7 - Misterius

Berhubung stok bahan makanan dan beberapa keperluan sehari-hari sudah menipis, Arif memutuskan untuk ke pasar sebelum memulai aktivitasnya di klinik. Pagi ini udara desa terasa makin segar setelah hujan semalam.

Pasar mulai ramai saat Arif tiba. Suara pedagang menawarkan dagangan mereka bercampur dengan obrolan riuh para pembeli yang sibuk tawar-menawar. Arif menyusuri lapak demi lapak, memilih sayuran segar, ikan, dan beberapa bahan lainnya yang diperlukan untuk persediaan di rumah. Setiap kali ia berhenti di lapak, pedagang menyambutnya dengan ramah. Beberapa dari mereka sudah mengenal Arif sebagai dokter baru di desa itu.

“Terima kasih, Dokter, sudah sering bantu warga sini,” ujar seorang ibu pedagang sayur, menyerahkan kantong plastik seraya tersenyum lebar.

Arif membalas dengan sopan, “Saya hanya menjalankan tugas, Bu. Terima kasih kembali.”

Setelah selesai belanja, Arif melirik ke arah sebuah jalan kecil di dekat pasar. Jalan yang pernah dia lewati hampir setiap hari. Jalan itu menuju ke SMP, sekolahnya dengan Lia dulu. Sudah lama sekali. Hari ini, Arif tergerak untuk menyusurinya lagi. Begitu banyak kenangannya bersama Lia, berserakan di sepanjang jalan itu. Saat-saat berangkat dan pulang sekolah yang dipenuhi obrolan-obrolan receh tapi membekas.

Sampai di depan sekolah, Arif berhenti. Gerbang besi tua yang sudah berkarat masih berdiri di sana, meskipun sekarang terlihat lebih usang dari yang dia ingat. Dari luar, ia bisa melihat halaman sekolah yang tidak banyak berubah. Pohon besar di sudut lapangan, tempat dia dan Lia sering duduk bersama, masih kokoh di sana.

Arif terdiam sejenak. Kenangan lama mengalir seperti sungai yang deras. Lia, dengan senyum khasnya, duduk di bawah pohon besar itu, bercanda dengannya tentang masa depan yang penuh harapan.

Di mana kamu sekarang, Li?

Saat Arif tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara memanggil dari belakang. “Arif? Kau benar-benar Arif?”

Arif menoleh. Seorang pria dengan wajah yang familiar berdiri di sana, tersenyum lebar. Pria itu mengenakan seragam guru, dan butuh beberapa detik bagi Arif untuk mengenalinya.

“Danang!” seru Arif. “Sudah lama sekali!”

Danang tertawa, lalu menghampiri dan menjabat tangan Arif erat. “Benar, sudah lama sekali. Aku hampir nggak mengenalimu! Kau sekarang dokter, ya? Aku dengar kau buka klinik di sini.”

“Iya, belum lama, kok. Bagaimana denganmu? Ternyata kau jadi guru di sini sekarang?” Arif mengedikkan dagu ke arah sekolah.

Danang mengangguk ringan. “Begitulah. Aku balik ke sini setelah kuliah dan memutuskan untuk ngajar. Rasanya berat ninggalin desa ini, telanjur banyak kenangannya.”

Detik selanjutnya mereka mengenang masa-masa sekolah. Obrolan santai mengalir begitu saja, dari cerita teman-teman lama hingga ke tingkah laku konyol guru mereka dulu.

Lalu saat percakapan mereda, Arif memulai topik baru dengan suara lebih pelan. “Kau tahu di mana Lia sekarang?”

Danang menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Setelah mereka pergi, nggak ada yang pernah dengar soal Lia atau keluarganya lagi."

Arif tertegun. Lia benar-benar hilang. Kenapa seolah-olah tidak satu pun orang yang tahu keberadaannya?

Tak ingin terlarut dalam suasana yang semakin melankolis, Arif mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, kau tahu soal Reza? Dia sedang mengincar tanah klinikku.”

Danang langsung memasang raut serius. “Reza? Ah, preman itu. Jangan terlalu dipedulikan. Dia emang suka bikin onar. Tapi seringnya cuma omongannya yang besar, padahal nyali nggak seberapa. Kalau dia berani macam-macam, beri tahu aku. Aku juga nggak suka sama tuh orang.”

Arif tersenyum tipis, merasa sedikit lega mendengar dukungan temannya.

Sadar mereka masing-masing punya tanggung jawab, obrolan itu pun terpaksa harus disudahi. Arif pamit setelah mengajak Danang untuk kapan-kapan main ke kliniknya.

---

Sesampainya di rumah, Arif meletakkan belanjaannya dan bersiap ke klinik. Pikirannya masih riuh oleh banyak hal. Namun, setibanya di klinik, kemunculan Hana, gadis bercadar itu, berhasil menarik perhatian Arif sepenuhnya.

Hana melangkah masuk dengan pelan, tubuhnya tampak jauh lebih lemah dibandingkan kunjungan sebelumnya.

Arif menyambutnya dengan hangat. Sejak kunjungan pertamanya, Arif sadar, Hana berbeda dari pasien lainnya. Arif ingin siapa pun yang datang ke kliniknya mendapatkan layanan kesehatan yang maksimal, termasuk gadis bercadar ini. Hanya saja, kadang dia tidak kooperatif.

“Agaknya kondisi kesehatanmu belum membaik,” kata Arif dengan nada cemas setelah Hana duduk di depannya. “Ini sudah ketiga kalinya kau datang minggu ini. Aku benar-benar perlu memeriksamu dengan lebih teliti kali ini.”

Hana hanya menunduk, berbicara dengan suara pelan. “Tidak perlu, Dokter. Hanya kelelahan.”

Arif menahan diri agar tidak mendesak lebih jauh, tetapi jelas bahwa ini bukan sekadar kelelahan. Gejala-gejala yang ditunjukkan Hana, mulai dari pusing, kelelahan berlebihan, hingga kulitnya yang semakin pucat, menandakan sesuatu yang jauh lebih serius. Namun, seperti biasa, Hana menolak untuk diperiksa lebih lanjut.

“Ini bukan hanya kelelahan. Aku yakin ada sesuatu yang lebih dalam terjadi pada tubuhmu,” kata Arif, mencoba membujuk.

“Aku baik-baik aja, Dok. Jangan khawatir. Aku hanya butuh obat yang sama seperti kemarin, lalu istirahat lebih banyak.” jawab Hana, tetap bersikap tertutup.

Arif menghela napas, merasa frustrasi. Sebagai dokter, dia tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia juga tidak bisa memaksakan kehendak. Hana berhak sepenuhnya atas tubuhnya. Hanya saja, makin hari sikapnya makin membingungkan.

---

Beberapa saat setelah Hana keluar, Sarah datang untuk bertemu Arif. Dia hendak melanjutkan pembahasan-pembahasan mereka kemarin. Arif menepikan sejenak pekerjaannya, menyambut gadis yang selalu tampak elegan dan penuh semangat itu.

Tanpa keduanya sadari, sepasang mata di balik cadar sedang mengamati kedekatan mereka dari luar.

---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top