13
Silan kembali menemui Naa yang masih sibuk bersama gulungannya. Naa hanya melirik Silan sekilas sebelum fokus kembali ke pekerjaannya. Silan duduk di dekat Naa, memperhatikan bagaimana perpustakaan di dalam air ini seperti oksigen yang mengelilingi mereka.
Benda-benda yang berada di dalam perpustakaan memiliki cara tersendiri beradaptasi dengan tekanan air.
"Cukup puas berkeliling?" tanya Naa tanpa melirik Silan.
"Aku masih ingin di area terlarang, tetapi Aru mengusir kami."
"Ah, bocah gurita itu. Dia memang seperti itu. Banyak buku menarik di sini daripada di sana. Kau sudah mengetahui mengakses seluruh koleksi perpustakaan tanpa membuat masalah?"
Silan menggeleng dan Naa akhirnya mengangkat wajahnya.
"Mau bagaimana lagi, sudah kuduga kau tidak akan tahu, kau tidak mungkin memecahkannya dalam sehari sementara Dali menunggumu di Taring Laut." Naa menatap Oan dan menatap Silan kembali.
"Ada apa? Ada apa dengan Oan?"
"Wah," balas Naa terpukau, "kau memberinya nama Oan ya? Kedengarannya bagus. Oke, kau harus membawa Oan keluar dari sini. Mutiara Kehidupan itu memiliki ingatan atas semua koleksi buku di sini kecuali area terlarang. Masalahnya, izin membawa Mutiara Kehidupan harus dengan persetujuan Malaka."
"Malaka? Saudara Nusa? Tetapi, dia kan pria yang tidak suka didekati," komentar Silan sambil melirik sekitar. Mencari-cari keberadaan Malaka. "Kenapa harus minta izin padanya?"
"Silan Ongirwalu. Menurutmu, siapa pemilik Perpustakaan Duyung? Kau pikir ini milik umum? Ini memang terbuka untuk umum. Tetapi ini milik seseorang dan orang tersebut adalah Malaka. Mari kuberitahu sebuah hubungan para pria laut."
Naa menyingkirkan semua gulungannya dan mendekati Silan dengan wajah antusias.
"Arafura, Giza, Dali, Malaka dan Gali itu satu spesies. Kau tahu Gali? Penulis buku terkenal itu?"
Silan mengganguk, "Ya, dia berteman dengan Dali?"
"Tentu saja. Dali, Gali dan Giza itu sahabat dekat. Tiga dewa yang bertolak belakang dan memiliki pertemanan tidak biasa. Sedangkan Malaka, Tai Leubagut dan Arafura berada di genk berbeda."
"Siapa Tai?"
"Dia Dewa Laut dari Mentawai. Dia sedikit sensitif dengan Dewa lain tapi dia berteman dekat dengan Arafura dan Malaka. Mereka trio laut yang sebaiknya di hindari. Malaka, Arafura dan Tai Leubagut."
"Dali Debata Lokal Banda?"
Naa tersedak oleh napasnya sendiri dan menatap Silan tidak percaya.
"Nona Silan, kau bodoh atau apa? Tentu saja Dali Dewa Laut. Maksudku, dia Raja Laut Banda. Kalau dari segi kekuasaan dia nomor dua setelah Malaka. Mereka duo paling dihormati di laut."
"Bagaimana dengan Giza?"
"Jangan tanya tentang dia di Dali. Tetapi, dia sebaiknya dihindari juga. Giza bukan Dewa Laut. Dia Dewa Kehancuran."
"Dewa Kehancuran ... maksudmu, Tambora?"
"Binggo, Manis. Dan singkirkan Giza dari pembicaraan ini. Kau sudah membawa beberapa buku tadi bukan? Nah, masalahnya buku itu tidak bisa dipinjam. Carilah Malaka dan minta izinnya membawa Oan. Itu cukup membuat Dali puas. Tetapi, Oan tetap milikmu, bukan milik Dali."
"Aku mengerti. Dan di mana aku harus mencari Malaka?"
"Cari di sudut tempat remaja Duyung belajar. Dia seharusnya di sana. Arah kiri dari sini."
Silan mengganguk dan bergegas mencari Malaka tanpa membuang waktu. Di sudut yang di arahkan Naa. Silan melihat seorang Putri Duyung dengan ekor perak berkilauan tampak mengelilingi sekelompok duyung muda dengan Malaka yang duduk di belakang mereka.
Dengan gerakan tangan, Putri Duyung tersebut menciptakan ilusi udara berupa bentuk makhluk laut purba yang pernah ada di zaman dahulu kala yang berbentuk ubur-ubur pelangi. Anak-anak duyung tersebut tampak kagum, menyentuh ilusi dengan tangan mungil mereka.
"Anak-anak." Putri Duyung berekor perak berujar. "Kita harus selalu menjaga arus laut dan mendengar peringatan mereka jika terjadi ancaman, hal ini membuat kita lebih mudah melindungi laut. Ingatlah, lautan selalu berbicara. Kita hanya perlu mendengarkannya."
Silan ikut menyimak penjelasan itu tanpa sadar. Dan kehadirannya membuat Malaka dan pengajar itu menoleh padanya. Namun, Silan dengan cepat menatap Malaka.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu."
Dengan gerakan malas, Malaka menggerakkan ekor zamrudnya berenang ke arah Silan.
"Apa?"
"Eh, itu ... bolehkah aku membawa Mutiara Kehidupan?"
Mata Malaka menatap Silan seolah sedang menilai barang. "Mengapa aku harus memberimu izin? Kau pesuruh Dali."
"Itu memang benar dan aku suka sekali perpustakaan ini. Aku ingin membacanya, membaca semua hal menakjubkan. Tidak bisakah, kau membantuku?"
"Membantumu atau membantu Dali? Dia sedang mencari sesuatu di lautan. Kenapa aku harus membantu Dali?" Tatapan tajam Malaka dan rasa enggan yang ia miliki membuat Silan cukup merasa tidak nyaman.
"Ini untukku. Aku suka membaca."
"Untukmu dan kau akan berbagi kisah bersama Dali. Kau hanya pesuruh Dali, menggantikan posisi Said yang tidak ingin menjadi Duyung di sini. Kau tidak mendapatkan Mutiara Kehidupan. Pergi sana."
Malaka tidak memberi kesempatan bagi Silan untuk menjawab. Tubuh Silan tiba-tiba terdorong oleh arus tak kasat mata dalam sekejap dan detik berikutnya, kepala Silan muncul di atas permukaan laut. Cukup jauh dari Tirai Laut.
Dia berusaha naik dan duduk di atas permukaan ombak. Langit telah gelap dan laut tampak tenang. Dia menyadari bayangan seseorang yang mendekat sedang berjalan di atas permukaan ombak.
"Dali," seru Silan yang menatap tubuh Dali menjulang tinggi di hadapannya.
"Sudah lewat tengah malam. Lapar?" tanya Dali. Alis Silan bertaut, alih-alih menanyakan tentang misi Silan. Dali justru bertanya tentang rasa lapar.
"Aku memang lapar. Tetapi, aku di usir Malaka."
"Aku tahu. Ayo makan," ajak Dali sambil melirik Laya yang berenang memutari mereka, sementara Noak sudah terbang ke dalam Taring Laut.
Silan akhirnya mengganguk, dia berdiri dan mengikuti Dali menuju Taring Laut.
...
Keesokan harinya, Taring Laut tidak berlayar dia hanya mengambang di tengah laut dengan jangkar yang dilepas. Dali membuatkan Silan ubi tumbuk dengan suwir ikan sambal bawang. Sementara Silan makan dalam diam, Dali duduk tidak jauh dari dapur kecil mereka di ruang kecil yang dijadikan Dali ruang pribadinya.
Silan kembali penasaran dengan buku yang dipegang oleh Dali. Buku hitam polos yang selalu dibawanya. Setelah menegak air hingga puas. Silan memberanikan diri membuka suara.
"Dali?"
"Ya, Putri."
"Aku sudah membaca sebuah buku di area terlarang. Aku membaca tentang salinan Laut Purba Nusantara. Apa kau mencari perpustakaan kuno itu?"
Dali menutup bukunya. Kemudian berjalan menghampiri Silan dan berdiri menjulang di depannya.
"Ya." Tatapan mata hitam Dali menatap Silan dengan emosi yang tidak diketahui.
"Pengetahuan apa yang kau inginkan di sana? Jika kau tidak keberatan memberitahuku."
"Kau ingin tahu?" Dali meraih dagu Silan dengan jemarinya agar mata wanita itu menatapnya. Sentuhannya lembut namun penuh kendali. Tatapan mata Dali memikat Silan dengan cara yang menenangkan.
"Dan setelah kau tahu, kau akan apa? Membantuku?"
"Bukankah itu alasan Said bekerja padamu dan memberikan kutukan buku padaku? Anehnya, aku tidak bisa mendengar bisikan buku yang kau pegang. Itu aneh sekali. Di Perpustakaan Sentral Duyung pun aku tidak mendengar bisikan buku-buku di dalamnya."
Dali tersenyum tipis, senang karena Silan menyadari hal sekecil itu. Dia masih menatap fitur wajah Silan.
"Kutukan buku tidak bekerja di sana. Sihirnya hilang sesaat oleh energi perpustakaan tersebut. Begitu pun buku milikku. Ada batasan pada kekuatan kutukan tersebut."
Dali menjelaskannya sembari memperhatikan bagaimana lentiknya bulu mata Silan saat berkedip menatapnya. Itu menciptakan gejolak aneh di dada Dali.
"Jika kau memberitahuku. Apa pun yang terjadi, aku pasti akan membantumu. Aku terikat padamu gara-gara Said dan kamu terikat padaku gara-gara Arafura. Ini sedikit rumit, bukan?"
Mata Dali bergerak menatap bibir Silan. Kalimat Silan memang benar, Dali mengganguk sependapat. Ini tidak berjalan sesuai rencana, tetapi sudut bibir Dali tertarik tipis. Tidak sesuai rencana, dia setuju. Dali tidak keberatan dengan hubungan tersebut.
"Jadi, kau akan membantuku?" kata Dali sambil tetap memegang dagu Silan. Dia juga heran, Silan tidak menepis tangannya.
"Ya, aku akan membantumu mencapai yang kau cari dan kau membantuku menjauh dari Arafura."
Dali menyeringai, "Asal kau tahu, obsesi pria laut itu terlalu liar. Kau ingin aku menangani Arafura dan obsesinya padamu? Itu sedikit susah."
"Jadi, kau tidak bisa mengatasi Arafura?" Mata Silan sedikit kecewa dan Dali menikmati reaksi tersebut.
"Aku tidak berkata, aku tidak bisa mengatasi Arafura. Aku hanya berkata itu sedikit susah. Menciummu di depan Arafura tidak bisa menjadi senjata yang bisa terus mengusirnya."
"Lalu, bagaimana caranya agar Arafura berhenti mengejarku? Katakan padaku."
Dali mengangguk puas atas rasa penasaran Silan. "Jika laut sudah terobsesi padamu, pada dasarnya akan susah menolak keberadaan mereka. Seberapa keras kau mencoba mengusir, mereka akan terus menjadi bayanganmu. Dalam kasusmu, ini cukup berbahaya. Untuk melindungimu, aku harus mempertaruhkan banyak hal dan itu semua ada harganya."
"Kau ingin aku patuh padamu?" tebak Silan dengan tatapan menyelidik.
"Tidak."
"Kau ingin membuatku menjadi milikmu seutuhnya?"
"Tidak."
Alis Silan terangkat satu. Jelas bingung dengan keinginan Dali. Cara Dali menatap Silan jelas menunjukkan sesuatu yang misterius dan tersembunyi. Silan penasaran, bayaran apa yang Dali inginkan darinya.
"Putri. Kau tidak perlu patuh padaku," ujar Dali yang membuyarkan lamunan Silan. "Aku tidak menuntut kesetiaan dari Putri Laut sepertimu. Aku tidak akan memaksa kau menjadi milikku. Tetapi, jika kau percaya hanya aku yang dapat menyingkirkan Arafura ...,"
Dali melepaskan tangannya dari dagu Silan dan mundur beberapa langkah menjauh. Senyum kecil di ujung bibir Dali tetap terlihat memancing rasa penasaran Silan.
"Kau harus memilih untuk berada di sisiku. Bukan karena aku memerintahmu, tetapi karena kau tahu bahwa aku satu-satunya pilihanmu untuk melawan Arafura. Kau bukan hanya akan dilindungi. Kau akan menjadi sesuatu yang tidak bisa disentuh oleh siapa pun jika berada di sisiku."
Suara Dali rendah, tenang, penuh kendali dan memikat relung terdalam hati Silan.
"Sesuatu yang tidak bisa disentuh? Seperti apa?"
"Sesuatu yang tidak bisa disentuh. Artinya, kau akan menjadi sosok yang tidak terjangkau, entitas yang membuat para pria laut berpikir
dua kali sebelum menyebut namamu. Bersamaku, kau bukan hanya dilindungi dari bahaya, tetapi kau akan menjadi ancaman itu sendiri. Bagaimana?"
Itu tawaran yang menarik pikir Silan. Dia merenung tawaran tersebut sesaat dengan menunduk. Arafura sudah membuat semua orang di sekitar Silan kerepotan dan jika dia bisa membuat pria itu berhenti mengejarnya, Silan sungguh-sungguh akan melakukan apa pun untuk menciptakan hal tersebut.
"Putri, tidak ada yang berani mendekat, jika kau memilih percaya padaku. Karena mereka tahu harga dari tantanganmu adalah ancaman mutlak. Tidak ada yang berani mengklaimmu sebagai miliknya karena mereka tahu kau bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki, Putri."
Suara Dali kembali meyakinkan Silan. Dia tahu, Silan sedang mempertimbangkan keputusannya.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Dali? Bukankah ini saja membuatku menjadi milikmu?"
Dali kembali mendekati Silan. Kemudian, mencondongkan tubuhnya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Silan.
"Aku tidak menuntut kesetiaan. Aku hanya ingin kau percaya bahwa aku yang bisa melindungimu dari Arafura." Tangan Dali hampir terulur menyentuh wajah Silan. Namun, dia berhenti beberapa inci dari kulit Silan.
"Aku, aku percaya padamu."
"Akhirnya kau mengerti." Dali tersenyum puas. Tetapi tidak menjauhkan wajahnya dari hadapan Silan. Sesekali mata hitam Dali bergerak ke bibir Silan dan mata gadis itu.
"Apa kau sedang menggoda untuk menciumku?" tanya Silan dengan mata menyipit.
"Jujur, aku ingin merasakan bibirmu lagi. Bolehkah aku? Kau sudah kerja keras sebagai bawahanku. Aku ingin menghiburmu dengan tubuhku."
"Kenapa pria laut sepertimu ingin menghiburku dengan tubuhmu?" Tatapan mata Silan menjadi galak dan Dali tidak terpengaruh oleh hal tersebut.
"Kau sungguh tidak akan mengizinkanku menciummu lagi? Ayolah, aku masih ingat reaksi tubuhmu saat kita berciuman di depan Arafura. Kumohon, beri aku ciuman. Ini hanya ciuman, kita hanya berbagi ludah kita. Ayolah, Putri. Aku tahu, kau menginginkanku seperti aku menginginkanmu."
Jantung Silan berdebar kencang. Dali sedang merayu dan menggodanya. Sensasi lidah dan bibir Dali yang Silan rasakan kembali terbayang dibenaknya dan itu membuat wajah Silan memerah seperti kepiting rebus.
"Hanya ciuman, Putri. Anggap saja ini nilai tukar atas pertolonganku kemarin pada Arafura."
"Apa kau akan meminta ciuman setiap mengusir Arafura?" Silan bertanya penuh selidik.
"Mungkin seperti itu. Ciuman manis untuk membuat makhluk laut tidak menyentuhmu dan berpikir dua kali jika menyebut namamu. Bagaimana? Ayolah, Putri. Aku janji, akan membuatmu nyaman dengan ciumanku. Kau tidak perlu menyangkal. Reaksi tubuhmu menjawabnya."
Silan berdecak kesal. Sekalipun otaknya menolak tegas. Hasrat untuk berbagi hubungan intim dengan Dali adalah dorongan yang sulit ditahan. Hanya anggukan kecil dari kepala Silan, cukup memberi Dali lampu hijau.
Dengan sekali gerakan, Dali mengangkat Silan duduk di atas meja sembari menyingkirkan piring makanan. Kemudian, jari-jari Dali menyusuri wajah Silan perlahan.
Mencoba menghafal setiap lekuk kulit yang terasa panas di bawah sentuhannya. Sentuhan itu ringan, namun setiap gesekan menyalakan percikan yang menjalar hingga ke dada keduanya. Nafas mereka saling beradu, saat Dali mendekatkan wajahnya mendekat ke wajah Silan, namun belum bersentuhan, menciptakan ketegangan yang menggantung di udara.
Tangan Dali yang satunya meraih pinggang Silan, menarik tubuhnya lebih dekat hingga tidak ada lagi ruang di antara mereka.
Keintiman yang begitu dekat membuat detak jantung Dali dan Silan terasa seirama, seakan seluruh dunia memudar di luar keberadaan mereka.
Bibir Dali berhenti hanya beberapa inci dari leher Silan, nafasnya menyapu kulit Silan, menyebabkan aliran panas menjalar ke seluruh tubuh Silan. Dali tidak langsung menciumnya dan itu membuat Silan sedikit putus asa.
Dengan gerakan yang penuh kesabaran namun menggetarkan. Dali menekan ciuman lembut di bawah telinga Silan, membiarkan sentuhan itu berbicara lebih dalam dari kata-kata.
Dali menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tubuh Silan dan memejamkan mata. Dia suka mencium rambut Silan. Dia suka aroma tubuh Silan saat mengecup lehernya, bagaimana tubuh wanita itu sangat harum. Dia menginginkan Silan dan tangannya bergerak meraih pinggul Silan dan memeluknya.
Dali hanya memeluk dan tidak berbicara selama beberapa menit, hanya menikmati perasaan memeluk Silan dalam pelukannya.
Tangan Dali masih berada di pinggang Silan, wajahnya terbenam di rambut Silan. Dia kemudian menggerakkan kepalanya sedikit untuk berbisik di telinga Silan. "Aku suka memelukmu seperti ini."
"Aku pikir kau ingin menciumku."
Dali tertawa geli di telinga Silan dan cara wanita itu bereaksi semakin membuat Dali merasa tertarik padanya. Ibu jari Dali pun bergerak mengelus bibir Silan dengan lembut. Dia melakukannya sangat hati-hati.
Lalu bibir Dali menyentuh bibir Silan ringan. Ciuman lembut itu perlahan penuh gairah dan keinginan serta kebutuhan Dali pada Silan menguasai dirinya.
Dali memeluk Silan lebih erat, menariknya lebih dekat. Dali mencintai perasaan Silan padanya, mencintai bibir Silan di bibirnya, itu adalah semua yang dia inginkan dan lebih banyak lagi dari Silan.
Dali menarik Silan semakin erat padanya, sampai-sampai Silan bisa merasakan tubuh lelaki itu menempel padanya. Terutama tubuhnya yang berotot dan keras saat ciuman mereka semakin dalam dan memanas.
Saat Silan membuka mulutnya.
Dali segera memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam ciumannya. Lidahnya menjelajahi dan mencicipinya, sembari mendorong wanita itu lebih dekat padanya.
Tubuh Dali menekan tubuh wanita itu seakan-akan ingin sedekat mungkin dengan Silan.
Tangannya pun bergerak naik turun di paha Silan, sentuhannya lembut namun posesif. Ia kemudian mulai menggerakkan ciumannya dari bibir Silan, turun ke leher dan bahunya lagi, meninggalkan sedikit gigitan cinta di jalannya.
Dali terus menggigit, mencium, dan menandai leher dan bahu Silan, tubuh Dali masih menempel erat pada tubuhnya, menjepit Silan hingga membentur dinding dibalik meja makan sambil melanjutkan serangannya pada lehernya yang tidak berdaya.
Tangan Dali di paha Silan membuat gerakan melingkar untuk membelai bagian tubuhnya yang lembut. Sentuhan Dali lembut, namun posesif.
Dia terlihat ingin mengklaim tubuh Silan dengan sentuhannya. Namun, Dali masih berusaha menahan diri untuk bergerak lebih jauh. Kemudian menarik diri.
Silan tersenggal-senggal, mulut dan bibirnya basah oleh liur. Dali tersenyum puas dengan reaksi yang ia hasilkan. Dia segera menghentikan tangan Silan saat gadis itu ingin menyeka cairan itu dari bibirnya.
"Jangan dihapus."
"Kau gila?" balas Silan sambil menarik tangannya dari Dali. Tetapi, Dali tetap menahannya.
"Jangan dihapus. Biarkan itu kering dengan sendiri. Ini permintaan, oke?"
"Kalau aku menolak?"
"Ingat? Hanya aku yang bisa melindungimu dari Arafura. Aku mengorbankan kekuatanku untukmu. Permintaan kecil ini sungguh tidak bisa kau kabulkan?"
Silan berpikir sesaat. Entah mengapa, dia merasa sedang dimanipulasi oleh kata-kata Dali, namun Silan tetap mengganguk. Membiarkan jejak liur itu mengering dengan sendirinya.
"Manis sekali." Dali menepuk pucuk kepala Silan. "Sore ini kita akan menuju pantai Pasir Merah Jambu. Pulau yang dijaga komodo dan manusia komodo."
"Bukankah berbahaya? Liur hewan itu racun berbahaya."
Silan tidak setuju dengan kunjungan tersebut. Tangan Dali meraih dagu Silan agar mata wanita itu fokus padanya.
"Kau terikat padaku, bukan? Kita akan ke sana bersama, Putri. Kau dan aku, aku memegang janjiku. Mulai sekarang, aku akan menunjukkan pada lautan bahwa kau bukan sesuatu yang bisa disentuh. Jangan takut, oke?"
Silan tersihir untuk mengganguk dan dia hanya bisa menatap Dali yang berbalik menuju ruang kemudi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top