29
Kemaren rame, pasti bab ini sepi.
Siapkan duit ya. Bentar lagi Hana-Hakim PO. Bareng Syauqi ama Gendhis insyaallah. Soalnya kalo sendiri, kasian dia🤣
Eke bundel paketannya. Mo pake gift atau kaga? Kaga pake gift, jadinya murce.
Gendhis ama Syauqi ada worknya, khusus di KK ama KBM. Tapi di KBM gabung di work Daisy ama Krisna dan ga sepuas di KK.
Bab ini banyak di-cut. Bab full ada di KK karena tidak ramah remaja dan anak-anak. Tapi, emak-emak sudah pasti bakal puas.
Bayar ya mak? Ya iyalah. 😅 yang gratis di sini aja. Ga usah ke sono, yang di bab ini juga dirangkum, pokoknya liwat aja gitu.
Maaak, kalo penasaran gimana?
Kaga usah, menurut yang udah bacak, kagak bagus. Caya dah ama eke.
Tapi, kalo pengen, eke kasih tahu, babnya bab 30 yak🤣🤣🤣
***
21+
Bocah dilarang mampir
Makmak mesti komen sama vote.
Yang gadis juga, kudu.
***
Seperti doanya tadi, malam akhirnya memang cepat datang dan karena dia memang menginginkan “jatah” dari sang nyonya Hakim memang melaksanakan semua ucapannya saat Yasinta bangun dari tidur siang mereka. Rumah sudah bersih disapu dan dipel, pakaian kerja untuk beberapa hari juga sudah disetrika. Dia benar-benar dibiarkan beristirahat hingga untuk makan malam pun, Hakim sengaja memesan layanan online dengan menu kesukaan Yasinta yang telah jadi kesukaannya juga.
“Bapak, ih. Ada maunya jadi baik begini.” Yasinta berseru saat dia berjalan ke meja makan. Saat itu sekitar pukul tujuh lewat tiga puluh dan ketika semuanya selesai, Yasinta menemukan kalau waktu sudah menunjukkan pukul delapan.
“Kalau nggak ditungguin, tahu-tahu aja udah malam dan besok mau Senin. Liburan panjang, kok, malah nggak kerasa?” keluh Yasinta ketika akhirnya mereka berdua menghabiskan sisa malam sambil menonton tayangan jalan-jalan ke Turki lewat TV kabel. Yasinta sendiri duduk memeluk bantal sofa, namun, Hakim kemudian datang mengganggu dan memintanya untuk duduk bersandarkan dada suaminya yang tidak ditolak sama sekali.
Yasinta bahkan hampir mengantuk saat Hakim mengusap-usap lengannya, sebuah hal yang dulu sering dilakukan sang mama ketika dia ingin bermanja-manja.
“Ngantuk lagi?” Hakim bertanya dan dibalas Yasinta dengan gelengan. Namun, saat itu juga Yasinta sadar maksud Hakim menanyakan hal tersebut karena sedetik kemudian, suaminya kembali menyatukan bibir mereka tanpa ragu dan Yasinta sendiri, yang terlalu kaget, hanya bisa menahan debar jantungnya yang berdetak jauh lebih cepat dibandingkan biasa.
Dia mau minta jatah, kah?
Tentu saja jawabannya iya, Yasinta memarahi dirinya sendiri. Hakim sudah memintanya sejak siang tadi dan sekarang, hampir tidak ada lagi hal yang perlu dilakukan kecuali, ya, membuat anak.
“Gue bau. Habis makan sambal terasi tadi.” Yasinta memberi tahu setelah kecupan-kecupan kecil yang diberikan oleh Hakim mulai menjalar ke mana-mana dan dia juga sadar, seragamnya malam ini tidak pantas disebut “Baju Dinas Mama-Papa.”
“Mau ganti baju juga.” Yasinta memohon karena Hakim makin menuntut walau dari bibirnya tidak keluar satu kalimat sama sekali. Bukan berarti Yasinta merasa dirinya jelek, tapi, mereka baru selesai makan malam beberapa saat lalu dan dia yakin, ketika makan tadi keringatnya mengucur deras.
“Bapak …”
Hakim seperti pria yang lepas kendali setiap Yasinta memanggilnya seperti itu. Tentu dia sering mendengar ucapan yang sama keluar dari bibir orang lain. Namun, yang satu ini amat spesial. Sejak pertama dia tidak mau memanggil Hakim dengan panggilan Mas atau Abang. Dia selalu menggoda Hakim dengan kalimat Pak Hakim dan Pak Jaksa, meski dua pekerjaan itu bukanlah pekerjaan suaminya.
“Binimu bau keringat …”
Hakim seolah menulikan telinga. Yang dia lakukan kemudian adalah membawa tubuh istrinya ke kamar mereka dan tanpa banyak basa-basi, menendang pintu kamar dengan kakinya supaya tertutup. Dia tidak mau peduli soal mulut bau terasi atau malah ketiak istrinya yang basah karena keringat ketika mereka makan tadi. Yang Iqbal Al Hakim tahu, dia harus segera menuntaskan hasrat yang selalu membuat pening kepalanya sejak berminggu-minggu lalu.
***
Yasinta terbangun tepat pukul empat, sebelum azan Subuh berkumandang. Dia mengerjap beberapa kali dan mendapati suasana kamar sudah terang. Berarti Hakim sudah lebih dulu bangun dan menyalakan lampu. Dia lantas terbangun dan menyingkap selimut.
Jajak darah bekas pertarungan mereka tadi malam sudah tidak ada lagi. Hakim segera mengganti seprai begitu Yasinta membersihkan diri di kamar mandi dan ketika keluar, dia terkejut menemukan suasana di atas tempat tidur mereka sudah berubah. Hakim sendiri tidak banyak komentar. Namun, dia juga sempat membuatkan mi kuah instan dengan dua butir telur ceplok rebus yang membuat Yasinta segera makan dan melupakan ngilu-ngilu di bagian bawah sana.
“Baik banget, Pak? Begini, ya, servis orang yang ada mau.” Yasinta memberi komentar sambil menyuap mi ke mulut. Hakim sendiri juga ikut makan dan tidak lama setelahnya, mereka memutuskan untuk beristirahat. Barangkali, pasangan suami istri lain langsung memilih tidur setelah malam pertama mereka. Akan tetapi, tidak buat Yasinta Aurahana. Iqbal Al Hakim tahu betul kalau nyonya berambut sebahu itu amat mudah kelaparan dan ketika melihat Yasinta tidak menolak masakan buatannya, Hakim tidak bisa lebih senang lagi.
Yasinta berusaha berdiri dan kemudian dia merasa ingin buang air, namun tahu kalau suaminya pasti sedang mandi di kamar mandi dalam kamar mereka. Karena itu juga, dia memutuskan untuk berjalan menuju kamar mandi di dekat dapur.
Langkah pertama sempat membuatnya mengernyit dan dia menarik napas, berusaha melonggarkan pernapasan yang terasa mengganjal. Di saat yang sama, pintu kamar mandi dalam kamar terbuka dan kepala suaminya adalah hal pertama yang dia lihat sebelum kemudian aroma sabun mandi khas pria yang dipakai Hakim menyapa indra penciumannya.
“Sudah bangun?” tanya Hakim dengan suara riang. Yasinta sendiri malu-malu berusaha menutupi rona merah yang tiba-tiba saja muncul di pipi begitu dia melihat perut suaminya yang tidak ditutupi handuk. Entah kenapa, dia merasa harus menoleh ke arah lain. Bahaya bila berlama-lama melihat perut dan dada kekar pria sinting yang menjadi pelaku yang menyebabkan dia menjadi tidak gadis lagi.
“Masak gue ngelindur?” balas Yasinta. Suaranya sedikit bergetar dan dia berharap Hakim tidak merasakan perbedaan itu. Dia merasa malu melihat wajah pria itu dan mengingat lagi perbuatannya pada tubuh Yasinta tadi malam membuatnya cepat-cepat memeluk tubuhnya sendiri.
“Ya. Namanya suami kamu nanya, Sayang.” Hakim mendekat dan memilih untuk meraih pinggang Yasinta, membuat sang nyonya hampir memejamkan mata, ketakutan, karena membayangkan Hakim bakal menggodanya lagi seperti tadi malam.
“Masih sakit?” Hakim bertanya dengan nada pelan. Diusapnya dahi Yasinta yang mulus tanpa jerawat. Kalau dipikir-pikir, dia belum pernah mengajak istrinya berbelanja barang-barang yang disukai Yasinta. Selama ini mereka berdua hanya mampir ke warung makan, restoran, atau bahkan jajanan kaki lima. Hal yang sama terus terulang hingga hari ini.
Hakim bahkan tidak ingat kapan dirinya menjadi pecandu makanan lokal. Bersama Yasinta, rasa-rasanya dia hampir melupakan semua kesukaannya saat di Amerika dulu. Kini, dia lebih menyukai gorengan, risoles, martabak, putu ayu yang kesemuanya berharga amat murah. Namun, tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan saat mereka berangkat lebih pagi dan duduk berdua di warung Mpok Ukem sambil menikmati menu sarapan ditambah secangkir kopi tubruk panas yang harganya tidak lebih dari lima ribu rupiah.
“Nggak tahu. Mau bilang nggak sakit, tapi pas di ajak jalan kayak ada yang ganjel. Mau bilang sakit, tapi gue nggak mati.”
Hakim tertawa mendengar ucapan Yasinta. didekatkannya dahi mereka dan disatukannya lagi seperti yang dia lakukan tadi malam. Tangan Hakim masih memeluk erat pinggang Yasinta dan dia tersenyum amat lebar, seolah merasa amat bahagia sudah menjadikan wanita yang kini berada di dalam pelukannya sebagai miliknya sendiri,
“Sampai kamu pulih, aku janji nggak bakal goda lagi.”
Kalimat barusan bukannya membuat Yasinta senang. Dia membalas Hakim dengan cubitan-cubitan kecil yang membuat tawa suaminya meledak. Hakim sendiri sampai harus melepaskan dekapan mereka dan mencoba menjauh karena sang nyonya sepertinya amat berniat untuk membuatnya cepat-cepat ke akhirat.
“Lo, sih, enak. Lah, gue, sampai hampir metong!” geram Yasinta yang akhirnya berhasil mendapatkan perut Hakim kemudian mencubitnya dengan amat kuat hingga pria itu memohon untuk dilepaskan, “Ampun. Ampun, Hana. Aku nyerah.”
Yasinta tentu saja tidak memberi ampun dan makin semangat mengomel. Dia baru berhenti ketika kaintan handuk Hakim terlepas dan momen yang sama membuat Yasinta berteriak lalu menutup matanya sendiri.
Kenapa dia merasa deja vu?
“Lah, kenapa malu? Bukannya semalam udah lihat dan merasakan juga?” Hakim terkekeh, mengambil handuk lalu memasangkannya lagi di pinggangnya dan memutuskan berjalan menuju lemari pakaian sementara Yasinta sendiri berjongkok dan mengoceh entah apa yang cuma bisa dia sendiri dengar.
“Dua hari lagi, pasti sudah sembuh, kan?” Hakim mengedip jahil kepada Yasinta yang kini mengangkat kepala dan menatap suaminya dengan pandangan amat jengkel.
“Enak aja!”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top