6 - Ancaman

Pagi itu, suasana klinik sama seperti biasanya. Beberapa warga desa duduk tenang menunggu giliran pemeriksaan. Obrolan mereka dengan suara rendah adalah nada yang semakin akrab di telinga Arif. Dokter muda itu baru saja selesai memeriksa seorang anak kecil saat pintu klinik terbuka dengan kasar, membuat suara derit yang tajam dan memecah ketenangan pagi itu.

Semua kepala di ruangan itu menoleh ke arah pintu. Reza melangkah masuk, diikuti oleh dua anak buahnya. Mereka menatap tajam sekeliling dengan pandangan meremehkan. Jelas mereka datang bukan untuk tujuan yang baik. Beberapa pasien mulai terlihat cemas, saling berbisik. Mereka tahu siapa Reza, dan tak ada satu pun yang ingin berurusan dengannya.

Tanpa basa-basi Reza langsung menghampiri Arif, membuat dokter muda itu terpaksa harus menghentikan sejenak kesibukannya.

“Dokter,” suara Reza terdengar pelan, hampir berbisik, tapi penuh penekanan, “kita perlu bicara.”

Arif mengangguk perlahan, tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. “Kalau soal klinik ini, kita bisa langsung bicara di sini. Nggak perlu ke tempat lain.”

Reza menyeringai, lalu melirik sekilas ke arah pasien-pasien yang duduk di kursi tunggu. "Di sini? Kau yakin ingin bicara di depan semua orang ini, Dok?" tanyanya, nadanya setengah mengejek.

Arif menatap langsung ke mata Reza, tak goyah. "Tak ada yang perlu dirahasiakan dari mereka jika ini soal klinik."

Reza tertawa pendek, sinis. "Baiklah, kalau kau mau begitu." Dia melipat tangan di dada, masih dengan seringai di wajah. "Kau tahu, Dok, dengan hasil penjualan tanah ini, kau bisa hidup lebih nyaman di kota, membuka klinik yang lebih besar. Ngapain malah tinggal di sini ngurusin warga desa yang bahkan belum tentu tahu cara berterima kasih?"

Arif mendengarkan dengan tenang, tak sedikit pun terganggu oleh ucapan Reza. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Saya sudah memutuskan untuk membantu warga di sini, sama sekali nggak tertarik dengan hidup nyaman yang kamu iming-imingkan itu."

Senyum Reza perlahan memudar. Tatapannya berubah tajam, penuh dengan ketidakpuasan. "Kau serius, Dok? Apa kau pikir desa ini akan selalu membutuhkanmu? Kau pikir mereka akan selalu datang kemari? Suatu saat kau akan melihat bahwa klinik ini tak lebih dari beban yang perlahan-lahan menghancurkanmu."

Arif mengatur pola napasnya, sebisa mungkin jangan sampai terpancing dengan preman desa ini. "Itu bukan urusanmu. Dari awal saya membuka klinik ini bukan untuk ngejar untung."

Senyum Reza menghilang sepenuhnya. Dia mendekatkan wajahnya ke arah Arif, berbicara dengan suara rendah, tapi penuh ancaman. "Ini peringatan terakhirku, Dok. Kau akan menyesal kalau terus menolak tawaranku. Jangan sampai aku harus mengambil langkah lain."

Setelahnya, Reza berbalik, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengikuti. Mereka meninggalkan klinik dengan langkah angkuh.

Pasien-pasien yang menyaksikan percakapan itu tampak khawatir. Bisik-bisik mereka seketika memenuhi ruangan.

Arif menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Dia tahu Reza tidak main-main dengan ucapannya. Dia harus bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang akan datang.

---

Keesokan paginya, ketika Arif tiba di klinik lebih awal dari biasanya, hal pertama yang dia lihat adalah pintu klinik yang sedikit terbuka. Jantungnya berdetak kencang. Dia yakin kemarin sudah menguncinya sebelum pulang. Dengan hati-hati, Arif mendorong pintu dan masuk.

Apa yang dia lihat di dalam membuat darahnya mendidih. Stetoskop yang biasa tergantung di dinding kini tergeletak di lantai, pecah menjadi dua bagian. Termometer rusak, berantakan di atas meja. Obat-obatan tumpah ke lantai, kaca pecah berserakan. Beberapa peralatan medis lain dirusak dengan sengaja.

Arif berdiri di tengah ruangan, menyapu pandang kekacauan di sekitarnya. Ini pasti ulah Reza. Arif geram bukan main. Namun, jangan sampai juga emosi membuatnya hilang kendali. Butuh pertimbangan matang-matang untuk menghadapi orang seperti Reza.

Dengan sabar, Arif mulai membersihkan kekacauan itu. Dia merapikan kembali meja, menyapu pecahan kaca, dan mengembalikan peralatan medis yang masih bisa diselamatkan. Pasien akan segera datang. Klinik ini harus tetap berjalan, apa pun yang terjadi.

Beberapa saat kemudian, pasien pertama yang datang hari ini tampak kaget melihat kondisi klinik yang masih berantakan.

"Ini kenapa, Dok?" tanyanya sambil menyapukan pandangan.

"Nggak apa-apa, Pak." Arif tersenyum, tidak ingin membuat pasiennya khawatir. "Cuma kekacauan kecil."

Bapak itu malah berkata, "Ini pasti ulah Reza, kan? Saya dengar dari beberapa orang di pasar. Katanya, kemarin Reza dan anak buahnya ke sini."

Arif mendekat dan tersenyum lagi. "Tapi ini bukan masalah besar, kok, Pak. Masih bisa saya tangani."

"Pokoknya, kalau Dokter butuh bantuan, jangan sungkan. Warga pasti siap membantu. Soalnya Dokter juga sudah mengatasi keluhan-keluhan kami dengan bayaran seikhlasnya. Zaman sekarang sangat jarang orang berhati mulia seperti Nak Dokter ini."

Senyum Arif makin lebar. Hatinya menghangat. Setidaknya dia tidak sendirian di sini.

Arif menepuk bahu bapak itu dengan lembut. "Terima kasih, Pak."

---

Malamnya, Arif beres-beres sebelum tutup. Kejadian hari ini membuatnya teringat lagi dengan rencana awalnya. Tadinya dia ingin membangun klinik yang sekaligus bisa untuk ditinggali. Sayangnya, tanah di dekat jembatan yang berhasil dia dapatkan ini berkat bantuan kerabat ayahnya, tidak cukup untuk desain yang sudah dia pikirkan. Sebagai gantinya, untuk sementara dia pun mengontrak sebuah rumah yang tidak begitu jauh dari klinik. Masih aman ditempuh dengan berjalan kaki. Memang lebih praktis begitu, karena jalannya sempit.

Arif berjalan pulang dengan pikiran yang dipenuhi kecemasan. Sampai detik ini dia tidak kepikiran untuk menyerah. Namun, bagaimana jika Reza nekat bertindak lebih jauh?

Setibanya di rumah, Arif tidak langsung masuk karena sesuatu menahannya. Di depan pintu tergeletak selembar kertas yang ditindih dengan batu. Perasaan Arif seketika tidak enak. Dia pun memungut kertas itu, yang ternyata berisi ancaman bertulis tangan awut-awutan.

Jangan keras kepala.
Atau Klinik itu akan hancur!

Arif meremas kertas itu, amarah membuncah dalam dirinya. Reza tidak bisa dibiarkan. Namun, di sisi lain dia juga khawatir segalanya jadi makin kacau kalau salah mengambil tindakan.

Kepala Arif mendadak terasa berat. Padahal dia ke sini dengan niat yang baik. Kenapa harus berurusan dengan preman desa segala?

---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top