanya baru dipenuhi sebagian dengan cat air adalah pemandangan yang saat ini sedang dia nikmati keindahannya.

Di belakang pria itu terdapat sebuah kasur yang hanya berukuran satu setengah meter kali dua meter. Pada bagian kanan kasur terdapat nakas kecil yang dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan sebuah pigura berisi foto dua anak lelaki dan kedua orang tuanya.

Glory Abaskara, nama yang tertulis pada sebuah piagam penghargaan di bagian kiri ruangan.

Glory terdiam, netra hitam pekat itu masih fokus memperhatikan kanvas di hadapannya. Tangan kanan yang sedang menggenggam kuas, belum juga bergerak setelah beberapa detik lamanya.

Perpaduan warna coklat dan hijau telah membuat sebuah pohon indah di bagian tengah kanvas putih itu.

"Ah, sialan!" maki Glory serasa meletakkan kuas pada tempatnya. Pria itu beranjak dari tempat duduknya menuju sudut ruangan.

Sambil menengadah, Glory menikmati setiap air yang dia keluarkan.

Brukkk!

Kyakk!

Glory yang sedang asik menikmati aktivitas pun tersentak kaget. Suara itu terdengar dari sebelah kamarnya.

Tanpa berpikir panjang Glory segera berlari keluar kamar setelah lebih dulu menuntaskan hajatnya.

Glory berlari kecil menuju kamar sebelah. Melihat pintu yang kosan yang terbuka lebar, membuat Glory semakin yakin bahwa sedang terjadi sesuatu dengan pemilik kamar.

"Permisi," ucap Glory sopan.

Rasa penasaran yang ada membuat kakinya terus melangkah semakin dalam. Keadaan kamar yang sedikit berantakan, kembali membuat pikiran Glory tidak tenang.

"Apa ada orang di dalam?" tanya Glory yang sudah mulai siap siaga terhadap ancaman yang mungkin saja tiba-tiba terjadi.

Mata Glory terbelalak saat melihat seorang perempuan terduduk di atas kloset dengan posisi yang sulit untuk diartikan. Perempuan itu menghadap sandaran kloset, tetapi melihat kloset dalam keadaan tertutup membuat Glory yakin bahwa perempuan itu sedang tidak lagi buang air.

"Hei," sapa Glory.

Dengan merintih kesakitan perempuan itu menoleh. "Tolong bantu saya," pintanya memelas.

Glory menatap ke arah pintu dan perempuan itu bergantian. "Apa nggak ada saklar lampu toilet ini?"

"Justru itu, Mas .... tapi tolong bntu saya dulu," rintih perempuan itu.  Entah apa yang luka, tapi pangkal pahanya terasa begitu sakit karena posisi kaki yang melebar mengikuti bentuk kloset.

"Oke, oke." Glory pun menghampiri perempuan itu dan membantunya.

"Akhh! Sakit!" teriak perempuan itu, saat glory membantunya untuk turun dari kloset.

"Sini gue bantu." Glory mengarahkan, sambil membantu kakinya untuk lurus.

"Sakit," eluh perempuan.

"Pelan, pelan!" titah Glory.

***

Layla berlari kecil menuju sebuah rumah yang berada di sebelah kanan bangunan tempatnya tinggal.

"Bu, Bu Rani," panggil Layla dengan nada sedikit panik.

Tidak mendapat jawaban, Layla kembali mengetuk pintu. "Bu Rani!"

Butuh beberapa menit, akhirnya pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya yang sudah memakai daster. Mungkin Bu Rani sudah tertidur lelap dan malah terganggu dengan ketukan pintu.

"Ada apa Layla? Malam-malam begini?" tanya Bu Rani.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

"Anu, Bu. Itu ... Anu ... Bu ..."

Terlihat sekali kepanikan di wajah Layla. Tangannya gemetar sambil menggenggam ponsel pintar dengan logo buah apel yang sudah tergigit itu.

"Itu anu, itu anu. Kalau bicara yang benar!" Pinta Bu Rani. Bagaimana tidak kesal? Tengah malam dibangunkan oleh ketukan pintu, hanya untuk mendengarkan ucapan tidak jelas Layla.

"Di kamar sebelah ...."

"Ada apa di kamar sebelah?" tanya Bu Rani memastikan.

"Udah, deh. Ibu ikut saya aja," seru Layla sambil menarik lengan wanita yang mengenakan daster itu.

"Ada apa Layla?" tanya Bu Rani geram seraya menepis genggaman tangan Layla.

"Bu cepetan ikut saya," pinta Layla dengan logat betawinya. "Sekalian ajak Pak Bambang!"

Bu Rani semakin terlihat kebingungan, tetapi beberapa detik kemudian wanita itu kembali ke dalam rumah untuk membangunkan suaminya.

Bu Rani berpikir bahwa mungkin saja ada perampok yang mencoba untuk mencuri di area rumahnya. Karena delapan bulan yang lalu, para warga memergoki maling yang sedang memanjat gerbang.

Ketiganya berlari kecil menuju lantai atas bangunan tempat Layla tinggal. Sampai langkah kaki Layla pun terhenti di depan sebuah kamar yang pintunya terbuka lebar.

"Kenapa berhenti? Dimana malingnya?" tanya pak Bambang yang sudah memegang tongkat golf.

Tangan Layla terangkat ke arah dalam kamar. Menunjukkan sesuatu yang tidak terlihat.

Sepasang suami istri itu kini saling melirik satu sama lain, seolah sedang menebak apa yang sedang terjadi.

Keduanya perlahan mulai melangkah. Tiba di tengah ruangan mereka mendengar suara. Suara yang tidak lagi asing di telinga mereka.

"Susah banget masuknya," ucap seorang pria.

Suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang berusaha melakukan sesuatu.

"Belum pas, geser dikit." Suara perempuan seperti sedang mengarahkan. "Akhh!"

Bahkan terdengar suara rintihan juga dari dalam kamar kecil di sudut ruangan.

"Wah, bahaya ini, Bu," seru Pak Bambang.

Sementara sang istri hanya mengangguk mengerti. Sepasang suami istri itu pun mulai bergerak.

"Susah masuknya, arahin dong!" Suara tidak mengenakan untuk didengar pun kembali terdengar.

"Sedang apa kalian?" tanya pak Bambang. Saat melihat samar-samar seorang pria berdiri di atas kloset dan seorang perempuan yang berdiri di bawahnya.

Keduanya terperangah dan sangat terkejut atas kedatangan pemilik kos.

"Ganti bohlam, Pak," jawab pria itu.

"Turun kamu, Glo!" pinta Pak Bambang dengan nada sewot. "Kamu juga Misca!"

"Kalian berbuat mesum di kosan saya?" tanya Bu Rani yang masih tidak percaya melihat kejadian barusan.

"Bu, saya lagi ganti bohlam," sanggah Misca.

"Ganti bohlam milik Glory gitu? Barusan saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Kamu sedang berdiri dan wajahmu tepat berada di depan milik Glory." Bu Rani menelan ludah, rasanya dia tidak kuat untuk mendefinisikan apa yang terlihat.

Tanpa sadar, semua penghuni kosan di lantai dua sudah berkumpul di depan pintu kamar Misca. Begitu juga Layla, yang masih tidak percaya mendengar apa yang terjadi di dalam kosan temannya itu.

Awalnya Layla hanya ingin meminta makanan ringan kepada misca, seperti hari-hari sebelumnya. Namun, mendengar suara desahan dan teriakan di kamar mandi membuat Layla langsung berlari menemui pemilik kosan mereka.

"Gak nyangka mereka diam-diam suka hubungan," cibir seseorang.

"Iya, diam-diam menghanyutkan dong."

Sementara beberapa penghuni kos lainnya malah mengambil gambar untuk disebar ke sosial media. "Mantap, berita hangat, nih. Pasti fyp."

Pak Bambang melirik Misca dan Glory bergantian. Masih tidak percaya kalau di kosan miliknya ada yang berbuat hal tidak senonoh.

"Saya mendengar apa yang kalian lakukan di dalam," tegas Pak Bambang.

"Loh, saya emang lagi bantuin Misca ganti bohlam, Pak."

Pak Bambang melirik ke bagian bawah perut Glory. "Resleting kamu aja masih turun. Gimana saya bisa percaya!"

Misca melirik ke arah yang dimaksud Pak Bambang, lalu terperangah. Apa yang diucapkan pak Bambang ternyata benar.

Glory yang terlihat santai langsung menaikan resletingnya.

"Sial, sial! Kenapa gue lupa untuk naikin resleting, sih," gumam Glory dalam hati.

Glory berdehem kecil seraya menyisir rambutnya yang mulai memanjang ke belakang. Pria itu berusaha untuk terlihat tenang.

"Saya habis buang air kecil, Pak. Makanya lupa naikin resleting," bela Glory.

"Udah, Pak. Suruh kawin aja!" celetuk seorang gadis.

☕☕☕

"Sebagai seorang istri yang memiliki kesabaran setipis tisu, saya nggak bisa diperlakukan kayak gini, Glo," ucap Misca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top