11
Sekeliling Silan berkabut. Tetapi dia tetap berdiri tegak di atas ombak yang bergerak di bawah kakinya, sedetik kemudian, dia jatuh ke dalam air hingga harus menahan sirip lumba-lumba merah muda dengan kuat. Silan mencoba naik lagi ke atas permukaan dan sesuatu seolah menentangnya melakukan hal tersebut.
"Baiklah, Manis. Tampaknya, aku dilarang berjalan di atas air," ujar Silan pada lautan.
Samar-samar, dari kejauhan terdengar nyanyian halus seorang perempuan yang penuh kesedihan dan keindahan. Suara itu perlahan-lahan terdengar sangat jelas. Bergema di sekeliling mereka. Lantunan melodinya seperti memuliakan betapa sakralnya laut dan misterinya.
Silan memejamkan mata. Dia merasa nyaman mendengar melodi dari suara tersebut. Silan terpesona, nyanyian asing itu mengirim sesuatu dalam benak Silan yang memiliki ketertarikan kuat pada lautan. Ada bahasa-bahasa kuno yang terasa familiar dengan bisikan ombak dan angin laut.
Perlahan, Silan membuka mata. Dia mendengar suara air bergerak, tanda sesuatu sedang mendekatinya. Tetapi, Silan tidak bisa melihat apa pun di dalam kabut.
"Siapakah dirimu, Putri Laut yang berkunjung ke Palung Laut Kemaharajaan Banda? Banyak yang tersesat dan kembali sebelum sampai sejauh ini. Namun kau datang mendekat. Apa yang kau cari di balik kabut ini?"
Suara itu berbisik lembut di sekeliling Silan, seolah sedang mengawasi. Silan bahkan yakin, kabut tersebut pasti memiliki jiwa dan hidup.
"Aku ingin menuju Perpustakaan Sentral Duyung."
"Perpustakaan itu menyimpan rahasia yang teramat dalam, Putri Laut. Ombak laut yang tidak pernah berhenti. Untuk apa kau datang ke sana, Putri? Apakah itu untuk pengetahuan, atau ada sesuatu yang lebih mendalam, yang hanya kau dan laut yang bisa mengerti?"
Silan mengatur napasnya. Dia sedikit tegang dan cemas. Silan takut, setiap kata yang keluar sebagai jawaban bisa mempengaruhi izinnya untuk berkunjung.
"Aku ingin mencari pengetahuan untuk mengenal laut lebih dalam dan hubungan sakralnya dengan garis darahku," jawab Silan dengan lugas. Jantungnya berdegup kencang dan Noak mencoba bersuara seperti batuk untuk menenangkan Silan.
"Ketahuilah, Putri Laut. Siapa pun yang menginjakkan kaki di perpustakaan itu akan meninggalkan jejak rahasia. Apa yang kau tinggalkan di sana jika kami izinkan masuk? Apakah itu akan menjadi jejak yang menguatkan atau justru mengundang badai di lautan?"
"Memberi pengetahuan baru untuk mendapatkan pengetahuan lama."
Suara itu bersenandung, kali ini seperti melodi pengantar tidur. Memanggil jiwa dan menggoda Silan tentang lautan. Kemudian, melodi itu berhenti.
"Lautan adalah rahasia yang tidak semua orang bisa sentuh. Maka sebelum kubiarkan kau melangkah lebih jauh, jawablah pertanyaan-pertanyaan kami, karena hanya mereka yang memiliki jiwa yang selaras dengan laut yang bisa melangkah ke dalam perpustakaan kami."
Suara Putri Duyung itu tidak meminta persetujuan Silan untuk menjawab Ya atau Tidak. Dia melanjutkan.
"Laut ini memiliki nyanyian, dan hatimu membawa nadanya. Jika kau mendengarkan, apakah kau akan mengikuti arus yang dituntun, ataukah kau punya kehendak lain? Karena laut hanya menerima mereka yang mempercayai alirannya."
"Aku akan mengikuti arus yang menuntun," jawab Silan tegas.
"Benarkah?" Suara itu terkekeh geli. "Beri kami pengetahuan yang kau tawarkan sebelumnya dengan darahmu."
Silan meraih kalung mutiaranya yang mendadak berubah menjadi jarum perak dan menusuk ujung jari dan meneteskan darah tersebut ke dalam laut. Sesaat hening, hanya suara debur ombak yang berbisik-bisik dalam embusan angin laut.
Silan menunggu dengan jantung berdebar dengan penasaran. Berpikir, apakah semudah ini jalan masuk menuju perpustakaan duyung hingga Karaso tidak sabar menyelesaikannya? Menit demi menit berlalu, Silan berusaha mendorong tubuhnya naik ke permukaan ombak. Namun, air di dalam kabut tetap menahan bobot tubuhnya di bawah air.
Lumba-lumba merah mudah bermain dengan Noak yang terbang di depan wajahnya. Setelah penantian yang terasa sangat lama. Suara itu kembali dengan senandung yang lirih. Datang bersama gemericik halus ombak kecil yang bergulung lembut. Suaranya mengandung peringatan dan penuh harapan.
"Putri Laut Ongirwalu. Langkahmu diterima Tirai Laut. Ketahuilah, perjalanan ini bukan sekadar pencarian rahasia. Perpustakaan Duyung adalah tempat di mana lautan menyimpan kenangannya. Bukan hanya buku dan gulungan. Tetapi kenangan, nyanyian dan air mata yang disulam oleh arus, gelombang dan badai lautan. Kau
harus mendengarkan apa yang mereka ceritakan dan menerima apa yang mereka tawarkan. Kami menerima pengetahuan yang ada dalam darahmu, pengetahuan ini sekarang milik kami."
Silan merasa jantungnya akan meledak. Dia akan mengetahui rahasia lautan. Dia tidak keberatan jika pengetahuannya diambil perpustakaan duyung. Putri Duyung itu kembali berkata.
"Ikuti cahaya bintang kami."
Dan tanpa aba-aba. Kepala Silan terdorong masuk ke dalam air seolah ada tangan tak kasat mata yang menekan kepalanya. Di bawah air, Silan mencoba menahan napas dan bernapas dengan hati-hati. Dia mulai berpikir, tentang petunjuk terakhir karena di hadapannya, ada ribuan bintang laut yang mengambang.
Noak bergerak mengejar satu bintang laut merah dan mengigitnya seperti mainan karet, kemudian mengejar yang lain dengan antusias.
"Ikuti cahaya bintang kami." Silan menggumamkan kata tersebut sambil menatap puluhan bintang laut. Matanya menyipit mencari cahaya dari setiap bintang laut. Mulai dari yang digigit Noak hingga yang mengambang diam. Lalu mata Silan tertuju pada bintang laut berwarna hitam yang melayang di depannya.
Kulit hitamnya seperti habis terbakar dan sedikit membara. Lumba-lumba menyundulkan kepalanya ke lengan Silan. Memintanya menyentuh makhluk laut tersebut. Dengan sangat hati-hati untuk tidak menyakiti. Silan pun menyentuh dengan ujung jari telunjuk.
Cahaya seperti bara api berkilat dari tubuh bintang laut tersebut. Noak segera meninggalkan bintang laut tersisa dan melesat terbang ke arah rambut Silan dan mengigitnya sebelum mereka terdorong oleh hentakkan dan jatuh di depan sebuah pintu ganda.
Kami menyebutnya Mutiara Pengetahuan. Bintang laut ini adalah cahaya menuntun
Silan 1000% yakin mendengar suara ombak. Itu bukan lagi suara Putri Duyung. Pintu ganda raksasa di depannya terbentuk dari karang alami, bercahaya warna-warni.
Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran halus yang menggambarkan lautan, arus, dan makhluk mistis yang menari di atas ombak. Silan bernapas lega, karena tidak menghabiskan waktu menyelam sampai 7000 meter.
Silan memperhatikan pemandangan sekitar. Karang-karang bercahaya seperti lampu lentera di dasar palung yang gelap, makhluk laut berwarna-warni berenang damai, dan aliran udara membentuk terowongan seolah membimbing mereka. Silan tidak menemukan makhluk laut yang melintas. Misalnya, Putri Duyung yang melintas atau hidup di sekitar perpustakaan. Tempat itu hanya di isi makhluk laut biasa.
"Baiklah teman-teman. Ayo kita masuk ke dalam perpustakaan," kata Silan pada Noak dan lumba-lumba. Sebelum Silan menyentuh pintu ganda tersebut, dia melirik si Lumba-lumba. "Kau akan kuberi nama Laya."
Lumba-lumba itu memberikan suara riang seolah senang dengan nama barunya. Kemudian Silan menyentuh pintu ganda tersebut. Tangannya bercahaya, totemnya bekerja.
Selamat datang di Perpustakaan Sentral Duyung Nusantara. Tempat di mana ingatan laut disimpan dan waktu berhenti. Kau akan menemukan lebih dari sekadar kata-kata di sini. Dengarkan arusnya, resapi nyanyiannya, dan biarkan lautan berbicara padamu.
Pintu ganda tersebut terbuka dari dalam. Memberikan cukup celah untuk Silan melangkah masuk. Pintu seketika tertutup di belakang Silan saat ia berdiri dengan terkagum-kagum dengan keindahan tempat itu.
Perpustakaan itu seperti taman yang luas. Rak-rak besar terbuat dari koral menjulang tinggi, diisi buku warna-warni dan gulungan yang terbuat dari sisik ikan dan mutiara.
Sebelum kau melangkah lebih jauh, Putri Laut. Kau harus tahu satu hal. Di perpustakaan ini, pengetahuan bukan sekadar hadiah. Setiap hal yang kau pelajari akan menuntut sesuatu darimu—sepotong keberanian, sebagian rahasia, atau bahkan ingatan.
Silan mengganguk, perpustakaan itu seperti dunia tanpa batas. Ruangan perpustakaan berbentuk kubah besar yang memancarkan cahaya biru lembut. Air nya terasa hangat, lembut seperti pelukan arus laut yang ramah.
Silan pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Putri dan Pangeran Duyung berenang perlahan dengan anggun. Beberapa duduk dalam formasi batu koral yang menyerupai meja. Sebagian dari mereka membaca, menulis dan mengamati bola kristal berbentuk kerang laut seperti milik Karaso.
Di sudut lain, di sofa empuk berwarna lautan. Sebagian membentuk kelompok-kelompok kecil berbincang dan tertawa. Silan mulai melangkah, menyimpan semua yang ia lihat ke dalam ingatan.
Dia melewati tempat duduk dari batu karang yang di tempati oleh seorang Pangeran Duyung dengan ekor berwarna hijau zamrud. Duyung laki-laki itu sedang membaca sebuah gulungan panjang yang bercerita tentang legenda purba. Tangannya menyentuh gulungan dengan lembut, dan sesekali ia berbisik pada bintang laut putih yang melayang di atasnya, berbicara tentang apa yang dibacanya.
Silan tanpa sadar berhenti melangkah dan menatapnya dengan alis bertaut.
"Apa kau lihat ini, Manis? Ini menyebutkan tentang arus tua di Sulawesi yang pernah hilang. Barangkali kita bisa menelusurinya lagi. Mungkin itu bisa membimbing kita menemukan artefak lain."
Silan tidak bermaksud menguping. Tetapi, ia bisa mendengar suara lirih seperti anak-anak keluar dari bintang laut tersebut.
"Benarkah? Aku yakin ada referensi lain yang bisa dicari."
Merasa diperhatikan. Pangeran Duyung itu menoleh pada Silan dengan tatapan tidak suka.
"Apa aku sedang melakukan pertunjukan sirkus di sini?" Nada suaranya terdengar tajam.
"Maaf."
Silan segera berjalan kembali dan hampir menabrak seorang wanita dengan kemeja hijau yang sedang memegang setumpuk gulungan. Ia juga memakai kaca mata baca dengan rambut dicepol oleh pena.
"Silan!"
"Naa?" balas Silan yang terkejut melihat Ina Kabuki. Ratu Laut, Dewi Laut dari Pulau Buru yang menguasai Teluk Kayeli.
"Demi Lautan!" jerit Naa. "Apa yang membawamu ke sini? Ayo, kita harus berbicara berdua."
Lengan Silan diapit oleh Naa. Naa membawa Silan ke salah satu sudut yang bersofa merah muda dengan karpet penuh buku-buku yang berserakan, kehidupan di bawah laut tidak terpengaruh oleh aktifitas tersebut. Naa menaruh setiap gulungan di bawah dan duduk bersila sambil memeluk bantal bulu.
"Mengapa kau datang ke sini bersama dua makhluk ini?" Naa menunjuk Noak dan Laya yang mengapit Silan. "Kupikir kau masih di Tanimbar, menjadi anak perempuan yang penurut dan tidak terlibat lagi dengan Arafura."
Silan menarik napas dalam-dalam. "Panjang ceritanya."
"Tentu saja. Vivian tidak ada di sisimu. Hanya satu kemungkinan, ada masalah baru. Apa itu?"
Silan berusaha meringkas apa yang terjadi pada Naa sampai ia akhirnya berada di perpustakaan tersebut. Naa mendengar semua itu dengan sorot serius. Dia membiarkan Silan mengatur napasnya setelah selesai bercerita.
"Said bodoh." Naa mengucapkan umpatan sebagai respon pertama dan membuat Silan tersenyum geli. "Sedangkan soal Dali. Aku tidak menduga dia mau membawa seorang gadis sepertimu bekerja untuknya. Kau tahu, dia sangat dingin dengan siapa pun bahkan Karaso. Putri Duyung di sini adalah penggemar berat Dali. Jangan bilang kau bekerja untuknya, mereka akan memakanmu."
"Pria seperti itu punya penggemar fanatik?" cibir Silan dengan melirik sekitar.
"Ya, pria yang kau cium."
Nada sarkatik Naa membuat Silan cemberut.
"Jangan bahas itu."
"Oh, aku akan membahasnya. Karena kau membuat kesempatan berbahaya dengan Dali dan ditipu oleh si Idiot Said."
"Aku pikir, perpustakaan ini hanya untuk perempuan, para Putri Duyung. Aku tidak tahu, jika laki-laki dalam wujud Duyung bisa di sini."
Naa memutar mata. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Tentu saja namanya Perpustakaan Duyung. Putri Duyung dan Pangeran Duyung bisa ke sini. Said bisa ke sini, kalau dia mau jadi Pangeran Duyung. Sayangnya, Dali dan Said punya harga diri tinggi untuk tidak melakukannya. Dan pria yang menegurmu adalah Malaka. Dewa Lautan Nusantara, saudara laki-laki Nusa. Dia yang mengurus urusan lautan dan dunia bawah dan Nusa mengurus masalah dunia atas. Dia teman dekat Arafura. Bisa mampus, jika Arafura tahu. Pria itu pasti tidak keberatan menjelma jadi Pangeran Duyung."
"Tentu saja, menjadi gurita pun dia lakukan," balas Silan sinis. "Dan apa yang kau lakukan di sini, Naa? Kupikir kau mengajar di sekolah adat?"
"Memang, tetapi aku tidak menghabiskan hidupku di sana. Kau bisa mencari buku dan gulungan yang kau sukai untuk Dali. Sayangnya, buku-buku di sini tidak bisa kau bawa keluar. Kau hanya bisa membaca dan menyalinnya."
"Oh, tidak. Itu buruk, aku tidak mau menghabiskan waktu menulis di sini."
Naa tersenyum tipis. "Tentu saja tidak, kau bisa menyalin pengetahuan yang kau inginkan dengan sedikit trik."
"Caranya?"
Naa masih tersenyum. "Kau akan tahu sendiri."
Silan memutar mata dengan malas. Naa sama sekali tidak membantu.
"Jadi, kau tidak akan memberitahu?"
"Tidak, Silan. Kau tahu peraturan di tempat ini. Kau tidak bisa mencuri pengetahuan. Kau bisa melihat dan membacanya. Tetapi membawanya keluar tanpa masalah adalah tantangan. Aku punya caraku sendiri. Aku akan menemanimu sampai kau selesai dengan urusanmu. Aku masih punya banyak waktu di bawah sini."
"Tidak ada petunjuk?" Silan membujuk Naa dengan nada kawan lama.
"Kau mendengar bisikan mereka bukan?" Kepala Naa mengarah ke arah sekelompok Putri Duyung yang sedang menertawakan sesuatu. "Bisikan pelindung tempat ini. Kau mendengarnya menuntun dari depan pintu."
Silan mengganguk. Dia tahu, lautan mengawasi. Silan sudah berjanji, dia menatap buku-buku milik Naa dengan seksama. Kemudian beranjak berdiri.
"Aku ingin melihat-lihat."
Naa mendongak dari gulungan berwarna merah jambu. "Tentu, kau datang untuk itu. Temui aku di sini, jika butuh bantuan dan panggil bintang lautmu."
"Bintang lautku?" ulang Silan dengan alis bertaut.
"Mutiara Kehidupan yang menuntunmu ke sini. Dia yang jadi wali mu. Kau hanya perlu memberinya nama dan dia akan muncul. Kau bisa memanfaatkannya."
Senyum diujung kalimat Naa terlihat mencurigakan. Tetapi Silan hanya mengganguk dan pergi menuju rak-rak koral. Dia tidak yakin, topik buku apa yang akan disukai Dali. Sementara berdiri di depan rak buku. Silan memainkan kalung mutiaranya.
"Noak, Laya," bisik Silan, dua makhluk itu bermain di atas kepala Silan. Tampak asyik saling menggangu gelembung air dari mulut Noak. "Oan?"
"Oan?" Silan memanggil bintang laut hitam dalam pikirannya. "Oan. Aku butuh kau di sini."
Bintang laut hitam dengan bara di sekujur tubuhnya melayang di depan Silan begitu saja.
"Halo, Putri Laut Ongirwalu. Apa yang bisa kubantu untukmu? Perpustakaan Duyung adalah tempat di mana lautan menyimpan kenangannya. Bukan hanya buku dan gulungan. Tetapi kenangan, nyanyian dan air mata yang disulam oleh arus, gelombang dan badai lautan."
"Aku butuh beberapa buku tentang dunia duyung yang pengetahuannya tidak mungkin kutemukan di atas permukaan laut."
"Ikuti aku." Oan melayang di depan Silan. Dia sedikit mendekati Noak untuk menarik perhatian. Naga kecil itu tentu saja mulai mengigit tangan Oan sementara dia menuntun teman-temannya pada rak yang penuh dengan punggung buku berwarna merah jambu.
Satu buku keluar dari dalam rak. Covernya berwarna merah jambu dengan untaian frame berwarna emas. Buku itu berputar di depan Silan saat Oan menjelaskannya.
"Perhiasan Lautan. Sebuah buku berisi katalog batu-batu mulia jiwa ajaib yang hanya ditemukan di lautan dalam, masing-masing memiliki kekuatan unik untuk menyembuhkan, melindungi, atau memperkuat sihir. Mau?"
Silan mengganguk dan buku itu jatuh tepat di atas telapak tangannya. Dan buku baru kembali melayang di hadapan Silan.
"Bahasa Arus, berisi seni berbicara dengan lautan—"
"AKU MAU!"
Silan tidak bisa menahan rasa antusiasnya. Buku Bahasa Arus itu jatuh lagi di tangannya. Noak dan Laya tertawa melihat Silan. Kemudian buku Nyanyian Ombak yang berisi lirik yang tersimpan dalam ombak juga jatuh di tangan Silan. Itu adalah kumpulan nyanyian kuno yang dapat memanggil badai, menyembuhkan luka jiwa dan membuka gerbang dunia lain.
Silan terus menginginkan hampir semua buku yang ditunjukkan oleh Oan. Hingga sebuah buku yang berjudul Legenda Lautan Purba jatuh di tangannya.
Silan membaca blurb buku tersebut. Yang menceritakan tentang di inti lautan purba, di tengah pusaran arus abadi. Ada Perpustakaan Lautan yang terbuat dari kristal yang bersinar dalam kegelapan lautan.
Tempat tersebut adalah pusat dari segala mitos lautan—tempat di mana setiap cerita yang pernah diceritakan oleh ombak yang ditulis dalam kitab-kitab kuno, dan setiap buku berisi kekuatan untuk membangkitkan kekuatan sejati dewa-dewi laut dari yang tidak mereka ketahui.
Oan menatap Silan dengan tatapan tajam. Kemudian berkata, "Buku itu merupakan salah satu karya paling misterius dan sakral di Perpustakaan Duyung, mengisahkan tentang Perpustakaan Purba yang konon menyimpan semua rahasia lautan, termasuk asal mula dunia, kehancuran peradaban laut, dan misteri masa depan. Buku itu tidak hanya bercerita, tetapi juga menyembunyikan petunjuk-petunjuk yang mengarah pada keberadaan perpustakaan tersebut—tempat yang diyakini telah lama hilang di kedalaman yang tak terjangkau."
Silan mendongak ke arah Oan dengan mata berbinar. "Buku itu hanya edisi awalnya, edisi selanjutnya berada di area terlarang. Tempat yang kami sebut Perpustakaan Gurita. Gurita ungu kecil yang dipanggil Aru. Dia adalah penjaga rak-rak gulungan. Dengan lengan-lengan lenturnya, ia dapat mencapai gulungan-gulungan di rak tertinggi. Dia terkenal dekat dengan Arafura."
Badan Silan merinding. Dua makhluk yang mengenal Arafura di perpustakaan membuat Silan merasa tidak nyaman. Terlebih, penjaga perpustakaan itu adalah gurita. Dia gurita, makhluk yang Silan takuti.
Silan penasaran. Dia ingin tahu lebih lanjut tentang Legenda Purba ini. Dan Silan jadi tahu, tentang sebuah petunjuk yang mengarahkan dia pada keinginan Dali. Dali ingin menemukan Perpustakaan Lautan Purba. Pertanyaan selanjutnya, pengetahuan apa yang ingin Dali ketahui?
Silan menatap Oan, Noak dan Laya. Dia harus mencari tahu bersama tiga kawannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top