9• Puisi Nestapa



Katanya, apa yang terjadi di dunia adalah ketentuan takdir Sang Maha Esa. Namun terkadang, manusia selalu menaruh rasa curiga pada setiap kejadian yang ada. Beberapa orang bilang, Tuhan punya cara ajaib untuk mengungkap segala rahasia. Lantas saat semua terjadi nyata di depan mata, mereka justru berlomba menyalahkan semesta.

Bukankah memang itu sifat manusia? Banyak maunya! Kadang tak bersyukur dengan apa yang mereka punya. Kemudian, saat jalan takdir yang terbuka telah mengingkari rencana, manusia bisa apa selain diam menerima segala ketentuan-Nya. Seperti salah satu insan-Nya ini. Ketika hati masih sibuk merangkai indah kata 'andai' tetes air mata yang tak mampu terbendung, menjadi saksi bisu perasaan Webhi yang kian teriris pedih.

Riasan sempurna yang dipilihkan sang ibu untuk mempercantik dirinya di hari bahagia, nyatanya tak mampu menyembunyikan sarat kesedihan di sepasang manik karamelnya. Bibirnya bergetar menatap refleksi diri di dalam cermin rias. Menampilkannya dalam balutan kebaya putih bermanik mutiara yang menempel di setiap sudut kain dengan siger mewah di kepala.

Sesak di dada kian parah saat detik demi detik ia lewatkan begitu saja. Webhi tahu alasan ia begitu dirundung pilu dan kenapa hatinya kian gelisah tak menentu.

"Bhi?"

Pengantin wanita itu menoleh, Webhi tak mampu tersenyum untuk menyambut sang ibu. Rasanya begitu berat melewati waktu yang terlewat dengan rasa resah dan pasrah, ketika seruan ijab kabul yang menyisipkan namanya begitu terdengar nyata di luar sana. Bulu mata palsunya berkedip pelan, meloloskan himpunan cairan bening yang memenuhi pelupuk mata.

Lulu mengernyit saat melihat putrinya menunduk. Ia bawa tungkainya menghampiri sang putri yang ditemani putranya. "Kenapa, Bhi?" tanyanya lembut.

"Mbak mu kenapa, Dev? Sabil di mana? Tadi katanya mau nemenin Webhi," sambung Lulu tak santai saat mendengar isak kecil Webhi lolos tak tertahankan.

Pemuda yang memakai batik serupa dengan keluarganya hanya mengedikan bahu singkat. "Aku nggak tahu, Mah. Mbak Webhi dari tadi bengong aja kayak habis dihipnotis. Mbak Sabil tadi keluar pas ada yang telepon," jelas Devan dengan tatapan tak lepas dari layar ponsel digenggaman.

Wanita dengan kebaya abu berbahan brokat itu berdecak kesal melihat tingkah anak bungsunya. "Udah kamu keluar sana! Duduk di dekat Mas mu. Jangan main hape terus! Nanti dimarahi Mas Ardaf baru tau rasa!" Kini Lulu menatap Webhi yang susah payah menghapus air mata agar tak merusak riasan yang ada. "Kamu kenapa, Bhi?" lanjutnya setelah Devan keluar dengan dengkusan lirih.

Tak kuasa untuk menjawab tanya wanita yang paling berharga dalam hidupnya, Webhi makin terisak sambil menggeleng. Kemudian, memaksakan senyum yang tak sampai ke mata. "Nggak, Mah. Aku cuma terharu sama deg-degan aja."

Memang benar. Dentum ribut yang terus menggedor dada membuat semalaman suntuk Webhi tak menemui rasa kantuk. Lantas untuk perasaan haru, ia berdusta karena tak berani mengatakan hal yang sebenarnya.

Lulu hanya tersenyum paham karena ia pernah merasakan hal yang sama. "Mamah ngerti. Sekarang kita keluar ya, Sayang." Ia gandeng lengan putrinya lembut, menuntun pelan menuju halaman yang telah dihias sedemikian rupa.

Acara akad dan resepsi digelar di kediaman Andreas. Halaman luas yang mengelilingi rumah berlantai tiga itu disulap menjadi taman indah bertema monokrom. Didominasi mawar putih yang mekar sempurna, Webhi sedikit takjub dengan dekorasi yang dipesankan Chivar untuknya. Hampir 70% rangkaian pernikahan pria itu yang siapkan. Katanya malas meminta saran darinya, ujung-ujungnya debat karena tak sependapat.

Di samping rumah sudah ada panggung pelaminan bak singgasana kiani. Untung saja cuaca hari ini begitu merestui acara pernikahannya. Sang raja siang tak terlalu bersinar sombong, tetapi awan cerah masih setia menggantung indah di atas sana. Jika ada hujan badai tiba-tiba, mungkin Webhi akan disalahkan karena bersikeras meminta pernikahannya dilakasanakan di rumah. Alih-alih menyewa gedung atau hotel yang diusulkan Chivar beberapa waktu lalu.

Chivar pikir akan lebih mudah menyewa gedung agar nanti tak perlu membersihkan halaman rumah--meski ia tahu keluarga Andreas pasti menyewa jasa kebersihan untuk mengurus segalanya. Namun, setelah mendengar alasan Webhi yang ingin menciptakan momen sekali dalam seumur hidup di rumah yang penuh kenangan indah, Chivar menyetujuinya saja.

Langkah yang terasa berat setia menemani Webhi menuju pria yang berhasil mempersuntingnya. Harusnya ia bahagia. Saat kecil ia selalu membayangkan pernikahan ala princess di negeri dongeng. Dilamar pangeran tampan berkuda putih, tetapi makin beranjak dewasa ia tahu itu hanya ilusi semata. Jadi, Webhi hanya ingin menikah atas dasar saling cinta.

Hanya itu. Klise, bukan?

Sampai pada kursi kayu berwarna perak yang telah dihias bunga mawar, Webhi duduk di hadapan penghulu dan seorang pria yang menjadi wali hakim. Dibantu sang ibu yang menepuk bahunya lembut sebelum pergi dengan senyum tulus.

Menarik napas lebih dalam, wanita itu menoleh pada pria di sampingnya saat penghulu yang menuntun ijab kabul beberapa menit lalu, memerintah menyapa Chivar dengan menakzimkan pria yang mulai detik ini akan mengambil peran besar dalam hidupnya. Kemudian, menandatangi beberapa surat penting yang ada di atas meja.

"Sekarang boleh dipakaikan cincinnya," kata pria yang sama.

Sebelum itu, Webhi tatap pria baya yang duduk sebagai saksi pernikahannya. Pria yang meski tak memiliki ikatan darah, tetapi ia bersumpah akan menyayangi dan menghormatinya sampai akhir hayat. Kemudian, melempar senyum lembut sebelum menyerahkan tangan pada pria yang berbisik jenaka di sampingnya.

"Nggak usah gemeteran, Bhi. Malam pertama kita, kan ditunda. Jadi, relaks aja. Oke!" Chivar berucap sambil terus merasakan gemetar di jemari wanita yang ia sematkan cincin.

Harusnya Webhi mendengkus. Nyatanya ia hanya mampu memberi tatapan kosong pada pria yang tersenyum jemawa. Lalu, ia tarik tangannya dan menyematkan cincin serupa pada jari manis suaminya.

Suaminya?

Hati Webhi mencelus mengingat hal itu. Lantas saat doa yang dibacakan salah satu pria di dekat ayahnya mulai berkumandang, perlahan tatapan Webhi terangkat dan mengedar. Ia temukan sepasang cakrawala yang memerah, berpendar rasa merana sama sepertinya.

Ardaf yang duduk bersama ibu, adik, dan kekasihnya memilih membuang pandangan saat mempelai wanita menatapnya dengan sarat kecewa. Rasanya seperti ada benda tajam yang bercokol di sanubari. Melihat dengan nyata wanita yang menjadi bagian dalam hidup, telah menjadi seorang istri dari pria yang sebenarnya tak ia restui.

Entahlah, Ardaf mulai bingung dengan perasaan resah dan kecewanya.

Menjaga kewarasan agar tak mewujudkan tekad untuk menarik Webhi dari tempatnya, lelaki yang bertarung dengan perasaan gelisah itu bangkit setelah menepuk lembut bahu sang ibu. Lantas melenggang pergi meninggalkan tatapan Webhi yang kembali memproduksi cairan bening di pelupuk mata.

" ... walhamdulillahirabbilalamin."

Serempak orang-orang yang mendengar penutupan doa itu menyerukan kata amin bersamaan. Tak terkecuali Webhi yang berseru pilu dalam hati sebelum benar-benar membuka diri untuk memulai kehidupan baru yang mulai esok akan ia jalani.

***

"Ardaf?"

Pria yang sedang berdiri di balkon kamar sambil menatap mobil yang berbanjar rapi di halaman belakang, menoleh pada wanita yang ternyata sudah berdiri di dekatnya. Ia buang puntung rokok yang kedua sebelum menarik Grace ke pelukan.

"Kenapa, Daf?" Tangan ringkih wanita dengan setelan kebaya mewah nan elegan itu, terangkat. Mengusap lembut punggung sang kekasih sebelum menghela napas lebih dalam.

"Aku nggak tahu." Ardaf tertunduk bingung.

Tersenyum melihat iris gelap yang menyimpan kegundahan, Grace memajukan wajahnya untuk memberi kecupan singkat di bibir manis Ardaf. "Aku ngerti. Kamu cuma belum siap lepasin adik kamu, apalagi ke pria yang berimage buruk. Sekarang kita kembali ke venue, ya. Mamah sama Papah nanti cari kita," bujuknya sebelum kembali membalas pelukan hangat yang diciptakan pria itu.

__________💓__________💓__________

Wahai sang penjaga hati, benarkah itu dirimu?

Sosok yang selama ini kutunggu?

Sayangnya, saat aku pikir rinduku bukan rasa yang keliru.

Ternyata semesta tak memberi kita restu.

Karena saat aku menoleh dengan rasa yang menggebu.

Ada sosok lain yang berhasil mempersunting diriku.

Sekarang, bisa kamu tunjukkan padaku?

Jalan mana yang harus kutuju selain pelabuhan asa yang semu?

Bhie-R

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top