1 - Kembali

Bagi Arif, bagaimanapun caranya terucap, janji tetaplah janji. Karena itulah dia kembali ke desa kecil ini, tanah kelahirannya. Dia berdiri di depan bangunan sederhana, memandangi papan nama yang baru saja digantung.

Klinik Arif
Dokter Umum

Arif menggeser pandangan, memindai hamparan desa yang tenang. Jalan setapak di depan klinik tampak berdebu, berkelok menuju sebuah jembatan kayu tua yang melintasi sungai kecil. Meski tak terurus, jembatan itu masih terlihat kokoh. Bagi Arif, jembatan itu lebih dari sekadar penghubung antar kedua sisi sungai. Jembatan itu bagian penting yang menariknya kembali ke desa ini setelah belasan tahun berlalu.

Harusnya Arif bergegas masuk ke klinik dan bersiap menyambut pasien di hari pertamanya ini. Namun, langkahnya malah mengarah ke jembatan itu. Bayangan senyum gadis periang menariknya tanpa ampun.

Di mana kamu sekarang, Li?

Arif memejam sambil mencengkeram pembatas jembatan. Apa-apa tentang Lia masih terekam jelas di benaknya, terutama kalimatnya waktu itu, tentang mereka yang akan bertemu kembali di jembatan itu setelah masing-masing menjalani peran dewasa yang kata orang-orang melelahkan.

Namun, bagaimana jika ternyata anggapan Lia berbeda? Bagaimana jika baginya, ucapan itu sesuatu yang tidak penting untuk terus digenggam? Karena belasan tahun sudah sejak mereka beranjak dari usia SMP, dan Lia tidak pernah ada kabar sama sekali.

Kendati demikian, Arif tetap kembali ke desa ini. Dia penasaran akan seperti apa takdir meramu janji berkarat itu.

Bukan tidak pernah lagi berurusan dengan romansa setelah dengan Lia, tapi dengan siapa pun dia mencoba, Arif tidak pernah benar-benar menilik akan seperti apa ke depannya. Entah bagaimana harus menamai hubungan-hubungan kemarin, sebab tahun-tahun yang berganti tak pernah menggeser Lia dari semestanya.

Namun, kalau memang pada akhirnya Lia tidak merawat janji itu sebaik Arif melakukannya, Arif harus bersiap dari sekarang. Banyak hal yang bisa berubah setelah belasan tahun, kan?

Arif menggeleng pelan, berusaha menebas narasi kelam yang dia ciptakan sendiri dalam kepala. Bagaimanapun, dia sudah telanjur di sini. Dari banyaknya peluang di luar sana, sungguh sebuah kenekatan mendirikan klinik di desa ini.

Arif berbalik untuk kembali ke klinik. Meski entah akan seperti apa ke depannya, setidaknya dia berhasil menemukan tempat di dekat jembatan itu. Kapan pun Lia tiba-tiba muncul nantinya, mereka bisa langsung ketemu.

Setibanya di klinik, Arif meletakkan tas kerjanya di atas meja, lalu melakukan aktivitas beres-beres ringan. Sekadar memastikan pasien-pasiennya nanti tidak hanya puas dari segi pelayanan kesehatan, tapi juga dari segi tempat yang nyaman.

Beberapa waktu berlalu, belum ada tanda-tanda seseorang akan datang. Sesekali Arif keluar untuk melihat situasi, yang memang lumayan sepi layaknya desa pada umumnya.

Arif mencari-cari kesibukan sambil tetap berusaha berpikir positif. Namanya juga hari pertama, tidak mungkin langsung ramai. Bisa jadi kebanyakan warga belum tahu keberadaan kliniknya.

Lamunan Arif buyar ketika seorang bapak-bapak yang menggendong anak kecil membuka pintu klinik dan tergopoh-gopoh menghampiri Arif.

“Dokter!” panggil bapak itu sambil terengah-engah. “Tolong anak saya ....”

Arif lekas mengambil alih anak itu, membawanya ke ruang pemeriksaan.

“Suhunya sangat tinggi,” gumam Arif sambil mengecek termometer yang dia masukkan ke mulut anak itu. “Sudah berapa lama dia demam?”

“Sejak semalam, Dok,” jawab bapak itu cemas. “Saya takut dia kenapa-kenapa.”

Arif dengan cekatan memeriksa anak itu. Suara napasnya terdengar berat, seperti ada gangguan di paru-parunya. Arif merasa sedikit khawatir, tapi dia tidak menunjukkannya.

“Kita perlu menurunkan panasnya dulu,” kata Arif, lalu beranjak ke lemari tempat penyimpanan obat. Sambil meresepkan, dia memberikan uraian singkat kepada bapak itu untuk penanganan di rumah.

“Jika dalam dua hari tidak ada perubahan, bawa dia kembali ke sini.”

Bapak itu mengangguk berkali-kali. “Terima kasih, Dok.”

"Sama-sama, Pak. Semoga anaknya cepat sembuh."

Setelah bapak dan anaknya itu pergi, tidak ada lagi yang datang hingga sore. Arif keluar, sekadar menyegarkan diri dengan menyesap udara sore. Namun, mau tidak mau tatapannya mengarah lagi ke jembatan itu, bersamaan dengan ingatan-ingatan tentang Lia yang seketika menyeruak.

Arif merasa perlu meluruskan niatnya. Dia memang kembali ke desa ini demi sebait janji. Namun, di samping itu dia juga punya tanggung jawab sebagai dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan semaksimal mungkin.

Saat hendak kembali ke dalam, sesuatu menarik perhatian Arif di kejauhan. Di seberang jembatan, seorang gadis bercadar dan berpakaian serba hitam tampak sedang memperhatikannya diam-diam. Gadis itu pun melengos pergi saat sadar Arif melihatnya.

Arif kembali ke dalam dan mengabaikan kemunculan gadis bercadar itu. Barangkali hanya seseorang yang mau berobat tapi masih malu-malu. Maklum, ini kali pertama ada klinik di desa ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top