8 - Yang Mendekat Perlahan-lahan
Pintu klinik berderit pelan saat dibuka. Arif mendongak dari meja periksa, matanya sedikit buram setelah seharian penuh memeriksa pasien. Untungnya kali ini yang datang bukan seseorang dengan keluhan.
“Aku bawain makanan.” Suara Sarah terdengar lembut. Dia melenggang masuk sambil menenteng kotak kecil. Senyumnya tersungging tipis-tipis.
“Kebetulan, aku emang belum sempat makan,” ujar Arif sambil merapikan sisa-sisa berkas di meja, menyambut makanan itu dengan antusias.
"Padahal kamu yang dokter, tapi malah nggak peduli sama kesehatan sendiri," canda Sarah sambil meletakkan makanan itu di depan Arif.
Arif terkekeh pelan, lalu membuka kotak itu dengan tidak sabaran. Isinya sungguh menggugah selera. "Makasih, ya. Ini benar-benar anugerah di waktu yang tepat."
"Sama-sama, Pak Dokter. Buruan habisin." Sarah senang bisa sedekat ini dengan Arif. Setidaknya, kehadiran dokter muda itu membuat pekerjaannya di desa itu terasa lebih enteng.
Sarah yakin, Arif bisa menangkap sinyal-sinyal yang dia berikan belakangan ini. Namun, kenapa responsnya masih tidak sesuai harapan? Bahkan, kadang lelaki itu terkesan cuek. Sarah mulai bertanya-tanya, apa dia memang sepayah itu menarik perhatian lawan jenis?
Arif mulai makan dengan lahap ketika Sarah masih sibuk dengan monolognya. Dia memperhatikannya diam-diam. Dia lekas menoleh ke arah lain saat Arif tiba-tiba menegakkan kepala.
"Tadi banyak pasien yang nanya gini, Dok, katanya kliniknya mau ditutup, ya?"
Sarah seketika menegakkan punggung. "Loh, emang iyya?"
"Reza yang nyebarin rumor."
"Reza lagi?"
“Dia nggak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan."
Sarah menghela napas prihatin. Arif datang dengan tujuan mulia, tidak seharusnya dihadapkan dengan situasi seperti ini.
“Kamu nggak harus selalu sendirian menghadapi semua ini. Aku siap bantu, Rif."
Arif menatap Sarah sejenak. Dia bisa merasakan ketulusan di mata gadis itu. Sejak obrolan pertama mereka, Sarah memang lebih sering mampir ke klinik. Entah untuk membicarakan proyek atau sekadar mengantarkan makanan seperti saat ini. Di awal-awal Arif merasa canggung, tapi kemudian dia berusaha menyakinkan diri, bahwa semua itu hanya untuk sebuah pertemanan. Tidak mudah menemukan teman ngobrol sefrekuensi di tempat asing.
Terlepas dari semua itu, Arif tidak ingin terkesan memberikan harapan. Setiap kali sikap hangat Sarah berusaha melumuri hatinya, ada nama lain yang berdetak di kedalaman sana.
“Makasih, Sar." Arif mengenyakkan punggung di sandaran kursi. "Tapi, ini masalahku. Aku masih bisa menghadapinya."
Sarah menggeleng pelan. “Masalahmu juga masalah kami. Desa ini, klinik ini, semuanya penting. Kalau emang Reza terus menekan, kita harus lawan bersama.”
Arif terdiam.
Sarah benar, tapi Arif tidak ingin melibatkan gadis itu lebih jauh. Meski dia terang-terangan menawarkan diri, Arif tidak boleh lupa, kalau Sarah datang ke desa ini mengemban tanggung jawab yang tidak main-main. Dia juga pasti punya tantangannya sendiri.
"Ada hal lain yang mengganggumu?" tanya Sarah setelah mendapati Arif seolah larut dalam pikirannya sendiri.
Arif tersentak, lalu timbul dorongan untuk menceritakan semuanya. Maksudnya, tentang niat sesungguhnya dia kembali ke desa ini. Arif memang bertemu dengan beragam orang setiap harinya, tapi tidak ada satu pun yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah perihal hati dan ruang lingkupnya. Berkeluh kesah memang bukan keharusan, tapi kadang melegakan. Apakah Sarah benar-benar tepat untuk itu?
Namun, pada akhirnya Arif menggeleng. “Nggak ada, kok.” Lia dan kenangannya sebaiknya memang dia simpan sendiri. Tidak semua hal harus dibagikan. Dia tidak ingin perspektif orang lain mengacaukan hal yang sudah bercokol di kepalanya selama ini.
Dan lagi, dia tidak ingin gadis di depannya ini tersinggung.
Sarah memasang sikap maklum, meskipun dia tahu Arif menyembunyikan sesuatu. Sejauh ini memang Sarah yang lebih aktif mengupayakan kedekatan di antara mereka. Dia harap suatu hari nanti Arif bisa lebih terbuka padanya.
---
Beberapa hari kemudian, rumor simpang siur tentang klinik makin menjadi-jadi. Beberapa warga takut datang berobat. Karena katanya, siapa pun yang datang berobat termasuk menghalangi rencana Reza. Mereka tidak ingin berurusan dengan preman itu.
Sore itu, ketika Arif sedang membereskan peralatan medisnya, Sarah datang lagi dengan tampang yang lebih serius. Dia langsung menghampiri Arif tanpa basa-basi.
“Kita perlu bicara,” ucapnya, terdengar khawatir.
Arif menepikan sejenak pekerjaannya. “Ada apa?”
“Reza ngomong yang nggak-nggak ke warga.”
Arif mendesah panjang, merasa beban itu semakin berat. “Aku tahu, kok."
Sarah mengernyit. "Lalu?"
"Aku akan mengurusnya." Arif berusaha terlihat tenang, meski gelombang ketegangan sedang menerjang dadanya.
"Bukan cuma kamu, Rif, tapi kita. Aku selalu bilang, kan, aku siap bantu."
Arif mengangguk pelan. "Tapi, aku takut makin banyak kekacauan kalau banyak pihak yang terlibat."
Sarah berusaha menekan emosinya. Dia sungguh-sungguh ingin membantu. Namun, agaknya Arif punya pandangan sendiri untuk kasus ini.
---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top