1
"Idih? Apaan sih? Mau aku review bukunya jelek mang kenapa? Kenapa kamu yang kepanasan?"
"Nona?"
Mata Silan berpaling pada gadis hitam manis yang duduk di depannya. Rambut gadis itu di kepang dari kulit kepala hingga tergerai di pundak.
"Vivi. Lihat ini?" Silan menunjukkan layar ponselnya. "Ada yang DM instagram aku. Mereka bilang, aku jahat karena enggak menghargai penulis yang udah capek-capek nulis tapi dikasih ranting jelek."
Kening Vivian mengkerut. Dia tidak terlalu paham cara kerja benda fana milik Sudra.
"Apa mereka membuat Nona kesal? Beta akan menghampiri mereka sekarang."
"Tidak perlu, Vivi. Buang-buang energi dan waktu urusin mereka. Uang aku, 'kan? Mereka pikir, aku tidak mengeluarkan usaha dan keringat untuk beli buku? Dikira uang dipetik dari pohon."
Kemarahan Silan menggebu-gebu. Vivian menatap cemas Putri keluarga Ongirwalu. Salah satu dari lima marga agung di Kemaharajaan Tanimbar.
Marga Ongirwalu adalah salah satu marga agung atau klan yang dihormati di Kemaharajaan Tanimbar.
Marga Ongirwalu merupakan bagian dari struktur sosial dan spiritual Kemaharajaan Tanimbar. Keluarga Ongirwalu memiliki tanggung jawab secara khusus dengan masyarakat serta hubungan dengan roh leluhur dan dewa lokal.
"Nona, kita harus kembali ke Kemaharajaan. Bapak Ongirwalu akan mencemaskan Nona. Beta tidak ingin Nona kena masalah karena menyelinap ke dunia Sudra."
"Bentar, Vivi. Aku harus memberi pelajaran pada KOL. Ini bukan hanya satu akun, ada akun yang merasa terintimidasi karena aku membuat pengikutnya bertanya tentang ulasannya dan ulasanku."
Vivian gelisah dan Silan melirik sekeliling cafe yang menjorok ke laut.
Meja-meja kayu berwarna cokelat hangat tersusun rapi di bawah kanopi besar dari bahan anyaman bambu, kursi-kursi rotan dengan bantal berwarna cerah, seperti biru, hijau dan kuning, menambah nuansa tropis yang menyegarkan.
Pandangan Silan pun beralih ke arah lautan yang terbuka di sisi sebaliknya.
Suara ombak yang memecah di pantai terdengar seperti musik yang mengandung melodi rahasia. Di antara desiran lembut, ada bisikan lembut yang dibawa angin laut, seolah-olah ombak berbicara dalam bahasa yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang mau mendengarkan dengan seksama.
Silan menikmati ini semua. Ini tempat yang menyenangkan menghabiskan waktu membaca dan menulis kisah-kisah penuh keajaiban. Dia kembali mengetik balasan pada seseorang betapa dia tidak peduli dan benci diatur dalam melakukan ulasan buku.
Bagi Silan, semua orang bebas berpendapat tentang buku yang dibaca dan tidak seorang pun bisa mengatur cara review orang lain. Hanya karena review mereka berbeda.
"Tunggu sebentar, Vivi. Aku tidak bisa meninggalkan percakapan kami begitu saja. Orang ini harus dilawan."
Vivian mengetukkan kaki di bawah meja berulang kali. Tiap detik terasa berat baginya. Silan melirik Vivian sekali lagi dan berujar, "Ada Book Influencer yang panik. Ulasan yang ia posting sebelum PO sangat berbeda jauh denganku. Orang-orang meragukan ulasan dia dan dia cemas aku mengambil lahan basahnya."
"Itu tidak mungkin. Nona tidak seperti itu. Keluarga Ongirwalu punya bisnis kelautan yang sangat besar. Keluarga Ongirwalu tidak pernah kekurangan uang untuk—"
"Aku tahu." Silan menyela. "Jadi, bersabarlah Vivian. Biarkan aku menyelesaikannya."
Silan tersenyum puas sambil fokus mengetik keyword di layar. Vivian sadar, mereka sudah melewatkan waktu untuk mengobrol.
Bagi Vivian tidak ada waktu lagi. Ditariknya pergelangan tangan Silan untuk keluar dari Warkop. Silan mengerutu, tetapi Vivian tidak peduli. Jika mereka tidak pulang tepat waktu, Silan akan dihukum.
Di area parkir, sekelompok remaja laki-laki berpenampilan serampangan melemparkan candaan usil yang dibalas dengan tatapan melotot Vivian. Jika Vivian ada waktu, dia akan mengubah mereka menjadi ikan kombong yang siap disantap kucing liar yang tidur di bawah kolong mobil.
Silan terus di seret menjauh dari keramaian. Mereka terus berjalan mendekati sebuah pohon asam yang berdiri di pinggir jalan.
Tangan Vivian menyentuh kulit pohon tersebut hingga menelan citra keduanya. Dibaliknya, Silan dan Vivian sedang berada di pesisir pantai yang ramai oleh anak-anak yang bermain di bawah cahaya bulan bersama orang tua mereka. Lapak-lapak jualan kecil berjejer dalam gubuk-gubuk sederhana yang terbuat dari daun kelapa.
Silan segera mengenakan syal tenun biru di lehernya sebagai cadar untuk menutupi sebagian wajahnya, begitu pula Vivian.
"DM ku tidak terkirim," keluh Silan pada Vivian setelah menyembunyikan ponsel di tas serut. "Mereka akan berpikir aku tidak punya keberanian."
"Jika Nona mengkhawatirkan hal tersebut. Beta akan pergi mengutuk mereka menjadi ikan cakalang."
Mau tidak mau Silan tersenyum geli mendengar pernyataan tersebut. Silan mulai memimpin jalan menjauh dari garis pantai ke arah jalan berbatu putih. Keduanya melewati daerah bisnis Kemaharajaan Tanimbar yang berada di sepanjang pesisir.
Kios-kios kecil menawarkan dagangan di lapak masing-masing. Sebagian besar menjual kain tenun aneka warna seperti biru, merah, hitam, hijau dan kuning. Sebagian lagi menawarkan aksesoris pelat emas berbentuk bulan sabit.
Seorang pedagang berusaha menawarkan Silan mahkota bulan sabit, namun lebih dulu ditolak Vivian. Kemudian mereka berbelok ke arah kiri di area toko-toko berdinding batu putih berkilau. Sebagian papan nama toko bertuliskan nama barang yang dijual.
Lampu-lampu kristal di teras toko memancarkan kilau indah di depan jendela-jendela besar dengan bingkai kayu yang memamerkan barang-barang menawan.
Lalu, Silan berhenti pada sebuah kereta yang ditarik oleh kuda putih yang dihiasi daun palma. Badan kereta tersebut menggambarkan pola-pola hewan laut. Namun, alangkah terkejutnya Silan saat seorang pria sedang duduk di dalam dengan senyum menawan yang sering ia gunakan menebar pesona pada setiap gadis ditemuinya di jalan.
"Kau!" tunjuk Silan tidak terima. Vivian segera menundukkan pandangan dan menutup pintu dari luar.
"Saudariku. Apa kau tidak mau memeluk Abangmu ini?"
"Demi Dewa Laut! Turun dari keretaku, Said."
Silan mencoba menarik lengan Said. Namun, lengan Silan dipelintir ke balik punggungnya. Saudara laki-lakinya tersenyum mengejek di dekat telinga Silan.
"Tenang, Saudariku. Abang akan pergi setelah kau membantu Abang. Jika kau sudah paham ... mengganguklah. Ayah pasti marah, jika tahu putri kesayangannya pergi ke dunia Sudra hanya untuk menulis dongeng."
"Apa itu ancaman?" balas Silan tanpa takut.
"Tergantung kau menerjemahkannya." Said berucap lirih lalu melepaskan Silan yang wajahnya memerah.
"Laporkan saja," kata Silan saat kereta mulai bergerak. Said tersenyum mencibir. Dia mengenakan kemeja yang lehernya dari tali-tali, sedangkan rambut Said yang hitam setengah berantakan oleh angin. Silan curiga, dia sedang dari suatu tempat yang tidak melindungi penampilannya. Mata Said hitam memikat seperti langit malam, mata yang diturunkan oleh ibunya dan senyum menawan yang suka Said fungsikan menjebak setiap gadis yang terlalu bodoh untuk terpesona.
"Baiklah. Biarkan Vivian membawa kejutan ke rumah," balas Said dengan tatapan jahil.
Sesaat hanya suara derit roda yang berjalan di jalan. Silan menatap Said penuh waspada. Menelisik penampilan Said dari ujung kaki hingga ujung rambut. Said menggunakan sepatu merah yang cocok untuk berpergian. Sepatu itu tidak memiliki noda lumpur, rumput atau petunjuk apa pun yang bisa membawa Silan menebak arah kedatangan Said. Walau dipandang seperti itu, Said sama sekali tidak tersinggung.
...
Silan dan Said duduk di ruang keluarga. Beralaskan bantal duduk menunggu ayah dan ibu mereka yang harus turun dipanggil dari rumah panggung yang berbeda dari rumah utama.
Ayah Said tiba lebih dulu dengan wajah memerah. Ia menatap Said seakan itu bisa membuatnya menelan Said bulat-bulat, lalu pandangannya melembut menatap Silan.
"Ayahku yang tampan," ujar Said dengan tangan terbuka untuk menyambut pelukan.
"Berhenti omong kosong, Said," ujar Alo Ongirwalu. "Apa lagi yang kau butuhkan sehingga berani pulang rumah dengan wajah iblismu itu."
"Wah, itu pujaan yang sering disebut para gadis. Aku suka julukan itu. Rasanya menjadi Iblis tampan dan mempesona."
"Said!" Teriakan seorang wanita dari luar membuat senyum Said makin berkembang. Dia berlagak menjadi bocah yang kangen rumah dan memeluk ibunya. Alo Ongirwalu hanya mencibir sikap Said tanpa suara.
"Said kangen ibu," ujar Said sembari memberi kecupan di pipi ibunya.
"Kau bisa tinggal kalau begitu."
"Wah, yang itu tidak bisa."
Agnes menatap Said kecewa. Tetapi tangannya tetap membelai wajah Said dengan kasih sayang.
"Said, kita harus bicara," ujar Alo Ongirwalu. Dia melirik Vivian dan para pelayan untuk menunggu mereka di luar rumah. Ketika pintu dari luar ditutup, pundak Silan merosot. Dia tidak yakin, ayah mereka akan melakukan sesuatu untuk kakak laki-lakinya.
Said mengganguk tanpa bantahan. Para pria duduk bersila sedangkan para wanita duduk menyamping. Krital putih yang bergantung di langit-langit rumah bersinar terang.
"Apa lagi yang kau inginkan?" Alo Ongirwalu memulai. "Jika kau ingin ayah mengalami tekanan darah tinggi dan mati. Kau bisa melakukannya sekarang dan kupastikan dirimu tidak diterima di dunia bawah."
Said membuat wajah syok yang dibuat-buat dan Silan ingin menendangnya karena itu.
"Ayah, aku rindu rumah."
"Bicara lebih jelas!" bentak Alo Ongirwalu.
"Aku datang membawa hadiah."
"Hadiah?" Alis Alo Ongirwalu bertaut.
"Hadiah untuk putri kesayangan Ayah," ujar Said sambil melirik Silan dengan seulas senyum.
"Aku tidak mau hadiah darimu." Silan menolak tanpa berpikir dua kali.
"Oh, tidak. Kau akan menyesal. Kau akan suka ini. Aku punya toko buku untukmu. Toko buku yang bisa kau dekorasi tentang dongeng para naga dan makhluk lautan."
Wajah Silan memerah. Dia menatap Alo Ongirwalu dengan jantung yang menggedor-gedor ingin kabur. Ayah mereka tidak menyukai hobi Silan. Dia akan menyingkirkan buku-buku fiksi bila ia menemukan benda itu di kediaman mereka.
"Tidak ada dongeng." Alo Ongirwalu menegaskan. "Said, saudarimu hanya akan tinggal di Kemaharajaan. Dia penghubung klan dengan budaya kita."
"Gadis-gadis di luar sana mengejar mimpi mereka." Said tidak mau kalah. Entah mengapa, Silan merasa perutnya mendadak sakit.
"Adikmu berbeda dengan mereka, Said. Dia dilahirkan untuk penghubung roh leluhur dan para Debata."
"Menghabiskan waktu membosankan di sini? Aku rasa, Silan ingin berpetualang ke luar rumah. Menjelajah—"
"Silan! Pergi ke kamarmu sekarang juga." Alo Ongirwalu menatap tajam putrinya. "Cukup anak sulung yang menjadi pembangkang."
Tubuh Silan menegang. Dia segera bangkit, namun tangan Said mencegahnya.
"Dia tetap di sini, Ayah. Silan harus memilih jalan hidupnya sekarang. Usianya sudah mencapai hal tersebut. Ayah tidak bisa menahan Silan di tempat sempit ini."
"Said!" Amarah Alo Ongirwalu tersulut. Agnes segera menahan suaminya sebelum dia sempat menghajar wajah Said.
"Said. Jangan lakukan ini, ini tradisi keluarga kita. Ibu baik-baik saja ketika kau memilih berpetualang. Tapi, Silan tidak boleh pergi." Agnes menatap anak perempuannya.
"Mengapa tidak boleh?"
Silan akhirnya berucap. Perasaan yang selama ini terpendam, terpancing keluar.
"Said. Jika kau pulang untuk mempengaruhi adikmu, sebaiknya kau pergi sekarang."
"Baik," jawan Said mantap. Dilepaskannya tangan Silan. Dia kemudian berjalan pergi tanpa menoleh.
Silan tidak tahu, kapan air matanya keluar begitu menyadari punggung tangannya menyeka sudut mata. Dia tidak bisa berpaling ketika ayahnya menatap Silan dengan kemarahan yang tidak disembunyikan.
"Ingat tanggungjawabmu Silan. Berhenti memimpikan menjual dongeng."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top