17

Makasih komennya yang rame rame itcyuu.

Eniwe, dah bab 50 di KK dan 52 di KBM. Isinya sama aja. Tapi, di KK lebih panas membara soalnya merah, kalo KBM kan ijo🤣

Apakah Neng Yasi bakal naksir Pak Hakim?

Apakah Pak Hakim Baeek?

Percayalah, anak eke yang jahat cuma Lusiana😜
***

17 SCdHP

Walau Farihah serta Hakim sendiri terus meyakinkan Yasinta Aurahana bahwa pria berusia dua puluh delapan tahun tersebut tidak lagi punya hubungan dengan Raden Sarina, nyatanya, Yasinta masih membaui aroma CLBK setiap dia mencuri-curi pandang pada kegiatan suaminya. Kadang juga, Yasinta meminta Pak Didin menyelidiki tindak-tanduk suaminya setiap mereka berpisah sampai akhirnya didapat hasil yang akurat karena Pak Didin tidak pernah berkhianat kepada Neng Yasi kesayangannya.

“Sampai kantor langsung kerja, Neng.” ucap Pak Didin di kedai soto seberang perpustakaan saat makan siang dua hari setelah peristiwa di pameran. Mereka bertemu karena Yasinta ingin tahu sifat lain suaminya yang kemudian segera dibahas oleh informan yang paling dia percayai di dunia.   

“Ah, masak? Emangnya bapak ikut naik ke kantornya?” Yasinta tidak percaya ucapan Pak Didin. Sambil menyeruput kuah soto, dia melirik sang sopir, minta penjelasan tambahan.

“Soalnya Bapak tidak melihat Mas Hakim turun. Lagian, wanita yang seperti kata Eneng, Mbak Emal itu tidak datang.”

Bahkan, Pak Didin pun ketularan memanggil Sarina dengan panggilan Mal, pikir Yasinta. Untung saja dia tidak tersedak kuah soto saat mendengar nama kesayangan kekasih suaminya itu disebutkan.

“Dia pacaran lewat video kali, kayak Zoom atau Google Meet, gitu. Pak Didin, tahu, kan? Yang waktu aku WFH kemarin.” Yasinta mencoba memperluas wawasan sang sopir. Pak Didin sendiri hanya membalas dengan gelengan.

“Wah, tidak tahu, Neng. Bapak nggak punya aplikasi itu. Cuma modal jepret-jepret foto aja.” Pak Didin menunjukkan gambar Hakim di ponselnya. Sebenarnya, ponsel Pak Didin adalah ponsel Yasinta yang dia berikan karena Ruhi sudah membelikannya ponsel baru. Yasinta sendiri merasa amat sayang menjual ponsel tersebut dan semua data sudah dia pindahkan ke ponsel yang baru. Kebetulan Pak Didin selalu setia dengan ponsel jadulnya yang cuma bisa menelepon dan berkirim SMS. jadi, setelah dia menghadiahkan benda tersebut kepada Pak DIdin, maka sang sopir selalu menggunakan aplikasi kamera untuk berswafoto. 

Walau hasil jepretannya kabur, Yasinta masih bisa melihat sosok suaminya hari itu. Hakim memakai setelan berwarna krem dan juga celana jin berwarna senada. Dia tidak memakai dasi melainkan jas hitam bahan wol yang selalu membuat Yasinta bertanya-tanya, apakah Hakim tidak merasa gerah di saat Jakarta sudah begitu panas. Namun, sejurus kemudian dia sadar, Hakim memiliki kulit putih bersih. Mungkin itu juga taktik yang dilakukan pria tersebut agar terbebas dari serangan UV yang amat ganas.

Ah, sembarangan lo. Kalau modal jaketan doang bisa bikin putih, gue nggak bakalan mau lagi beli sunblock ama sunscreen.

“Lagian, Bapak bingung, Neng. Kenapa suami sendiri mesti dibuntuti? Bukannya kalau Neng ada perlu, bisa langsung telepon?”

“Ah, Bapak. Mau tahu aja atau mau tahu banget?” Yasinta mengalihkan wajah ke mangkok soto. Kadang, Pak Didin suka menggoda dan hingga detik ini dia selalu menganggap kalau Hakim dan Yasinta saling mencintai satu sama lain.

“Ya, terserah Eneng, mau ngasih tahu atau nggak. Bapak, mah, penasaran. Kan, kalau rindu, bisa langsung tinggal bilang.”

Untung saja Pak Didin tidak melihat saat Yasinta membuat raut hendak muntah ketika kata rindu disebutkan. Bagaimana bisa dia mencintai Hakim? Memang di matanya dia adalah pria yang baik, patuh kepada sang ibu. Namun, sudut hati terdalam Yasinta mengatakan kalau pria itu amat pandai bermain peran dan saat ini, Yasinta yakin sekali kalau Hakim sedang berusaha mengambil hatinya.

"Menurut Bapak, Mas Hakim itu tipe setia. Bapak sering lihat Mas Hakim senyum-senyum sehabis menelepon Neng Yasi. Jarang-jarang ada pria seperti itu ketika menelepon istrinya." 

Pak Didin dengan penuh antusias menceritakan tentang Hakim seolah dia adalah juru bicara pria itu. Yasinta sampai melongo dibuatnya. Padahal, tujuan memata-matai suaminya adalah agar tahu interaksi antara Hakim dan Sarina. Jika ada, Yasinta bakal melapor ke Ruhi dan juga Farihah. Kepada Ruhi sebagai pertimbangan dan kepada Farihah sebagai ajang tontonan menyenangkan. Entah kenapa dia amat menyukai melihat Hakim dimarahi oleh ibunya sendiri. Ada perasaan puas yang tidak bisa dibayar dengan uang dan dia sangsi, Sarina bisa melakukannya. 

Apalagi, setelah kena marah, Hakim tidak marah atau mengoceh dan malah memperlakukan Yasinta dua atau tiga kali lipat lebih baik daripada biasa. Hal tersebut amat menyenangkan, seperti menonton salah satu adegan dalam drama kesukaannya. 

Namun, setelahnya, Yasinta tersentak. Dia mulai menyukai adegan penyiksaan tersebut. Apakah Yasinta menjadi pecandu BDSM? Semakin merana wajah Hakim dimarahi oleh sang ibu, semakin puas hatinya menertawakan betapa patuhnya anak tunggal dari Rahadian Hadi tersebut. 

Rasain. Lo kena marah ama emak lo. Pernah, nggak, ngebayangin gimana sakitnya Tante waktu tahu lo lahir ke dunia? Gue yang dengar ceritanya aja sedih. Pokoknya, sampai luka Tante terbalas, gue bakal terus bikin lo kesusahan.

“Neng, mah. Pura-pura nggak sayang ama suami sendiri. Padahal, Bapak juga tahu kalau Neng suka ngeliatin Mas Haki …”

“Aih, Bapak ngomong apaan? Mana ada ceritanya aku genit-genit. Sudahlah, mau jam satu, nih. Aku mesti balik.”

Pak Didin mengangkat kepala begitu Yasinta meloncat dari tempat duduk dan buru-buru berjalan menuju kasir. Selain membayar jatah makan siangnya, dia juga membayari makan siang Pak Didin. Walau gajinya kalah dengan uang jajan bulanan alias gaji bagian royalti dan saham perusahaan, tapi, ada kepuasan tersendiri mendengar notifikasi SMS-Banking setiap tanggal satu, tanda dia telah mendapatkan hasil jerih payahnya setelah bekerja dengan segenap kemampuannya, bukan mengandalkan warisan orang tuanya.

Meski begitu, Yasinta juga tidak menepis dia masih memanfaatkan uang dari almarhum ayah dan ibunya untuk membuka bisnis baru. Dia tidak tahu nasibnya sebagai istri Hakim bakal bertahan selamanya atau malah sebaliknya, sehingga dia juga telah membuat beberapa kos-kosan serta ruko yang bisa disewa dengan harga terjangkau. Untuk itu, dia amat berterima kasih kepada Ruhi yang cerdas karena telah mengajarkannya banyak hal untuk bertahan hidup, walau seribu orang tidak bakal mempercayai usahanya, bahwa Yasinta Aurahana yang mereka kenal hanyalah Nona Penuh Drama yang cuma mampu merebut kekasih orang.

Cih. Jika mengingatnya, dia merasa ingin meninju hidung para netizen yang memiliki jari setajam cakar macan. Sayang, dia seorang aparatur sipil negara yang mestinya mengayomi dan menjadi contoh, sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah menelan kekesalan yang menumpuk setinggi gunung Fuji.    

Pak Didin menyelesaikan makan dan buru-buru mengejar Neng kesayangannya yang kini sudah berjalan ke luar warung soto. Langkahnya masih sedikit tertatih dan dia berjalan tanpa menoleh lagi ke arah Pak Didin yang masih menyusul. 

“Sabar atuh, Neng. Baru jam dua belas lewat lima belas.”

“Ya, mau salat juga.” Yasinta bersiap menyeberang jalan. Tangan kanannya teracung dan Pak Didin menahan tawa melihatnya.

“Neng, ini bukan di Jepang. Tangannya nggak perlu tinggi sampai pamer ketek kayak gitu. Sini, Bapak ajarin.” Pak Didin berjalan lebih dulu di depan Yasinta dan memperagakan cara menyeberang dengan benar. Sejak dulu, Yasinta selalu ditemani oleh orang-orang terdekatnya setiap menyeberang jalan. Setelah orang tuanya meninggal, Pak Didin kadang sengaja memutar mobil supaya Yasinta tidak perlu menyeberang sendiri. Jika dia harus melakukannya, maka, dia hanya tahu mobil bakal berhenti jika dia mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi ke udara.

“Ah, Pak Didin, jangan gitu. Aku bisa sendiri.” Yasinta membela diri.

“Jangan, Neng. Pak Didin bisa.”   

Yasinta menyerah. Dia membiarkan Pak Didin bertindak sesuka hatinya, berusaha menghentikan mobil yang lalu lalang supaya Neng kesayangannya bisa menyeberang dengan aman dan yang bisa dia lakukan adalah tersenyum dan berharap Pak Didin selalu bersamanya sampai puluhan tahun lagi.
***
Saat hari menunjukkan pukul tiga sore, ponsel Yasinta berdering dan dia menemukan nama suaminya, Iqbal Al Hakim yang dia tulis dengan nama “Pak Kim Ting” alias Pak Hakim SInting. Untung saja tidak ada yang tahu arti tulisan tersebut kecuali dia sendiri dan Hakim yang sempat melihat nama tersebut ketika berada di rumah segera mengaitkan namanya dengan artis Korea yang membuat Yasinta cuma mengiya-iyakan saja demi menghindari masalah. Jika Hakim tahu arti sebenarnya, pastilah dia bakal mengamuk. 

“Ngapain telepon?”

“Jawab salam, kek. Hukumnya wajib.”

Ingatkan Yasinta kepada siapa dia berbicara saat ini. Seorang Iqbal Al Hakim memintanya buat menjawab salam sedangkan pria itu saja belum menjalankan kewajibannya sebagai suami.

“Bobol bini, kek, hukumnya lebih dari wajib. Masak sanggup ngehalalin doang, sanggup ijab kabul, tapi nggak kuat melorotin daster gue.” Yasinta tertawa geli. 

“Kalau nanti malam aku pelorotin dastermu, jangan nangis, ya. Disuntik dokter aja dua hari kamu sesenggukan, apalagi disuntik suamimu sendiri.” balas Hakim dengan suara amat tenang, sehingga Yasinta tergigit bibirnya sendiri. Dia pun tanpa sadar mengeluarkan nada sedikit tinggi, tidak peduli saat itu dia berada di antara rekan kerjanya yang lain.

“Enak aja. Emang lo yang ogah goda-goda. Gue udah mancing, udah pasrah …” Yasinta berhenti bicara karena Okta mencuil lengannya dan tatapan mata rekan kerjanya itu agak malu karena selain dirinya, ada Adli dan juga Pak Herman yang kebetulan berada di tempat tersebut.

“Astaga … “ Yasinta menutup wajahnya dan buru-buru ambil langkah seribu sambil   sempat memarahi Hakim yang kini tertawa mendengar kegaduhan di ruang arsip perpustakaan tersebut. Tidak usah diberi tahu, dia paham kenapa para pegawai di perpustakaan menjadi heboh.

“Gara-gara lo.” Yasinta mengoceh panjang lebar kepada suaminya dan Hakim yang tidak merasa bersalah pun membela diri, “Aku belum ngomong apa-apa, loh. Memang kamu saja yang dari awal bandel. Coba kalau salamku dijawab.”

“Habisnya lo sok alim gitu.”

“Cuma jawab salam, itu kayak kita dikasih duit gratis yang kalau ditolak sayang. Makanya, sudah dikasih Tuhan pahala lewat balas salam doang, kamunya ogah.”

“Lo yang bikin masalah.” Yasinta ngotot tidak mau kalah. Hakim tidak boleh menang melawan perdebatan di antara mereka berdua dan Yasinta belum pernah dibuat semalu ini oleh seorang pria.

“Iya, deh. Maaf, ya, Nyonya. Sekarang kamu keluar. Aku sudah di parkiran.”

“Ngapain lo di parkiran? Ada Pak Didin di luar. Gue juga masih kerja. Lihat Pak Ustadz, ada cowok sok alim, tapi ngajak gue kabur kerja.”

Hakim terdengar mengucap istighfar. Yasinta kadang-kadang lupa bahwa dia punya janji dan kini menuduh suaminya bakal mengajak dia kabur.

“Jam setengah empat kamu jadwal terapi, Hana. Masak sudah lupa? Aku ke sini buat jemput. Memangnya, kamu mau sama Pak Didin? ”

“Nggak.” Yasinta refleks menjawab. Walau dia sudah amat sayang kepada sopir abadinya itu, Yasinta tidak sanggup membayangkan dia berpegangan tangan dengan Pak Didin. Apa kata dunia? Netizen yang memergoki bakal mengunggah foto-foto mereka dan menuduh Pak Didin adalah Papi Gula alias sugar daddy Yasinta.

“Ya udah. Kamu izin sama Pak Herman. Kasih lihat surat kontrolnya. Aku ke dalam sekarang.”

Yasinta baru akan menjawab iya dan mematikan sambungan telepon ketika Hakim kemudian bicara lagi, setelah sebelumnya dia sempat berdeham, “Soal daster, segera setelah kakimu sembuh, kita balas dendam.”

Hakim memutuskan panggilan, sementara Yasinta yang terlalu kaget tidak sadar telah melepaskan ponsel miliknya hingga benda itu meluncur dan mengenai ibu jari kaki kanannya. Dia menjerit dengan suara kuat dan menyebutkan penghuni kandang ternak sesuka hatinya.

“Kambing congek, kebo mencret, kaki gue, ya Allah …” 

Si Hakim sialan itu, mana mungkin bisa menyerangnya. Ingatkan dia untuk membuka mata Hakim besar-besar, suaminya tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai laki-laki, karena perabotnya cuma mau bereaksi dengan Raden Sarina, bukan dirinya, Yasinta Aurahana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top