Di Bawah Langit

Genre: Sci-fi | Jumlah kata: 2972 | created at 19th November 2018


Aku merangkak dalam lorong baja yang sempit dan lembab. Meraba dinginnya permukaan logam, bau karat, serta pahit di lidah. Udara terasa sangat asin untuk dihirup. Dalam keremangan, aku mendengar bunyi gesek lain di belakang. Sontak aku menoleh dan memperingatkan mereka dengan kode telunjuk di depan bibir.

"Kalian mau dibunuh?"

Dua remaja di belakangku mengkerut, mereka segera menunduk dan menggumamkan maaf yang tak terdengar. Kami melanjutkan lagi perjalanan, berusaha sesunyi dan secepat yang kami bisa untuk berburu makanan.

Warna gelap berpendar kuning terlihat. Jalan keluar. Segera aku memerintah mereka untuk berhenti dan menunggu. Kedua remaja itu menurut. Aku maju melihat keadaan dan mengintip sekilas: aman. Tidak ada tanda-tanda para pemusnah dan robot rakitan. Mata pengawas ada jauh di timur laut, terpancang di satu tiang besi tinggi asimetris. Sebuah bola kecil bercahaya biru yang menjadi titik awal semua orang terbunuh.

Cukup mudah melewatinya. Tapi tetap, kami tidak boleh gegabah. Jadi kuputuskan untuk maju satu per satu. Aku pertama. Aku melompat keluar dan menolak tubuh bersembunyi di balik reruntuhan mesin mati. Memperhatikan sekitar, kemudian berlari kecil ke satu bayangan gelap yang penuh ronsokan dan masuk ke dalam lobang ventilasi lain.

Mudah. Seharusnya mereka bisa. Remaja pertama, seorang laki-laki kikuk yang baru bergabung seminggu lalu memulai duluan. Ia menunggu aba-abaku. Kuperhatikan mata pengawas berputar, saat yakin pandangannya tidak terarah ke sini. Aku segera melambaikan tangan dan menyuruhnya cepat kemari.

Laki-laki itu berlari canggung ke balik reruntuhan mesin. Menggenggam tali ranselnya kuat-kuat. Menarik napas banyak-banyak sebelum berlari dan melompat keras ke dalam ventilasi buangan.

Tapak kakinya menciptakan bunyi bergema. Kami panik dan langsung mendiamkan diri sesaat, menunggu respon bahaya. Satu detik, gema menghilang. Dua detik, tidak ada tanda-tanda. Tiga detik, jantungku mulai berdetak normal. Detik berikutnya, aku menjitak kepala remaja tersebut dan memakinya dalam diam: jangan ulangi lagi!

Selagi remaja itu mengelus kepala, aku menyuruh remaja perempuan satunya untuk bergegas. Ia lebih tenang dibanding yang laki-laki. Sudah ikut bersamaku lebih dari yang bisa kuingat—dua minggu atau sepuluh hari.

Mudah baginya menyeberang. Setelah kami berkumpul, aku langsung merangkak kembali dan menggerayang keheningan. Entah sudah berapa lama, ada satu-dua pertigaan yang harus dipilih cepat-cepat. Tujuan kami ke timur. Jadi semua pilihan harus mengarah ke sana—berdasarkan kompas usang yang sudah mulai tersedak umur.

Aku menutup penunjuk arah tersebut dan turun ke satu ruang selebar dua meter di bawah. Membantu turun kedua remaja tadi secara hati-hati. Setelah mendarat, kami membagi tugas jaga dengan aku di depan, si perempuan di belakang, dan laki-laki pembawa barang di tengah. Kami pun berjalan menyusuri koridor remang yang dindingnya dilapisi pipa uap panas dan kabel listrik. Udara terasa lembab dan hangat. Suasana di sini tidak kalah muram dibandingkan atas: penuh sampah mesin dan pecahan semen.

Hanya beberapa neon yang menyala. Menerangi jalan kami ke depan sembari siap siaga jikalau ada ancaman menghadang.

"Di mana kita?" si laki-laki bertanya.

"Entahlah, mungkin antara lantai 800 dan 850."

"Masih jauh dari permukaan." Si perempuan menambahkan. Kedua matanya tetap awas dengan senjata siap memuntahkan peluru. Sejujurnya, benda itu tidak akan efektif membunuh para mesin kecuali ia tepat menembak di aktuatornya.

"Permukaan tidak akan pernah ada, mesin-mesin itu sudah membangun kerajaannya di seluruh daratan bumi." Aku menjelaskan, teringat pada satu jurnal tua yang diwariskan turun-temurun dalam kelompok kami dahulu. "Setelah para robot memberontak, mereka yang telah duduk di segala bidang langsung menguasai dunia dengan sangat cepat. Lalu memusnahkan kita perlahan-lahan karena dianggap hama. Tanpa kendali, mereka terus membangun dan menyatukan semua bangunan serupa labirin."

"Kenapa?"

Suara gesekan besi dan besi bergema. Aku langsung menepi dan menyuruh mereka berlindung di punggungku. Ada sesuatu, di balik perbelokan lorong itu. Cahaya neon mengirim bayangan abstrak yang tidak terdefinisi. Jangan-jangan ...

"Siapkan senjata!" Aku mengomando. Si perempuan membidik senapannya ke depan dan si laki-laki mengambil pistol buru-buru—hampir saja benda itu lepas dari tangannya. Sebelum kami benar-benar siap, sesosok robot bertangan delapan muncul dari kegelapan. Ia merangkak begitu gesit dan cepat. Kami menembak bersamaan. Robot itu melompat menghindari dari lantai ke langit-langit.

Aku langsung berteriak mundur dan menyuruh mereka berdua lari. Naas, si laki-laki sangat lambat karena bawaannya yang banyak.

"Tinggalkan tas itu!"

"Aku tersangkut!" Ia menangis. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Robot itu harus kuhadapi. Jadi aku berdiri di antara si remaja laki-laki dan robot. Tubuhnya sangat tinggi andai ia berdiri dengan perut menghadap ke depan. Robot rakitan, ia pasti memperbaiki diri dengan sisa-sisa tubuh saudara mesinnya sendiri.

Aku menembak sendi-sendi tangannya dengan pistol hingga terjengkal. Si gadis membantu dari belakang. Dengan dua serangan robot tersebut jatuh ke lantai. Tetapi belum mati. Kami harus mematikan mesin atau membuatnya rusak parah. Bom lempar sudah habis. Hanya ada cara manual. Jadi aku maju menggunakan pisau tangan dan menggasak lehernya yang lunak untuk melepaskan kepala dari badan. Menusuk dalam-dalam dan mengoyak semua kabel di sana. Tiba-tiba sebuah tangan robot mengayun cepat. Aku tidak dapat menghindar dan terpental keras menghantam pipa-pipa uap panas. Pisauku tertinggal. Tulang punggungku ngilu. Saat mencoba bangkit robot itu sudah berdiri di hadapanku dan bersiap mencincang.

Seketika aku mengerti apa arti rasa takut setelah lama tidak menghadapinya.

Dor! Dor! Tembakan beruntun membuat robot itu terpental kembali dengan peluru bersarang di badannya—menciptakan koslet. Aku segera mengambil kesempatan dan meluncur cepat ke pisau yang masih menancap di lehernya. Menyembelih kuat-kuat, sembari bertahan dengan goyangan tubuhnya yang kian meliar. Kepalanya berhasil lepas dan aku jatuh dengan kepala robot terguling ke sebelah.

Robot itu langsung kehilangan kendali dan menabrak dinding berkali-kali. Sebelum melemah, kemudian ambruk tidak bergerak. Dapat kurasakan jantungku yang berdentum keras mereda perlahan-ahan. Hampir saja, nyaris sekali.

Kedua remaja tadi langsung menghampiri dan membantuku berdiri. Selamat. Kami berdua tidak tewas. Aku tersenyum. Hanya mereka yang tersisa, setelah serangkaian perjalanan membunuh kami satu per satu dalam kelompok.

"Lain kali, jika ada bahaya, lebih baik kabur kecuali memang benar-benar terdesak. Persenjataan kita menipis."

"Baik." Kedua remaja itu menjawab serentak. Aku mengelus kepala mereka dan berinisiatif membawa tas perbekalan sendiri.

"Jaga-jaga bila di depan ada serangan."

Kami melanjutkan perjalanan dalam hening. Tidak ada yang bertanya. Sampai pertigaan selanjutnya, kami tetap memilih arah kanan dan masuk ke lorong ventilasi serta parit pembuangan. Bau limbah oli yang mengerak membanjiri indera pembau. Di sela-sela semen, ada rumput dan lumut bertumbuh. Tikus-tikus mencericit. Tahu ada asupan daging, aku segera menyuruh mereka berburu untuk makan malam. Jadi kami putuskan berkemah di dalam got. Aku mencari air selagi mereka sibuk.

Kemana tujuan kami? Aku membentangkan peta yang kutemukan di lantai tujuhratusan. Di bawah temaram lampu senter, aku menelusuri gambar acak yang hanya menggambarkan daerah-daerah besar sebagai patokan. Lantai delapanratus, badan menara utama, laboratorium terbengkalai, pabrik baja dan besi.

"Setelah pabrik ada bola kaca."

"Bola kaca? Maksudnya rumah kaca?!" seru si laki-laki. Tiba-tiba saja ia sudah ada di sebelahku berbinar-binar. "Berarti ada cahaya, taman, dan makanan."

Aku mengangguk. "Lebih dari itu ... langit." Kata ini sudah lama tidak kuucap dan kudengar, rasanya lumer di lidah, merasuki jantung, dan memberiku sensasi damai nan menenangkan. Jurnal bilang langit berwarna biru dan bercorak putih. Aku pernah melihatnya sekali dari sebuah teropong usang ke satu celah. Sedikit kabur, tetapi aku yakin itulah langit. Jernih dan bebas.

Tetapi ... "Kita sudah berada di lantai tertinggi yang ada di peta. Siapa tahu, mesin-mesin itu sudah membangun puluhan lantai sejak gambar ini dibuat. Seperti katanya," aku mengendikkan kepala ke arah si perempuan yang sedang menggenggam beberapa ekor tikus. "Permukaan masih jauh."

"Makan malam." Perempuan itu berseru bahagia dan langsung menghantam popor senjatanya ke kepala tikus. Sekejap, tangan lincahnya sudah menguliti dan membersihkan isi perut tikkus. Kami duduk melingkar mengelilingi api kecil dari kompor gas portabel. Setelah beberapa menit dipanggang, kami menyantap makanan mewah tersebut dalam penuh rasa syukur.

Orang dulu selalu mengucap doa pada Tuhan. Namun sekarang, percaya pada sesuatu yang mustahil ada seperti memberi harapan palsu untuk semua. Kami tidak mau terlena surga dan kejamnya neraka. Hidup ada untuk diperjuangkan. Meski terasa sia-sia, dan bunuh diri merupa jalan pintas yang banyak dilakukan kaum manusia.

"Ceritakan pada kami, seperti apa masa lalumu," pinta—akhirnya aku ingat—Carmen. Beberapa waktu lalu, saat masih berlima aku sempat menjanjikan cerita kecilku. Tapi kematian, dan kesibukan bertahan hidup, membuat kami lupa rehat dan menikmati waktu sekejap.

"Baiklah." Aku memutar otak. Hanya ada pelarian dan pelarian menemani hari-hariku, bahkan sejak dulu. "Aku pernah punya sepasang orang tua. Suatu waktu mereka menyuruhku menunggu di sebuah celah kecil berlumut. Aku menunggu, terus menunggu. Sampai kelaparan dan aku makan lumut yang ada di dinding. Lalu satu kelompok perjalanan menemukanku yang kurus kering dan akhirnya memungutku. Begitulah. Sampai sekarang, kepemimpinan kelompok itu aku yang pegang."

Kedua wajah remaja di hadapanku membeku. Bibir Carmen mengatup dan muka—akhirnya ingat juga—Joe memurung. Aku tidak mengerti kenapa mereka mendadak sedih.

"Jangan tangisi perjuangan mereka. Bergembiralah, sebab mereka mati dengan penuh keberanian."

"Kecuali Oggy." Carmen semakin kelabu. "Dia mati karena ketakutan dan lari sampai masuk jurang."

"Itu lebih baik ketimbang mati tercacah mesin pemotong," aku mengingat-ingat—dasar otak payah! "Seperti Irna."

"Irma." Carmen membenarkan. "Untunglah, Ketua mempertaruhkan diri dan membuat mesin robotnya macet seketika."

"Memberi waktu kita untuk kabur jauh-jauh." Satu kematian heroik yang tidak pernah aku lupakan. Irna—atau Irma—lah yang membagiku jurnal warisannya dan mengajak berdiskusi tentang langit dan bumi sebelum masa invasi. Ia juga yang menunjukkanku apa itu teropong dan bagaimana cara mengintip dunia dari celah-celah baja.

Untuk masa kecilku, Irna adalah pahlawan sekaligus kakak perempuan yang tidak pernah kumiliki. Panutan. Dan ia tidak pernah sedih meski menghadapi mesin pencacah dan mati dengan senyum yang cemerlang.

"Jaga mereka untukku!" adalah kalimat terakhir sebelum tubuhnya lumat menjadi serpihan.

"Kalau aku mati, salah satu dari kalian harus memimpin kelompok."

"Jangan aku, aku tidak bisa." Joe melindungi diri. Entah kenapa aku tiba-tiba tertawa. Rasanya lucu, melihat kelompok kami yang sedikit dengan kandidat-kandidat yang menyedihkan. Seperti tikus tangkapan yang menjadi makan malam. Tidak punya pilihan.

Esoknya, setelah tidur yang lelap, kami melanjutkan perjalanan dan membawa bekal daging tikus panggang. Botol-botol plastik serta kaca kami isi penuh dari air mengalir di sela-sela dinding.

"Jadi Carmen, kau memimpin di depan."

Carmen memberengut. "Namaku Jolie."

"July?"

"Jo-lie. Pasti kau juga lupa dengan nama Diki."

"Rick-ky?"

"Diki." Joe meralat. Ia mengangkut ransel di punggungnya yang ringkih dan mungil.

"Oke, siapa pun nama kalian: perempuan jaga di depan, aku di belakang. Yang laki-laki seperti biasa di tengah. Kalau ada apa-apa, tembak dengan pistol listrik dan kabur sejauh-jauhnya saat mereka masih koslet."

"Kenapa tidak kita pakai taktik itu kemarin?"

"Kenapa kau tersangkut di ransel dan bukannya mengeluarkan senjata pendukung kemarin?"

"Maaf." Diki melesu. "Aku takut."

"Tidak apa, semua pernah takut pada masanya." Sepertiku. Setiap saat, rasanya hanya ketakutan yang bisa kutelan. "Yang jelas, jangan lengah dan selalu waspada. Ayo!"

Jika dilihat dari peta, kami berada di bawah pabrik. Sebuah pabrik buatan para robot yang mendaur ulang kembali sampah-sampah logam menjadi mesin mematikan. Dari gorong-gorong, kami memanjat naik ke atas dan berjalan diam-diam di balik mesin-mesin raksasa yang mengangkut semua ronsokan entah kemana.

Banyak tangan-tangan mekanik bergerak memilah sampah. Berbeda dengan para pemusnah, robot pabrik tidak punya tedensi membunuh. Selama kami tidak terlihat oleh mata pengawas, kami aman.

"Kau percaya dulu mereka bekerja di bawah manusia?" tanyaku, mengisi kekosongan.

"Semua mesin pembunuh itu?" Joe—atau Diki—bergidik tidak percaya.

Aku mengangguk, senang melihatnya selalu merespon berlebihan. "Awalnya robot diciptakan untuk memudahkan hidup manusia. Sampai kecerdasan buatan dikembangkan, robot-robot mulai semakin pintar dan akhirnya mengambil alih sendiri kekuasaan. Sulit mengendalikan mereka. Manusia terlalu serius pada aspek kemajuan. Sampai akhirnya, kita kalah dan menjadi tikus buruan."

"Darimana kau tahu semua itu?" Jolie berhenti di depan piston raksasa yang naik-turun menyemburkan uap. Kami mengambil jalan menyusuri dinding dan merasakan hawa panas mesin menerpa wajah.

"Jurnal. Ada di dalam tas. Bacalah kalau senggang."

"Yah, nanti, setelah mati aku akan punya banyak waktu kosong untuk diisi." Gadis itu terkekeh, seolah ngeri dengan ucapannya sendiri.

Mendadak, aku melihat kilatan biru di balik tiang penyangga pabrik. Biru dan bulat. Gawat! Aku langsung maju menabrak Diki dan meraih punggung kaus Jolie ke belakang. Kami berdua jatuh bertumpuk. Tetapi masih terlindung bayang-bayang. Hampir saja.

"Mata pengawas. Jalan memutar."

Diki dan Jolie mengangguk. Kami kembali mencari celah. Andai ada cara untuk berjalan santai tanpa harus dicurigai menara pengawas.

"Kenapa tidak menyamar menjadi robot?" saran Jolie. Aku menggeleng. Bahkan, meski tubuh kami delapan puluh persen berbalut metal dan pelindung baja, kami tetap dianggap sebagai manusia. Helm pun tidak berguna. Karena pengawas sudah terlatih membedakan mana mesin asli dan buatan. Beberapa kali ditipu membuat ia pandai mencari penipu.

"Kita tetap memutar."

Jadi kami mencari jalan lain yang lebih mepet ke dinding, berlindung di balik tangan pemilah. Beberapa ratus meter berhasil. Sampai akhirnya kami sampai di satu ruang terbuka dan terpaksa harus menyeberang ke tumpukan besi di depan.

"Seperti biasa, aku duluan." Aku maju, langsung berlari sambil berguling dan mendarat di balik tumpukan. Selamat.

Diki menyeberang, ia berlari sangat cepat, tidak sadar ada besi melintang di hadapan. Diki tersandung dan ia jatuh berguling menimbulkan suara berisik. Seketika mata pengawas berputar cepat ke arahnya. Warna biru berubah merah. Alarm berbunyi. Suara nyaring membelah telinga melingkupi ruang dengar. Bising. Sakit. Perih.

Kami ketahuan. Ketahuan!

"Ayo cepat! Lari!" teriakku. Jolie menenteng senapannya di punggung dan langsung menarik tangan Diki supaya lebih cepat bangkit. Aku memimpin pelarian dalam panik. Di mana, di mana, di mana. Di peta disebutkan, bahwa di atas pabrik ada bola kaca. Semoga benar. Jadi aku mencari tangga dan menaiki undakannya yang ribuan mencapai lantai atas.

Robot-robot pemusnah datang dari arah belakang. Mewujud berbagai rupa. Robot normal terdiri dari sepasang tangan dan kaki. Tetapi yang rakitan, yang berusaha memperbaiki diri sendiri setelah rusak beberapa kali, memiliki belasan tangan dan puluhan kaki. Bergerak seumpama kelabang. Beberapa robot merangkak dan memanjat naik ke dinding, mengekori kami lebih cepat.

Jolie bergerak lebih cekatan ke atas, di satu undakan, ia berhenti dan mulai menembaki beberapa robot terdekat. Satu tembakan cukup membuat mereka jatuh ke bawah. Tetapi sebagian, mulai menaiki tangga dalam jumlah ratusan.

"Bom!" sungutku. Diki melemparkan bom rakitan yang memiliki timer ke arahku. Mengaktifkannya. Melemparnya ke bawah. "Tutup telinga kalian." Kemudian menekan pemicunya sesaat setelah sampai di tangga tempat para robot bergerumul.

Guncangan terjadi. Tangga di bawah runtuh menghantam robot-robot di bawah. Beberapa masih gesit merangkak dan segera ditangani Jolie dengan senjatanya.

"Cepat naik!" perintahku. Tidak akan ada habis-habisnya jika kami berhenti dan menahan mereka di sini. Sementara di bawah sana, para pemusnah sedang bahu membahu memburu kami. Kilatan mata merah mereka seperti lautan api yang berusaha menelan kami hidup-hidup.

Jolie memimpin paling depan, diikuti Diki, dan aku. Kami terus naik dan naik. Robot-robot semakin dekat. Sudah ratusan anak tangga sejak pertama kali berhenti. Satu pemusnah berhasil mendarat di belakangku dan mengejar dengan belasan tangan tajam merangkak. Aku terus lari. Satu tangannya terayun nyaris menyandungku. Tapi aku terus berlari ke atas.

Sampai akhirnya ia semakin dekat, aku langsung berbalik menembakkan pistol listrik dan melumpuhkannya sementara. Menggorok lehernya. Kemudian membuang kepalanya jauh-jauh. Satu-dua robot lagi berdatangan dan aku terpaksa berhenti melawan.

"AAAKKHH!" Jolie berteriak. Aku spontan mendongak dan mendapati satu pisau baja menembus dadanya dari belakang. Darah merembes mengotori kaosnya, menggenang di bawah kakinya yang melayang. Diki ternganga. Aku lengah. Satu pukulan menghantam perutku seketika. Aku jatuh, tersungkur di tepi pembatas tangga. Hampir jatuh ke dalam lautan kematian.

Robot yang menghajarku kini berdiri mengangkang di atasku. Ia menghunuskan lengan berpisaunya. Seketika, aku mendapatkan pengendalian diri kembali. Aku langsung bangkit dan meraung kencang sembari menusukkan pisau pada dada dan menariknya naik ke tenggorokkan. Cipratan listrik tercipta, ia koslet, kejang-kejang, untuk kemudian mati dan aku melepas kepalanya.

Aku bangkit dan terus meluncur sembari menarik lengan Diki serta mengencangkan ikatan ransel. "Ayo!" Kami berlari meninggalkan mayat Jolie. Tanpa penghormatan, tanpa sempat mengheningkan cipta. Kami pergi menaiki ratusan anak tangga, menemukan sebuah pintu, dan segera masuk ke dalam untuk berlindung sesaat.

Kami terus berlari tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Semakin lama, suasana semakin sunyi. Entah sudah berapa puluh meter dan ruangan, kami tidak bisa berhenti dan berpikir semua sudah aman. Saat menemukan lorong ventilasi, kami langsung memasukinya dan melanjutkan perjalanan dengan cara merayap.

Kali ini, kami benar-benar aman. Saat itulah Diki mulai menangis dan terus menangis saat kami memanjat naik. Aku meninju kawat pembatas di atas kepala. Melongokkan kepala demi sekadar mencari lihat kalau-kalau ada pemusnah atau mata pengawas di kejauhan.

Saat yakin keadaan tenang, aku naik dan menemukan bahwa kami berada di atas puncak pabrik sekarang. Di pucuk kepala, di tempat seharusnya langit terlihat, ada kubah besi raksasa yang menutup sampai ke kaki pemandangan. Di celah-celahnya, cahaya jernih menyelusup membentuk tiang kuning-keemasan transparan. Inikah matahari?

Bola kaca ... logam?

Kedua tanganku terjulur, merengkuh hangat yang tidak bisa dipeluk tersebut. Rasanya mendebarkan. Bangga sekaligus asing. Mataku mulai memanas. Dadaku menyesak. Setiap napas rasanya seperti menarik besi ke dalam paru-paru. Inikah yang selama ini orang-orang perjuangkan? Kebebasan.

Diki di belakang, menatapku hambar dalam bola mata suram setelah melihat teman seanggotanya mati menggenaskan. Lalu ia ikut berdiri di sampingku. Melihat keseluruhan kota besi yang diciptakan mesin selama berabad-abad.

"Untuk apa kita menderita? Berjuang? Jika ujung-ujungnya mati dan semua kembali ke titik statis."

Untuk apa? Tidakkah ia melihat untuk apa selama ini aku mati-matian mempertaruhkan nyawa dan melihat banyak kematian. "Kebebasan." Aku menjawab tegas.

"Di dunia yang busuk ini, kebebasan hanya imaji."

"Tetapi mungkin jika kita yakin." Aku mendebat. Baru kali ini Diki sangat murung sampai-sampai wajahnya pucat dan bola matanya kosong kehilangan binar kanak-kanak. "Lihat Diki, di atas sana. Ada cahaya, ada langit, ada kebebasan. Di luar kota ini, ada tempat di mana robot-robot tidak akan mengganggu dan kita bisa hidup tenang sepuasnya."

"Tahu darimana?"

"Dari jurnal."

"Itu cuma buku orang-orang mati!" Diki berteriak. Aku mundur terkaget-kaget. Tidak biasanya ia sekeras ini. Kenapa? Apa yang salah padamu?

Aku hendak menyentuhnya, tetapi Diki menolak dan malah menjauhiku sambil membuang senjata. Ada apa? Lalu, dalam satu tarikan napas lama dan mengembuskannya, Diki melega. Kedua bola matanya kembali berwarna, namun kali ini lebih gelap.

"Terima kasih." Diki tersenyum. Kemudian lari sangat cepat menjangkau pilar cahaya di luar pagar. Diki melompat. Kedua tangannya melebar. Seolah terbang.

"DIKIIIII!!" Aku lari, menjangkau hampa di tepi jurang. Seolah jantungku baru saja lepas di bawah sana.

Tidak, tidak, TIDAKKK!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top