31

Bab ini kepotong setengah. Kalo ga kepotong, namanya kepiting🤣🤣🤣🤣

Betewe, yang soleha cukuplah sampai bab di wattpad aja. Yang solehot kalo penasaran, boleh ke KK.

Syarat lanjut bab, mudah. Cuma vote ama komen. Yang malas, ya lama juga apdetnya.

Siap-siap PO bentar lagi.

***

31 SCdHP KBM app

Wajah Hakim yang semringah ketika melihat Yasinta keluar dari lobi dan berjalan ke arah parkiran mobil sore harinya adalah hal yang jarang terjadi. Dia tidak pernah sesenang ini saat melihat sosok sang nyonya membuka pintu penumpang dan duduk di sebelahnya. Hakim juga ingat apa saja yang bakal dilakukan Yasinta ketika dia berada di mobil dan hal tersebut selalu dia tunggu setiap mereka bersama.

Pertama, Yasinta akan membuka sepatu kerjanya dan juga kaos kaki mirip stoking berenda yang hanya menutupi bagian kakinya yang dilindungi oleh pantofel. Setelah itu, Yasinta akan menyimpan kaos kaki miliknya itu ke dalam tas kerjanya, terbuat dari bahan kulit berwarna havana, model selempang yang merupakan milik abangnya. Tidak lama, Yasinta akan mengarahkan panel pendingin mobil ke arahnya dan dia akan mengipasi leher sebelum akhirnya membuka dashboard mobil dan mencari simpanan karet.

Di bawah jok tempat Yasinta duduk terdapat sepasang sandal jepit berwarna pink yang bersol agak tinggi, sekitar 5 cm. Dia akan menarik benda tersebut dan memakainya. Setelah itu, barulah Yasinta memasang sabuk pengaman. Jika istrinya sudah duduk santai, barulah Hakim akan menjalankan mobil. 

Akan tetapi, hari ini dia menginginkan sesuatu yang berbeda. Seperti pagi tadi, Hakim ingin Yasinta lebih mesra lagi kepadanya. Entah mengapa, dia mulai menyukai rutinitas tersebut, walau Yasinta kadang-kadang mengoceh, dia memerlukan Pak Didin bila hendak keluar kantor. 

“Belum salim.” Hakim menjulurkan tangan kanannya. Di saat yang sama, Yasinta menoleh ke arahnya dan menatap bingung.

“Tumben minta salim.” 

Meski heran, Yasinta mau-mau saja menuruti permintaan Hakim dengan mencium punggung tangannya. Setelah itu, dia merasa puncak kepalanya dielus lembut oleh suaminya yang masih cengengesan sejak tadi.

“Kenapa, sih?” Yasinta penasaran. Entah mengapa dia sadar kalau Hakim tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Lagaknya malah mirip pengantin baru padahal mereka sudah berminggu-minggu menikah dan tidak hanya satu kali ini saja Hakim mengantar jemput istrinya.

“Seneng, dong. Habis jemput istri.” Hakim membalas. Dia memastikan sekali lagi kondisi Yasinta yang kini sudah memasang sabuk pengaman dan Yasinta sendiri masih menaikkan alis sebelah kanan saking dia masih mencerna ucapan suaminya itu.

“Lah, biasanya juga kagak pernah cengengesan begini.” 

Hakim memilih berdeham dan menjalankan mobil keluar dari parkiran. Dia punya rencana agar Yasinta makin senang sore itu dan berharap istrinya tidak mengomel ketika mereka tidak mampir di warung makan pinggir jalan. Khusus untuk hari ini, Hakim sudah berniat mengajak Yasinta berbelanja. Dia juga ingin memberi hadiah seperti yang selalu dilakukan Ruhi kepadanya.

Karena itu juga, ketika mobil kemudian tidak melewati jalan yang biasanya dipilih Hakim menuju rumah mereka melainkan ke sebuah pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta, Yasinta menatap Hakim dengan pandangan ingin protes.

“Ih, kenapa ke mal?”

“Mau ngajak kamu belanja.” balas Hakim. Dia dengan cekatan memarkirkan mobil dan kemudian meminta Yasinta keluar. Hakim tidak peduli saat itu istrinya mengoceh dia hanya memakai sandal jepit dan buru-buru menggantinya dengan sepatu yang tadi dia letakkan di bawah tempat duduknya.

“Belanja apa? Di rumah masih ada telur, beras.” Yasinta mulai mengoceh. Di rumah mereka masih banyak bahan persediaan untuk memasak. Bila sang nyonya tidak suka memasak maka Hakim sebaliknya. Dia kadang menyiapkan menu makan malam mereka bila tidak sempat berbelanja di warung favorit Yasinta. Meski menunya masih seputar masakan barat, kalau lapar, Yasinta tidak pernah memilih makanan. 

“Semua yang kamu mau.” 

“Waw.” Yasinta kaget. Diamatinya Hakim dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Seharian ini memang tingkahnya agak sedikit berbeda dari biasa. Namun, tidak hanya itu. Yasinta merasa ketampanan Hakim nampak naik lima puluh persen dibandingkan biasa walau hari ini dia tampil dengan dandanan anak kantoran khas SCBD, kemeja slim fit warna broken white, celana wool, dan tentu saja tanpa dasi. 

“Agak mencurigakan, ini. Lo nggak ada niat mau cekik gue, kan, pas sampai rumah nanti?” 

Hakim tertawa dengan suara cukup keras sebelum dia akhirnya meraih tangan Yasinta untuk dia genggam selagi mereka berjalan menuju lobi mal. Bagaimana bisa dia mencekik leher Yasinta, sementara sang nyonya tampak begitu imut walau tatapannya seperti elang hendak mengincar mangsa.

“Mau kasih hadiah karena selama ini belum pernah. Kamu boleh beli parfum, baju, kosmetik, semuanya.” 

Hakim bicara seakan-akan dia tahu berapa harga perangkat mempercantik diri yang selama ini dibeli oleh Yasinta. Toh, harga hair dryer saja Hakim salah tebak. Mustahil dia tidak tahu kalau dengan gaji bulanannya, Yasinta lebih suka membeli nasi di warung pecel lele.

“Nggak usah. Gue masih punya stok sisa hantaran pas kita nikah kemarin. Jangan sok baik, deh.” Yasinta mencoba menolak. Namun, genggaman Hakim di tangannya menunjukkan kalau pria tampan itu serius dengan ucapannya. 

“Gue malu sebenarnya, pakai baju dinas begini.” Yasinta menoleh ragu-ragu ke arah sekeliling. Dia seharusnya memakai jaket atau cardigan saat masuk tadi. Akan tetapi, Hakim keburu mengajaknya masuk mal dan kepalang sudah berada di dalam, dia harus percaya diri menegakkan kepala.

“Kenapa?” Hakim bertanya bingung. Hari itu masih hari Senin dan di hari kerja mal tidak seramai biasanya. 

“Takut ditangkap Satpol PP.” Yasinta tertawa sambil memamerkan deretan giginya yang rapi. Meski dia bicara jujur dan saat itu sudah bukan lagi jam kerja, tetap saja Hakim terlihat tidak percaya dengan ucapannya.

“Ah, yang benar? Memangnya kamu bikin salah apa?”

“Keluyuran di mal.” 

“Kayak anak SMA aja.” Hakim menggaruk pelipis. Tidak mungkin bininya bakal digelandang dan diberi pengarahan di pos Satpol PP, toh sekarang bukan lagi jam kerja.

“Ntar siapin aja jaket di mobil supaya nggak ketara. Orang suka ngeliatin gue kalau jalan gitu, jadi nggak enak hati.”

Yasinta juga tidak tahu pasti penyebab orang-orang memperhatikannya. Apakah karena seragam atau dia adalah penyebab hancurnya hubungan Hakim dan Sarina. Tapi, satu bulan sudah lewat, gosip seharusnya mereda dan kini dari penuturan Okta, Sarina sudah mulai move on. Berita terakhir santer terdengar dia dijodohkan dengan pangeran dari kerajaan yang tidak Yasinta kenal. Dia juga tidak mau peduli. Namun jika berita itu benar, sudah pasti rakyat jagad maya akan bersuka cita dan tidak lagi mengerecokinya.  

“Iya. Pulang nanti langsung kumasukkan ke mobil.” janji Hakim yang membuat Yasinta terus mempertanyakan keanehan sikap suaminya yang di mata wanita berambut sebahu itu nampak lebih royal hari ini.

Mereka tiba ke konter kosmetik paling lengkap yang sering dijadikan tempat berbelanja para kaum hawa. Hakim mempersilakan Yasinta untuk masuk dan memilih produk perawatan kulit dan wajah serta make up yang dia suka hingga membuat Yasinta lagi-lagi menaikkan alis dan mengerutkan dari, “Ini serius? Gue bisa beli sendiri, sih, walau gaji PNS nggak cukup.” Yasinta sempat nyengir sebelum melanjutkan lagi, “Untung warisan bokap banyak.”

“Ya ampun, Hana. Aku sedih kamu bicara begitu sambil cengengesan pula. Beli yang mana saja kamu suka, aku bakal senang. Satu bulan ini aku hampir nggak memperhatikan kebutuhanmu, bahkan sampai pakaian dalam …”

Hakim berhenti bicara karena sadar dia akan mempermalukan dirinya sendiri kalau terus mengoceh. Hari ini dirinya milik Yasinta, begitu juga besok dan seterusnya. Dia harus mendapatkan kepercayaan dari istrinya bila ingin hubungan mereka makin hangat dan membaik.
“Bukan modus, kan? Ngomongnya pakaian dalam, tapi, ntar nyuruh beli baju dinas nerawang?” Yasinta menggoda sambil menaikturunkan alisnya. Tadi dia bilang tidak ingin berbelanja. Namun, sekarang di tangannya sudah terdapat dua buah lipstik yang siap dicoba, membuat Hakim selalu ingin tertawa. Bibir Yasinta selalu saja berkata tidak, namun satu menit kemudian dia akan membalas, “Lo yang maksa, ya, bukan gue yang minta.”

“Buat apa aku punya motif seperti itu? Pakaian dalam, kan, kebutuhan primer. Kamu bakal masuk angin kalau nggak pakai. Lagipula, aku nggak butuh baju dinas apalah seperti yang kamu bilang. Kalau aku mau, tinggal pelorotkan saja semuanya, biniku nggak bakal nolak.” 

“Asem!” Yasinta mengoceh. Lipstik tester yang sedang dia coba, melenceng jauh hingga hampir mengenai hidungnya dan Hakim menahan tawa melihat wajah istrinya jadi seperti itu, apalagi kemudian Yasinta dengan berisik memarahi dan mengatakan bahwa lipstik yang dia pakai tidak mudah luntur yang membuatnya cepat-cepat mencari BA alias sales produk tersebut demi minta dicarikan make up remover.

“Kalau ngomong begituan lihat sikon, dong, Pak.” Yasinta masih meneruskan omelan bahkan setelah mereka selesai belanja dan Yasinta melirik cermin lipat kecil demi memastikan bibirnya baik-baik saja.

“Sudah kulihat.” Hakim menjawab santai dan ketika Yasinta bersiap membalasnya dengan ocehan lain, dia menunjuk ke arah konter kue sus viral yang sudah pasti bakal disukai istrinya.

“Mau krim puff?”

“Mauuuk.” Yasinta membalas dengan senyum amat lebar. Dia kini bahkan memegang lengan kiri suaminya dan nyaris berjoget karena bahagia, “Pesan yang isi coklat sama durian.”

“Itu aja?” Hakim bertanya lagi, sementara ketika mereka berdua pada akhirnya memasuki gerai tersebut, Yasinta menunjuk ke arah rasa stroberi dan teh hijau sebagai tambahan.

Mereka berdua menghabiskan sekitar satu jam di dalam mal hingga akhirnya Yasinta mengajak pulang dan mampir di warung bakso selama beberapa saat untuk memesan menu makan malam mereka dan makan bersama di rumah. 

Ketika akhirnya waktu bersantai tiba dan mereka duduk berdua di depan TV, Yasinta lalu menoleh kepada Hakim dan menuangkan unek-unek yang sejak beberapa hari ini menguasai pikirannya.

“Boleh nanya?”

Hakim yang saat itu memegang remot TV menoleh ke arahnya dan mengangguk. Tidak lupa, tangan yang tadi memegang remot telah kelayapan ke sana kemari karena dia tahu, nyonya ceriwisnya tidak bakal protes lagi.

“Gue penasaran, Bapak nggak patah hati, gitu, pas disuruh Ibu putus sama dia? Terus pas kita campur, benerin ngebayangin gue atau dia?” 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top