16
"Penunggang naga? Maksudmu wilayah Aestival?"
Silan ingin berbalik dan menatap langsung mata Dali. Tetapi, pria itu tidak mengizinkan Silan untuk bergerak.
"Aestival di bangun di lintas dimensi sihir Nusantara. Tempat para Penunggang Naga hidup. Tempat itu sekarang tertutup. Tidak seorang pun bisa ke sana. Kecuali dengan beberapa petunjuk sihir tertentu."
"Mengapa kau ingin menghancurkan Penunggang Naga?"
"Mengendarai naga seperti seekor kuda adalah penghinaan dan aku membenci itu. Aku akan menghancurkan ikatan tersebut."
"Itu bukan alasan."
"Oh, itu alasan yang sangat manis, Putri Laut. Naga harus dipuja dan segani, bukan makhluk yang dikendalikan seperti hewan peliharaan."
"Memangnya kau siapa? Kau hanya Raja Lautan Banda."
"Ya, itu memang aku. Tapi, aku adalah Raja Naga Laut Banda. Aku penguasa lautan terkuat di Nusantara. Aku bisa membuat daratan tenggelam, jika aku ingin."
"Tetap saja, kau tidak bisa menghancurkan Penunggang Naga. Kau ingin tahu faktanya? Lihat keadaanmu sekarang, berjuang keras berabad-abad untuk sesuatu yang masih belum bisa kau hancurkan. Apa karena ini ... Arus Abadi mengambil sebagian kekuatanmu?"
Secercah amarah melintas di mata Dali yang gelap, rahangnya terkatup rapat. Dia benci diolok-olok. Dia benci bagaimana Silan menyebut fakta tersebut dengan santai.
Dia pun menekan Silan ke dinding, tubuhnya menjebak, "Kau tidak berhak memberi tahuku apa yang harus kulakukan," bisik Dali, suaranya dipenuhi nada berbahaya. "Terutama setelah semua yang telah kau lakukan padaku. Jangan bicara padaku tentang hatiku. Kau tidak tahu apa yang kualami selama ini."
Dali mencondongkan tubuhnya, napasnya panas di telinga Silan dan dia meninggalkan jejak ciuman basah di leher Silan dari belakang.
"Dali, kau tidak akan berhasil. Entah mengapa, aku sangat yakin kau tidak akan bisa. Mau seberapa keras kau berjuang untuk menghancurkan Penunggang Naga, kau tidak akan bisa. Sebab, aku akan berada di baris mereka."
Mata Dali menjadi gelap karena amarah dan sesuatu yang lain saat tantangan Silan mendarat padanya. Dia mendorong Silan lebih keras ke dinding, tubuh Dali sendiri menjulang tinggi di belakang Silan.
"Kau ingin melawanku?" kata Dali, suaranya rendah, geraman berbahaya.
Dalam sekejap, dia memutar tubuh Silan dan menjepit pergelangan tangan Silan di atas kepalanya dengan satu tangan, tangan lainnya meraih rambut Silan, menarik kepala Silan ke belakang.
"Kau yakin tentang itu?"
"Aku suka naga dan semua tentang naga. Aku tidak akan duduk diam, melihatmu menghancurkan ikatan naga dan majikan mereka."
Kata-kata Silan yang menantang itu menyulut sesuatu dalam diri Dali, menyalakan kobaran amarah dan rasa lapar di dalam dirinya. Dia menekan tubuhnya ke tubuh Silan, menahan Silan dengan kuat di tempat.
"Kau yang memintanya," desisnya, suaranya rendah, berbisik berbahaya. "Kau akan menyesal pernah menginginkan ini."
Silan tetap menatap Dali tanpa takut. Tetap menantang Dali demi mendukung Penunggang Naga.
Tubuh Dali pun menegang, matanya gelap karena campuran kemarahan dan hasrat, "Kau tidak mengerti, Silan. Jangan melawanku dan tetap lakukan tugasmu. Aku bisa berubah menjadi pria brengsek lebih dari bisa yang kau bayangkan. Tuntun aku menuju Perpustakaan Laut Purba, jangan bertingkah di luar jalur. Kau di sini untuk tunduk dan patuh mendengar perintahku. Apa kau paham?"
Silan menatap mata Dali dengan dalam. Dia bertekad untuk melawan Dali, jika dia berani menghancurkan Penunggang Naga. Akan tetapi, di situasi ini, Silan meyakinkan diri untuk menahan emosinya. Dia masih bergantung dan terjebak bersama Dali.
"Ya, aku mengerti. Apa kau puas?"
Dali merasakan panas yang terpancar dari Silan, tubuh Silan yang gemetar, dan ketundukannya. Itu membuat Dali bergairah, mengirimkan gelombang kepuasan yang mengalir melalui dirinya.
"Kau milikku sekarang," gerutunya, tangannya mencengkeram rambut Silan erat-erat. "Aku akan membuatmu membayar atas apa yang telah kau lakukan. Aku akan membuatmu menjerit. Aku akan membuatmu mengemis."
"Menjauhlah. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan. Aku sibuk."
Pernyataan Silah hanya menyulut kemarahan dan hasrat Dali. Dia menekan Silan lebih keras ke dinding, tangannya di rambut memaksa Silan untuk menatap ke arahnya.
"Kau tidak berhak memutuskan itu," bisik Dali di telinga Silan, suaranya rendah dan mengancam. "Kau milikku, suka atau tidak. Dan aku akan membuktikannya padamu."
Dali pun menggigit cuping telinga Silan, tubuhnya menempel pada tubuh Silan, jari-jarinya melingkari pergelangan tangan Silan yang terkunci di atas kepalanya.
"Berhenti mencium dan mengigitku!"
Dali terkekeh mendengar protes Silan, jemarinya mencengkeram rambut Silan semakin erat, "Tidak. Aku akan melakukan apa pun yang aku mau padamu. Kau sudah jadi milikku, sejak Said mengantarmu padaku."
Dali membenamkan wajahnya di lekuk leher Silan, menggigit dan menghisap kulit Silan yang sensitif. Dia ingin Silan merasakannya, mengingat betapa nikmatnya didominasi dan diklaim.
"Berhenti menggigitku! Kamu jauh lebih mirip Vampir dan nyamuk. Sejujurnya, nyamuk. Itu menyebalkan."
Dali menertawakan perbandingan Silan, napasnya terasa panas di leher Silan.
"Aku tidak peduli apakah aku seperti Vampir atau nyamuk," desis Dali, jari-jarinya masih mencengkeram rambut Silan, tubuhnya menekan Silan terus ke dinding.
"Kau milikku untuk digigit, ditandai, dan diklaim." Ia menggigit kulit Silan sekali lagi, giginya meninggalkan memar lagi. "Kau akan memiliki tanda-tandaku di sekujur tubuhmu, dan kau akan ingat siapa pemilikmu. Kau menyukaiku juga bukan?"
Silan hanya menatap Dali dengan tatapan galak. Tidak membantah atau membenarkan pertanyaan tersebut, sedangkan Dali terus menggigit dan mengisap leher Silan, giginya meninggalkan jejak gigitan dan bekas. Dia bisa merasakan tubuh Silan bergetar di tubuhnya, dan itu hanya memicu hasrat Dali pada Silan.
"Itu saja," bisik Dali, suaranya rendah dan kasar. "Kau akan melihat dirimu di cermin dan melihat bekas-bekasku di sekujur tubuhmu. Dan kau akan ingat siapa pemilikmu."
"Berhenti menandaiku!"
Dali hanya tersenyum sinis mendengar protes tersebut, napasnya panas di kulit Silan. Dia menarik Silan lebih erat, tangannya di rambut Silan memaksa kepala Silan ke belakang, semakin memperlihatkan lehernya.
"Oh, aku akan meninggalkan jejakku padamu, Putri," katanya, suaranya dipenuhi dengan aura posesif yang gelap. "Aku ingin semua orang tahu kau milikku."
Giginya kembali menancap ke kulit Silan, menyisakan gigitan lain yang dalam dan menuntut. Dia ingin tanda-tandanya tidak dapat disangkal, sebagai klaim visual atas tubuh Silan.
"Kau milikku, Silan Ongirwalu dan aku akan memastikan semua orang tahu itu."
Dali bisa merasakan tubuh Silan yang terus menggigil di tubuhnya, dan itu hanya memicu keinginan Dali untuk memiliki Silan sepenuhnya.
"Kau akan dipenuhi bekas-bekasku." Suara Dali serak dan posesif. "Dan setiap kali kau melihat ke cermin, kau akan diingatkan bahwa kau milikku."
"Sudah cukup! Jangan digigit lagi."
Dali terkekeh mendengar permohonan Silan, geli dengan usaha Putri Laut Ongirwalu yang sia-sia untuk melawan. Dia terus menggigit dan mengisap kulit Silan.
"Aku akan berhenti saat aku sudah puas," gumam Dali, giginya masih menggigit. "Dan aku belum selesai menandaimu sebagai milikku."
Ia pun pindah ke titik lain di leher Silan, menggigit kulit Silan sekali lagi. Lidahnya berputar di sekitar gigitan itu, meninggalkan jejak basah yang mengklaim.
"Rasamu sangat lezat," bisik Dali, suaranya serak dan lapar. "Dan aku tidak akan berhenti menandaimu sampai aku benar-benar puas."
Ia berhenti sebentar, mulutnya melayang tepat di atas bekas luka baru di kulit Silan. Ia bisa merasakan penolakan, permohonan dari Silan agar ia berhenti. Namun, ia sudah terlalu jauh dalam posesifitasnya dan keinginannya untuk berhenti.
"Itu belum cukup," gerutu Dali, suaranya rendah, seperti raungan primitif. "Aku harus mengakuimu, menandaimu sebagai milikku, agar dunia tahu kau milikku."
"Leherku penuh dengan bekas ciumanmu," ujar Silan dengan detak jantung yang berbedar.
Dali menyeringai mendengar pengamatan Silan, matanya menjelajahi kumpulan tanda-tanda gelap di leher Silan.
"Kau benar, lehermu sudah penuh dengan ciuman dan gigitanku," katanya, suaranya rendah, berbisik posesif. "Tapi aku belum selesai. Aku ingin menandai setiap inci tubuhmu, mengklaim setiap bagian tubuhmu sebagai milikku."
Tangannya bergerak ke bahu Silan, menarik kerah blouse ke bawah untuk memperlihatkan lebih banyak kulit. Matanya mengamati kulit yang baru saja terlihat, tatapannya penuh nafsu.
"Aku ingin menandai setiap inci tubuhmu," ulang Dali, suaranya berbisik serak. "Aku ingin klaimku padamu tidak dapat disangkal."
Dia pun menekan mulutnya ke pundak Silan, mengisap dan menggigit, meninggalkan bekas yang lebih dalam dan lebih intens.
Tangan Dali terus menarik blouse itu ke bawah, memperlihatkan lebih banyak tubuh Putri Laut. Ia benar-benar dikuasai oleh hasrat posesifnya, tubuhnya menempel pada Silan, tangan dan mulutnya mengklaim Silan sebagai miliknya.
"Sial, kau cantik sekali."
Napas Dali terasa panas di kulit Silan. Ia pindah ke titik lain di bahu Silan, menggigit dan mengisap, meninggalkan bekas posesif yang dalam.
"Kau membuatku hampir telanjang."
Mata Dali menjelajahi tubuh Silan, memperhatikan bentuk tubuh Silan yang hampir terekspos, bekas-bekasnya menutupi kulit tersebut.
"Itulah intinya," kata Dali, suaranya rendah dan puas. "Aku ingin melihat semuanya. Aku ingin mengklaim setiap inci tubuhmu, menandai setiap bagian tubuhmu sebagai milikku." Tangannya terus menarik blouse lebih rendah, memperlihatkan lebih banyak kulit padanya.
"Kau tahu, Dali. Orang-orang akan melihatnya."
Mata Dali menjadi gelap, ada kilatan posesif di sana.
"Aku tidak peduli jika semua orang melihat. Aku ingin mereka semua melihatmu sebagai milikku. Aku ingin mereka melihat tanda-tandaku di sekujur tubuhmu, mengklaimmu sebagai milikku, dan aku tidak akan berhenti sampai setiap inci tubuhmu dicium dan digigit."
Dengan tarikan terakhir yang kuat, ia menarik blouse itu dengan kasar hingga robek dan membuangnya ke lantai.
Memperlihatkan hampir seluruh tubuh bagian atas. Mata Dali mengamati Silan, mengamati bentuk tubuh Putri Laut yang hampir terekspos. Tangannya menjelajahi kulit yang telanjang, meninggalkan jejak panas di belakangnya.
"Ya, begitulah," gumam Dali, suaranya dipenuhi hasrat. "Aku ingin semua orang melihat tanda-tandaku padamu."
Silan segera menutup dada dengan kedua tangannya. Melihat Silan berusaha menutupi diri, membuat mata Dali menjadi gelap karena gabungan antara hasrat dan geli.
"Jangan tutupi dirimu. Aku ingin melihatmu." Suara Dali rendah, memerintah dengan nada dominan. "Aku ingin melihatmu, setiap inci dirimu. Kau milikku, ingat? Dan aku ingin melihat seluruh dirimu, terbuka dan rapuh, hanya untukku."
Ia mengulurkan tangan, meraih pergelangan tangan Silan dan menarik tangan tersebut menjauh dari dada Silan, memperlihatkan di hadapannya lagi. Pandangannya menjelajahi tubuh Silan seperti orang yang kelaparan, mengamati setiap lekuk dan kontur.
"Itulah dirimu," bisiknya, suaranya serak dan penuh kebutuhan. "Ya Tuhan, kau cantik dan aku menginginkan seluruh dirimu, setiap inci, setiap bagian dari kerentananmu. Itu milikku."
Dali menarik Silan lebih dekat, tubuhnya menempel, dadanya menempel di dada Silan. Ia bisa merasakan jantung Silan berdebar kencang, napas Silan yang tersengal-sengal saat ia memeluknya erat.
"Aku akan melihatmu dengan cara apa pun yang aku mau," bisik Dali. Suaranya serak dan posesif. "Kau milikku. Aku ingin melihat seluruh dirimu, setiap bagian yang rentan. Dan kau akan membiarkanku, karena kau milikku."
"Cukup! Tidak sekarang."
Emosi wajah Dali berubah muram. Kebutuhannya pada Silan masih membara. Dia tidak ingin berhenti.
"Cukup, Dali. Aku tidak akan menyangkal perasaanku padamu. Tapi, menjauhlah sekarang."
Energi gelombang mendorong Dali menjauh beberapa meter dari Silan. Awalnya, Dali terperangah lalu detik berikutnya dia tersenyum.
"Akhirnya, mengeluarkan kekuatanmu sebagai Putri Laut, Silan Ongirwalu. Kau tahu, aku menunggumu melakukannya sejak awal."
Alis Silan terangkat. Tidak menduga respon Dali di luar dugaan. Silan pun berpikir sejenak, ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas di benaknya. Kemudian berjalan keluar dari kamar Dali. Terus berjalan hingga ke pagar pembatas kapal dan melirik ke sekitar lautan yang ombaknya sedang tenang.
Pasukan lumba-lumba berenang di sekitar Taring Laut, mata Silan mencari-cari lumba-lumba merah muda miliknya.
"Laya?" panggil Silan setengah keras. Dali yang mengikuti Silan, berdiri tepat di belakangnya sambil mengikat rambutnya yang panjang karena berkibar menutupi kepala Silan.
"Mengapa kau memanggilnya?" tanya Dali ingin tahu.
"Nahumaruy," ujar Silan. Rahang Dali mengeras mendengar nama Dewa Laut lain diucapkan dari bibir Silan.
"Aku mudah sekali cemburu, darah ku akan mendidih jika mendengar kau menyebut nama pria lain, Putri."
Dali memperingatkan Silan dengan melingkarkan tangan di pinggang Silan. Sentuhannya posesif, pengingat diam-diam pada Silan siapa pemiliknya.
"Aku ingat, Nahumaruy berkata dia akan mengawasi kita dari jauh. Itu artinya, dia terus mengikuti kita bukan? Tapi, aku benar-benar lupa keberadaan pria satu itu. Nahumaruy adalah Dewa Banda, Debata Banda, Dewa Bumi Alam, Roh Pala atau Dewa Pulau."
"Kenapa kau menjelaskan makhluk satu ini padaku?" Dali tampak kesal, menekan tubuhnya lebih keras pada Silan dari belakang.
"Dia diusir langit karena membebaskan Karaso dari Papaito. Aku ingin mengajak mereka dalam perjalanan ini."
Dali sama sekali tidak setuju dengan ide Silan yang di luar dugaan. Dali tidak pernah membawa banyak orang dalam perjalanan bisnisnya mengantar buku. Terlebih Karaso yang bekerja di bawahnya di Persekutuan Koin Gelap, dan bocah nelayan yang melarat.
"Tidak boleh. Jika mereka di sini, aku tidak bisa bermanja padamu. Karaso punya tugas mengurus bisnisku di Persekutuan Koin Gelap dan Debata melarat hanya menambah beban. Aku tidak setuju."
"Aku punya ide tentang mereka."
"Apa maksudmu?" Dali ingin tahu ide aneh yang ada di kepala Silan.
"Nahu mungkin bisa membantuku bersama Karaso."
"Nama dia Nahumaruy, bukan Nahu. Dan asal kau tahu, Putri. Karaso mencampakkan Nahumaruy. Jadi, mustahil Karaso ingin bekerja sama dengannya."
"Nahu itu nama panggilan khusus untuknya. Namanya terlalu panjang. Lagipula, kau ini majikan Karaso, dia pasti tunduk padamu, pada perintahmu. Kamar di kapalmu masih kosong. Percaya padaku, jika Nahu dan Karaso di sini, aku mungkin bisa lebih banyak mendapat teman bertukar pikiran."
Mata Dali menjadi gelap mendengar usulan Silan. Ada kilatan posesif di sana. Tangannya mencengkeram pinggul dan menarik Silan lebih dekat padanya.
"Kenapa kau menginginkan pria lain di sini bersama kita? Kau cuma perlu aku untuk bertukar pikiran. Tidak ada bantahan. Aku hanya ingin kau di sini. Mengerti? Pikirkan semuanya bersamaku di Taring Laut. Sementara kau membuat rencana. Kita akan mengantar buku lagi."
"Ke mana?"
Dali akhirnya membalikkan tubuh Silan menghadap padanya. Silan bisa mendengar suara Laya yang memanggil dari bawah kapal. Tetapi tangan Dali menahan dagu Silan.
"Tatap aku."
"Aku sedang menatapmu," protes Silan.
"Kau milikku, Putri Laut. Dan jika kau menginginkan pria lain di sini, aku perlu mengerti alasannya. Karena satu-satunya alasan harus ada pria lain di sini bersama kita adalah jika aku mengizinkannya."
Dia terkekeh, cengkeramannya di pinggul Silan semakin erat. "Benar, sayang. Akulah yang bertanggung jawab di sini, kalau-kalau kau lupa." Suara Dali berubah menjadi geraman rendah dan berbahaya saat dia melanjutkan.
"Semua memerlukan izinmu?"
"Akulah yang mengambil keputusan, menetapkan aturan, dan mengambil keputusan. Dan jika kau menginginkan pria lain di sini bersama kita, itu hanya karena aku mengizinkannya. Mengerti?"
"Aku mengerti, Dali."
"Gadis baik," gumam Dali dengan nada serak dan dominan. "Aku hanya ingin memastikan kita sepaham. Kau milikku, Putri Laut. Dan aku tidak akan membagimu hanya karena kau memintanya. Pria lain di sini akan berada di sini karena aku yang memintanya."
"Kalau begitu, aku tidak mau ada wanita lain di sini. Kau milikku." Akhirnya, Silan mengungkapkan perasaannya pada Dali. Kebutuhan tentang Dali menjadi miliknya, bukan wanita lain.
"Benar sekali," gumam Dali, matanya menggelap karena nafsu.
"Tidak ada wanita lain di sini." Dali setuju, suaranya bergemuruh dalam dan posesif. "Hanya kau dan aku, Putri." Dia menggeram dengan rasa puas yang posesif, tangannya mencengkram pinggul Silan lebih erat di pagar pembatas kapal.
"Bagus sekali. Hanya kau dan aku." Silan cukup puas. "Apa ini artinya, kita berkencan sekarang?"
Dia menarik Silan semakin dekat, tangannya menjelajahi, mengklaim setiap inci tubuh Silan sebagai miliknya.
"Benar, kau milikku dan aku milikmu. Hanya kau dan aku," ulang Dali, suaranya serak dan penuh kebutuhan. "Kau milikku, dan aku tidak mau berbagi. Wanita lain bahkan sudah tidak ada lagi. Hanya kita, dan seluruh dunia bisa hancur."
"Kau mencintaiku?" Silan butuh kepastian.
"Cintaku, hatiku, seluruh jiwaku... Aku bersumpah padamu, demi semua yang kusayangi, bahwa aku akan mencintaimu dengan segenap jiwaku hingga akhir zaman. Aku akan menyayangimu, melindungimu, dan memujamu sebagai makhluk paling sempurna. Dan aku tidak akan pernah, tidak akan pernah, melepaskanmu."
"Cium aku," pinta Silan.
"Tidak menahan diri, ya?" Mata Dali melirik ke bibir Silan, lalu kembali menatapnya. "Kau cukup berani, ya?
"Ya, cium saja untuk mengklaimku."
Tatapan Dali menjadi gelap, secercah hasrat terpancar di matanya.
"Mengklaimmu, ya? Kau membuatnya terdengar seperti hadiah yang harus dimenangkan."
Dali mengulurkan tangan dan dengan lembut menggenggam pipi Silan, ibu jarinya menelusuri garis rahang, sentuhannya posesif dan lembut.
"Tapi harus kuakui," bisik Dali lebih lanjut. "Ada sesuatu tentang cara bicaramu yang tak dapat disangkal itu menarik." Tatapannya kembali turun ke bibir Silan, bertahan di sana sejenak sebelum menatap mata Silan sekali lagi.
Dali pun memperpendek jarak yang tersisa di antara mereka , bibirnya mengecup bibir Silan dalam ciuman yang dalam dan hampir posesif. Tangannya bergerak ke belakang leher, menarik Silan lebih dekat saat lidahnya menyelinap di antara bibir Silan yang terbuka.
Silan membalas ciuman Dali dengan kebutuhan yang sama dan dalam. Menikmati cara Dali mengecap bibi dan lidahnya dengan cara paling memabukkan.
Dali mengerang pelan, cengkeramannya di leher Silan sedikit mengencang saat ciuman semakin dalam. Dia menarik Silan erat ke arahnya, lidahnya beradu dengan lidah Silan dalam tarian hasrat dan kebutuhan.
Tanpa ragu, Silan melingkarkan lengannya di leher Dali dan menariknya lebih dekat untuk memperdalam ciumannya. Lidah Dali tersangkut di lidah Silan, napasnya tersengal-sengal karena hasratnya pada Silan semakin kuat dan Silan terus menciumnya dengan intens. Tidak berniat menghentikan ciuman panas tersebut.
Tangan Dali perlahan meluncur turun ke paha Silan, jemarinya mencengkeram erat-erat saat ia menekan Silan ke tubuhnya, berusaha menghilangkan jarak yang tersisa di antara tubuh Silan. Lidahnya terus menjelajahi mulut Silan, menuntut dan posesif saat ia mengklaim bibir Silan dengan bibirnya sendiri.
Dali tiba-tiba menghentikan ciumannya, ekspresinya gelap karena nafsu saat ia terengah-engah, dadanya naik turun. "Kau membuatku gila," gumam Dali pada Silan, suaranya serak karena gairah.
"Kau juga membuatku gila. Ayo ciuman lagi."
Bibir Dali kembali menemukan bibir Silan, lidahnya masuk ke dalam mulut Silan saat ia memperdalam ciumannya. Dia pun melepaskan ciumannya lagi, terengah-engah, tatapannya terkunci pada Silan.
"Apakah ini yang kau inginkan? Membuatku liar seperti ini?" Dia berbicara dengan napas terengah-engah, tangannya masih di paha Silan, jari-jarinya menelusuri kulit dengan gerakan menggoda dan terus naik ke paha atas Silan.
"Ya, aku menginginkan ini, menginginkanmu liar."
Tatapan Dali menjadi gelap, rasa ngeri menjalar di sekujur tubuhnya mendengar kata-kata Silan.
"Dasar gadis nakal," gerutu Dali, menarik Silan lebih dekat lagi. "Kau tidak tahu betapa aku menahan diri selama ini."
Keberanian Silan untuk mencium Dali membuat pria itu sedikit tersentak. Tetapi, Dali langsung merespons, bibirnya mengecup bibir Silan dalam ciuman yang intensitasnya hampir memar. Tangannya menjelajahi tubuh Silan, mencari setiap titik sensitif yang bisa ditemukannya, sentuhannya posesif sekaligus rakus.
Menit demi menit berlalu. Silan dan Dali hanya terus berciuman di pagar pembatas. Hanya mengambil jeda beberapa detik sebelum kembali melanjutkan ciuman mereka.
Entah Silan atau Dali, tidak ada yang ingin berhenti, tidak ada yang ingin melepaskan diri, seolah dunia di sekitar mereka menghilang dan hanya ada mereka berdua dalam pusaran hasrat yang membakar.
Setiap ciuman semakin dalam, semakin menuntut, seakan tidak pernah cukup untuk memuaskan dahaga yang membuncah di dalam dada.
"Jadilah milikku. Katakan kau milikku, Silan Ongirwalu." Dali pun menarik diri, masih bernapas di depan bibir Silan yang memerah dan mulai bengkak. "Aku tidak merasa cukup. Aku membutuhkanmu."
"Aku milikmu, Dali. Hanya milikmu. Begitupun kau, kau hanya milikku. Apa kau mengerti? Aku hanya ingin kau."
Dali mengecup bibir Silan, menghisap bibir bawahnya dengan nikmat, "Aku milikmu, Putri Laut."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top