Hewan Melawan

Genre: Comedy-Fabel | Jumlah kata: 1820


Ada kejadian aneh di kota P. Di sana hewan-hewan—mendadak—bisa bicara. Iya, bicara. Coba tengok sudut-sudut kota ini duapuluh tahun yang lalu, kau akan mendengar jeritan cempreng seekor ayam ketika mau disembelih. Membuat tukang daging kebingungan dan mengira-ngira, tetangga mana yang sedang menonton film horor. Ternyata, ayam di hadapannyalah yang sedang tersedu-sedu memohon ampun.

Apa salahku sampai kau tega memenggal leherku?

Kenapa kau ingin membunuhku?

Tak cukupkah ribuan saudaraku mengenyangkan perutmu?

Kenapa hanya jenis kami yang kau ternakkan dan penggal dengan kejam?

Iba. Penjegal itu pun segera melepaskan semua ayamnya dan buru-buru tobat ke masjid.

Bukan hanya penjegal itu saja yang terkejut, ribuan orang di kota P juga mengalaminya. Ada dua ekor sapi yang melolong pilu saat akan dijadikan menu syukuran. Burung-burung di dalam sangkar menangis bak artis opera sabun minta dibebaskan. Belasan bahkan ratusan kucing demo di depan kios-kios ikan, minta diberi bagian karena sudah menjaga pasar dari serbuan tikus dan burung gereja. Anjing tak lagi menurut, terutama anjing-anjing yang dipelihara demi kebaktian dan natal. Mereka dengan beraninya memaki manusia "Tulang" atau "Daging busuk".

Hal ini membuat pemerintah kota P kebingungan. Beberapa warga yang ketakutan mengungsi ke luar kota. Ke tempat ikan tidak menjerit dan ayam bisa dinikmati tanpa mengeluarkan bunyi.

Pemerintah kota P pun segera mengirim tim-tim khusus untuk menanggulangi peristiwa tersebut. Beberapa ahli meneliti kejadian, mengumpulkan kasus, sisanya mewawancarai para korban dan pelaku. Bagaimana hewan bisa berbicara masih menjadi misteri, dan cuma terjadi di kota P. Kasus-kasus yang serupa marak bermunculan. Orang-orang mendadak kaget ketika hewan di sekitar rumahnya berbicara dan berteriak, bahkan mengobrol! Para hewan yang diwawancarai mengaku ini semua karunia Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya mereka jadi bisa mengutarakan isi hati dan mempertahankan hidup sebagaimana mestinya.

Kejadian ini menjadi pusat perhatian di seluruh negeri, bahkan dunia. Berbondong-bondong orang dari penjuru arah datang untuk melihat paduan suara merpati di atas kantor gubernur, menyanyikan Tenda Biru. Sekumpulan sapi mengobrol dan melakukan talk show di tengah bundaran. Sengaja menarik massa (baik hewan maupun manusia).

"Jadi, apa yang sudah manusia lakukan kepada Anda?"

"Sejak kecil saya sudah harus berbagi susu dengan manusia. Tak habis-habisnya tetek Ibu saya dipegangi. Bahkan seumur hidup kami dikandangi dan diikat ketika merumput. Dilarang berkeliaran, dilarang bebas, dan dilarang menikmati senja. Bapak saya mati sebagai menu syukuran seorang penjabat, kakek saya dicincang di belakang pasar, adik saya dijual entah ke mana. Keluarga kami tercerai-berai. Saya bahkan tidak punya lagi tujuan hidup selain pasrah menerima nasib sebagai hewan kurban. Sampai kemudian saya bisa bicara, saya langsung kegirangan dan seolah mendapat ruh kehidupan. Saya mengajak kawan-kawan memperbaiki nasib, saya merasa bisa segalanya. Sungguh luar biasa." Sapi yang diwawancarai terisak-isak bahagia. Massa yang menghadiri menangis haru. Para hewan terbakar semangatnya, manusia yang menonton langsung merasa hina dan memohon ampun kepada Tuhan.

Seminggu kemudian, hewan-hewan berkumpul di depan kantor gubernur. Burung perkutut, tingang, dan antang terbang membawa spanduk. Sisanya membentangkan kain panjang berisi cap-cap kaki para hewan. Mereka menyebutnya Aksi Bela HAH (Hak Asasi Hewan).

Para hewan berorasi, menuntut kesamaan hak sebagai makhluk hidup. Mereka ingin pemerintah melindungi dan menjamin hak-hak mereka seperti manusia. Bukankah manusia juga hewan? Dari kingdom animalia—kata Prof. Kambing setelah mengunyah satu buku ensiklopedia milik anak tuannya.

Jelas ini satu masalah pelik yang tidak pernah dihadapi gurbernur manapun. Didampingi para penjabatnya, gubernur menerima perwakilan para hewan (seekor burung hantu dan kucing). Setelah berjam-jam melakukan debat akhirnya diputuskan bahwa hewan-hewan yang bisa berbicara mendapat wilayah kekuasaan sendiri di pinggir kota P. Hal ini disambut sorak antusias.

Seluruh hewan—sampai semut terkecil pun—hijrah ke tempat yang baru. Mereka meratakan lahan, menanam rumput dan membersihkan semak dari pepohonan. Menciptakan tiruan berbagai iklim yang berlumpur, berpasir, berbatu, dan berair. Semua tanpa semen dan batu bata. Alam di sekitar jadi semakin subur karena kotoran hewan merupakan pupuk alami.

Tukang daging gelisah. Bukan hanya yang di dalam kota, bahkan di seluruh negeri dan dunia. Mereka tidak mungkin berjualan daging ketika semua televisi menyiarkan anjing yang bercerita mengenai kedua orang tuanya yang mati di dalam karung dan dipukuli, demi sebuah jamuan kebaktian. Siapa yang lebih bejat? Bahkan seekor kerbau ditombak dahulu oleh belasan orang sebagai upacara kematian kuno. Jadi, siapa yang selama ini binatang?

Manusia-manusia yang muak menculik ayam dan menyembelih mereka di belakang rumah. Mereka kesal karena menu sehari-hari berubah jadi sayur semua. Seperti kambing! umpat seorang manusia, ia tidak tahan makan tahu-tempe setiap hari. Dia juga mau ayam, sapi, dan lobster.

Manusia di kota P berdemo di depan kantor gubernur, mereka berorasi menuntut haknya mendapat protein hewani kembali. Sudah jelas bahwa hewan diciptakan untuk manusia, kenapa kita mencabut hak dasar tersebut dari tatanan kehidupan? Di sisi lain, para hewan ikut berorasi membela nyawanya dalam Aksi Bela HAH Jilid II. Sikut-menyikut terjadi. Sapi menerjang manusia, pria menggorok seekor kuda, kucing-kucing melayangkan cakar, demonstran mengacungkan tombak, kisruh di mana-mana, pertumpahan darah tak terelakkan.

Seekor ayam jantan dengan gagahnya lompat ke kepala seorang manusia. "Demi istri-istriku yang kau potong!" Paruhnya mematuk ganas.

Bundaran Besar yang merupakan pusat kota P berubah menjadi lautan darah. Pihak kepolisian tidak mampu berbuat banyak, selain menangkap beberapa provokator, manusia, kelinci, trenggiling, dan ayam. Kesemuanya ditempatkan dalam sel berbeda namun berseberangan. Membuat penjara ribut seperti peternakan ayam. Baik manusia maupun hewan saling mengumpat dalam bahasa kasarnya masing-masing.

"Dasar anjing! Bajing! Bangsat! Kampret! Curut!"

"Tulang! Bangkai! Koruptor! Perampok! Pembunuh! Penjagal!"

"Paruh bengkok!"

"Mulut bengkak!"

"Upil anoa!"

"Tai kuda!"

Hal ini membuat kedua jenis dipisahkan di gedung berbeda.

Keributan tidak berhenti di situ saja, manusia-manusia mulai merencakan serangan balasan. Hewan-hewan membangun tembok tinggi dari berbagai serpih kandang. Kota P berubah mencekam, merpati sering buang taik sembarangan di atas kepala manusia. Dan manusia masih sering menculik ayam lengah dan membunuh kambing yang sendirian.

Kota P menjadi medan pertempuran dalam sehari. Polisi tidak bisa berbuat banyak selain membendung aksi kekerasan tersebut agar tidak merembet ke daerah lain. Manusia mendapat sokongan dana dan persenjataan dari manusia lain. Manusia-manusia ini adalah manusia yang masih ingin rumah makan padangnya didatangi pelanggan, perusahaan sosis, dan kornet kalengan.

Di pihak lain para hewan mendapat dukungan moril dari beberapa manusia vegetarian yang mewakili manusia-manusia di luar. Mereka terenyuh pada kisah nyata para hewan yang disiksa ribuan tahun demi kepuasan perut manusia. Bahkan mereka tidak segan-segan memberi bantuan dana dan persenjataan lengkap. Para kambing diajarkan menjadi tentara, kucing-kucing dipasangi cakar besi, serta ayam dengan taji silet.

"Sudah waktunya kita melawan!" teriak seekor kelinci, telinga kanannya robek dengan luka kasar tak terawat, ia mengaku hampir dijadikan sate dulu. Kelinci lalu lalang dengan gagah di depan barisan ratusan hewan: sapi, kambing, anjing, kucing, beruang, harimau, trenggiling, palanduk, dan hewan-hewan berkaki empat-dua-enam-delapan-seribu lainnya. Para burung bertengger di pohon terdekat.

"Sudah ribuan tahun kita menjadi makhluk bisu, hanya bisa pasrah dan menelan pil pahit ketika manusia mengagung-agungkan dirinya."

"Betul!" teriak semua hewan.

"Inilah saatnya kita mengangkat cakar dan tanduk! Kita bukan lagi makanan. Kita adalah makhluk ciptaan Tuhan, setuju?!"

"Setuju!"

"Tumpahkan darah manusia besok! Balas semua nyawa keluarga kita di medan perang. Tunjukkan kalau kita juga bisa menggorok dan mencincang mereka. Setiap mutilasi dihukum mutilasi, nyawa dibayar nyawa. Kita bisa bicara dan berpikir pasti ada tujuan. DEMI KARUNIA TUHAN!"

"DEMI KARUNIA TUHAN!"

"Inilah saatnya kita membalas penderitaan saudara-saudara kita!"

"DEMI KARUNIA TUHAN!"

Perang pecah di pusat kota. Kelinci bertelinga robek menyelubungi keempat kakinya dengan cakar besi. Melompat ke sana-kemari, menyabet paha dan dada manusia. Kucing berlompatan, tidak lagi memperebutkan bangkai ikan, tetapi kebebasan. Beberapa anjing yang masih setia dengan manusia dilema menghadapi perang tersebut. Di satu sisi mereka hendak melawan, di sisi lain mereka pasti dicap pengkhianat.

"Maaf saudara, tapi tidak semua manusia itu jahat."

"Dasar antek-antek penjagal! Asal kau tahu, sekali membela manusia maka tulangmu tidak akan kami terima."

"Aku tahu."

"DEMI KARUNIA TUHAN!" Anjing dari kedua kubu saling gigit dan serang. Hewan-hewan peliharaan lain tak mau diam. Mereka ikut membela tuannya di medan perang sampai titik darah penghabisan. Burung Nuri mematuk mata banteng, kucing anggora botak (bulu panjang hanya menyusahkan pergerakan) menggigit dan mencakar para kucing kampung.

"Dasar kaum borjuis! Dibayar berapa wiskas sampai kalian mau membelot gitu?!"

"Kami dipelihara sejak kecil. Kami hidup bersama manusia."

"Pengkhianat, kalian campakkan karunia dari Tuhan."

"Tidak semua manusia itu jahat."

"Dasar kaum penggigit bola benang!"

Singkat cerita. Puluhan kambing dan belasan manusia kembali tumbang di jalanan. Kucing-kucing pulang dengan kaki pincang dan ekor putus. Burung merpati habis ditembaki senapan angin, terpaksa menyeret sayap dan terinjak-injak kaki manusia. Para manusia tidak kalah parahnya, ada perut yang bolong karena tanduk kerbau, rusuk patah akibat serudukan seekor banteng dan kibasan ekor buaya. Beruang-beruang muncul sebagai pemukul pasukan manusia ke belakang. Balasannya, beberapa beruang mati dengan puluhan tombak di punggung.

"Demi anak cucuku agar tidak dijadikan bahan tertawaan sirkus." Begitu kira-kira, kalimat terakhirnya.

Pertempuran kedua menghabiskan banyak tenaga dan darah. Akhirnya dilancarkan aksi gencatan senjata. Dalam aksi tersebut tekanan terhadap manusia semakin kencang. Jika para hewan ingin hidup, kenapa tidak berikan saja kebebasan itu pada mereka? Bahkan beberapa manusia mau menjadi wakil para hewan, memberi bantuan hukum dan pengacara. Jalur diplomasi dilangsungkan. Manusia semakin melemah ketika kaumnya sendiri mulai mengutuk dirinya.

"Siapa yang membutuhkan siapa? Selama ini para hewan dapat hidup ratusan tahun di alam liar, tapi manusia? Sudah sepantasnya aksi mengerdilkan harapan hidup para hewan dihentikan. Mereka bukan lagi hewan ternak, mereka juga makhluk hidup, sama seperti kita." Pidato seorang manusia. Semua hewan yang patah tulang mengangguk dan bersorak ramai.

Akhirnya, selama beberapa minggu yang alot, diputuskan bahwa manusia akan pergi dari kota P. Biarkan kota kecil itu menjadi hak milik para hewan. Dengan segenap cita, seluruh hewan menyambut usulan itu dengan bahagia. Beberapa meneteskan air mata kemenangan. Ini pertama kalinya mereka merdeka.

Merdeka dari penjajahan berkepanjangan. Sebagai rasa terima kasih, mereka tandatangani pakta perdamaian dengan para manusia. Benar, tidak semua manusia itu jahat. Meski demikian mereka tetap meminta agar manusia tidak kembali menampakkan diri di kota tersebut.

"Biarlah kita hidup sendiri-sendiri sekarang. Di atas kemerdakaan masing-masing."

*****

Tanggal 2 Maret, kemerdakaan Kingdom Animalia berkumandang di seluruh acara televisi. Seekor merpati membuat lagu pembangkit semangat, membelah langit Animalia dengan gagah. Proklamasi dilangsungkan. Seluruh hewan menengadah ketika bendera mereka dibawa terbang ke angkasa: putih dengan cakar merah menyilang di tengahnya.

Hari itu adalah hari bersejarah.

Duapuluh tahun setelah dunia mengakui Kingdom Animalia.

"Dulu kami perang melawan manusia, namun sekarang ...." Seekor kambing tua meletakkan koran di tangannya yang bertajuk "Dominasi Kaum Bertaring". Kambing itu menengok dari jendela rumahnya. Ke jalan besar tempat hewan-hewan herbivora sibuk melakukan demo besar-besaran, mereka membawa spanduk yang berisi: Kami Bukang Makanan Harimau!, Tegakkan Keadilan Untuk Kaum Memamah Biak, Usut Tuntas Penyelundupan Daging Kambing, Pemerintah Hanya Menyayangi Kaum Karnivora.

Pahlawan-pahlawan dahulu mendesah. Umur yang tak panjang membuat mereka tidak bisa melihat keadaan negeri sekarang. Hanya beberapa kura-kura yang masih hidup dan memilih tinggal di hutan terpencil. Menjauhi negara yang mulai semakin kisruh karena perbedaan jenis makanan. Di sana ada sebuah pondok usang. Tempatnya dulu ditemukan oleh seorang manusia peladang. Terkadang ia merindukan manusia, bukan karena kebaikannya, tapi karena kemampuannya menyatukan bangsa hewan di bawah bendera perjuangan.



*Tulisan ini pernah dimuat di kumpulan cerpen Pencuri Mimpi (2017) oleh komunitas sastra Dimensi Kata


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top