8

Alooo.

Setelah bab ini mungkin eke lambat apdet di wp, yes. Yang mo cepet silahken ke KBM app/KK. Masih gratis, kok. Wkwkw. Tenang aja.

Jangan lupa vote ama subscribe aja. Yang masih mau ke wp juga gapapa. Sabar nunggu ya. Bakal berjadwal selang-seling ama Ola. Bayarnya cukup pake vote ama komen aja. Yang suka ke twitter boleh share gapapa.

***

8 SCdHP

Kedatangan Farihah kemudian membuat rencana Hakim untuk mengunjungi supermarket demi membeli kebutuhan harian selama berada di rumah langsung tertunda. Alasannya karena Farihah ternyata datang dengan membawa seabrek makanan jadi yang ternyata dia buat sendiri khusus untuk menantunya sehingga hal tersebut membuat Yasinta terperangah, bukankah kemarin seharusnya Farihah merasa capek sebab dia juga jadi salah satu yang paling sibuk sepanjang mempersiapkan urusan pernikahan hingga resepsi usai?

“Jangan repot-repot, Bu.” Yasinta merasa tidak enak hati. Namun dia menelan air ludah saat melihat beberapa boks plastik penyimpan makanan keluar dari beberapa tas kain yang dibawa Hakim dari bagasi mobil ibunya. Bagaimana tidak? Aroma ayam goreng lengkuas yang sepertinya masih panas, sayur asem, beberapa boks empal daging dengan sambal balado, sup iga, satu boks besar karage ayam lengkap dengan saus, bahkan ada buncis goreng bawang putih, menggoda indra penciumannya. Dia merasa tidak keberatan menggeser piring sarapannya pagi itu dan merasa ingin melompat ke dapur, mengambil piring dan mencari nasi karena tahu, Farihah juga membawa satu termos berisi nasi panas mengepul.

Dia tidak tahu kalau memiliki seorang mertua seperti ini rasanya. Sepengetahuannya, mertua kadang kala jutek dan Okta adalah saksi hidupnya. Pernikahannya mesti kandas walaupun orang ketiga bukanlah wanita idaman lain, namun, ibu mertua yang merasa anaknya adalah miliknya dan menantunya lebih banyak membawa masalah ketimbang mengurus anaknya.

“Ayo. Ayo makan dulu.” Farihah mencari sebuah piring dan dia tersenyum saat melihat tumpukan piring bersih di kabinet. Meski tahu Yasinta belum mengambil alih dapur di rumah itu seperti kebanyakan perempuan lain, Farihah sama sekali tidak marah. Malah, dia sendirilah yang menyendokkan nasi panas mengepul ke piring dan juga mempersiapkan lauk sementara Yasinta disuruh duduk dan mengistirahatkan kakinya sehingga yang bisa dia lakukan adalah memandangi kesibukan di dapur pagi itu dengan tatapan seperti anak kecil yang menunggu dipanggil makan oleh ibunya.

Momen yang sama yang membuat Yasinta mengerjap, terutama setelah beberapa saat, Farihah mendekat dan selain piring penuh nasi, wanita itu juga membawa segelas air untuk menantunya. 

Harusnya, Mak Pak Hakim orangnya keji. Yasinta memperingatkan diri. Dia tidak boleh mudah terperdaya. Bukankah, Farihah Hadi adalah orang yang sama yang merebut suami tantenya?

“Makan yang banyak biar cepat sembuh. Nggak enak guling-guling kayak gini, mending kerja, bisa gosip sama teman-teman.” Farihah tertawa, sedang Yasinta hampir tergigit lidahnya sendiri. Kok, bisa, Farihah tahu kalau Yasinta doyan bergosip dengan rekan-rekannya?

“Ibu, kan, juga suka gosip.”

Dih

Yasinta hampir tidak pernah bergaul dengan Farihah dan Hakim karena selain sejak kecil dia sibuk dengan urusan sekolah, Ruhi Karmila juga tidak pernah menyinggung-nyinggung hingga akhirnya kematian sang ibu membuatnya menjadi sangat akrab dengan Ruhi dan di situlah dia mulai mendapatkan cerita dari penuturan tantenya tersebut. 

Tapi, kemudian dia menjadi bingung sendiri. Perlakuan Farihah ternyata berbeda dengan yang dia dengar selama ini dan setelah bertahun-tahun hidup tanpa ibu membuatnya kembali merindukan sosok penuh kasih sayang yang dulu tidak putus memberinya banyak cinta. Apalagi, kini dia menyaksikan sendiri kalau ibu mertuanya bersikap amat baik. Entah hal tersebut memang betulan atau kamuflase, Yasinta tidak bisa membedakan. 

“Makan yang banyak.” Farihah menyebut lagi. Senyumnya tampak tulus dan Yasinta terpaksa harus memalingkan wajah supaya Farihah tidak perlu melihat kalau saat ini dia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh.

“Iya, Bu.”

Untunglah, Farihah segera berdiri dan kembali melanjutkan pekerjaannya menyusun kotak-kotak makanan ke dalam kulkas sambil bibirnya menceramahi Hakim yang terpaksa menghabiskan masakan yang dia buat pagi itu. Penjelasan tentang dia tidak menyentuh Yasinta malah akan membuatnya berakhir celaka, karena itu, dia memilih tidak banyak protes dan menahan diri untuk tidak mencomot masakan ibunya karena jelas-jelas, dia harus menghabiskan dua porsi ayam panggang yang tadi tidak sempat dihabiskan oleh istrinya sendiri.

***

Farihah masih berada di rumah Hakim dan Yasinta hingga hari menjelang pukul dua belas. Ada saja hal yang dilakukannya, termasuk mencuci piring, merapikan dapur, bahkan mengepel lantai yang membuat Yasinta jadi tidak enak hati. Tapi, mertuanya hanya mengatakan kalau sedari muda, dia suka melakukan pekerjaan tersebut. 

Usai makan siang yang lagi-lagi disajikan menu berbeda dari yang pagi sebelumnya, Farihah minta izin menonton tayangan sinetron kesukaannya. Yasinta sendiri sampai memastikan dia tidak salah dengar ketika ibu suaminya berkata demikian.

"Ibu mau numpang nonton sebentar, boleh, ya, Nak?" 

"Loh? Ibu nggak perlu minta izin. Langsung aja nonton." Yasinta mengangsurkan remot TV yang membuat Farihah menepuk lutut kanan menantunya itu.

"Ya, janganlah. Kamu, kan, dari tadi nonton berita."

Padahal, sejak tadi televisi menyala dan Yasinta malah tidak memperhatikan layar. Dia sibuk berkirim pesan dengan Okta dan juga tantenya, Ruhi Karmila. 

"Ibu nggak sibuk? Biasanya ikut pengajian." suara Hakim kembali muncul setelah hampir dua jam dia berkutat di ruang kerja. Yasinta sendiri melirik ke arah suaminya yang kini memakai kaos polo berwarna hijau toska. Kulitnya yang bersih tampak cocok dengan baju yang dikenakannya. Apalagi, saat ini dia memakai celana bahan wol abu-abu gelap motif kotak-kotak di bawah lutut. 

Jika ada tokoh Korea paling cocok, mungkin, Yasinta bakal menyamakannya dengan Kim Soo Hyun. Namun, tubuh Hakim lebih berisi dan dia sangsi, bulu kaki suaminya sama dengan yang dimiliki oleh sang aktor. 

Dih, bayangin bulu, malah keingetan yang tadi. Otak, lo bisa skip dulu, nggak? Ntar aja pas gue nonton drakor, Yasinta memarahi diri. 

"Kamu mau ke kamar mandi, nggak?" 

Suara Hakim membuat Yasinta tergagap. Di saat seperti ini, kenapa Hakim malah membahas kamar mandi yang membuatnya makin teringat peristiwa tadi pagi. Belum sempat menjawab, Farihah yang sebelum ini ditanyai tentang pengajian menggeleng lemah.

"Ustadzahnya sakit. Tadi Ibu sudah duluan ke sana."

Ustadzah, loh. Yasinta memperingatkan dirinya. Kok, bisa, seorang pelakor rajin beribadah? Apakah Farihah melakukan semua itu karena menyesali semua kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu? Bukankah seharusnya dia datang dan meminta maaf kepada Ruhi? Tapi, seingat Yasinta, proses maaf-memaafkan itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu, sejak Rahadian Hadi mengakui kesalahannya kepada Ruhi, jauh sebelum Hakim lahir. 

Ah, seharusnya dia tidak mengabaikan cerita ini bertahun-tahun lalu. Kemampuan mengingat kisah keluarganya sendiri saja cepat sekali lenyap dari kepala Yasinta. Padahal, dia, kan, tidak bodoh-bodoh amat. Buktinya, seperti kata Okta, dia bisa mengalahkan ribuan pelamar yang mengincar posisinya sebagai pustakawan.

Walau sebenarnya, profesi pustakawan tidak setenar dokter, tentara, atau polisi. Dia tidak bakal heran bila di luar sana banyak yang tidak mengetahui seperti apa tugas dan pekerjaan menjadi pustakawan tersebut. 

"Hana, ke WC?" Hakim kembali menawari Yasinta. Kali ini dia memilih duduk di sebelah istrinya dan dengan santai meletakkan tangan hingga ke bahu Yasinta. Wanita itu sendiri melirik ke arah Hakim dengan sewot dan nyaris melempar wajah suaminya dengan bantal kursi ketika kemudian, Hakim meraih punggung tangan kiri Yasinta dan mengelusnya.

"Tangan lo." desis Yasinta. Suara dan tatapan matanya persis seperti Mak Lampir kejepit di saluran air.

"Ibu senang lihat kita skin touch kayak gini. Dari tadi beliau sudah curiga, kenapa kita nggak banyak ngomong." jelas Hakim yang membuat Yasinta cepat-cepat melepaskan pandang ke arah mertuanya yang tampak tersenyum, entah karena tayangan yang saat ini sedang ditonton atau karena perbuatan Hakim barusan. 

"Tapi, lo nggak diminta buat gerayangin tangan gue." Yasinta membalas dengan mengambil ibu jari Hakim, lalu memelintirnya dengan amat kuat sehingga suaminya mengernyit.

"Tuh, dilihat Ibu." Hakim memberi kode dengan mata dan yang Yasinta lakukan hanyalah menahan jengkel dan berharap kalau Hakim cepat pergi dari situ.

"Mas, haus." 

Hakim yang tadinya masih ingin menjahili Yasinta mendadak berhenti dan menakar tingkat kejujuran di wajah istrinya yang jelas-jelas berakting kalau dia haus. Tapi, dia tidak punya pilihan karena di saat yang sama, Farihah memanggilnya, "Kim, tolongin Hana." 

Hakim berdiri dan berjalan menuju dapur, sedangkan Yasinta menghela napas walau mesti sembunyi-sembunyi. Jangan sampai Farihah mengetahui kalau saat ini dia berusaha mengenyahkan bulu kuduknya yang berdiri gara-gara suaminya. 

Tidak lama, saat Hakim masih berada di dapur, ponsel milik pria itu yang tergeletak di dekat paha Yasinta bergetar pelan. Pop up notifikasi pesan Whatsapp sempat muncul walau saat itu layar mati dan nama Sarina berada di sana dengan sebuah pesan.

Jgn percaya sm dia. Kamu tahu betul, dia pnya seribu akal licik.

Idih, ngomongin siapa, sih? Gue? Akal licik? Emangnya gue apaan? Dasar Mal Sarina kurang ajar. Lo, tuh, yang nggak punya malu.

Sungguh, disebut sebagai seseorang yang punya seribu akal licik telah berhasil membuat darah muda seorang Yasinta Aurahana bergejolak dan begitu mendengar Hakim berjalan ke arahnya sambil bersiul, dia merasa perlu untuk membalas kelakuan dua orang itu, Hakim dan kekasihnya.

Yasinta meraih ponsel lalu memanggil Hakim dengan suara cukup keras agar Farihah bisa mendengar, "Mas, ada WA dari Sarina. Katanya jangan percaya sama dia, kamu tahu betul dia punya seribu akal licik. Ini kalian ngobrolin apa, sih? Sinetron?

Hakim membeku di tempat dengan posisi masih memegang cangkir berisi air minum, sementara Yasinta menunjukkan ponsel tersebut ke arahnya dengan wajah amat polos. Farihah, lain lagi. Raut wajahnya langsung berubah dan dari bibirnya mulai terdengar gumam tidak senang.

"Sarina? Kamu masih berhubungan sama dia? Nggak malu kamu, Kim?"

Farihah merepet panjang lebar dan memilih berdiri dari tempat duduknya untuk meminta penjelasan, termasuk meminjam ponsel anaknya dari tangan Yasinta. Hakim bahkan dibawa kembali ke ruang kerjanya dan mereka sepertinya berdebat di sana sementara Yasinta, mengirimkan sebuah pesan kepada Ruhi Karmila sambil tersenyum dan juga mengirimkan sebuah video pertengkaran ibu dan anak tersebut dengan wajah amat puas.

Perang Teluk, Emak vs Anak. Dirimu ada di tim mana, Tan?

Tim pecah kongsi, dong. Pinter banget ponakan eike.😘😘😘

Yasinta mengulurkan kepala, mencoba mencari tahu keadaan di kamar sebelah, tetapi lehernya kurang panjang dan dia cuma bisa mengetik balasan pendek kepada sang tante, Tambahin duit saku, yes. Buat beli Odeng.

Baru odeng, soal kecil, Sayangku. Besok kita meet up👍

"Putuskan dia sekarang juga. Ibu tunggu. Telepon dia sekarang." suara Farihah terdengar tegas, sementara Yasinta di ruang tengah ingin sekali berteriak "Mampus!" namun dia mesti menahan diri. Dia belum boleh berbahagia. Masih terlalu dini.

Dia juga tidak boleh lupa, sang putri keraton dibantu oleh netizen se-Indonesia raya. Bangga sebelum usaha mereka berhasil tidak bakal pernah bisa membuat dirinya atau Ruhi Karmila senang. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top