1
Anu, sebelum mulai eke ingetin, eke ini pelupa. Tar di awal nulis umurnya berapa, di ujung jadi berapa. Namanya juga beda, di awal Hana, eh, jadi Yasinta.
Nama bunganya adalah Yasinta. Bahasa inggrisnya Hyacinth. Hana itu bunga di dalam bahasa Jepang. Jadi terjemahannya Aura Bunga Yasinta.
Kok bagus?
Yaiyalaaaaah. Eke gitu. Wkwkkw.
***
Usai apel pagi dan membuka ruang baca, serta mempersilakan para pengunjung untuk masuk, Yasinta memiliki seorang langganan yang datang khusus menjenguknya setiap pukul sepuluh pagi. Walau sebenarnya bukan tugasnya, Yasinta akan menemui pengunjung tersebut dan mengantarnya ke pojok baca anak-anak remaja yang posisinya berhadapan dengan ruang baca umum.
Pada jam segitu, Okta akan turun sebentar dari kantornya di ruang arsip dan menunggu di bilik petugas ruang baca umum menggantikan Yasinta hingga waktu kunjungan tamu tetapnya usai dan mereka melanjutkan tugas berikutnya.
Namun, sebelum agenda tersebut dimulai, Yasinta dikejutkan dengan karangan bunga mawar berwarna pink amat cantik dan harum, semuanya masih segar, seukuran manusia dengan buket sama cantiknya yang membuat Yasinta melongo.
"Ya ampun, duitnya berapa itu semua?"
"Tabungan Anno dua bulan, Miss." jawab seorang lelaki dengan kumis tipis dan rambut di sisir serong. Aroma parfum citrus membuat Yasinta merasa rileks dan teringat body cologne yang dia punya ketika masih SMA dulu. Tapi, nggak mungkin, kan, pria tiga puluh enam tahun di hadapannya ini memakai She La La La La La?
"Seharusnya nggak perlu." Yasinta menatap pria lawan bicaranya itu. Tapi, bocah berusia dua belas yang bernama Anno tersebut malah mengangsurkan sebuah kantong kertas berwarna pink dengan motif bunga dan juga ikatan pita kepada Yasinta.
"Buat kado Miss Yasi. I beli sendiri. Custom di penjahit. Isinya celemek. Selamat menempuh hidup baru. Jangan makan ramen terus. Nanti usus you keriting. Yah, memang aslinya keriting, sih, literally beberapa meter …"
Anno merepet panjang lebar dengan bahasa campuran Inggris dan Indonesia ditambah wejangan dan ilmu sedangkan pria yang menemaninya kemudian menyentuh bahu gadis muda itu dan bicara, "Oke, Anno. Kita ke mejamu, ya. Papa juga mesti jaga toko."
Anno yang memiliki rambut sepanjang telinga, menoleh kepada papanya dan dia mulai melakukan ekolalia, "Jaga toko. Jaga toko. Jaga toko. Tokototokototok Tokototokototok Tokototokototok Tokototokototok."
Tatapan mata Anno bukan mengarah ke sang ayah atau kepada Yasinta. Namun, meski begitu, tidak tampak kebingungan atau rasa panik di wajah keduanya ketika dia bersikap seperti itu. Malah, Yasinta sendiri pada akhirnya menyentuh bahu Anno selama satu detik sebagai tanda kalau sudah saatnya dia berpisah dengan ayahnya. Tentu saja, hal tersebut dilakukan sesudah dia meletakkan kado pernikahan dari bocah itu ke ruangannya dan Yasinta kemudian mengajaknya ke sebuah ruangan membaca yang jauh lebih kecil.
Ada beberapa buku pengetahuan di sana, tetapi, fokus Anno biasanya kepada sebuah meja. Terdapat sekumpulan miniatur planet dan mereka kadang menghabiskan waktu memandangi benda tersebut selain, tentu saja, berbalas kata dan berdiskusi.
"Tokototoktoktototok tok … " Anno masih menggumam sewaktu Yasinta membuka pintu ruang tersebut. Pendingin ruangan sudah dinyalakan sejak tadi dan hanya ada mereka berdua di sana. Yasinta memilih mengambil sebuah buku tentang planet dan kemudian beberapa komik berjudul Sailormoon versi berwarna yang sebenarnya sudah sangat usang. Namun, pengunjung setia perpustakaan itu, amat menyukai ceritanya sehingga kadang dia membacanya berkali-kali.
"Mau baca sendiri atau dibacain?"
Yasinta masih berdiri di dekat Anno yang kini menatap sekumpulan tiruan planet seolah-olah benda tersebut adalah cowok paling ganteng di dunia. Tetap tidak ada jawaban sampai dia memanggil lagi, "Anno, kamu baca sendiri?"
Anno lantas menoleh dan menemukan kalau Yasinta sudah memilih duduk di karpet puzzle berwarna dasar hijau. Agak sedikit kontras dengan seragam KORPRI yang dia pakai saat ini. Anno membalas dengan suara kecil, "Baca sendiri." dan kemudian dia ikut duduk di sebelah Yasinta.
Suasana ruang tersebut sepi. Hanya ada mereka berdua di sana. Sejak kebanyakan buku berpindah menjadi bentuk digital, pengunjung perpustakaan tidak sebanyak dulu. Petugas perpustakaan juga tidak melulu mengurusi buku, melainkan juga arsip daerah. Kadang, untuk memancing minat, diadakan bedah buku, pameran buku murah, temu penulis, dan juga pelatihan.
Pelatihan yang diadakan tidak melulu soal menulis. Ada juga pelatihan menjadi pustakawan masjid atau sekolah, menjadi editor, dan banyak lagi. Tapi, yang paling Yasinta sukai tentu saja bertemu dengan anak-anak spesial seperti Anno.
Anno sendiri bukan menjadi pengunjung perpustakaan tanpa alasan. Di bulan pertama Yasinta bekerja, dia masih sangat berduka karena ditinggal kedua orang tuanya. Saat itu, Anno kecil datang bersama ayahnya. Pria itu juga sedang hancur. Istrinya meninggal, juga karena wabah COVID-19. Seperti Anno, ibunya juga istimewa dan kehilangan belahan hati membuat pria itu semakin tidak sanggup mengasuh anaknya yang berkebutuhan khusus.
Dia tidak setelaten istrinya yang tahu betul keadaan sang putri karena kondisi mereka hampir mirip. Ada masa di mana Anno regresi dan mengamuk, tidak bisa dikendalikan. Dia juga harus diet makanan dan menjadi luar biasa aktif bila diet tersebut bocor. Lebih parah lagi, bila ada efek full moon. Energi Anno akan meningkat berkali-kali lipat dan tanpa ada penyaluran, dia akan bergadang dan tidak tidur hingga satu minggu lamanya.
Ayah Anno tidak mengerti bahwa tugas istrinya teramat berat karena dia sendiri harus mencari nafkah. Pertemuan Anno dan Yasinta, membuat gadis muda itu menjadi lebih terkendali dan sampai di tahun ke tiga, Anno tidak pernah alfa menemui Yasinta di perpustakaan, kecuali hari libur dan tanggal merah, saat perpustakaan harus tutup.
"Miss, you tahu kenapa Pluto nggak disebut planet lagi?"
"Ai kaga tahu. Coba jelaskan."
Anno panjang lebar memberi tahu, sedangkan Yasinta dengan semangat menatapnya. Meski begitu, tatapan Anno tidak terarah kepadanya dan sesekali, dia tertawa karena memandangi adegan yang menurut Yasinta biasa saja. Begitu senangnya Anno, dia sampai tidak sadar dan berdiri lalu menubrukkan tubuhnya ke dinding dekat meja yang berisi tiruan planet tadi hingga Yasinta menghambur ke arahnya dengan panik.
"Waduhh, awas kepalamu bocor."
Yasinta memarahi diri karena sempat lalai dan dia buru-buru mempercepat langkah demi memeriksa Anno yang kini memilih bicara kepada Yasinta daripada mengkhawatirkan lukanya, "Pluto disebut planet kecil … "
Mulut Anno terus mengoceh dan Yasinta lebih memilih memperhatikan luka di kepala Anno yang sebenarnya tidak berdarah. Namun benjolan sebesar bola golf yang muncul di dekat pelipis membuat dia menghela napas.
"Anno, kalau kepala kamu lepas, Miss Yasi bisa ditendang bos Herman dari perpus."
Bos Herman adalah kepala gedung perpustakaan dan arsip daerah tempatnya bekerja saat ini dan Anno mengetahui hal tersebut dengan jelas di hari pertamanya datang ke perpustakaan. Hari itu juga, Anno mempelajari daftar nama pegawai, urutan struktur organisasi perpustakaan dan menjelaskan hal tersebut kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Sang ayah yang kala itu merasa hampa, membiarkan saja Anno bicara dan ternyata, pada akhirnya, yang menyimak hanyalah Yasinta yang masih dalam suasana berkabung usai kehilangan sang papa.
Mereka berdua menjadi akrab dan kemudian, karena Anno tidak menyukai suasana bising, dibuatlah ruangan yang sekarang mereka datangi, sekaligus untuk memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus lain yang memiliki minat ke perpustakaan.
Namun, minat Anno tidak hanya soal planet. Di sekolah, dia diajarkan keahlian dan juga cara bertahan hidup di tengah gempuran modernisasi dan papa Anno memilih sekolah luar biasa yang memfokuskan diri untuk kemahiran hidup, seperti membuat karya seni, menjahit, tata boga, perhotelan, dan semacamnya.
"I tahu dia nggak sekejam itu. Lagian, nggak sakit, kok."
Jelas tidak sakit, pikir Yasinta. Anno hampir tidak mengerti apa itu rasa sakit walau tubuhnya terluka dan tidak sekali Yasinta kebagian tugas menjadi orang yang membantu membersihkan luka Anno saat dia tidak sengaja tergelincir, terpeleset, terjungkal, atau seperti ini, menabrakkan diri.
"Sama seperti kata you, Miss, lihat cowok ganteng, tapi nggak bisa dimiliki. Sakitnya setara, kan?"
Mau saja Yasinta menyembur Anno dengan membalas, daripada patah hati, dia lebih suka benjol. Tapi, Yasinta lebih percaya kalau Anno tidak bakal mengerti.
"Nggak gitu, juga. Kadang, cuma lihat dari jauh aja udah hepi, kayak lihat Oppa Gong Yo."
"Ah, temen I bilang, itu bukan Oppa, tapi kakek." Anno bicara jujur, "Tidak muda lagi. Apa you punya kecenderungan suka sama pria berumur, Miss? Tapi, I tahu, your husband masih muda. 28 tahun, kan?"
Buset. Yasinta sampai meneguk air ludah mendengar kata-kata Anno barusan. Tidak mengapa dia menyebut artis kesukaan Yasinta dengan kakek atau kata tidak muda lagi, karena kebanyakan, anak muda menyukai figur publik yang lebih segar dan enerjik. Tapi, ketika Anno menyebut suami Yasinta beserta umurnya, tahulah dia, kemampuan Anno cukup menyebalkan buat rata-rata anak berusia dua belas tahun.
"You do love each other, kan? Makanya bisa menikah."
"Yes."
Bilang yes, saja, pikir Yasinta. Melarikan diri dari masalah adalah hal paling mudah dan Anno kemudian memilih tersenyum atas respon tersebut.
Namun, entah karena kebetulan atau bagaimana, sesaat kemudian, ponsel Yasinta berdenting dan sebuah pesan masuk. Nama suaminya tertera di bagian atas sekali pesan Whatsapp dan dia menggigit bibir usai membacanya.
Pak Didin bakal jemput satu jam lagi. Kita makan bareng. Ibu mau kita bertemu dengan Pak De.
Aih. Aih.
Ibu mertuanya mengajak bertemu, padahal kemarin semua sanak keluarga suaminya sudah bertemu di pesta resepsi. Mengapa kini mengajak bertemu lagi? Yasinta bukan tidak menghargai, tetapi, mereka semua sepertinya lupa kalau menantu mereka adalah kacung negara dan satu jam lagi dia harus menghadiri rapat bersama dengan pimpinan mereka.
Kg bs. Gw rpt.
Yasinta membalas dengan cepat. Masa bodoh kalau pria itu marah. Salah sendiri menikah dengan dirinya.
Pak De mau pulang, makanya kita ketemu sebentar.
Ih! Dodol banget, sih.
Yasinta sempat menoleh sebentar ke arah Anno yang kini melihat-lihat ke arah rak buku yang berada tidak jauh dari mereka. Dia berusaha tidak mengalihkan pandangan, namun, ibu jarinya kemudian dengan cepat mengirimkan balasan.
Gw rpt. P Gub mw dtg. Lo aja yg ktmu, ajak cwk lo sana.
Cih. Enak saja dia menyuruh Yasinta menemui keluarganya, sedangkan pria itu asyik-asyikan menemani kekasihnya yang tamatan Harvard itu sarapan bersama di restoran hotel, sementara dia sendiri dibiarkan mengantri nasi uduk Pok Ukem.
Yasinta kemudian memperhatikan kalau saat itu suaminya mengetik dan dia melihat Anno sudah melakukan hal ekstrim lain sebelum dia bicara, "Miss, itu ada bukunya, Alasan Pluto Didepak … I naik dulu."
Naik? Yasinta melongo. Sesaat kemudian dia sadar, Anno berusaha menaiki rak daripada melakukan hal seperti menarik kursi atau memanggil Yasinta dan minta bantuannya. Karena itu juga, dia buru-buru berlari menghampir Anno, namun telat. Bocah dua belas tahun dengan bobot enam puluh lima kilo itu tidak sadar kalau kakinya menjejak papan rak yang tidak terlalu kuat, dan sejurus kemudian, satu rak bergoyang dan seluruh buku tumpah ruah, dengan tubuh Anno yang jatuh lebih dulu dan juga Yasinta yang kini mesti meringis, karena mata kaki kirinya tertimpa tubuh Anno yang jauh lebih berat dari dirinya sendiri.
Sepertinya, dia punya alasan tidak bisa bergabung makan siang bersama keluarga suaminya dan entah kenapa, dia kembali teringat kekacauan pagi tadi.
Baru pukul sebelas kurang dan masih hari Senin. Tapi, sudah dua kali dia mendapat kesialan.
Padahal, kan, dia tidak berniat jatuh cinta sama sekali kepada suaminya dan jika Sarina ingin merebut Hakim, dia dengan senang hati memberikannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top