10 - Menghilang
Sudah dua minggu sejak terakhir kali Hana datang ke klinik. Arif duduk di meja periksa, menatap kosong ke arah alat-alat medis yang tersusun rapi di atas meja. Biasanya, Hana muncul sekali dalam beberapa hari, dengan keluhan-keluhan kecil yang beragam. Namun, tidak untuk dua minggu ini. Arif jadi kepikiran.
Pintu klinik berderit pelan, membuka ruang bagi seorang pasien yang datang pagi itu. Seorang pria paruh baya, dengan langkah agak pincang, melangkah masuk sambil tersenyum hangat. Arif mengangkat kepalanya dan membalas senyum itu.
"Pagi, Dok," sapa pria itu. Suara beratnya akrab di telinga Arif.
"Pagi, Pak Rahman," balas Arif sambil bangkit dari kursi. "Lututnya masih terasa sakit?"
Pak Rahman mengangguk sambil duduk di kursi periksa. "Iya, Dok. Seminggu terakhir ini makin sering kambuh. Mungkin karena hujan terus."
Arif mengambil stetoskop dan memulai pemeriksaan dengan cekatan. Sambil bekerja, mereka berbincang ringan. "Kalau terlalu sering kambuh, mungkin perlu diperiksa lebih lanjut, Pak. Saya khawatir ada peradangan yang lebih serius."
Mimik Pak Rahman seketika berubah. "Ah, Dok, semoga tidak begitu. Mungkin saya cuma perlu jalan-jalan biar sendinya nggak kaku."
Arif tersenyum. "Supaya nggak kenapa-kenapa, Bapak harus rajin kontrol, ya."
Pak Rahman mengangguk.
Setelah selesai memeriksa Pak Rahman, Arif tidak bisa menahan diri untuk bertanya soal Hana. "Bapak kenal dengan gadis bercadar yang sering ke sini?"
"Bercadar?" Pak Rahman mengernyit, tampak berpikir sejenak sebelum menggeleng. "Emang ada gadis bercadar di desa ini?"
Arif menahan napas. Sungguh jawaban yang tidak terduga. Bisa dibayangkan setertutup apa Hana selama ini. Dia memang tidak pernah datang di Jam ramai. Selalu paling pagi atau paling sore.
Pikiran Arif kembali saat Pak Rahman berterima kasih dan pamit undur diri.
"Hati-hati, Pak. Dijaga lututnya."
Pria paruh baya itu beranjak keluar sambil melambaikan tangan.
Sepeninggal Pak Rahman, Arif kembali bertanya-tanya; kenapa Hana tidak berbaur dengan warga lainnya?
---
Hari itu, Arif menanyakan perihal Hana hampir ke semua pasiennya. Namun, responsnya tidak sesuai harapan. Ada yang ngakunya pernah melihat sekilas, tapi tidak kenal. Selebihnya ngasih jawaban kurang lebih seperti jawaban Pak Rahman tadi. Seolah Hana memang tidak pernah ada di antara mereka.
"Saya perhatikan dari tadi, dokter agak murung hari ini," ujar pasien terakhir Arif hari ini, seorang ibu muda yang datang bersama putri kecilnya. Dia sambil terkekeh ringan.
Memang sudah sedekat itu Arif dengan pasien-pasiennya. Arif termasuk pribadi yang cepat disukai. Karena selain dokter dengan dedikasi yang sangat tinggi, dia Juga rendah hati.
Arif menoleh dan ikut tertawa. "Mungkin efek kurang tidur, Bu. Terlalu banyak pikiran."
"Oh gitu. Saya hampir nasehatin kalau nggak baik sering-sering numpuk pikiran, lupa kalau lagi ngomong sama dokter." Ibu muda itu tertawa lebih keras. "Dokter pasti lebih pahamlah."
"Iya, Bu. Makasih."
Arif sempat kepikiran untuk menanyakan perihal Hana lagi. Namun, urung. Palingan ibu muda ini juga tidak mengenal gadis bercadar itu.
---
Belakangan ini Arif makin sering bertahan di klinik hingga malam, meski tidak ada lagi yang dikerjakan. Seperti halnya malam ini. Dia hanya terdiam di balik meja periksa sambil menatap ke arah jendela. Banyak hal berkecamuk di benaknya. Dia runut kembali dari awal hingga memutuskan untuk buka klinik di desa ini.
Bagaimanapun cara Arif menyangkal, pondasi utamanya adalah Lia. Lalu, bagaimana jika gadis itu tidak pernah kembali? Apakah semua ini akan sia-sia?
Arif merasa bersalah sebagai dokter. Dalam hening, dia mempertanyakan kembali sedalam mana ketulusannya melayani warga di desa itu.
Tiba-tiba pintu klinik terbuka. Arif agak tersentak dengan kedatangan yang tak seharusnya itu.
"Sori. Aku ngagetin ya?" Ternyata Sarah. Dia masih mengenakan setelan kerja.
"Dari mana?" tanya Arif sambil menegakkan punggung.
"Cuma lewat, sih. Terus aku lihat lampu tengah masih nyala. Ternyata benar, kamu masih di sini."
Arif meraup wajah sebelum berkata, "Entah kenapa di sini vibesnya cocok aja buat mikir. Lagian di rumah juga nggak ada kegiatan."
"Apa pun itu, besok-besok mending langsung pulang. Ngaca, deh. Kamu kelihatan capek banget hari ini." Sarah menarik kursi dan duduk berhadapan dengan dokter muda itu.
Arif terdiam sesaat.
"Sebenarnya ada sesuatu yang lumayan mengganggu hari ini."
Sarah mengernyit. "Apa itu?"
"Ada pasien yang kemarin-kemarin rutin datang periksa, tapi sudah dua minggu dia nggak muncul."
"Loh, bukannya bagus? Berarti dia udah sembuh, dong."
Arif manggut-manggut. Kenapa dia tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya?
"Iya, sih. Tapi ... bagaimana kalau ternyata malah sebaliknya?" Arif masih saja belum bisa menepikan kekhawatirannya.
Sarah menjalin jemari di atas meja. "Rif, konsep klinik itu, kamu cukup nanganin pasien yang datang ke sini. Selebihnya bukan tanggung jawab kamu lagi. Nggak usah sampai kepikiran gini."
"Iya. Tapi tetap aja, aku merasa perlu tahu kabarnya."
Sarah memicing. "Spesial banget kayaknya pasien ini. Siapa, sih? Apa aku kenal?"
"Kayaknya nggak deh. Warga desa ini aja pada nggak tahu."
"Kok, kedengarannya orangnya misterius banget, ya?"
"Dia emang pendiam dan kayaknya anti sosial gitu. Atau apalah namanya. Makanya aku khawatir pas dia nggak pernah datang lagi.
"Kita doain aja. Semoga dia nggak datang lagi karena beneran udah sehat."
Arif mengangguk sepakat.
"Rif," Sarah buka obrolan lagi setelah hening beberapa saat. "Selain soal pasien itu, apa masih ada yang ganjal di pikiran kamu?"
Arif mengernyit. "Maksudnya?"
"Jujur, ya, sejak kita kenal, aku perhatiin kamu ini kayak lagi nahan sesuatu. Kamu emang ceria, baik ke semua orang, tapi di balik semua itu kamu kayak ada yang nggak beres."
Arif terdiam, merasa kata-kata itu menyentuh tepat pada titik terlemahnya. Bagaimana dia bisa menjelaskan tentang Lia? Juga sebait janji yang mengambang dalam rongga kepalanya?
Arif menghela napas panjang sebelum berkata, "Sebenarnya ada sesuatu yang belum selesai di desa ini. Aku datang bukan untuk memulai, tapi mencari akhir."
Sarah menelan ludah kelat. Dia sudah cukup dewasa untuk paham hanya dengan dua kalimat itu. Lalu kesimpulan yang tercipta di benaknya membikin hatinya ngilu. Terlalu dini untuk kecewa, tapi seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya biasanya memang sesulit itu dijangkau.
---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top